Kamis, 05 Mei 2011

01. DUA KERINDUAN

Oleh : Hasbullah Said.-

PULAU Penang dengan panorama lautnya yang sangat indah mempesona. Cantik kelihatannya ketika bola emas itu hendak bergulir jatuh kedasar laut biru. Bias mentari senja kemerah-merahan menerpa diatas bentangannya yang sangat luas. Sementara pandanganku tertuju kecamar laut yang sedang bersuka ria menyambut datangnya malam.
Seberkas khayalan indah menari-nari selalu dibenakku bila aku berada disini, berandai-andai mengimpikan gadis cantik bersamaku bergandengan tangan me- nyusuri pantai ini, dan setelah penat berjalan, kembali duduk santai berdua di atas dermaga bercanda bertutur kata dalam belaian kasih asmara, kendati semua itu hanya sebatas angan belaka.
Khayalanku berakhir sudah, dan impianku kini telah jadi kenyataan. Aku menikmati eloknya lukisan senja itu berdua Fitri, perempuan cantik dengan kerudung sutera putih bersulam benang emas tenunan Bugis Sengkang, melambai-lambai tertiup hembusan angin pantai.
“Apa adik Fitri, senang tidak datang dipulau Penang?“ tanyaku mulai bicara padanya.
“Fitri senang, dan senang sekali Bang.” sahutnya dengan senyum manis menatapku.
“Ayo, kita jalan yuk.“ pintaku sambil meraih tangannya yang halus membimbing Fitri berjalan menyusuri sepanjang pantai pulau Penang dengan merebahkan kepalanya bersandar tepat di bahuku, berjalan terus dan berjalan lagi hingga tak terasa oleh kami telah hampir tiba di dermaga penyeberangan kapal Feri.
Fitri di sampingku berjalan sambil mengamati deretan gedung-gedung jangkung pencakar langit yang tak terhitung jumlahnya. Angin laut berhembus per -
lahan dan suasana di pulau Penang semakin ramai di kunjungi turis Asing dan -
Domestik.
“Fitri, kita istirahat disini dik, kulihat kamu sudah penat berjalan.” kataku sambil duduk berdua diatas dermaga itu di antara sela-sela sekian banyak penjual makanan.
“Kamu suka makan kue tokh, dik?” tanyaku sambil menyedorkan beberapa jenis kue padanya.
“Suka Bang, dan disini apa nama kue ini?” tanya Fitri sambil meraih sebiji kemudian menyantapnya perlahan.
“Putu cawan.”
“Di Mangkasarak sana apa namanya?“ balik aku bertanya.
“Putu cangkirik.”
“Kalau gitu cangkirik dari Mangkasarak, cawan dari Selangor ketemu dipulau Penang.” kataku bercanda. Fitri mengulum senyum lalu ia menatapku perlahan, tatapannya seolah tembus ke relung hatiku yang paling dalam. Kulihat wajahnya sangat manis dimalam itu, sebuah cubitan manja mendarat dipangkal lenganku. .
“Gombal, dasar anak Melayu pandai berpantun sajak.” begitu guyonan Fitri
Purnama malam perlahan-lahan menampakkan dirinya dibalik celah-celah gedung pencakar langit, dan desir ombak gemulai melagu syahdu seolah melantunkan sebuah tembang asmara yang mendayu-dayu.
Hand-Phone dibalik saku jaket blue jeans yang aku kenakan berdering bising, dan sesaat kemudian terdengar suara Kak Young saudara perempuanku di Kuala Lumpur mengingatkan padaku kiranya tidak terlalu larut malam balik ke hotel tempat kami nginap. Khawatir kalau Fitri adik iparnya jatuh sakit kena angin malam. Ia sangat sayang dan sayang sekali sama Fitri.
“Fitri, kamu suka nyanyi tokh!” tanyaku merajut hatinya.
“Fitri tak pandai nyanyi Bang, tapi senang dengar musik.”
“Musik apa?” tanyaku lagi.
“Dangdut Melayu.” jawabnya senyum.
“Ehem, ......disini tak ada orang kampungan.” kataku bercanda.
“Kalau Abang, suka musik apa?” balik ia bertanya padaku.
“Rock Pop.”
“Kebarat-baratan, orang Bule masuk kampung tak ada disini.” balasnya pula bergurau sembari menjewer daun telingaku pertanda tak senang dengan lagu rock.
“Kalau gitu hasilnya seri, satu sama.” kataku riang.
“Eh, dik Fitri, kamu senang lagu apa?” tanyaku lagi sambil mencolek pangkal lengannya.
“Semalam di Malaysia, punya Kus Hendratmo ciptaan Syaiful Bakhri.“
”Bukan semalam, tapi Dua Malam di Malaysia, semalam di Kuala Lumpur, semalam di Pulau Penang, dan seterusnya menetap tinggal di Selangor.” kataku lagi bergurau.
“Abang sendiri suka lagu apa?” tanya Fitri.
“Kalau aku, senang lagu Anging Mammiri.”
“Kok lucu,..............” kata Fitri heran sambil menatapku lagi. Mata kami berbenturan, dan sekilas pandangnya dialihkan ke bentangan jembatan panjang yang menghubungkan Pulau Penang dengan daratan semenanjung Malaysia.
Ia kagum melihat kecanggihan tehnologi tinggi. Fitri sejenak tertunduk diam. Aku tahu pasti hatinya didalam tiba-tiba digeluti perasaan sedih dan rindu. Rindu akan kampung halamannya tanah Mangkasarak. Binar matanya berkaca-kaca, lalu ia diam
“Kenapa kamu diam dik, Fitri?” tanyaku.
“Jembatan itu Bang.“ jawab Fitri menepis.
“Kenapa jembatan itu, ada apa disana?” tanyaku lagi.
“Aku kagum.” sahutnya dengan nada perlahan.
Terbayang oleh Fitri ketika dulu awal pertama kali berangkat kemari disaat meninggalkan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Lambaian tangan perpisahan kedua orang tuanya yang ia sayangi serta Ika adiknya sangat menyiksa dan me-ngoyak-ngoyak relung hatinya.
Sendiri di keterasingannya selalu dibayang-bayangi oleh rasa rindu kemana ia pergi disitu ada kerinduan. Fitri masih tertunduk sedih. Kulihat ada butiran-butiran air bening mengalir perlahan membasahi wajahnya yang kuning langsat.
“Sudahlah dik Fit.” ucapku perlahan menenangkan hatinya yang tengah diliputi kepedihan sembari memegangi pundaknya.
Aku menghela nafas panjang, lalu mendehem menelan air ludah yang terbawa arus kepedihan hati Fitri.
“Kamu sayang sama Papa dan Mamamu tokh Fitri?” tanyaku padanya sambil menatapnya. Ia mengangguk sambil menyeka air matanya yang meleleh membasahi wajahnya.
“Papa dan Mamamu tentu juga sayang dan teramat sayang padamu karena kamu anak yang berbakti kepadanya.” kataku lagi.
“Tapi jauh, dan jauh sekali dari sini Bang.” kata Fitri dengan suara serak parau tertahan ditonggorokannya.
Gemercik air laut riuh terdengar menepis-nepis bibir dermaga dan perci- kannya membubung tinggi kemudian jatuh membasahi kerudung putih Fitri. Ia tak bergeming sedikitpun, lalu kami diam sama-sama. Sedang angin laut berhembus perlahan sepoi basah sejuk terasa mengelus tubuh kami berdua. Kubujuk terus Fitri agar tidak terlalu terpuruk dalam kesedihannya.
“Papamu ada disini Fitri, tidak jauh dan dekat sekali sama kamu.” kataku menghibur. Fitri terperangah mendengar ucapku, matanya nanar mencari kesana-kemari.
“Dimana?” tanya Fitri sumringah tak sabar.
“Duduk di sampingmu, aku Papamu, Abangmu, juga suamimu yang menjaga dan melindungimu serta menyayangimu, lebih dari kasih sayang Papa dan Mamamu.”
Fitri kembali diam, lama ia tak menyahut. Sekilas pandangannya tertuju pada kerlap-kerlip lampu diseberang sana timbul tenggelam dibuai ombak. Fitri bergeser dari duduknya. Pelan sekali, kemudian ia merebahkan tubuhnya bersandar didadaku. Terasa hangat badan Fitri dipangkuanku. Aku merunduk pelan lalu mengecup keningnya.
“Aku Papamu sayang kamu.” kataku perlahan lembut. Aku menatapnya lagi. Mata kami berbenturan. Dari sorot matanya lahir seberkas cahaya abadi, cinta abadi dalam kebahagian. Fitri mendekapku erat, kemudian di bisikkannya ketelingaku dengan suara datar hampir tak terdengar olehku.
“Bang, ada orang panggil Papa padamu. “
“Siapa?” tanyaku heran sambil memandang kesemua arah.
“Di dekatmu dan diantara kita.”
“Ehem,..... kamu membalas, skor dua sama.” kataku mendehem. Seraut wajah manis menatapku senyum.
“Tamuku sudah dua minggu kutunggu tak kunjung datang.”
“Oh, dari Makassar pasti?” potongku dengan nada riang.
“Kamu tak paham Bang, maksudku aku sedang ,........telat bulan dan tak lama lagi kamu akan dipanggil papa oleh orang yang bersembunyi di balik rahimku, anakku juga anak Abang Zul, cucu Dato’ Haji Shaharudin bin Abd.Rahman dari Kerajaan Selangor Darul Ekhsan Negara Bagian Malaysia.”
“Amboi,............” kataku girang setengah berteriak sambil kupeluk Fitri dengan erat. Erat sekali. Lama kami berpelukan, tanpa hirau dengan orang yang lalu lalang disekitar kami.
Malam mendekati ambang larut, gelombang laut terus mendendangkan lagu riang, riang gembira didua hati yang tengah berbulan madu.
“Mari kita pulang dik Fitri, sudah terlalu lama kita disini dan malampun telah hampir larut, nanti kamu sakit sayang.” pintaku sambil bangkit bersamanya me- ninggalkan dermaga itu.
Waktu berjalan terus dan hari-hari kulewati bersama Fitri penuh kasih sayang bahagia, perhatian sepenuhnya kucurahkan padanya agar dia tidak ter-belenggu selalu didalam keterasingannya.
“Dik Fitri,” panggilku disuatu petang ketika aku baru saja pulang kerja.
“Hem, ada apa lagi Bang?” tanya Fitri.
“Maukah kamu janji sayang, untuk tidak menangis dan bersedih hati lagi?”
Fitri diam tak menyahuti tanyaku, dan tak lama kemudian ia mengangguk senyum tanda setuju.
“Aku sangat menyayangimu dik, tapi kamu janji jangan bersedih hari selalu-
dan bersedia untuk melupakam semua itu.” bisikku ketelinga Fitri dengan nada lembut.
“Tapi Abang Zul, harus janji pula.”
“Janji apa Fit?”
“Kelak bila anak kita lahir selamat, maukah Abang lantunkan lagu Anging Mammiri kesayanganmu sebagai pengantar tidurnya.”
“Ya, tentu dong, tapi Fitri juga janji lantunkan lagu Semalam di Malaysia.” ujarku sembari mengangkat kedua belahan lenganku keatas tinggi-tinggi lalu,.........!
”Chess,.....” kedua telapak tanganku beradu dengan tangan Fitri.
“Oke Bang.” sahutnya riang sambil berlalu meninggalkanku menuju keruang dapur menyiapkan makan malam.(*)

Makassar, 10 November 1997

Harian Pedoman Rakyat, 29 November 1998
Harian Fajar, 06 Desember 1998
Harian Radar Bulukumba, 15 Juli 2009

