Kamis, 05 Mei 2011

01. DUA KERINDUAN

Oleh : Hasbullah Said.-

PULAU Penang dengan panorama lautnya yang sangat indah mempesona. Cantik kelihatannya ketika bola emas itu hendak bergulir jatuh kedasar laut biru. Bias mentari senja kemerah-merahan menerpa diatas bentangannya yang sangat luas. Sementara pandanganku tertuju kecamar laut yang sedang bersuka ria menyambut datangnya malam.
Seberkas khayalan indah menari-nari selalu dibenakku bila aku berada disini, berandai-andai mengimpikan gadis cantik bersamaku bergandengan tangan me- nyusuri pantai ini, dan setelah penat berjalan, kembali duduk santai berdua di atas dermaga bercanda bertutur kata dalam belaian kasih asmara, kendati semua itu hanya sebatas angan belaka.
Khayalanku berakhir sudah, dan impianku kini telah jadi kenyataan. Aku menikmati eloknya lukisan senja itu berdua Fitri, perempuan cantik dengan kerudung sutera putih bersulam benang emas tenunan Bugis Sengkang, melambai-lambai tertiup hembusan angin pantai.
“Apa adik Fitri, senang tidak datang dipulau Penang?“ tanyaku mulai bicara padanya.
“Fitri senang, dan senang sekali Bang.” sahutnya dengan senyum manis menatapku.
“Ayo, kita jalan yuk.“ pintaku sambil meraih tangannya yang halus membimbing Fitri berjalan menyusuri sepanjang pantai pulau Penang dengan merebahkan kepalanya bersandar tepat di bahuku, berjalan terus dan berjalan lagi hingga tak terasa oleh kami telah hampir tiba di dermaga penyeberangan kapal Feri.
Fitri di sampingku berjalan sambil mengamati deretan gedung-gedung jangkung pencakar langit yang tak terhitung jumlahnya. Angin laut berhembus per -
lahan dan suasana di pulau Penang semakin ramai di kunjungi turis Asing dan -
Domestik.
“Fitri, kita istirahat disini dik, kulihat kamu sudah penat berjalan.” kataku sambil duduk berdua diatas dermaga itu di antara sela-sela sekian banyak penjual makanan.
“Kamu suka makan kue tokh, dik?” tanyaku sambil menyedorkan beberapa jenis kue padanya.
“Suka Bang, dan disini apa nama kue ini?” tanya Fitri sambil meraih sebiji kemudian menyantapnya perlahan.
“Putu cawan.”
“Di Mangkasarak sana apa namanya?“ balik aku bertanya.
“Putu cangkirik.”
“Kalau gitu cangkirik dari Mangkasarak, cawan dari Selangor ketemu dipulau Penang.” kataku bercanda. Fitri mengulum senyum lalu ia menatapku perlahan, tatapannya seolah tembus ke relung hatiku yang paling dalam. Kulihat wajahnya sangat manis dimalam itu, sebuah cubitan manja mendarat dipangkal lenganku. .
“Gombal, dasar anak Melayu pandai berpantun sajak.” begitu guyonan Fitri
Purnama malam perlahan-lahan menampakkan dirinya dibalik celah-celah gedung pencakar langit, dan desir ombak gemulai melagu syahdu seolah melantunkan sebuah tembang asmara yang mendayu-dayu.
Hand-Phone dibalik saku jaket blue jeans yang aku kenakan berdering bising, dan sesaat kemudian terdengar suara Kak Young saudara perempuanku di Kuala Lumpur mengingatkan padaku kiranya tidak terlalu larut malam balik ke hotel tempat kami nginap. Khawatir kalau Fitri adik iparnya jatuh sakit kena angin malam. Ia sangat sayang dan sayang sekali sama Fitri.
“Fitri, kamu suka nyanyi tokh!” tanyaku merajut hatinya.
“Fitri tak pandai nyanyi Bang, tapi senang dengar musik.”
“Musik apa?” tanyaku lagi.
“Dangdut Melayu.” jawabnya senyum.
“Ehem, ......disini tak ada orang kampungan.” kataku bercanda.
“Kalau Abang, suka musik apa?” balik ia bertanya padaku.
“Rock Pop.”
“Kebarat-baratan, orang Bule masuk kampung tak ada disini.” balasnya pula bergurau sembari menjewer daun telingaku pertanda tak senang dengan lagu rock.
“Kalau gitu hasilnya seri, satu sama.” kataku riang.
“Eh, dik Fitri, kamu senang lagu apa?” tanyaku lagi sambil mencolek pangkal lengannya.
“Semalam di Malaysia, punya Kus Hendratmo ciptaan Syaiful Bakhri.“
”Bukan semalam, tapi Dua Malam di Malaysia, semalam di Kuala Lumpur, semalam di Pulau Penang, dan seterusnya menetap tinggal di Selangor.” kataku lagi bergurau.
“Abang sendiri suka lagu apa?” tanya Fitri.
“Kalau aku, senang lagu Anging Mammiri.”
“Kok lucu,..............” kata Fitri heran sambil menatapku lagi. Mata kami berbenturan, dan sekilas pandangnya dialihkan ke bentangan jembatan panjang yang menghubungkan Pulau Penang dengan daratan semenanjung Malaysia.
Ia kagum melihat kecanggihan tehnologi tinggi. Fitri sejenak tertunduk diam. Aku tahu pasti hatinya didalam tiba-tiba digeluti perasaan sedih dan rindu. Rindu akan kampung halamannya tanah Mangkasarak. Binar matanya berkaca-kaca, lalu ia diam
“Kenapa kamu diam dik, Fitri?” tanyaku.
“Jembatan itu Bang.“ jawab Fitri menepis.
“Kenapa jembatan itu, ada apa disana?” tanyaku lagi.
“Aku kagum.” sahutnya dengan nada perlahan.
Terbayang oleh Fitri ketika dulu awal pertama kali berangkat kemari disaat meninggalkan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Lambaian tangan perpisahan kedua orang tuanya yang ia sayangi serta Ika adiknya sangat menyiksa dan me-ngoyak-ngoyak relung hatinya.
Sendiri di keterasingannya selalu