02. KISAH KASIH DI SEKOLAH

Oleh : Hasbullah Said.-

DERU ombak mendendangkan lagu syahdu, menjilat-jilat lalu meng- hempaskan dirinya kedinding bukit karang. Percikannya membubung tinggi lalu jatuh perlahan membasahi segala apa yang ada disekitarnya. Begitupun Lisa, tak luput dari gapaian percikan air laut membasahi ujung-ujung kaki celana jeansnya.
Terasa sejuk menyentuh kulit ari kakinya yang telanjang. Panorama laut sangat indah dihari itu, sebebas-bebas mata memandang kearah bawah dari atas ketinggian ditumbuhi rumput gajah kehijauan. Bila air surut, pantai nan landai dengan bentangan pasir putih nampak keperakan tertimpah oleh terik mentari siang. Pantai selatan berbatasan dengan laut Jawa. Sebuah permandian alam dengan segala keindahannya.
Disinilah Lisa duduk sendirian diatas bukit karang menatap laut dengan sorot mata sayu. Gelombang laut datang dan pergi silih berganti lalu hilang lenyap tanpa bekas.
Bagaikan dirinya yang dipermainkan oleh ombak gemulung lalu dihempaskan ke dinding bukit karang. Sirnalah segala harapannya kandas di penantian yang tak kunjung datang.
Dengan langkah tertatih-tatih ia mencoba berjalan diantara keramaian orang-orang yang sedang mandi dilaut. Terasa dingin kakinya yang telanjang bersentuhan dengan pasir putih nan lembut. Berjalan terus, …… tanpa arah, dilihatnya sehelai daun ketapang telah kekuning-kuningan terapung berayun-ayun dipermainkan ombak.
Terhenyak sesaat, lalu ia teringat olehnya ketika dulu masih duduk dibangku sekolah SMA, beberapa pohon ketapang rindang tumbuh di belakang tak jauh dari gedung sekolahnya. Disini banyak menyimpan kisah kasih darinya, seolah bertutur kata dengan gaya bahasa aku.
***
Suatu hari, ketika jam istirahat pertama tiba, aku keluar dari ruang kelas sambil menenteng Silverquen makanan ringan kesukaanku sejak dulu, dan tepat depan pintu masuk aku berpapasan dengannya, lalu ia menyapaku minta untuk dibagikan kepadanya sembari mengulurkan tangannya kepadaku. Kurasakan hatiku bahagia mendapat perlakuan seperti itu, bak gayung bersambut, itulah awal benih kasih bersemi dalam lubuk hatiku yang kupendam selama ini.
Hari-hari berikutnya, hampir setiap jam istirahat kuhabiskan bersama Diazh bernaung dibawah pohon ketapang rindang, tumbuh tak jauh di belakang gedung sekolah kami. Istirahat sambil bincang-bincang tentang berbagai hal aktual terkini, termasuk mata-mata pelajaran kami disekolah, kadang pembicaraan kami ngelantur karena sudah kehabisan bahan. Dan terakhir diluar dugaanku tiba-tiba ia mengutarakan isi hatinya mengatakan ia sayang dan cinta padaku. Aku merasa kaget mendengar pernyataanya itu, rupanya selama ini ia juga diam-diam memperhatikanku, dan dengan perasaan bahagia kubalas pula dengan ucapan akupun cinta padamu!”
Sesudahnya itu, banyak teman-teman cewek sekelasku merasa cemburu dan iri padaku bahkan kadang mereka menyindirku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hatiku, namun aku cuek saja pada mereka, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi antara aku dengan Diazh. Namun dibalik itu kadang ada juga teman siswa lainnya memuji hubungan kami berdua dengan julukan bagaikan Romie dan Yuliet pasangan yang ideal sangat serasi.
Aku merasa bangga dan bahagia berhasil menggaet Diazh yang banyak di perebutkan oleh cewek teman sekolahku. Kami selalu berjalan beriringan pulang pergi sekolah bersamanya, bahkan kami belajar satu kelompok beserta teman lainnya, bergantian diadakan dirumahnya atau dirumahku sehingga semua keluarga termasuk kedua orang tuaku telah mengetahui hubungan kami berdua, namun mereka selalu memperingatkanku bahwa kami sementara duduk dibangku sekolah menuntut ilmu.
Ujian tahap akhir sekolah kami telah berada diambang pintu, tak lama lagi akan berlangsung, sementara kami berdua kembali berada dibawah pohon ketapang ketika jam istrahat tiba, ia mengutarakan banyak hal padaku, termasuk cita-citanya nanti setelah lulus dalam Ebtanas yang akan datang. Ia merasa terpanggil untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang prajurit kesatria yang berpihak kepada rakyat kecil, lemah dan tak berdaya.
“Kamu setuju tokh Lisa, bila aku masuk AKABRI.” tanya Diazh padaku tiba-tiba memecah keheningan sesaat.
“Tentu dong, dan kamu tampak akan lebih ganteng bila mengenakan seragam tentara.” sahutku memuji sambil menatap wajahnya yang berseri.
“Terima kasih.” ujarnya dengan wajah sumringah.
Udara siang berhembus sejuk menerpa tubuh kami, membuat betah tinggal berlamaan dibawah pohon itu. Angin berhembus agak deras menerbangkan sekian banyak daunnya yang kering berhamburan disekitar kami, dan tanpa setahunya sehelai hinggap bertengger tepat diatas bahu Diazh.
“Lapor, ada paket bom aku temukan Pak Kapten.” kataku berkelakar berpura-pura serius.
“Dimana Lis?” tanya Diazh dengan mata nanar, mengamati kesetiap sudut ruang..
“Ah, jangan main-main Lisa, isyu bom sekarang santer lho.” ujar Diash sambil menatap paras cantik dihadapannya.
“Aku tidak main-main, aku serius!”
“Kalau begitu tunjukkan padaku dimana bomnya?”
“Ini,.....” sahutku sambil meraih daun kering yang luruh pas dibahu Diazh.
“Ah, kamu bikin kaget aku.”
“Seorang prajurit tidak boleh kaget.”
“Kamu ada-ada saja.”
“Tuh, kan cuma mau lihat sejauh mana kesiapan mental seorang calon prajurit.”
Perbincangan kami berlanjut terus seputar cita-cita setelah lulus Ebtanas. Diazh balik bertanya padaku ingin tahu kemana nantinya lanjut setelah lulus. Aku termenung sejenak, lalu sekilas pandanganku kuarahkan keatas menatap langit biru yang tengah dihiasi awan berarak, lalu aku jawab singkat seadanya.
“Perawat.”
“Lalu motivasimu apa?”
“Tentunya pengabdian …….. !”
“Dan akan kurawat prajurit yang terluka ketika terjadi benturan dengan para pengunjuk rasa.” lanjutku dengan suara mantap.
“Hanya prajurit?” tanya Diazh dengan nada protes padaku.
“Termasuk pengunjuk rasa yang terluka kena pentungan petugas.” jawabku tegas meyakinkan Diazh.
“Itu baru adil, kamu Srikandi yang berhati mulia.” puji Diazh acung jempol padaku sembari mengelus rambutku yang kuurai panjang.
Lonceng sekolah berdentang bertalu-talu menyadarkan kami bahwa jam istrahat telah usai. Kami bangkit buru-buru menuju ruang kelas sambil menepis pasir yang melengket diujung rok berwarna abu-abu yang kukenakan. Keesokan harinya saat jam istahat tiba, Diazh lebih awal berada dibawah pohon itu. Diam-diam aku mendekatinya lalu menyapanya.
“Lapor Pak Kapten, mohon petunjuk apa yang harus kulakukan terhadap siswa yang tawuran.” kataku melapor sepertinya betul sungguhan terjadi.
“Eh, apa-apaan ini, sedikit-sedikit lapor, minta petunjuk segala, kamu kira aku ini pejabat Era ORDE BARU?” bentak Diazh padaku.
“Benar Pak Kapten, bukankah melapor juga namanya loyal, kalau tidak demikian terpaksa aku harus menanggung risiko untuk ditindaki, betul Kapten dan ini sudah sangat meresahkan!” ulangku lagi meyakinkan dia. Diazh bungkam, sejenak ia menatap keatas pohon ketapang sementara dahannya bergoyang tertiup angin lalu membuat daunnya yang kekuningan jatuh berhamburan disekitar kami.
“Begini Lisa.” kata Diazh setelah ia diam sejenak sambil menepuk pundakku. “Bagaimana sebaiknya Pak Kapten?” tanyaku lagi tak sabar.
“Tegas saja …… kalau perlu tembak ditempat jangan ragu-ragu bertindak, bagi siapa saja yang ingin coba-coba berbuat makar dan anarhis mengganggu stabilitas keamanan Negara kita!” perintah Diazh tegas.
“Tapi, …… tapi, …… “ jawabku gugup terbata-bata.
“Tidak ada, tapi-tapian.” bentak Diazh sekali lagi padaku.
“Tapi,........ aku hanya seorang perawat biasa, tak lebih dari itu, Pak Kapten.” kataku lirih dengan nada memelas memohon padanya.
“Oh, maaf suster, aku baru ingat.”
“Aku pula mohon maaf Pak Kapten.”
Sama-sama kami saling memaafkan sambil berpelukan dengan mesra sekali, tak sadar bahwa kami diperhatikan oleh sekian banyak teman-teman sekelasku yang berada disekitar kami. Merah rona wajahku menahan rasa malu, dan segera kami beranjak meninggalkan tempat itu menuju ruang kelas.
Hari bergulir begitu cepat, Ebtanas usai sudah, aku dan Diazh berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Tiga minggu kemudian, tiba-tiba aku menerima surat yang dikirim Diazh melalui POS yang isinya seperti demikian :.
LISA yang baik hati !
LISA, begitu aku terima surat panggilan dari panitia penerimaan calon Taruna AKABRI, begitu pula aku bergegas berangkat menuju Jakarta, karena diharapkan paling lambat satu minggu setelah diterimanya panggilan ini semua calon Taruna sudah harus melapor ke panitia untuk selanjutnya diadakan seleksi atau test tahap kedua. yaitu seleksi berkas. Kelak bila aku berhasil lulus seleksi tahap berikutnya, maka hampir pasti kamu panggil Kapten betulan padaku, bukan lagi Kapten bohong-bohongan seperti dulu, sekalipun kita sadar bahwa berkata bohong itu tidak baik, namun semua itu kuanggap suatu motivasi bagiku.
Lisa, perlu kamu catat, bahwa bencana atau melapetaka krisis berkepanjangan disegala bidang melanda bangsa kita hanyalah gara-gara kebohongan belaka, begitu banyak orang-orang berkata bohong membohongi orang-orang yang tidak pernah berkata bohong yang pada gilirannya rakyat kecil kena imbasnya. Hingga disini saja dulu pertemuan kita Lisa, mohon maaf karena aku tidak sempat pamit denganmu, berhubung karena keberangkatanku begitu tergesa-gesa dikejar waktu. Doamu kutunggu selalu.
Salam dariku,
Diash Asmara Dhara
Setelah selesai kubaca, surat itu kulipat kembali sebagaimana semula lalu kumasukkan dalam tas punggungku, kemana saja aku pergi surat itu kubawa selalu begitu gembiranya hatiku menerima kabar darinya.
Hari-hari begitu cepat berlalu, hari berganti bulan bergulir terus dari tahun ketahun berita dari Diazh tak kunjung juga kuterima. Menghitung hari dipenantian lama dengan lelehan air mata yang tak pernah kering. Kini Diazh tak tahu lagi kemana rimbanya. Jejaknya tak terbaca olehku.
Berjalan aku melintasi gedung sekolahku dulu, nampak kini masih tetap kokoh berdiri tegak dengan angkuhnya dan di belakangnya pula masih tetap tumbuh beberapa pohon ketapang rindang sebagai saksi bisu seolah berkata bahwa disini dulu ada dua insan remaja tengah memadu kasih bersumpah setia untuk sehidup semati bersedia membela kebenaran, berpihak kepada rakyat kecil dengan dedikasi pengabdian yang tinggi tanpa pamrih.
Pulanglah Diazhku, Kaptenku, aku menunggumu selalu hingga akhir hayatku.(*)

Makassar, 25 Pebruari 2002
Harian Pedoman Rakyat, 12 Mei 2002
Harian Radar Bulukumba, 17 Juni 2009

03.SURAT DARI MALAYSIA

Oleh : Hasbullah Said.-

SENJA temaram, dan mentari mulai condong kebarat. Udara rada dingin terasa sehabis hujan deras. Hanya sesekali hembusan angin senja menerpa pucuk-pucuk pohon harumanis tumbuh di samping utara rumahnya, membuat daunnya yang kering berguguran bertebaran menimpa atap seng itu melahirkan suara riuh memecah keheningan senja. Perempuan bernama Bungalia tersentak dari lamunnya ketika daun pintu kamarnya terkatub oleh terpaan angin seketika.
Didalam kamarnya itu, ia berbaring bermalasan menatap langit-langit kamarnya terbuat dari kayu lapis bercat putih telah kusam warnanya karena lama tak terawat. Tak ada barang atau perabotan mewah di dalamnya, kecuali sebuah dipan kecil terbuat dari kayu jati berhadapan dengan sebuah buffet berwarna hitam yang di atasnya terpajang foto sepasang pengantin Laila anak sulungnya dari dua bersaudara semuanya perempuan, bersanding di pelaminan dengan seorang perjaka asal Kerajaan Selangor Darul Ekhsan Negara Bagian Malaysia. Sungguh tak kuasa hati perempuan itu menatap wajah gambar putrinya yang sudah sekian lama berpisah dengannya mengikuti suaminya di Negeri Jiran Malaysia.
Hatinya di dalam kadang berontak meratap sedih menyesali pernikahan itu yang tega memisahkan dirinya dengan putri kesayangannya yang ia cintai. Pikirannya menerawang jauh, lalu mengembara ke alam khayal mengenang awal pertama kali Laila putrinya dilamar. Butiran-butiran air mata perempuan itu tak terasa mengalir menggelinding perlahan membasahi pipinya yang cekung mengenang masa itu, ……
***
Dari ruang tengah terdengar bunyi telepon berdering panjang dan dengan perlahan diangkat gagangnya, tak lama kemudian terdengar suara halus dari jauh di seberang sana.
“Saya Nanang Khairani, akan melawat ke Makassar di penghujung bulan ini.” ujarnya singkat dengan logat Melayu kental.
Lewat telepon itulah awal perkenalannya dengan anak perempuan Dato’ Haji Shaharudin bin Abd. Rahman, Penasehat Kerajaan Selangor Darul Ekhsan Negara Bagian Malaysia. Sahabat pena suaminya yang ia jalin dengan tulus suci sejak bertahun-tahun lamanya. Sungguh tak percaya ia dan diluar dugaannya bahwa suara itu berasal dari anak perempuan sahabat pena suaminya.
Perempuan itu masih menerawang jauh ketengah khayalnya yang tak bertepi, dan lewat jendela kamarnya dilihatnya awan dilangit semakin gelap yang menandakan sebentar lagi hujan deras akan turun. Dihatinya lahir kebahagiaan yang diliputi rasa haru karena ia akan kedatangan tamu dari Kerajaan Malaysia, dan berita gembira itu segera disampaikan kepada suaminya.
“Daeng, kita akan kedatangan tamu dari Malaysia.”
“Pak Dato’?”
“Ya, beserta anak perempuannya bernama Nanang Khairani.”
“Dimana kamu tahu?” lanjut suaminya bertanya.
“Dia meneleponku.”
“Alhamdulillah.” sahut suaminya dengan nada gembira.
Seminggu kemudian disusulnya lagi lewat telepon menyampaikan bahwa ia akan datang bersama ayahnya Dato’ H. Shaharudin beserta suaminya dan kedua anaknya. Betapa gembira hati Bungalia bersama suaminya mendengar berita itu.
***
Malam telah tiba dan di sekeliling rumah Bungalia mulai gelap gulita, sepi sekali terasa suasana kampung itu karena letaknya berada di pinggiran kota, kecuali bunyi suara kodok bersahut-sahutan di rawa-rawa memecah keheningan malam sehabis hujan deras. Bungalia masih hanyut terbawa oleh arus emosi kepedihan hatinya. Ia bangkit dari tidurnya lalu dinyalakan lampu kamarnya, diraihnya gambar Laila kemudian diciumnya seraya berbisik, bila kau datang anakku, mama telah lama merindukanmu.
Hari berduyun datang pergi silih berganti yang akhirnya setahun lewat tak terasa kedatangan Nanang Khairani sekeluarga dirumah Bungalia telah berlalu, tinggal kenangan manis ketika mereka berkumpul bersama di rumahnya dengan penuh kehangatan, keakraban serta rasa kekeluargaan. Sungguh mati, masa itu suatu kenangan yang tak terlupakan dalam hidupnya untuk selamanya.
Malam ini Bungalia tertidur dibuai mimpi yang indah, dalam tidurnya dilihatnya sebuah rumah adat Bugis-Makassar beratapkan daun nipah berdampingan dengan sebuah rumah adat Melayu dihubungkan dengan anak tangga terbuat dari kayu hitam berukirkan relief aksara lontarak, namun sayangnya mimpinya itu buyar karena ia terjaga dari tidurnya ketika terdengar sayup-sayup sampai alunan suara adzan disurau pertanda waktu Sholat Subuh telah tiba, sehingga berakhirlah sudah mimpinya yang indah.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 13.00 siang, cuaca amat gerah ketika itu, Bungalia baru saja pulang dari tugasnya mengajar, didepan pintu masuk diatas kursi teras ditemuinya sepucuk surat yang pengirimnya beralamat :
No.22 Jln. S.S. 14/6-475000 Subang Jaya
Selangor Darul Ekhsan - Malaysia.
Dengan tak sabar dibukanya sampul surat itu kemudian segera dibacanya yang isinya demikian.

Kepada Yth.
Ibu Bungalia Dg. Puji Sekeluarga di Makassar.
Dalam masa sekejap, akan saya utus ke Makassar, duta untuk pertautan Bugis-Makassar dengan Melayu, agar lebih mempererat tali silaturahim kita maksudnya, sudilah dipertautkan adik bungsu saya bernama Zulkarnaen, bersama putri sulung Bungalia yang bernama Laila. Seandainya tak ada jodoh, tetaplah kita menjalin persahabatan yang suci. Maaf kecerobohan saya melalui warkah yang sangat menyimpang dari adat kebiasaan suku Bugis-Makassar.


Salam dari saya,
ttd.
Nanang Khairani
dan keluarga

Setelah selesai membaca surat itu dilipatnya kembali kemudian dimasukkan ke dalam sampulnya seperti semula. Bungalia tertegun lama sehabis membaca surat itu, isinya singkat dan ia paham akan segala maksudnya. Ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan perlahan menuju samping rumahnya bernaung di bawah pohon harumanis duduk di atas balai-balai bambu, di rasakannya begitu sejuk angin siang berhembus perlahan mengelus tubuhnya yang kegerahan.
Dari atas dahan harumanis bertengger sepasang burung murai berkicau dengan girangnya menyambut siang hari yang cerah. Seolah nyanyi sunyi anak gembala di tengah padang rumput yang hijau, sepertinya pula nyanyi haru seorang Ibu yang tengah diliputi kebimbangan. Dibacanya kembali surat Nanang Khairani itu sekali lagi, sepertinya ia tak percaya akan isi surat itu.
Ketika suaminya datang disodorkannya lalu dibacanya pula bersama, dan mereka larut dalam keharuan berbaur bahagia. Hal itu disampaikannya pula kepada seluruh sanak famili akan maksud baik keluarga Dato’ Haji Shaharudin dan mufakat pun disetujui gayung bersambut. Tinggal keputusan Laila anaknya yang tengah mengikuti praktek kuliah di pedesaan sebagai pra-syarat dalam penyelesaian studinya dibidang ilmu perikanan.
Dikirimnya surat buat Laila, memanggil ia pulang.
“Bolehkah engkau izin kepada Kordesmu untuk pulang sebentar dalam liburan minggu ini. Mama sangat rindu dan mengharapkan kehadiranmu dirumah.” Demikian antara lain isi suratnya yang singkat memanggil Laila pulang dengan tujuan untuk menyampaikan maksud surat Nanang Khairani yang baru-baru ia terima.
Bungalia duduk berhadap-hadapan dengan Laila didalam kamarnya diatas tempat tidurnya yang sempit, betapa berat rasanya untuk memulai membuka bicara dengannya. Dibelainya rambut Laila yang diurai panjang hingga ke bahu, lalu perlahan hati-hati ia mengutarakan tentang maksud surat Nanang Khairani, dan …., dari balik kamar terdengarlah isak tangis dua insan lemah yang tak berdaya. Dengan suara serak Bungalia melanjutkan bicaranya.
“Aku tak ingin engkau seperti St. Nurbaya dalam novelnya Marah Rusli memaksakan keinginan kedua orang tuanya dan engkau harus mengiya hanya keterpaksaan, karena orang tuanya dalam kesulitan membayar utang-utangnya kepada Datuk Maringgi saudagar kaya tapi bengis, aku tak ingin seperti itu anakku.”
“Yang kuinginkan, engkau setuju dengan segala ketulusan hatimu yang paling dalam lagi ikhlas, sebagai pertanda anak berbakti kepada kedua orang tuanya.” lanjutnya sedih.
Di dalam kamar itu lama tak ada suara kedengaran, Laila merunduk diam seperti patung, lama ia tak menyahut, sepertinya ada yang mengganjal hatinya yang gunda, kecuali butiran-butiran air matanya mengalir deras membasahi tempat tidurnya, tak kuasa ia menantang wajah Bungalia mamanya yang juga dalam keharuan.
“Jawablah anakku.” desaknya sekali lagi.
Keduanya diam, tak ada suara dalam kamar itu, hening seketika, kecuali kesiur angin diluar berhembus perlahan menggoyang pucuk-pucuk harumanis di samping rumah, membuat suasana semakin mencekam sepi. Laila bergeser ke depan kemudian ia menghempaskan tubuhya ke atas pangkuan mamanya sembari berbisik dalam tangisnya yang terisak.
“Kalau itu sudah merupakan keputusan Mama dan Papa, Laila setuju saja, karena selama ini belum ada apa-apa yang Laila berikan sebagai tanda baktiku kepada kedua orang tuaku yang telah bersusah payah membiayaiku dan membesarkanku.”
“Akan ……… tetapi, …………. satu pintaku, Ma.” lanjutnya dengan suara yang terputus-putus diiringi derai air mata membasahi pelupuk matanya laksana butiran-butiran mutiara berjatuhan dari atas ranting kayu. Ujung-ujung jemarinya yang halus menyeka perlahan air matanya, kemudian dia lanjutkan bicaranya.
”Nanti setelah kuliahku usai.” ujarnya lirih.
“Baik, terima kasih anakku.” jawab Bungalia singkat sembari merangkul memeluk anaknya menciumi kedua belah pipinya yang basah penuh dengan air mata tanda keharuan, diiringi isak tangis yang memilukan hati, tangis bahagia ………
***
Hari silih berganti dan tak terasa tiga tahun silam telah lewat peristiwa itu. Laila kini bermukim di Kuala Lumpur Malaysia dalam suasana bahagia bersama Zul Abangnya, dan kini telah melahirkan pula seorang putri pertama yang sangat cantik, lucu lagi lincah, diberinya nama “Aiman Shahirah.”
Di ufuk timur mentari pagi telah memancarkan cahaya merah kekuning-kuningan dan burung murai di atas dahan bernyanyi ria seolah ia menyambut pagi hari yang cerah, dan sebentar lagi Bungalia akan meninggalkan rumah berangkat menuju tempat tugasnya mengajar sebagai guru sekolah.
Terbayang olehnya cucu Shahirah yang lucu itu merengek-rengek kepada Laila mamanya minta dibelikan boneka panda mainannya, seperti kegemaran Laila ketika dulu ia masih kanak-kanak, tapi itu hanyalah khayalan belaka, …………. kecuali dalam hatinya selalu berbisik dan berharap.
“Bilakah kau datang anakku, mama tersiksa dalam belenggu kerinduan.” bisiknya dalam hati sambil menyeka air matanya, lalu ia beranjak pergi meninggalkan rumahnya menuju tempat tugasnya mengajar.
Bayang-bayang peristiwa silam itu perlahan-lahan buyar ketika ia memasuki ruangan kelas tempatnya mengajar disambut oleh anak muridnya dengan suara serempak memberi salam hormat kepadanya.
“Selamat pagi Bu guru.”
“Selamat pagi anak-anakku.” balasnya dengan melempar senyum kepada murid-muridnya.(*)

Makassar, 15 Agustus 1998
Harian Pedoman Rakyat, 11 Oktober 1998
Harian Radar Bulukumba, 06 Juni 2009

04. BUNGA - BUNGA SIMPATIK

Oleh : Hasbullah Said.-

SENJA temaram menyisakan bayang-bayang panjang melintang disepanjang Jalan Penghibur. Roda-roda ban sepeda motor Suzuki-ku terus berputar menggilas rata bayangan itu menuju arah utara kota, menyebarkan asap putih berhamburan menutupi hampir seluruh ruas Jalan Penghibur.
Begitu laju kularikan membuat rambut Kartika acak-acakan menepis-nepis wajahnya oleh terpaan angin kencang. Berpegang erat melingkar di pinggangku pertanda cemas tak setuju dengan kecepatan tinggi. Namun tetap juga kularikan di atas rata-rata normal, sekalipun aku tahu dia merasa katakutan dibelakangku.
“Jalan-jalan sore, atau cari mati?” tegur Ika cemas dibelakangku dengan suara hampir tak terdengar olehku, karena suaranya ditelan oleh kesiur derasnya angin.
“Aku tak suka anak cengeng!”
“Mana yang kau suka aku loncat kebawah biar aku mati sendirian, atau kita mati berdua menggenaskan karena kecelakaan.“ ancam Ika dengan suara lirih.
“Dua-duanya aku tak suka.“ ujarku sambil menikung miring kayak balapan betulan mengitari bundaraan Jalan Riburane balik kearah selatan persis tepat depan Benteng Rotterdam.
“Stop, turunkan aku disini, jantungku mau copot!“ pinta Ika emosi sembari mencubit punggungku tanda tak senang dengan kecepatan tinggi.
“Tujuanku memang disini, depan Benteng untuk istirahat sambil bercanda bersama kamu.” kataku menyabarkan Ika sambil berjalan membimbing tangannya memasuki taman bunga duduk di atas bangku beton.
“Kamu perempuan nekad.” kataku memulai bicara setelah kami duduk bersama di atas bangku beton itu.
“Memangnya kenapa?”
“Kamu tak takut mati, ingin loncat dari atas sepeda motor yang sedang melaju, lalu kemarin kamu ikut unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah protes rencana kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik, tarif telepon dan kenaikan tunjangan bagi anggota DPR, sehingga terjadi saling dorong-mendorong didepan kantor DPR dengan petugas aparat keamanan disertai todongan laras senjata mengarah padamu, apa kau tak takut mati Ika?”
“Mati, siapa takut?” idealisme perjuangan mahasiswa tidak pernah mengenal takut dan mati sekalipun, kendati sudah banyak korban berjatuhan, karena keberpihakan pada kebenaran membela rakyat yang lemah, itulah wujud kepedulian mahasiswa memberantas segala kezaliman, ketidakadilan, kesewenang-wenangan oleh pihak penguasa.” jawab Ika dengan nada emosi.
“Ehem, apa kamu yakin semua perjuangan dan tuntutan mahasiswa itu murni?” aku mendehem mencibir Ika.
“Ya, aku yakin.” katanya pasti.
“Ah, Money Politik.” kataku memancing emosi Ika.
“Enak aja menuduh, memangnya mahasiswa banyak duit?” protesnya dengan nada emosi.
“Mau apa lagi, kan sudah ada lembaga yang diserahi tanggung jawab mewakili suara rakyat.”
“Tidak ada unjuk rasa sekiranya lembaga itu betul-betul aspiratif memba- wakan suara hati nurani rakyat.”
“Itulah sebabnya mahasiswa sering turun kejalan menentang kebijakan pemerintah karena sering bertentangan dengan tuntutan hati nurani rakyat. Buktinya bahan bakar minyak rencana naik, tarif dasar listrik, tunjangan anggota DPR naik antara 60 hingga 75 persen, suatu perimbangan kenaikan yang tidak adil dan realistis sementara perekonomian kita carut-marut membuat rakyat kecil termasuk pegawai negeri tingkat bawah semakin terpuruk, jurang pemisah antara sikaya dan simiskin semakin menganga lebar.” lanjut Ika dengan suara agak meninggi.
“Sudah … sudahlah Ika, jangan kita terlalu jauh bicara soal politik, kita bicara yang ringan-ringan saja, sekalipun aku turut dirugikan oleh kelompokmu karena rencana kenaikan gaji bagi PNS tertunda pembayarannya.”
“Baru rasa.” cemoh Ika padaku.
“Ika, kapan kuliahmu selesai?” tanyaku mengalihkan kepembicaraan lain.
“Masih lama, semester depan baru ikut KKN, kenapa?” balik Ika bertanya padaku.
“Tidak.”
“Ehem, aku tahu kamu menghendaki statusku cepat berubah jadi alumni, agar tidak lagi ikut unjuk rasa.”
“Iya, khan?” desak Ika.
“Betul sekali Ika.”
“Berarti kamu tidak dukung perjuanganku bersama teman mahasiswa lainnya membela kebenaran, berantas KKN dan penyelewengan lainnya.”
“Dukung sih dukung, tapi tidak dengan cara seperti itu, tiap hari banyak jatuh korban dari kedua belah pihak, keamanan dan mahasiswa, aku tak tega melihatmu digiring selalu oleh aparat keamanan dengan sekujur tubuhmu babak belur bekas pentungan.”
“Namanya perjuangan.”
“Perjuangan atau sikap arogansi mahasiswa?”
“Aparat keamanan yang arogan.” bantah Ika, dengan tatapan mata tajam padaku.
“Sama-sama arogan.” tangkis aku tak mau kalah.
“Seyogianya aparat keamanan bertindak bijaksana persuasif.” pinta Ika dengan nada sedikit lunak.
“Juga mahasiswa seharusnya turun kejalan dengan aksi damai, tidak dengan anarkis agar tidak terjadi benturan antara aparat keamanan dengan kelompok mahasiswa pengunjuk rasa.” balasku tak hilang akal.
“Iya, toh Ika?” Ika tak menyahut, wajahnya tampak merah padam menahan emosi hatinya.
Malam telah tiba. Lampu taman menyala serentak membiaskan cahaya terang menerpa di atas permukaan rumput taman. Pantai Losari semakin ramai dipadati oleh pengunjungnya. Hingar bingar suara kendaraan lalu lalang dihadapan kami. Ika diam lalu membathin. Pandangannya jatuh keatas hamparan laut biru dihiasi kerlap-kerlip lampu nelayan yang tengah mencari ikan.
“Ika, maafkan aku.” kataku lembut setelah lama kami terdiam.
“Egois, tidak ada rasa cinta dan kepekaanmu terhadap sesama manusia yang tengah dihimpit kesusahan dan kesulitan ekonomi, akibat kebijakan pemerintah yang tidak realistis sementara perekonomian rakyat semakin terpuruk nyaris tak berdaya.”
“Sungguh, aku mendukungmu Ika, dan aku akan buktikan besok.” balasku dengan nada penuh kesungguhan.
“Kenapa mesti besok?”
“Besok akan ada rapat akbar bertempat di halaman depan gedung Rektorat kampus Merah Tamalanrea, yang akan dihadiri oleh beberapa Guru Besar PTN dan PTS serta mahasiswa dan karyawan yang tergabung dalam KPN-PNS (Komite Perjuangan Nasib Pegawai Negeri Sipil) dari berbagai instansi pemerintah di kota ini. Bakalan ramai Ika, karena pembawa orasi adalah Guru-guru besar. Aku akan turut serta dalam aksi itu sebagai pernyataan dukunganku terhadap perjuanganmu dan juga rasa solidaritas terhadap PNS kelompok bawah.“ Ika menatapku dengan sorot mata tajam. Kulihat matanya sembab menahan kepedihan hatinya. Sepertinya ia kurang yakin atas pernyataanku.
“Kenapa kamu berubah pikiran balik 180 derajat, bukankah kamu sebagai seorang pegawai negeri sipil.”
“Apa artinya sebagai seorang pegawai rendahan, dan ini pernyataan dukunganku terhadap perjuanganmu Ika, percayalah padaku!” kataku meyakinkan dengan ekspresi wajah penuh keseriusan.
“Apa kamu tidak takut dipecat oleh atasanmu?”
“Bukan zamannya lagi seperti zaman dulu, semau gue penuh kepura-puraan dan kebohongan.”
“Dulu kapan?” tanya Ika serius.
“Dulu, sesudah Orde lama, kira-kira apa namanya Ika?” balik aku bertanya.
“Ya, tentu Orde Baru.” jawab Ika bersemangat.
“Nilai A plus buat Ika, kamu memang gadis cerdas.” candaku memuji Ika.
“Ika, panggilku pelan minta perhatian serius darinya sembari memegang pundaknya. Aksi damai Ika, tidak brutal dan anarkhis seperti apa yang kau bayangkan, karena yang ikut aksi nanti banyak-banyak karyawan dan intelektual kampus, mereka paling tidak suka terhadap kekerasan namanya saja aksi damai.
Baru kali ini terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran seperti itu, bahkan bunga-bunga simpatik telah dipersiapkan begitu banyak untuk dibagi-bagikan besok kepada siapa saja yang lewat di Jalan Perintis Kemerdekaan dan sekitarnya, terutama akan diberikan khusus kepada aparat keamanan nanti, tentunya mereka akan menerimanya dengan rasa senang hati karena bunga atau kembang suatu simbol tanda cinta damai. Semoga esok hari aksi damai berjalan lancar dan tidak terjadi hal-hal yang sama kita tidak inginkan.”
“Mudah-mudahan Fikram.” potong Ika bersemangat.
“Makanya, jangan kamu terlalu cepat apriori terhadapku, solusinya kita kan selalu cari jalan yang terbaik.“ Ika mengangguk senyum pertanda mulai yakin padaku.
“Maafkan aku Fikram.“ pinta Ika padaku dengan suara serak sepertinya ada penyesalan lahir dari dalam lubuk hatinya, sembari mengulurkan tangannya menyalami aku.
“Sudahlah sayang, tak usah kita persoalkan lagi.”
“Kamu datang besok toh, Ika.” ujarku lagi.
“Pasti, dan pasti aku datang, dimana kita ketemu nanti?” tanya Ika.
“Masuk melalui pintu I, dan kita ketemu nanti didepan gedung Rektorat.”
“Eh Fik, hampir aku lupa.”
“Apa lagi sayang. “
“Tolong berikan aku besok sekuntum bunga warna merah.”
“Untuk siapa?”
“Untuk seseorang pengunjuk rasa yang membagikan bunga kepada aparat keamanan.” jawab Ika serius.
“Gila kamu kali!”
“Sungguh, aku sangat mengharapkanmu.”
“Nanti besok.”
“Boleh aku tahu siapa orangnya?“ kembali aku bertanya.
“Orangnya ada di dekatku yang duduk disampingku, sebagai wujud rasa simpatiku padanya, karena visi dan misi perjuanganku sama.” mataku melotot menatap wajah Ika dengan senyum sumringah. Pandangan kami berbenturan. Dua pasang mata bertatapan. Mata Ika nampak berbinar kayak bintang kejora pertanda bahagia.
“Terima kasih.” kataku sembari membimbing tangan Ika beranjak meninggalkan taman itu.
Sepeda motor Suzuki-ku kembali kularikan dengan kecepatan dibawah rata-rata normal kearah selatan kota menuju rumah pondokan Ika.
“Selamat malam Ika.”
“Selamat malam Fikram, sampai jumpa besok di kampus Merah.” balas Ika sembari berjalan masuk ke pondokannya.(*)

Makassar, 10 April 2000

Harian Pedoman Rakyat, 13 Agustus 2000
Harian Radar Bulukumba, 03 Juni 2009

05.SURAT DARI MAKASSAR

Oleh : Hasbullah Said.-

LANGIT melingkar berselimut kelam. Hitam sekali. Tak satupun bintang nampak berkedip. Air langit lebat, sebentar lagi turun mengguyur segala apa yang ada dibumi. Angin berhembus lembut mengelus kulit ari menyeruak masuk ketulang sum-sum dingin terasa untuk ukuran seperti biasa.
Malam perlahan-lahan datang merangkul orang-orang yang tengah sibuk menyiapkan apa adanya untuk hari Raya Lebaran Idul Fitri pagi esok, hari ke-menangan bagi ummat muslim.
Dari balik puncak menara mesjid terdengar suara takbiran menggema memecah keheningan malam Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilham, memuji kebesaran Asma Ilahi, diiringi dentuman petasan disela-sela suara takbiran meninggalkan kesan haru bagi orang-orang yang mendengarnya.
Bulan Suci Ramadhan bergulir perlahan bergeser menuju hari-hari berikutnya dengan lelehan air mata, memohon pengampunan dosa kepada Yang Maha Kuasa.
Kota Kuala Lumpur sepertinya terjaga dari lelap tidur panjang oleh serentetan bunyi petasan disusul hiasan kembang api warna-warni terpencar membelah langit biru berselimut kelam.
Sehari sesudah itu ketika malam tiba, Isma duduk diruang tengah, menatap lurus pandangannya jatuh pada gambar-gambar yang di sodorkan oleh TV3 Malaysia menayangkan seputar peristiwa Negeri Jiran Indonesia.
Terbius oleh berita itu, bergeser ia agak kedepan agar lebih jelas inderanya menangkap tayangan-tayangan sembari mengusap matanya berkali-kali untuk meyakinkan pada dirinya bahwa apa yang dilihatnya itu bukanlah suatu mimpi buruk yang tengah melanda bangsa Indonesia tanah airnya.
“ Sekitar 60 orang telah tewas dan ratusan rumah ibadah hangus dibakar massa akibat kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon sehabis Sholat Idul Fitri pagi tadi.”
Mendengar berita itu, Isma mengelus dada dengan helaan nafas panjang sembari mengucap Istigfar berulang-ulang kali. Seminggu yang lalu ia menerima surat dari ibunya di tanah Mangkasarak tempat ia dilahirkan. Luka. Setumpuk keluhan tergores disana. Tak nampak karena jauh, tapi mata hatinya didalam melihat segala kejadian, dan kini ia turut meratap sedih sesunggukan. Ika adiknya minggu depan akan ujian skripsi sebagai pra-syarat untuk meraih gelar S1. Berarti ia butuh biaya yang tak sedikit jumlahnya. Sementara pesangon yang diterima ayahnya sebagai konpensasi pemutusan hubungan kerja diperusahaan swasta dimana ia bekerja, hanya cukup untuk menutupi utang-utang yang menumpuk, itupun harus nombok karena masih banyak yang belum terlunasi.
Paham betul ia akan maksud surat itu. Satu-satunya tumpuan harapan orang tuanya dialah seorang karena terlahir hanya dua bersaudara semuanya perempuan. Dalam surat ibunya diungkapkan, krisis ekonomi yang berkempanjangan sangat mempengaruhi hidup hari-harinya nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Mungkin nasib baik belum berpihak kepadanya.
Suatu indikasi yang memperburuk suasana membuat terpuruknya perekonomian bangsa, adalah gejolak politik yang berkepenjangan yang bermuara kepada maraknya aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi dimana-mana, penjarahan, perampokan, pertikaian antara kelompok, pembakaran rumah-rumah ibadah, pembunuhan dukun santet dan setumpuk lagi perbuatan anarkhis yang tak sempat disebut satu persatu.
“Mengapa mesti terjadi demikian?” tak putus tanya Isma dalam hatinya. Dibacanya sekali lagi surat ibunya......... Anakku, bangsa kita kini dalam suasana hidup ketidak pastian diliputi rasa kecemasan dengan bentangan permadani reformasi di segala bidang yang diharapkan, belum juga kunjung terwujud, sementara kondisi perekonomian bangsa kita semakin terpuruk, oleh krisis ekonomi keperpanjangan. Luka dihati rakyat semakin hari semakin menganga lebar dengan rintihan kepedihan yang tak tertahankan, karena ketidak mampuan meraih segala kebutuhan hidup yang semakin menggila.
Anakku, malu dan amat malu bunda paparkan lebih jauh kepadamu terlebih Abangmu, suamimu dan seluruh kerabat keluarganya yang ada di Malaysia tentang keadaan bangsa kita saat ini. Entah apa nama bangsa ini. Kesatuan dan rasa cinta kebangsaaan semakin tercabik-cabik terkikis habis menepi menuju jurang kehancuran. Hal ini bunda katakan dengan sejujurnya, Akh…, katakan saja negara krisis, krisis ekonomi, krisis kepercayaan dan krisis segala-galanya. Indonesiaku adalah Indonesiamu, tumpah darahku juga tanah tumpah darahmu, sekalipun engkau telah beralih warga negara mengikuti suamimu yang terlahir sebagai warga negara Malaysia tulen. Bunda yakin kau masih memiliki rasa kecintaan kebangsaan yang tinggi karena kau dilahirkan di tanah persada Indonesia tercinta ini, tanah Mangkasarak kota Daeng. Bangsa kita dulu penuh kerukunan dan kedamaian walau terdiri dari berbagai corak ragam agama dan etnis, tak sepertinya dulu lagi, Indonesia kini tak ubahnya bagaikan panggung sandiwara raksasa, dengan mempertontonkan episode-episode kekuasaan yang penuh dengan kepura-puraan dan kebohongan yang dilakonkan oleh tokohnya yang disebut Orde Baru. Ironisnya, para penonton juga orang yang berpura-pura di atas kebohongan. Belum sempat drama itu berakhir tiba-tiba datang gelombang TSUNAMI memporak-porandakan seluruh aktivitasnya, diguyur oleh derasnya hujan reformasi disegala bidang, membuat para pelakunya lari terbirit-birit mencari tempat yang lebih aman.
Akh…, entah apa nama judul drama itu, katakan saja drama maut yang menyengsarakan rakyat selama bertahun-tahun lamanya.
Ketika Rezim Orde Baru tumbang, tak sedikit pakar politik muncul kepermukaan dengan berbagai wejangan yang semakin membingungkan masyarakat awam.
Mampukah ia bangkit kembali setelah terpuruk? Bagaikan layangan putus, kemana angin berhembus kesitu pula ia berada. Kemanakah bangsa ini akan dibawa.
Anakku, lewat media cetak dan elektronik dinegerimu tentunya, engkau akan tersiksa dalam kecemasan membaca berita issu simpang siur tentang bangsamu yang tengah dilanda oleh maraknya berbagai macam kerusuhan.
Isma terhenti sejenak membaca, lalu ia menyeka air matanya yang jatuh berlelehan dengan punggung tangannya, kemudian ia lanjut membacanya.
Pupuslah sudah segala harapanku untuk tenang di negeri ini, berangan-angan hendak hijrah mencari ketenangan hidup di negerimu Malaysia yang kaya raya lagi tentram aman damai, akan tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan karena banyaknya pendatang haram yang dipulangkan.
Himpitan penderitaan yang berkepanjangan membuat rakyat kecil seperti Ibumu, selalu mencari jalan keluar dalam lingkaran setan yang membelenggu.
Ketidak berdayaan oleh himpitan beban krismon yang serba susah, ayahmu bangkit tertatih-tatih mencoba membangun kehidupan baru di atas puing rentuhan yang terlanjur ambruk.
Dengan mengandalkan pengalaman kerja bertahun-tahun lamanya di perusahaan swasta, disodorkannya kepada siapa saja. Jawabannya hampir-hampir sama, maaf tidak menerima karyawan baru, perusahaan kami sementara penciutan organisasi karena terancam gulung tikar.
Surutlah ia kebelakang dengan mengelus dada kepasraan menghabiskan sisa-sisa usianya hanya untuk mengabdi semata kepada Khalik-nya agar impas di dunia ini berdarah-darah menerima sial sejuta kesusahan, akan tetapi tersenyum bahagia kelak di alam sana. Sesudah itu ayahmu sering sakit-sakitan, mungkin trauma menerima nasib sial seperti itu.
Hari-hari kulewati bersamanya dengan was-was kecemasan. Pesta demokrasi sudah diambang pintu anakku, Bayangkan, puluhan partai politik akan ikut bertanding dengan mempertaruhkan segalanya, nilai harga diri dan cinta kebangsaan telah tercabik-cabik oleh ambisi kedudukan yang selalu dikejar-kejar.
Paling menakutkan lagi, pakar politik dinegeri ini sering meramal akan terjadi pertumpahan darah yang tak dapat dielakkan bilamana semua per-masaalahan tidak dapat diselesaikan dengan arif bijaksana. Ramalan seperti itu sering menghantui pikiranku. Akh........., sungguh mengerikan.
Timbul tanya dalam benak yang sulit terjawab. Sampai kapankah rakyat disini bertahan dalam penantian kedamaian. Anakku, hanya satu harapan dalam penantian, dipercepatnya Pemilu yang demokratis, jujur dan adil dengan terbentuknya pemerintahan baru yang bersih terbebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) agar bangsa kita terhindar dari ancaman malapetaka yang mengerikan.
Kuharap balasan darimu dengan berita yang menggembirakan agar hatiku-
terhibur. ­
Peluk cium dari Ibundamu,
Bungalia
Malam merangkak perlahan ke ambang larut. Isma hendak beranjak dari duduknya, tiba-tiba Abangnya telah berdiri di belakangnya sembari memegang pundaknya.
“Sudahlah dik Isma, minggu depan kita ke Makassar!” bujuknya me-nenangkan hati Isma.
“Bagaimana Bang, penerbangan Mas Kuala Lumpur-Makassar sudah lama tutup.” ujar Isma istrinya dengan nada lirih.
“Kita lewat laut saja, menyeberang melalui pulau Batam terus ke Kijang kemudian kita langsung ke Makassar, biar lambat tapi sedikit irit biaya.”
“Kamu setuju tokh, Isma?” tanya Abangnya.
Isma mengangguk tanda setuju, lalu menatapnya senyum dengan sorot mata penuh harap sembari berjalan bergandengan tangan masuk ke kamar tidurnya, karena malam perlahan merangkak menuju titik larutnya.(*)

Makassar, 02 Januari 2000

Harian Fajar, 28 Pebruarii 2000
Harian Radar Bulukumba, 10 Mei 2009

06. DI ATAS KM. BUKIT SIGUNTANG

Oleh : Hasbullah Said.-

PERLAHAN-LAHAN KM Bukit Siguntang menghindar menjauhi dermaga pelabuhan alam Bau-Bau hendak bertolak menuju Kota Makassar, dan tak lama kemudian kapal itu kembali melaju membelah laut biru, menyisakan busa-busa putih kayak kapas berhamburan lari berkejaran di kedua belah sisi kapal menuju buritan.
Gadis itu masih juga berdiri bersandar diteralis pengaman kapal dek 4, menatap ke atas bukit ketinggian tempat keraton Sultan Buton nampak samar-samar semakin lama semakin mengecil tinggal titik noktah kebiruan dari jauh, dan akhirnya hilang lenyap sama sekali di pandangan mata. Selamat tinggal Kota Bau-bau Kota Kerajaan Buton yang Bertaqwa.
Diatas kapal sarat penumpang berbaur bersama eksodus asal Tual, Ternate dan Ambon tujuan Makassar-Surabaya. Begitu padatnya penumpang sehingga sangat sulit untuk merebahkan tubuh dengan sempurna, ditambah dengan barang bawaan yang mengambil banyak tempat. Ruang gerak sangat terbatas oleh jejal-jejal manusia berhimpitan memenuhi hampir seluruh ruang kapal, mulai lorong-lorong kamar hingga koridor paling luar.
Tidak peduli dengan terpaan angin kencang atau pun percikan air laut senantiasa datang tiba-tiba ketika ombak besar menghempas dari arah haluan kapal, yang penting dapat terangkut dan tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Saya beserta tiga orang teman lainnya hanya mampu memperoleh tempat dekat pintu keluar menuju koridor dek 4, duduk bersandar sambil sesekali menjulurkan kaki ke depan melemaskan otot-otot karena kecapaian.
Di kapal memang sangat tersiksa dan menderita, ditambah gerah udara pengap karena AC pendingin sepertinya tak mampu berfungsi normal akibat sesaknya penumpang.
Matahari pagi dari arah timur memancarkan cahaya kuning tembus lewat kaca jendela pintu berbentuk bundaran bola kaki. Lola gadis itu sepertinya telah kecapaian berdiri diluar lalu kembali ia berjalan masuk menuju kelas ekonomi persis di mulut lorong tempat ia merebahkan tubuhnya. Sial baginya, ketika untuk kedua kalinya ia berjalan buru-buru hendak keluar menuju koridor, Lola jatuh tersandung oleh kaki saya yang terjulur ke depan, membuat mukanya merah menahan rasa malu. Berkali-kali ia mohon maaf padaku, namun saya jawab.
“Tidak, saya yang mohon maaf karena kakiku jorok membuat engkau terjatuh.” kataku iba, merasa kasihan melihat ia terjerembab tepat di hadapan kami disaksikan oleh banyak penumpang lainnya. Rasa penyesalan selalu datang mengejar-ngejarku menghantui pikirannku seolah berdosa besar terhadapnya.
“Kaki yang nakal hukumannya harus dipotong biar buntung supaya dia rasa.” kelakar Karim temanku pura-pura bela gadis itu.
“Demi keadilan, yang salah harus dihukum.” timpal Sehu di dekatku dukung Karim.
“Eh, enak saja, kapan kalian jadi pengacara, persoalan kecil begini ramai-ramai ingin jadi pahlawan kesiangan.” kataku geram pada mereka.
“Namanya negara hukum, tentunya supremasi hukum harus ditegakkan dan dijunjung tinggi.” ujar Dini di sampingku menimpali.
“Tapi ini kan di atas kapal.” bantah aku, agar tidak menjadi perhatian bagi penumpang lainnya.
“Di mana pun kita berada hukum tetap harus ditegakkan, sekalipun di hutan belantara yang tak berpenghuni, apalagi diatas kapal yang dipadati oleh banyak penumpang.” ujar Sehu sekali lagi dengan nada serius.
“Kalau kebal hukum, kita serahkan saja ke pengadilan rakyat, biar rakyat ramai-ramai menghakiminya.” teriak Dini mengancam aku.
“Akh …, sudah …, sudahlah, cepat-cepat minta maaf padanya, biar jatuh vonis bebas tanpa syarat.” desak Karim padaku dengan mimik sungguhan.
“Oke,” kataku sembari mengulurkan tanganku menyalami gadis itu disertai ucapan maaf yang disambut dengan sedikit grogi karena rasa malu.
“Kenalkan, namaku Iwan, kami berteman 4 orang hendak balik ke Makassar sehabis mengadakan penelitian dampak pencemaran laut disekitar perairan Pulau Buton dan Muna.”
“Ini Karim, kemudian di sampingnya namanya Sehu, dan di sebelahnya lagi namanya Dini.” lanjutku memperkenalkan satu-persatu kepadanya.
“Namaku Lola, naik di dermaga Pelabuhan Yos sudarso Ambon tujuan Makassar.” balasnya sambil melempar senyum malu padaku.
“Kulihat kamu sepertinya gelisah tak sabaran duduk berlamaan di tempatmu, sebentar keluar sebentar masuk, ada apa Lola?” tanyaku ingin tahu. Lola cuek dan tak menyahuti tanyaku, lalu ia bangkit kembali hendak beranjak menuju koridor tapi aku cegat.
“Tunggu …, aku ikut denganmu!” begitu pintaku sambil berjalan mengikutinya dari belakang.
“Lola, sekali lagi aku mohon maaf.“ kataku dengan nada memelas sembari menepuk pundaknya lalu aku berdiri di sampingnya sama-sama berpegang pada terali pengaman kapal yang terbuat dari kayu jati.
“Tak usah dibesar-besarkan, sudahlah….., kita sama-sama khilaf.“ katanya lembut menyabarkan aku.
“Terima kasih.” ujarku perlahan.
“Tapi kulihat kamu nampak gelisah dan tak tenang di tempatmu?” lanjutku bertanya.
“Makassar sudah dekat, aku ingin lihat dari jauh sebelum kapal sandar merapat di dermaga Soekarno-Hatta, kata orang panoramanya indah dan sangat cantik di pandang dari jauh.”
“Betul Lola, tapi Makassar masih jauh, perjalanan ditempuh kira-kira enam hingga tujuh jam lagi, dan Lola sudah berapa kali ke Makassar?” tanyaku lagi serius sambil menatap lekat-lekat wajahnya.
Mata kami berbenturan. Dari raut wajahnya kulihat ada tersimpan sesuatu yang ia pendam dalam-dalam. Lola diam, lalu menatap air laut berlarian berkejaran menuju buritan kapal, sesekali ia membetulkan rambutnya yang menepis–nepis menutupi hampir separuh wajahnya oleh terpaan angin buritan.
“Pertama kalinya.” jawabnya lembut sembari mengangkat wajahnya menatapku.
“Lalu, kamu ditemani siapa?”
“Sendirianku.”
“Kau gadis pemberani.” kataku memuji.
“Kenapa takut, kendati setiap gerak-gerik orang tetap aku curigai dan waspada selalu.”
“Kenapa?” tanyaku serius penasaran.
“Situasi dan kondisi di Ambon memaksakan demikian.”
“Tapi …, aku bukan penjahat yang harus kau curigai, dan di sini bukan Ambon, kita sementara berada di atas kapal, percayalah Lola …, aku berjanji tak akan berbuat jahat kepadamu, kami berteman orang baik-baik semua.” kataku berulang-ulang meyakinkan dia.
“Ehem, aku tak yakin, di kapal tidak menjamin sepenuhnya keselamatan dan keamanan bagi para penumpangnya, disini katanya sering terjadi kecopetan, keributan, perkelahian antara dua kelompok yang bertikai, bahkan pembunuhan sadis pernah terjadi dengan melempar korbannya ke tengah laut, lalu ditinggalkan begitu saja, makanya aku tetap selalu waspada dan curiga terhadap siapa pun juga.” kata Lola dengan ekspresi wajah yang pesimis.
“Sekali lagi …, percayalah aku Lola!” suaraku serak parau memelas sembari memegang pundaknya, lalu aku lanjut bicara padanya.
“Aku tidak melihat dari kelompok mana yang bertikai, merah atau putih, yang jelas kita masih bernaung di bawah satu Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, Indonesiaku dan juga Indonesiamu, yang memberikan jaminan keamanan dan ketentraman bagi setiap warganya. Dan …, dan …, aku beserta ketiga temanku sepakat untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan terhadapmu dalam perjalanan menuju Makassar, kau setuju toh, Lola?” Lola menganguk senyum tanda setuju.
Kami terdiam, tak ada suara kedengaran kecuali, bunyi mesin kapal yang tak henti-hentinya melaju terus membelah laut biru. Burung camar beterbangan menyambar-nyambar ke atas permukaan laut dengan lincahnya bergerombol mengitari kapal.
“Yuk, kita ke kantin Lola, capek kita berdiri di sini, biar di kantin kita ngobrol lebih lama.” pintaku sembari membimbing tangan Lola menuju dek 5, kupesan dua gelas air jeruk hangat.
Angin dari buritan berhembus perlahan lembut, mengelus tubuh Lola membuat ia menggigil kedinginan. Jaket blue jeansku yang kupakai kuberikan padanya biar ia hangat tidak kedinginan.
“Terima kasih.” sahutnya senyum sembari mengenakan di badannya.
Mentari di ambang senja, bias-bias kuning keemasan menerpa ke atas permukaan buritan kapal pertanda sebentar lagi hendak bergulir jatuh menceburkan dirinya ke dasar laut biru.
“Lola, katakanlah sejujurnya, aku belum mengerti apa yang kau maksudkan tadi.” kataku setelah sekian lama kami terdiam. Lola masih tertegun bisu, sulit rasanya membuka mulutnya. Ia membathin. Sepertinya ia tengah memusatkan pikirannya pada peristiwa kerusuhan Ambon beberapa waktu lalu.
“Katakanlah … Lola!” desakku sekali lagi.
“Baiklah ….....!” kata Lola, sembari menelan air liurnya yang tertahan di tenggorokannya menahan sedih. Matanya nampak berkaca-kaca lalu ia kembali lanjutkan bicaranya.
Aku terlahir didunia ini ditakdirkan sebagai anak malang, jauh dari keberuntungan hidup. Aku dilahirkan dari seorang ibu keturunan Ambon tulen dan ayah asal daerah Makassar sini. Merantau mengadu untung ke Ambon ketika di daerah ini dilanda panen gagal akibat kemarau berkepanjangan berturut-turut tiga tahun lamanya. Orang Bugis-Makassar terkenal perantau yang sukses di negeri orang karena tekun dan ulet. Ketemu jodoh dengan ibuku sama-sama pedagang kaki lima di emperan toko disudut-sudut kota Ambon.
Aku anak perempuan bungsu dari dua saudara yang sulung laki-laki. Awalnya hidup kami sekeluarga pas-pasan dari hasil jualan barang campuran. Akhirnya berkat keuletan dan kerja keras kedua orang tua kami, hasil jualannya semakin hari semakin bertambah maju dengan pesatnya. Sebagai penyalur tunggal sembilan bahan pokok di kota Ambon, maka kedua orang tuaku termasuk pengusaha sukses yang memiliki banyak jenis usaha. Hidup keluarga kami waktu itu boleh dikata sangat berkecukupan rukun bahagia.
Ketika era reformasi bergulir merambah ke seluruh pelosok tanah air menuntut agar diadakan perubahan total di segala bidang. Ambon turut bergolak rusuh dengan menyimpang dari tuntutan reformasi yang bernuansa politik sara. Di sinilah awal malapetaka yang menimpa keluarga kami. Dua kelompok yang bertikai saling membantai, masing-masing menamakan dirinya kelompok putih dan merah, kedua-duanya saling bermusuhan bertahan tidak ada yang mau mengalah.
Dari hari ke hari Kota Ambon semakin mencekam bagai kota mati. Bom molotov rakitan sendiri serta bunyi senjata api terdengar di mana-mana setiap detik waktu. Korban berjatuhan terus, namun pembantaian manusia tak akan pernah usai. Pela Gandong falsafah orang-orang Ambon suatu bentuk kerukunan antar agama yang dianut oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala turun temurun tetap terpelihara, namun kini telah sirna terkoyak-koyak oleh tangan-tangan biadab.
Hari jelang malam, semua rumah-rumah penduduk termasuk ruko milik orang tuaku hendak tutup lebih awal khawatir terjadi kerusuhan malam hari yang lebih besar. Sejenak kemudian tiba-tiba dari arah jalan raya sekelompok massa perusuh datang menuju rumah kami memaksakan ruko milik orang tuaku tetap dibuka, semua isinya dijarah dan sebahagian dihancurkan.
Tentunya perlakuan seperti itu, kedua orang tuaku tidak dapat menerimanya begitu saja, darah Makassar yang mengalir di tubuhnya seketika mendidih panas, dia mengadakan perlawanan namun agaknya sia-sia belaka karena jumlahnya tak seimbang. Massa perusuh semakin beringas semua isi dijarahnya beserta ruko milik orang tuaku dibakar habis, mujur ketika itu aku beserta saudara laki-lakiku sempat lolos melarikan diri melalui pintu belakang, sehingga terhindar dari amukan massa yang brutal serta kobaran api yang melalap seluruh bangunan beserta isinya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kami berdua mengendap-endap menelusuri lorong-lorong sempit agar tidak terlihat oleh massa perusuh menuju tempat perlindungan yang lebih aman.
Keesokan harinya baru kami dengar kabar bahwa kedua orang tuaku telah tewas terpanggang api di atas reruntuhan ruko miliknya yang habis terbakar hangus.
Tak lama sesudahnya, saudara laki-lakiku pamit padaku hendak lari ke hutan membantu kelompok putih dengan alasan berjihad, hingga saat ini nasibnya aku belum tahu pasti, entah hidup entah telah mati terbunuh oleh lawannya. Tinggallah aku sebatang kara di dunia ini merenungi nasib di penampungan sementara dijaga ketat oleh kelompok putih beserta petugas aparat keamanan. Karena aku tak betah tinggal di dalam barak-barak penampungan dengan ruang gerak yang sangat terbatas, maka terpaksa aku minggat ke Makassar sini karena katanya cukup aman bagi eksodus Ambon.
Satu-satunya bekal yang aku bawa hanya secarik kertas yang diberikan oleh ayahku semasih ia hidup. Lola tiba-tiba berhenti bicara, ia sesunggukan sepertinya tak sanggup menahan emosi kepedihan hatinya. Kemudian perlahan-lahan dari dalam saku bajunya dikeluarkannya secarik kertas yang bertuliskan : Ayahanda Bora Dg.Ngirate, Kampung Mamajang Makassar Sulawesi Selatan.
“Sudahlah dik Lola …!” begitu bujukku menyabarkan ia sembari mengusap-usap rambutnya.
“Semoga alamat ini dapat membantu adik mempertemukan keluargamu yang ada di Makassar, dan aku beserta teman-teman lainnya akan berusaha mencarinya.”
Seruling KM.Bukit Siguntang meraung-raung menggema ke angkasa memecah keheningan malam pertanda sesaat lagi kapal akan sandar dengan sempurna di dermaga pelabuhan Sukarno-Hatta, semua penumpang berkemas-kemas hendak turun dari atas kapal.
“Kita sudah tiba Lola, mari kita turun.” kataku sambil berpegangan tangan -


menuruni anak tangga kapal.(*)

Makassar, 07 April 2000

Harian Pedoman Rakyat, 25 Juni 2000
Harian Radar Bulukumba, 26 Mei 2009

07. P U L A N G

Oleh : Hasbullah Said.-


UDARA dingin sore itu berselimut kabut putih, membentang luas hampir menutupi seluruh permukaan puncak Genting Hayland Malaysia, dingin dan dingin sekali, membuat Andini di sampingku menggigil sepertinya tengah diserang sakit malaria. Jaket kain wool yang membalut tubuhnya tidak mampu mengusik hawa dingin yang merebak masuk ke kulit arinya hingga ketulang sumsum.
Sepasang burung balam terbang rendah, lalu hinggap diranggas dahan pohon akasia menggoyang-goyangkan sayapnya menghalau dingin yang menyiksa dirinya, bertengger sambil menunggu malam yang sebentar lagi datang menjemputnya.
Dari atas ketinggian sepuas mata memandang kearah bawah, samar-samar nampak dari celah gumpalan kabut putih, hamparan sawah ladang diantara bunga rumput hijau bergoyang dihembus angin lalu mengikuti alunan irama musim dingin nan beku.
Dipelataran halaman depan sebuah bangunan jangkung berdiri kokoh, aku dan Andini tengah berada disitu, menikmati indahnya cakrawala alam yang indah mempesona.
“Dik Dini!” panggilku perlahan sembari mencolek pangkal lengannya yang sementara asyik menatap kagum keatas bangunan gedung jangkung yang berdiri tegak dihadapan kami.
“Ada apa Bang?” sahutnya kaget sambil mengalihkan pandangannya menatap padaku dengan senyum manis.
“Kini aku telah buktikan janjiku dulu, ketika kita masih berada di Makassar, kota kelahiranmu tempat dimana engkau dibesarkan, kelak bila kita jadi nikah akan kubawa kamu berbulan madu kepuncak Genting Hayland, suatu tempat peristirahatan yang sangat sejuk lagi indah.”
“Kamu masih ingat tokh Dini?” ulangku mengingatkan dia, ketika suatu hari kami berada di Pantai Losari, menyaksikan indahnya matahari saat hendak menceburkan dirinya kedasar laut biru, diiringi deburan ombak menyanyikan balada cinta di dua hati yang tengah mabuk asmara.
“Masih, … aku masih ingat Bang!”
“Inilah Genting Hayland.”
“Terima kasih Bang.” ujarnya lalu menatapku senyum sembari merebahkan kepalanya bersandar didadaku mendengar degup jantungku yang sedang berirama menyanyikan balada cinta.
Itu dulu pernah kuucapkan padanya ketika kami berdua sedang duduk diatas dermaga menghadap kearah laut ditengah keramaian restoran terpanjang di dunia namanya Pantai Losari. Aku merasa senang selalu diajak kesana, karena mirip ada kesamaan dengan pantai pulau Penang yang dijejali begitu banyak penjual aneka ragam makanan.
“Sesudah disini kita kemana lagi Bang?”
“Mana-mana kamu suka dik, Pulau Penang, Pantai Lumut, atau Pulau Langkawi semua indah dan menarik, tak kalah indahnya dengan pulau Bali-Indonesia, seperti apa yang pernah kamu tuturkan padaku, sekalipun aku belum pernah kesana tapi aku sudah bayangkan, biar kita bertualang menghabiskan bulan madu kita keseluruh tempat wisata yang ada di Malaysia sini.”
“Kamu senang toh sayangku?”
“Tentu sangat senang Bang, apalagi aku baru pertama kali kesini.”
“Baiklah dik, akupun merasa senang dan bahagia.”
Hari hampir malam, dan sebentar lagi sang surya hendak beranjak menuju keperaduannya diantara celah-celah gunung berselimut kabut-putih samar-samar ditelan oleh kegelapan malam.
Nuansa bulan madu yang kami layari begitu indah dan syahdu.Tapi sayang seiring dengan itu, peristiwa gejolak politik di Indonesia yang berhembus sampai ke negeri jiran via media cetak dan elektronik sepertinya melumat habis debar bahagia
didada Andini yang punya kepekaan rasa nasionalisme yang cukup tinggi.
Tuntutan reformasi dari berbagai elemen mahasiswa telah berhasil me- numbangkan rezim Orde Baru, kendati harus dibayar dengan harga mahal, sekalipun nyawa taruhannya. Sesudahnya itu perekonomian bangsa Indonesia terpuruk, mengakibatkan rakyat mengalami penderitaan yang semakin parah dan menyedihkan.
Dari hari kehari tuntutan reformasi diberbagai bidang tetap didengungkan, namun belum juga berhasil diraih bahkan semakin menjauh tak satupun luput menyentuhnya. Reformasi dibidang hukum sering mengalami kegagalan karena selalu berlindung dibalik baju HAM. Perlahan-lahan pertikaian antara kelompok yang bernuansa sara muncul satu persatu kepermukaan seperti peristiwa Ambon, Papua, Poso dan Aceh yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda hingga kini belum juga berhasil dipadamkan, bahkan semakin berkobar.
Belum selesai satu, timbul musibah lain, TKI bermasalah ramai di- perdebatkan antara dua negara bertetangga yaitu Malaysia dan Indonesia, seyogianya kedua negara serumpun harus menjalin hubungan kerja sama yang baik, bukan saling menuding dengan membuat pernyataan yang semakin membingungkan rakyat.
Andini tercenung sejenak, hatinya terenyuh seolah terkoyak-koyak melihat nasib bangsanya semakin hari semakin terpuruk.
“Oh, … Indonesiaku.” desisnya haru sembari merebahkan tubuhnya keatas sofa ruang tamu.
“Ada apa dengan Indonesiamu?” tegurku tiba-tiba membuyarkan hayalnya.
“Ah, tak perlu aku tuturkan pada Abang, cukup aku sendiri yang tahu.” jawab Andini dengan nada lirih.
“Lalu apa reaksimu?”
“Tak ada dayaku, kecuali bersimpati terhadap TKI yang terusir lalu dipulangkan dengan paksa.”
“Tentu ada masalahnya.”
“Yang biasa, ilegal pendatang haram.”
Dalam ruang tamu aku dan Andini diam sejenak dan sesaat kemudian aku beranjak lalu duduk disampingnya diatas sofa dimana Andini membaringkan tubuhnya.
Aku berupaya menenangkan hatinya yang risau, dengan bujuk rayu agar tidak terlalu jauh terbawa oleh arus emosinya. Aku sangat menghargai perasaannya dan kagum akan kebesaran rasa cinta kebangsaannya yang begitu tinggi.
“Bukankah adik Andini telah pindah ke jalur Gemilang*) sehabis kita nikah dulu?”
“Kamu paham dan masih ingat toh Dini?” ulangku sekali lagi mengingatkan dia.
“Aku paham dan masih ingat, tapi tak tega hati melihat sebangsaku diperlakukan seperti itu.”
“Maksudmu?”
“Dicambuk kayak hewan.” ujarnya dengan nada serius. Sepertinya aku telah kehabisan akal menghadapi Andini yang begitu menggebu-gebu mengadakan pembelaan terhadap TKI yang bermasalah, lalu sekali lagi aku berupaya membujuknya dengan kepala dingin serta sangat hati-hati agar tidak tersinggung perasaannya.
“Dik Dini!” panggilku lamban sembari menatapnya lekat-lekat.
“Biarlah kedua negara bertetangga berseteru asalkan jangan kita yang berantem hanya karena gara-gara TKI, kita bukan lagi sebangsa serumpun akan tetapi suami isteri dalam rumah tangga harmonis yang selalu menjaga hubungan kerjasama yang baik menuju terciptanya keluarga kecil sejahtera bahagia, tidakkah begitu toh dik Dini?” lanjutku sembari memeluknya lalu mengecup keningnya. Andini mengerti, lalu mengangguk perlahan tanda setuju. Kami bangkit bergandengan tangan berjalan perlahan menuju keruang tidur lantai atas, karena malam telah hampir mengetuk pintu larutnya. Udara pagi terasa sejuk berhembus menerobos masuk lewat pintu utama ruang tamu yang dibuka oleh Bibi Inem pembantu rumah tangga kami, entah mengapa ia bangun jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya.
Pagi itu, ia berjalan tertatih-tatih dari dalam kamar tidurnya menuju ruang tamu sambil menjinjing tas pakaiannya, lalu diletakkan diatas ubin dekat pintu masuk keruang tamu.
“Bibi Inem hendak kemana.” tegur Andini heran sambil berjalan menuruni anak tangga dari lantai atas.
“Anu, … anu nyonya, Bibi mau mohon pamitan.” sahut Bibi Inem gegagapan terputus-putus sembari merunduk kearah bawah menatap ubin. Andini berjalan perlahan mendekati Bibi Inem yang sementara duduk bersimpuh diatas ubin keramik.
“Pamit, … kemana?”
“Balik ke Jawa nyonya.” sahut Bibi Inem dengan nada terbata-bata. Bibi Inem sering melihat tayangan lewat TV3 Malaysia tentang banyaknya TKI ilegal yang dipulangkan karena tidak memiliki dokumen keimigrasian yang syah, sejak dikeluarkannya Undang-undang keimigrasian kerajaan Malaysia, sudah puluhan ribu bahkan ratusan ribu TKI bermasalah dideportasi dipulangkan secara paksa. Ia sangat takut dikenakan hukuman cambuk seperti apa yang ia saksikan lewat TV3 Malaysia.
“Bibi tak ingin menyusahkan nyonya bersama Ince Hisyam, jika Bibi bertahan tinggal lama-lama disini, takut Bibi nantinya diancam hukuman cambuk, lalu nyonya akan mendapatkan pula hukuman lebih berat dari kerajaan karena melindungi TKI illegal, betul nyonya.” lanjutnya dengan suara lirih.
“Lalu selanjutnya bagaimana?”
“Bibi harus segera pulang nyonya.”
“Baiklah, …!” kata Andini sambil berjalan masuk kekamar tidurnya, dan tak lama kemudian ia keluar menenteng sebuah tas tangan yang berisikan uang Ringgit Malaysia.
“Ini sekedar bekal Bibi diperjalanan bila Bibi butuhkan.” kata Andini sambil menyerahkan sebuah amplop berisikan uang senilai seribu Ringgit Malaysia.
“Terima kasih nyonya.”
“Aku harap, Bibi segera saja berangkat ke Port Klang untuk selanjutnya menyebarang kepulau Jawa, sebelum Putri dan Gadis anak kami terbangun dari lelap tidurnya, agar tidak terlalu sedih hati melihat keberangkatan Bibi yang mungkin nantinya akan mengalami jatuh sakit, karena mereka terlanjur dekat dan lengket sama bibi.” kata Andini dengan nada iba.
“Bibipun berpikiran demikian nyonya, namun Bibi berharap agar hari-hari pertama saja mereka merasakannya, dan akhirnya hari-hari berikutnya berangsur-angsur akan melupakan sama sekali.”
“Terima kasih Bibi, selamat jalan.” ucap Andini sambil berjalan bersamanya keluar rumah mengantar kepergian Bibi Inem menuju Port Klang Kuala Lumpur Malaysia.(*)

Makassar, 10 September 2002

Harian Pedoman Rakyat, 22 September 2002
Harian Radar Bulukumba, 23 Mei 2009


*) Gemilang = Nama Bendera Kerajaan Malaysia

08. PENELEPON ITU

Oleh : Hasbullah Said.-

RUANG tunggu dokter praktek Melky, masih saja dipadati oleh pasien, sekalipun waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Satu persatu pasien dipanggil masuk oleh suster pembantunya ke ruang periksa, dan aku masih menunggu giliran jauh keurutan paling belakang karena aku terlambat datang.
Antri. Suatu budaya yang patut kita hargai, junjung tinggi, pelihara dan lestarikan karena terhindar dari rasa kecemburuan sosial.
Dengan sabar aku duduk diatas bangku-bangku panjang bercat putih bersih itu bersama pasien lainnya menunggu giliran sambil membaca koran sebagai pengisi waktu lowong.
Aku datang periksakan diri ke dokter karena semua orang mengatakan aku sakit. Walaupun sesungguhnya perasaanku biasa-biasa saja, tak ada suatu keluhan atau rasa sakit yang aku rasakan. Kata orang wajahku pucat, mataku kuyu, badanku semakin hari semakin kurus. Itu sebabnya mareka sangka aku sakit dan tak satupun orang yang luput dari prasangka itu.
Pertanyaan bertubi-tubi datang bukannya dari teman-teman dekatku saja, akan tetapi juga dari teman sekantorku selalu bertanya demikian.
“Kamu sakit Rus, kenapa badanmu semakin kurus?” Sungguh suatu pertanyaan yang menyakitkan hati, sulit untuk aku jawab. Makanya aku datang kemari ke dokter Melky, periksakan diri mungkin betul juga ada suatu penyakit tersembunyi pada diriku, akan tetapi aku tak menyadarinya.
Kenyataanya hasil diagnosa dokter Melky mengatakan kondisi tubuhku sehat-sehat saja, tidak ada indikasi aku terserang oleh suatu penyakit yang serius, hanya tekanan darahku sedikit rendah, mungkin karena akhir-akhir ini tidurku sangat kurang. Tidak tahu, kenapa bila malam tiba aku tersiksa, gelisah, sangat sulit tidur, bahkan kadang kala semalam suntuk aku begadang karena biji mataku tak dapat aku picingkan, pada siang harinya pun juga demikian.
Kesempatan seperti itu kugunakan banyak menulis di malam hari. Berbagai macam tulisan mulai menulis artikel, cerita bersambung, cerita pendek atau apa saja, yang penting memenuhi syarat untuk dimuat diberbagai media cetak di kota ini.
Maka tak heran bila namaku sangat populer dikalangan remaja penggemarku karena karya tulisku sangat menarik untuk dibaca.
Sebagai penulis lepas, tentunya aku merasa bangga karena akhir-akhir ini prestasiku dibidang penulisan ada peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Itu terlihat dari banyaknya karya tulisku yang dimuat hampir di semua media cetak di kota ini.
Itulah barangkali teman-teman dekatku sering menjuluki aku seniman sinting, entah mengapa, aku tidak tahu mungkin karena karya tulisku dengan pembawaanku bertentangan banyak dengan karakter kepribadianku.
Badanku kurus, lagi cambang brewok, rambutku gondrong acak-acakan tak karuan, memang ada benarnya bila kesan orang mengatakan aku sinting alias gila.
Berbagai macam sindiran atau cibiran dilontarkan padaku, ada yang mengatakan sinyiur melambai, siangin sepoi basah, ah,…....macam-macam saja, itu mungkin karena mereka baca dari tulisanku di koran yang sering menggunakan kata-kata atau bahasa personifikasi alam sebagai ilustrasi atau bumbu kayak penyedap masakan.
Semua itu aku terima dengan rasa tegar hati, walaupun sesungguhnya sangat menyakitkanku. Memang bukan tidak beralasan, mereka cuma melihat realita lahiriyah, pada hakekatnya tidaklah demikian.
Seperti terlihat tas sandang yang aku pakai terbuat dari kain blue jeans yang sudah lusuh, kubawa serta kemana aku pergi, tas itu sangat berjasa bagiku sebagai tempat menyimpan naskah cerita yang aku buat. Pada semua ujung-ujung resliting tasku terlihat begitu banyak koleksi aksesoris gantungan kunci dari berbagai jenis bentuk ukuran dan warna, sehingga nampak begitu marak, mulai dari Akademi, Sekolah Tinggi dan Universitas, serta gantungan kunci dari berbagai type dan merk promosi perusahaan ramai sekali melahirkan suatu suara khas bila berbenturan antara satu dengan lainnya.
Aku sadar bahwa itu akan mengundang gelak tawa bagi siapa saja yang melihatnya karena katanya aku bukan lagi anak T.K, namun aku tak acuh sama sekali karena itu merupakan kesenanganku, kepuasan bathin tersendiri yang tak ternilai bagiku.
Darah seni sudah lama mengalir dalam tubuhku yang sangat susah untuk berpisah denganku. Itu lahir sejak aku masih remaja hingga kini. Makanya aku tak mengerti bila ada orang yang sinis melihatku.
Kadang aku menangis sesunggukan dalam kamarku, menyesali nasib yang ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa lahir sebagai seniman. Kadang pula bathinku di dalam berontak, menantang atau melawan anggapan itu, tapi kata hatiku kembali sadar, cair seperti es yang kena panas mengatakan seniman itu membutuhkan ketabahan menerima segala cobaan.
Hanya satu keberuntungan dari semua derita yang kualami kompensasi tidak mudah larut terbawa ke hal-hal yang bersifat negatif, sebagai pelarian, seperti ke tempat-tempat hiburan malam, karaoke, diskotik, lebih-lebih menkomsumsi narkoba dan obat-obat terlarang lainnya.
Suatu tekat dalam diriku bersumpah untuk tidak melakukannya. Bahkan sebaliknya aku semakin mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan jalan memperbanyak ibadah kepada-Nya, seperti puasa senin kamis, serta ibadah-ibadah lainnya. Akan tetapi tidaklah pula semua orang bersikap sinis padaku, kadang ada satu dua orang merasa kasihan dan simpatik melihatku setelah membaca tulisanku di koran.
Mungkin karena tema atau alur ceritanya terkesan kebetulan sama dengan apa yang dialaminya. Maka tak heran bila setiap hari ada saja yang mengirimkan kartu ucapan selamat kepadaku. Kadang ada pula penelpon yang ingin bicara langsung denganku untuk menyampaikan rasa simpatinya dengan ucapan selamat.
Ironisnya, Rina istriku sepertinya tidak mau mengerti akan keberadaanku sebagai penulis. Telepon yang masuk diangkatnya buru-buru lalu ia jawab dengan na-
da yang kurang bersahabat.
“Halo,… boleh bicara dengan kak Rusli?” suara perempuan terdengar lembut dari balik gagang telepon.
“Ini dengan siapa aku bicara.”
“Lisa penggemar tulisan kak Rusli yang dimuat dikoran sangat tertarik aku membacanya.” suara lembut balasan terdengar dari seberang sana.
“Eh, enak aja kamu panggil kakak, memangnya kamu ini adik kandungnya atau kamu adik iparku.”
“Ibu,…!” terdengar suara terputus terbata-bata lalu ia lanjutkan bicaranya.
“Aku mohon maaf ibu, aku tidak bermaksud lain terhadap kak Rusli, kecuali hanya sekedar untuk menyampaikan ucapan selamat padanya, lain itu tidak, percayalah bu!” terdengar suara halus kayak memelas meyakinkan Rina.
“Lisa,” potongnya dengan suara agak tinggi.
“Umurmu berapa, siapa tahu kamu jauh lebih tua dari Rusli suamiku.”
“Delapan belas tahun bu.“
“Pantas, apa kamu yakin Rusli itu usianya muda belia sehingga kau terlalu manja memanggilnya kakak?”
“Oh, anu….bu…dari tulisannya dikoran aku tahu pasti dia masih remaja.“ balasnya bicara dengan suara yang terputus-putus.
“Anu…., anu…. kamu bohong memangnya anak gadis sekarang tidak beres, sepantasnya kamu panggil saja bapak, atau mungkin lebih tepat kamu panggil kakek padanya karena ia telah mempunyai banyak anak bahkan telah bercucu, kamu ngerti ” begitu bentaknya sembari meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya semula.
Hubungan pembicaraan telepon terputus. Rina menghela nafas panjang menahan emosinya. Dengan langkah tertatih-tatih ia berjalan menuju kamar samping dimana tempat aku biasa menulis, sebuah kamar yang tak seberapa luasnya, di dalamnya terdapat sebuah meja tulis dan sebuah kursi tempat duduk diterangi oleh lampu pijar berkekuatan 40 watt. Rina berjalan mendekatiku lalu bicara padaku dengan sedikit emosi.
“Pak, lebih baik kamu berhenti saja menulis karena tidak ada sesuatu yang dapat diharapkan dari tulisanmu itu, bahkan sebaliknya akan membuat saja keretakan dalam rumah tangga kita.”
“Eh, ada apa lagi ma, kenapa kamu berkata begitu.” tanyaku heran padanya.
“Uh, tadi penelepon itu.”
“Ada apa dengan penelepon itu?” tanyaku heran.
“Seenaknya panggil kakak padamu, memangnya dia itu adik kandungmu dan Lisa itu siapa?”
“Ma, sabar dulu dengar bicaraku, jangan kamu bersikap begitu, tidak baik!”
“Memangnya kenapa?” potong Rina emosi.
“Lisa itu perempuan, sama dengan kamu berperasaan halus lembut hatinya, sekalipun sebelumnya tidak pernah aku kenal, tapi ia tulus ikhlas menyampaikan ucapan selamat padaku.“
Rina termenung sejenak mendengar bicaraku lalu dilemparkan pandangannya keluar lewat jendela kamarku. Hujan deras baru saja usai mengguyur segala apa yang ada dibumi, menyisakan pelangi indah di kaki langit. Aku lanjutkan bicara meyakinkan Rina. Semua orang yang bersimpati pada kita harus kita hargai sekalipun hanya ucapan terima kasih, syukur kamu bersuamikan seorang penulis yang begitu banyak penggemarnya menaruh perhatian padaku. Bukankah ini juga suatu rahmat dari Yang Maha Kuasa yang patut kita syukuri, iya toh ma?” Rina tertunduk sedih, seperti ada penyesalan yang lahir tiba-tiba dari dalam hatinya.
Hujan rintik-rintik kembali menerpa atap pondok kami menimbulkan suara riuh memecah keheningan senja.
Malam telah hampir tiba dan udara dingin di luar menyusup masuk perlahan lewat jendela ruang tamu. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara adzan di masjid-masjid pertanda bahwa waktu sholat magrib telah masuk.
“Sudahlah ma, mari kita sholat mahgrib berjamaah!” pintaku pada Rina sambil menepuk pundaknya lalu kami bangkit barengan masuk ke kamar tempat sholat. Setelah selesai sholat berjamaah, tiba-tiba dari ruang tengah terdengar kembali suara telepon berdering panjang. Rina bergegas mengangkatnya dan sejenak kemudian terdengar suara dari seberang sana.
“Halo, selamat malam, boleh bicara dengan Pak Rusli?”
“Dari mana ini pak?” balas Rina bertanya.
“Pemimpin redaksi salah satu Harian dikota ini.”
“Tunggu aku panggilkan.“ sahut Rina sembari meletakkan gagangnya di atas meja kemudian berlari kecil menemuiku. Gagang telepon kuangkat lalu aku bicara,
“Halo betul sekali pak, Rusli di sini.”
“Pemimpin redaksi beserta staf mengucapkan selamat kepada anda.”
“Ini ada apa pak?“ tanyaku heran.
“Besok anda ke kantor redaksi untuk menerima hadiah sebagai penulis cerpen terbaik yang diselenggarakan oleh media cetak kerjasama dengan pemimpin perusahaan.
“Tapi, aku rasa tidak pernah ikut lomba pak.” kataku ragu.
“Iya betul, setiap ulang tahun koran kami yaitu tepatnya hari Senin besok diadakan upacara penyerahan hadiah kepada tiga orang pemenang penulis cerpen terbaik dengan memperoleh hadiah TABANAS senilai satu juta rupiah. Hal tersebut diselenggarakan dengan pertimbangan memberikan motivasi kepada para penulis yang setiap tahunnya terlihat ada peningkatan. Untuk itu diminta kepada anda hadir bersama nyonya besok pagi di kantor kami.”
“Kalau begitu saya ucapkan terima kasih banyak pak.” jawabku kemudian gagang telepon kuletakkan kembali pada tempatnya semula.
“Ma, besok pagi kita diundang ke kantor redaksi Harian yang biasa tempat aku menulis, untuk menerima hadiah.“ kataku gembira pada Rina.
“Hadiahnya apa pak?“ tanya Rina bersemangat.
“TABANAS, Uang satu juta rupiah, lumayan kan.“
“Kalau begitu, menulis lagi pak, biar kita dapat hadiah lebih banyak lagi.“ pinta Rina padaku dengan nada riang.
“Iya dong.“ balasku senyum sembari merangkul Rina dengan penuh rasa bahagia.
Dari kejauhan terdengar kokok ayam bersahutan pertanda malam telah larut menuju hari besok yang lebih cerah (*)

Makassar, 20 Mei 2000

Harian Pedoman Rakyat, 30 Juli 2000
Harian Radar Bulukumba, 25 Agustus 2009

09. BUAT PAPA DAN MAMA

Oleh : Hasbullah Said.-

GERAH udara siang dibulan September semakin garang menyisakan luka bakar segala apa yang ada di atas muka bumi, di sepanjang jalan, diantara pepohonan, di setiap sudut kota, diatas dahan ranting kayu, kicauan burung terdengar resah pilu merintih pedih oleh panasnya bumi. Dan dari kejauhan terdengar rintihan orang-orang menyayat kalbu sarat dengan beban penderitaan hidup yang tak tertahankan.
Tertatih-tatih berjalan di atas bongkahan tanah yang menganga lebar akibat kering krontongnya bumi hanya sekedar mencari sesuap nasi sebagai penyambung hidup, di prapatan di bawah lampu merah, dikeramaian kota tak peduli oleh teriknya matahari yang mengganas, disana seolah ada jantung hati kian hari semakin memelas berdetak perlahan terasa segalanya sulit untuk bertahan akibat bias-bias terpuruknya perekonomian bangsa ini.
Bulan berkabut berbalut awan hitam, merangkul bergelayut melahirkan remang-remang kegelapan. Ketika awan bergeser menyisakan cahaya suram menerpa pepohonan melahirkan bayang-bayang panjang rebah berbaring diatas pelataran rumah berdiri tegak kokoh di ujung jalan buntu.
Besar rumah itu, pekarangannya sangat luas ditumbuhi dua pohon harumanis rindang daunnya, terasa sejuk bila kita berada disana bernaung di bawahnya. Sepi, lengang, terkesan nyaris rumah itu tak berpenghuni. Bentuk bangunannya sederhana gaya lama, namun kelihatannya antik mempesona.
Disini terdengar alunan nyanyi sunyi berdentang mendayu-dayu oleh gesekan tali senar dalam pelukan kerinduan.
Cahaya rembulan malam perlahan merayap menggapai pucuk-pucuk pepohonan, silih berganti awan berarak merangkul rembulan meninggalkan gelap sesaat. Dikaki langit tak ada bintang, berteman sunyi berbalut dingin, berselimut sepi dalam kerinduan.
Dikeremangan malam terdengar suara lolongan anjing dari kejauhan menggidik bulu roma mengungkit masa lalu melahirkan suatu cerita panjang. Kerinduan kini lahir bersemayam membuncah didada seolah tersayat-sayat sembilu. Terdengar ada tangis pilu, dikeheningan malam nan sepi disaat orang-orang disekelilingnya tengah tertidur lelap dibuai mimpi indah.
Perempuan itu, kini ia duduk bersandar lurus diatas sebuah dipan kayu dalam kamar tidurnya yang tertata apik. Guratan kecantikan masih nampak tersisa diwajahnya, sekalipun usianya beranjak menuju paruh baya.
Lewat jendela kamarnya, pandangannya kosong menatap rembulan tengah berayun-ayun hendak beranjak menuju lewat peraduannya. Terisak ia dalam tangisnya, matanya sembab oleh deraian air mata, kemudian ia mengatupkan kedua belahan bibirnya, dan sesaat terdengar suara lirih keluar perlahan dari celahnya yang mungil halus nyaris tak terdengar.
“Anakku.” begitu singkat kedengarannya seperti orang ngingau dalam tidurnya, tapi kini ia tidak tidur, duduk merenung sendirian mengingat-ingat masa lalunya. Sangat angkuh berlalu lewat begitu saja tanpa menoleh-noleh lagi kepadanya. Seperti ia tengah menyaksikan sebuah film drama lewat layar tancap, cerita yang sangat pilu menyedihkan, semakin lama semakin jelas gambar-gambar yang disodorkan oleh layar tancap terbuat dari kain terpal putih.
Beginilah, realita hidup keluarga kecil bahagia terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak semuanya perempuan, setelah usai nikah mereka pergi meninggalkan kedua orang tuanya mengikuti suaminya jauh dan jauh sekali darinya. Tanpa sadar sepertinya ia tak mau menerima kenyataan ini, terlalu dini memvonis jodoh itu kejam, mengoyak-ngoyak lalu mencampakkan tali kasih sayangnya terhadap kedua anaknya.
Dulu dirumah ini, sangat ramai oleh anak-anak sekolah tinggal bersamanya semua famili dekat ponakan dari kedua belah pihak dia dan suaminya, setelah selesai studinya diberbagai disiplin ilmu, satu persatu meninggalkannya pergi mencari kerja di berbagai tempat.
Di pandanginya satu persatu foto-foto wisudawan yang terpajang berderet santun hampir memenuhi separuh dinding ruang keluarga merobah wujud kayak foto pahlawan revolusi. Akh, entah apa nama ruangan ini, katakan saja ruang pameran foto karena selain foto wisudawan juga ada foto keluarga termasuk foto pengantin kedua anaknya, pisah lalu pergi jauh-jauh.
“Akh tidak, lebih tepat dikatakan rumah ini gudang sarjana.” begitu gumamnya sombong. Karena selain ponakan termasuk dirinya juga suaminya dan kedua anaknya ikut dalam pameran foto, walaupun kesarjanaannya tidak sesuai dengan profesinya sebagai guru, Pahlawan tanpa tanda jasa. Ia lebih senang memilih jurusan jurnalistik karena sejak dulu ia bercita-cita ingin jadi wartawati yang handal. Akan meliput semua peristiwa dimensional, merekomendasikan berbagai masalah termasuk keterpurukan di bidang pendidikan, penegakan hukum yang belum berjalan sesuai dengan tuntutan reformasi, perekonomian dan stabilitas keamanan, ketidak mampuan aparat meredam segala bentuk gejolak sosial yang ujung-ujungnya rakyat kecil kalangan bawah kena dampaknya.
Ia merasa bangga meraih profesi ganda, walaupun guru dan wartawan belum menjanjikan kesejahteraan yang memadai namun ia tetap tekun dan rajin melaksanakan tugasnya tanpa pamrih. Guru dan jurnalis diera reformasi saling membutuhkan informasi yang akurat, bebas dan bertanggung jawab.
***
Udara malam berhembus perlahan lewat kisi-kisi jendela kamarnya membuat tubuhnya terasa sejuk. Malam perlahan-lahan bergerak lamban merayap ketitik larutnya, dan semakin larut pula ia dalam bayang-bayang ingatan yang tak bertepi.
Bulan September tepat lima tahun silam, ia melepas anak sulungnya pergi ke Kuala Lumpur Malaysia mengikuti suaminya sehabis nikah, dan setahun kemudian disusul kepergian Tika anak bungsunya pergi ke Jayapura juga mengikuti suaminya yang sedang bertugas disana, tinggallah ia berdua bersama suaminya dalam rumahnya yang sepi lengang.
***
“Relakan aku pergi, Ma.” pinta anaknya dengan mata sembab, sembari memeluk mamanya dengan erat, ketika sesaat akan meninggalkan Bandara Hasanuddin Makassar. Perempuan itu tak tahan menahan pilu, isak tangis menggemuruh terdengar memenuhi ruang tunggu, seolah tak mau melepas anaknya pergi.
“Selamat jalan anakku.” sahutnya sambil melambai-lambaikan tangannya hingga pesawat MAS hilang lenyap dipandangannya.
Gelap malam membuat ia tak mampu memicingkan matanya sedikitpun. Jalinan tali kasih sayang terhadap anaknya melahirkan jerit tangis kerinduan terdengar melengking ditengah malam buta. Perlahan ia mengusap air mata yang meleleh di wajahnya, lalu ia menatap kosong keluar lewat jendela kamarnya. Desis rintihan semakin keras terdengar pilu menyayat kalbu.
“Eh, kamu siapa?” bentaknya bertanya kepada seseorang yang dilihatnya berkeliat melintas dihadapannya.
“Masak Mama tak mengenal lagi anaknya, aku ini Putri.” suara itu terdengar halus.
“Akh, kamu bohong, aku tak punya anak lagi, semuanya telah pergi jauh-jauh.” bentaknya dengan nada emosi.
“Tenanglah, sabarlah Ma.” bujuk suara itu terdengar perlahan meyakinkan.
“Tapi kenapa kamu sendirian, mana abangmu, cucuku yang manis, kenapa kamu datang sendirian tanpa mereka.” Perempuan itu bertanya dengan mata nanar mencari mengamati keseluruh ruang kamar tidurnya. Berkeliat lagi bayangan itu, berjalan perlahan mendekatinya dan semakin dekat padanya, kemudian me-rangkulnya dengan erat. Suara halus terdengar membisikkan ketelinganya.
“Maafkan Putri Ma, lebih awal anakda menyamapikan bahwa bulan depan anakda akan datang bersama Abangku beserta kedua anakku berkumpul bersama Papa dan Mama menyambut hari raya lebaran mendatang nanti.”
“Maksudmu?” tanya perempuan itu serius sembari mengerutkan keningnya.
“Untuk menyakinkan mama, agar tidak gelisah dalam penantian kehadiran anaknya dari perantauan.”
“Betulkah?” kembali ia bertanya dengan tidak sabar.
“Ya, betul Ma.” jawab Putri meyakinkan sembari merangkulnya erat.
Kesedihan kini bergeser perlahan, berganti riang bergelayut di wajahnya yang sedikit pucat karena tak tidur semalaman. Kembali bayangan itu berkelit melayang hilang dari pandangannya bersama gelapannya malam.
“Anakku dimana kamu.” suara histeris terdengar melengking memecah keheningan malam membuat suaminya terjaga dari tidurnya.
“Eh,............ada apa Ayu?” tanya suaminya kaget sembari memeluk menyadarkannya.
“Anakku dimana?”
“Istiqfarlah Ayu, disini tidak ada siapa-siapa kecuali kita berdua.”
“Tidak, barusan saja Putri anak kita pergi, tadi ia berada didekatku, memelukku, mencium pipiku, lalu membisikkan kepadaku, ia akan datang bersama suaminya dan kedua cucuku pada hari raya lebaran nanti.”
“Kamu mimpi Ayu, sadarlah!” bujuk suaminya menyadarkan dan mengajaknya berbaring kembali.
***
Hembusan angin siang tak mampu menghalau gerahnya matahari disiang itu. Ayu baru saja pulang dari tugasnya mengajar, dengan langkah perlahan ia memasuki pekarangan rumahnya, tetapi betapa kegetnya ketika hendak ia membuka pintu, dilihatnya sebuah benda aneh yang mencurigakan yaitu sebuah kardus kecil bentuk segi empat sama sisi, dibungkus dengan kantong plastik warna hitam, diletakkan tepat depan pintu masuk rumahnya. Sangat curiga ia melihat benda asing itu, sepertinya paket bom yang tak lama lagi akan meledak memporak-porandakan seluruh bangunan rumahnya. Tanpa sadar Ayu berteriak histeris sambil berlari keluar rumah. Untung suaminya cepat mencegatnya.
“Ada apa lagi Ayu?” tanya suaminya kaget.
“Ada ... bom, ... ada bom ... cepat ...!”
“Mana?” tanya suaminya dengan penuh penasaran sambil mengamati keseluruh ruang pekarangan rumahnya.
“Lihat itu!” sahutnya sambil menunjuk kearah benda aneh itu.
Dan dengan perlahan hati-hati suaminya berjalan mendekati benda itu lalu meraihnya kemudian membukanya perlahan, matanya terbelalak ketika melihat sebuah tulisan :
Buat Papa dan Mama. Pengirim Anakda Putri di Kuala Lumpur Malaysia. Rupanya pak Pos yang mengantar barang itu meletakkan begitu saja, ketika melihat rumah itu tertutup rapat pintunya. Ayu disampingnya menghela nafas lega sambil melempar senyum kearah suaminya. Dengan tidak sabaran mereka membuka kardus itu, isinya terdapat dua potong kain sutera Malaysia yang sangat halus. Senyum bahagia terlukis diwajah Ayu.
“Terima kasih anakku.” desis Ayu sembari meraih mendekap kain sutera itu lalu mencium berulang-ulang kali, terasa harum dan lembut menyentuh pipinya yang cekung.
Keesokan harinya ditemuinya pula benda serupa di letakkan tepat depan pintu masuk. Tanpa curiga dan ragu lagi, secepatnya ia meraih benda itu lalu membukanya, terdapat sebuah tulisan yang sama bunyinya kemarin.
Buat Papa dan Mama, dari Anakda Atika di Jayapura. Isinya dua potong kain batik tenunan Irian Jaya.
“Terima kasih anakku, terima kasih!” ujarnya riang sambil berlarian membawanya masuk kamar tidurnya.(*)

Makassar, 05 Oktober 2001

Harian Pedoman Rakyat, 28 Oktober 2002
Harian Radar Bulukumba, 05 Oktober 2009

10. MA, TADI MALAM ADA PENELPON GELAP

Oleh : Hasbullah Said.-

JAM dinding dikamar berdentang dua kali, nyaring kedengarannya ditelan oleh sunyinya malam. Malam itu aku terlelap tidur lebih awal karena kecapaian kerja hampir seharian penuh. Pagi harinya hingga siang kerja sebagai tenaga administrasi di salah satu instansi pemerintah, sorenya di sebuah PTS *) di kota ini, sebagai upaya tambahan penghasilan yang pas-pasan.
Jelang Ujian semester merupakan puncak kesibukan dari berbagai kegiatan mulai urusan Akademik, Keuangan BPP, SPP hingga demonstrasi mahasiswa menentang kebijakan Rektor menaikkan biaya SPP karena dianggap sangat rendah dibanding dengan PTS lainnya, serta belum dapat sepenuhnya menunjang biaya-biaya operasional Universitas.
Letih sekali dan melelahkan. Walaupun Sabtu petang kemarin sempat jalan-jalan ke pinggir pantai menghirup udara segar menyaksikan matahari terbenam di dasar laut biru. Guna menghilangkan kepenatan dan ketegangan. Didalam kelelapan tidurku aku terjaga ketika tiba-tiba dikagetkan oleh deringan telepon dari ruang tengah rumahku.
“Akh, tengah malam begini menelepon sepertinya tidak tahu etika.“ gumamku menggerutu, sambil menggosok-gosok mataku berjalan menuju ruang tengah meraih gagang telepon yang berdering bising.
“Halo …………. dengan siapa?” tanyaku.
“Tak perlu kamu tahu aku siapa, karena ini penting.” balas suara dari balik gagang telepon di genggamanku.
“Kan aku tak kenal anda!”
“Nanti kamu akan tahu sendiri siapa aku.“ begitu jawabnya angkuh.
“Tapi kenapa kamu meneleponku malam-malam begini, disaat orang-orang tengah tertidur lelap.” begitu balasku kesal.
“Tadi telah kukatakan hal ini penting.”
“Jawaban yang kurang bersahabat.“ pikirku lalu telepon segera kuletakkan gagangnya kembali pada tempatnya semula, kemudian aku beranjak masuk ke kamar tidurku karena telah didera rasa kantuk yang tak tertahankan.
Pagi harinya kusampaikan kepada Lisa istriku bahwa tadi malam ada penelepon gelap.
“Itu iseng dari seseorang dan mungkin juga perasaanmu saja demikian karena kecapaian.“ kata Lisa menyadarkan aku.
“Ah ……….. betul Ma.” kataku meyakinkan.
Sejurus kemudian kami berdiam diri, untuk mengingat-ingat siapa penelepon itu, mungkin betul juga hanya iseng dari seseorang, pikirku.
Tiga malam sesudahnya udara diluar sangat dingin. Hujan deras baru saja usai mengguyur rata hampir seluruh permukaan bumi. Gemercik air diparit terdengar riuh berlarian seolah berlomba mengalir menuju rawa-rawa di belakang rumah.
Jam dinding di ruang tengah kembali berdenting dua belas kali menunjukkan pukul dua belas tengah malam, kami berdua belum juga tidur karena tengah asyik nonton sinetron akhir pekan. Tiba-tiba kami dikagetkan oleh desah angin yang menerobos masuk lewat jendela ruang tamu disertai lolongan anjing dikejauhan bersahut-sahutan disusul aroma bau tak sedap menyengat pernafasan. Kain-kain gordyn jendela kamar seolah menari-nari dibuatnya begitu derasnya angin menerpa masuk lewat jendela ruang tamu.
“Ma, apa kamu tidak mencium bau lain-lain.” ujarku sambil mencari dari mana asalnya bau itu.
“Yah, sepertinya bau bangkai Pak.” jawabnya sembari beranjak dari duduknya mengamati seluruh ruangan, di bawah meja, kursi tamu, di samping buffet siapa tahu ada bangkai tikus yang habis dilalap oleh si Pus kucing peliharaan kami begitu pikirnya. Tak ditemukan, bahkan bau itu semakin deras mengalir merambah hampir seluruh ruangan.
“Ah, ada yang tidak beres, Ma.” kataku mengingatkan Lisa.
Sementara itu lolongan anjing semakin bertambah riuh mengitari rumah kami sepertinya tengah memperebutkan bangkai atau tulang. Lolongan panjang ditengah malam buta seperti ini sangat menyeramkan karena tidak biasanya demikian. Kata orang seperti itu alamat buruk bakal terjadi, entah benar, entah tidak. Sesaat kemudian dari ruang tengah terdengar kembali telepon berdering panjang. Gagang telepon kuraih perlahan.
“Halo …………….. dari siapa?”
“Yang meneleponmu tiga malam lalu.”
“Anda siapa?” kembali aku bertanya.
“Telah kukatakan berulang kali tak perlu kamu tahu.”
“Kamu Jin, Malaikat atau Setan.” kataku geram karena jengkel.
“Eh, kamu tak takut dosa menuduhku setan.” protesnya mengancam.
“Ya, karena kamu tak memperkenalkan dirimu.”
“Baik, …………!.” katanya lalu sejenak terhenti.
“Aku adalah bagian dari hidupmu, dan saat ini aku tengah berada di sekitarmu.” sambungnya lagi.
Mendengar jawaban itu sesaat aku tertegun bisu, seketika keringatku mengalir hampir menyatu dengan bajuku. Bau tak sedap semakin keras menyengat hidung memenuhi hampir seluruh ruangan.
“Kenapa kamu tak menampakkan wujudmu yang sebenarnya agar kita dapat berbincang-bincang dan kalau perlu kamu datang kerumahku.” tanyaku lagi.
“Mustahil aku akan kembali pada wujudku semula, karena kita berbeda alam.”
“Kenapa?”
“Dilarang ….!”
“Oleh siapa.” lagi aku bertanya.
“Penciptaku dan juga yang menciptakanmu.”
Hubungan pembicaraan kami kembali terputus. Lama aku tertegun bisu. Tak tahu apa yang akan kukatakan selanjutnya. Bathinku goyah, sekujur tubuhku menggigil dingin, gagang telepon ditanganku nyaris jatuh kelantai. Kubesarkan hatiku lalu aku lanjut bicara padanya.
“Lalu apa perlunya kamu meneleponku malam-malam begini.”
“Banyak hal, antara lain harta kekayaan almarhum ayahmu yang begitu banyak kau apakan?”
“Kenapa kamu tahu, dan apa hubungannya denganmu?” balik aku bertanya serius.
“Eh, … harta kekayaan pejabat siapun aku tahu!” balasnya meyakinkan aku.
Gagang telepon kembali kuletakkan pada tempatnya semula, aku tak ingin bicara panjang lebar dengan orang yang tak jelas identitasnya.
Malam semakin larut, udara semakin dingin mengelus ari tubuhku, segera aku beranjak menuju kamar tidurku karena telah didera oleh rasa ngantuk.
Mentari pagi menebarkan bias-bias cahaya kuning segar lewat jendela ruang tamu. Peristiwa semalam masih juga menghantui pikiranku. Lisa istriku menyarankan agar kami pindah rumah saja.
“Lebih baik kita pindah dari rumah ini Pak, mencari tempat yang lebih aman agar kita terhindar dari teror yang selalu menghantui kita.”
“Lho Mama ini bagaimana, rumah ini kan milik kita, kenapa kita mesti pindah lagi, kalau hanya telepon itu kan mudah, putuskan saja kabelnya, tentunya kita tak dapat lagi berhubungan dengannya, habis perkara.”
“Ya, siapa tahu penelepon itu nekad datang kemari mengancam kita.” katanya dengan rasa was-was.
“Keterlaluan, dan apa hubungannya dengan kita.” kataku geram.
“Sekarang kita tak usah takut, yakin saja kita tetap aman.“ kataku sekali lagi meyakinkan Lisa.
Memang, kadang ada orang yang tidak merasa senang melihat kita bahagia. Selalu ada saja orang usil, sekalipun kita sedang enak makan tidur di rumah kita sendiri.
Aku tidak mengerti bila ada orang yang berprilaku demikian. Selalu mengungkit-ungkit harta kekayaan ayahku segala.
Lisa terdiam, ekspresi wajahnya nampak sedih dan ketakutan. Terkenang dibenakku seluruh peristiwa silam, bagaikan layar kaca mempertontonkan gambar-gambar yang sangat jelas. Kehidupan keluarga kami masa lalu memang termasuk keluarga kecil bahagia, terdiri dari ayah, ibu dan aku sendiri sebagai anak tunggal.
Reputasi ayahku dimata masyarakat memang terpandang karena dia sebagai seorang pejabat salah satu instansi pemerintah, maka dengan sendirinya semua fasilitas mudah dimilikinya, disamping gajinya cukup lumayan untuk kami bertiga.
Sebagai anak tunggal semata wayang kedua orang tuaku sangat menyayangi dan memanjakanku.
Demikian masa laluku kulewati dengan penuh rasa bahagia. Ketika usiaku hendak beranjak dewasa, tiba-tiba badai puting beliung datang menerjang memporak-porandakan kehidupan kami. Ibuku tercinta dipanggil lebih duluan menghadap oleh Yang Maha Kuasa akibat penyakit lever yang dideritanya sejak bertahun-tahun lamanya.
Setahun kemudian disusul kematian ayahku yang teramat kusayangi. Penyakit jantung kronis yang kejam merenggut nyawanya. Sangat tragis dan menyedihkan. Badanku lemas terkulai layu, bumi tempatku berpijak seolah runtuh tak kuasa menahan beban bathin penderitaanku.
Pupus sudahlah harapanku, luluh lantak berkeping-keping masa depanku yang tak menentu. Tinggallah aku sebatang kara didunia ini. Untuk menyambung kelangsungan hidupku, satu persatu harta peninggalan orang tuaku kujual, karena aku belum berpenghasilan tetap.
Sebagai pelarian kekosongan jiwaku, hari-hariku hampir seluruhnya kuhabiskan di tempat hiburan malam di keremangan lampu-lampu bar, berhura-hura dari diskotik satu ke diskotik lainnya, mengkomsumsi obat-obat terlarang dan minuman-minuman keras. Ketergantungan minuman keras dan obat terlarang sudah menjadi bagian dari hidupku, yang sudah sangat sulit kupisahkan dariku. Kadang malam-malam tertentu aku pulang hingga pagi harinya dengan langkah tertatih-tatih menelusuri sepanjang jalan menuju rumah tempat tinggalku.
Entah mengapa, tiba-tiba ada dewa penolong merasa kasihan padaku, melihat keadaanku yang sudah terlanjur ambruk hancur berantakan. Budi demikian nama sahabatku datang kerumah mengajakku bersamanya melamar pekerjaan di salah satu instansi pemerintah di kota ini, dengan mengandalkan ijazah Sarjana Akuntansi yang kumiliki, dan syukur ternyata aku bersama Budi diterima bekerja hingga pada hari ini.
Semua masa laluku yang kelam kini telah kukubur dalam-dalam dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sejenak kemudian aku terdiam dan membathin, aku menghela nafas dalam-dalam sembari menatap mentari pagi yang hendak beranjak naik.
Bias-bias cahayanya temaram menerpa pelataran rumah memantulkan cahayanya keatas permukaan teras rumahku. Hari-hari berikutnya kulalui dengan melupakan segala peristiwa silam yang suram menuju hari esok yang penuh harapan.
Hari hampir siang, kegerahan udara mulai merayap perlahan merambah menggapai seluruh ruangan. Mataku melotot ketika menangkap seberkas sinar samar-samar berlalu di hadapanku.
“Hei, ……. kamu harus jawab sejujurnya pertanyaanku.” begitu suaranya kedengaran jelas, tapi tak nampak siapa-siapa didekatku, termasuk Lisa terheran-heran mendengar suara itu.
“Ini atas perintah siapa?” sahutku sambil mengamati dari mana arahnya suara itu datang.
“Yang menguasai alam ini beserta isinya.”
“Oh, hebat lebih dari Presiden.” kataku menyindir.
“Eh, jangan banyak bicaramu.” ancamnya.
“Sekarang dimana kamu simpan semua harta peninggalan ayahmu yang begitu banyak.”
“Harta?” kataku sejenak lalu berpikir sembari mengerutkan kening.
“Semuanya telah kujual habis sekadar penyambung hidupku karena saat itu aku belum berpenghasilan tetap, dan sekarang jangankan harta, untuk makan pagi dan petang saja sangat susah disaat-saat krisis seperti ini.”
“Tapi selain kamu jual, tentu masih ada yang lain.”
“Sungguh, berani sumpah tak ada lagi yang lain.” kataku dengan ekspresi wajah sedih dan meyakinkan.
“Ingat, sesungguhnya semua harta itu, bukan milik siapa-siapa akan tetapi pada hakekatnya adalah titipan dari Yang Maha Kuasa dan ada pula orang-orang yang berhak atas harta itu.”
“Sekiranya hartaku banyak, tentunya telah lama aku memiliki mobil dan rumah mewah, buktinya sekarang aku hanya punyai sebuah sepeda motor butut, itu pun kondisinya sudah tak layak pakai karena telah termakan usia. Kecuali satu-satunya rumah yang kami tempati ini adalah peninggalan orang tuaku dan sebagai pewarisnya tentu adalah aku, karena aku terlahir sebagai anak tunggal semata wayang.”
Sejenak aku terdiam, dialog sementara terputus. Suara itu tiba-tiba hilang di pendengaranku. Mataku tak lepas menatap langit-langit rumahku yang sudah berubah warna karena lama tak terawat.
Senja diambang batas, buru-buru hendak beranjak menuju malam menyisakan bias-bias kuning jingga menerpa pucuk-pucuk pepohonan. Aku melangkah hendak menuju kampus tempatku bekerja, sebentar malam ada rapat pembentukan panitia Ujian Semester Akhir.
Ketika aku melangkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil-manggil namaku.
“Riza, …….. tunggu Riza!” begitu panggilnya akrab menyebut namaku. Aku menoleh kebelakang namun tak ada orang kulihat di sekelilingku. Urung aku melangkah balik masuk keruang tamu mengamati dari mana datangnya suara yang memanggilku. Diatas meja tamu kudapati sebuah benda asing yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Bentuknya aneh, seperti anak kunci yang pada ujungnya bercabang menyerupai huruf “ T ”
“Ma, ini kunci siapa?” tanyaku heran kepada Lisa sembari kuamati benda aneh itu.
“Mana aku tahu.” jawabnya.
Suara halus kembali terdengar dari balik pintu memanggil namaku.
“Riza, ………..!” begitu panggilnya sangat akrab padaku.
“Coba kamu berjalan menuju kamar belakang, kamu bongkar lantai tegel keramik warna coklat tua yang berada di bawah tempat tidurmu, lalu dengan anak kunci yang kamu pegang itu kamu buka tombol Brand Kas yang berada dibawah tanah yang dilapisi dengan beton bertulang, putar Kode 3X kekiri angka “50” kekanan 4X angka “35”. begitu perintahnya tegas padaku. Bagaikan seorang prajurit semua perintah komandan kulaksanakan dengan patuh sesuai dengan Sapta Prajurit.
Dan, …… setelah kubuka betapa kagetnya aku melihat benda-benda yang ada di dalamnya, seperangkat perhiasan terdiri dari emas, berlian serta setumpuk uang kertas lembaran lima puluh ribuan. Aku terperangah. Sepertinya tak percaya seolah dalam hayal mimpi. Akan tetapi aku yakin bahwa harta itu adalah peninggalan orang tuaku, karena semasa hidupnya ayahku pernah bercerita kepada ibuku bahwa ada sedikit simpanannya buatku sebagai biaya sekolah serta biaya keperluan lainnya, hanya tidak disebutkan dimana ia simpan. Sayang, karena ketika itu tidak disimpan di Bank. Sebagai seorang pejabat, mungkin khawatir disoroti orang kenapa begitu banyak ia miliki harta. Aku berteriak histeris memanggil-manggil Lisa istriku.
“Ma, cepat kemari lihat ini.” panggilku tak sabar.
Begitu Lisa melihat benda itu langsung ia mengucapkan syukur Alhamdulillah. Kami berangkulan tanda bahagia sembari aku berbisik, mari kita bersujud syukur.
“Terima kasih Malaikat.” ujar kami serempak.
“Besok kita ke masjid-masjid, panti-panti asuhan menemui fakir miskin peminta-minta di sepanjang Jalan A. Yani dan Mesjid Raya untuk di sedekahkan kepada mereka sebahagian dari harta kita ini.” kataku bahagia sambil berjalan bergandengan tangan masuk kamar tidur karena malam telah mendekati ambang larut. Kokok ayam di kejauhan mengantar kelelapan tidur kami jelang hari esok yang cerah.(*)

Harian Fajar, 05 Maret 2001 Makassar, 05 Pebruari 2000
Harian Radar Bulukumba, 15 September 2009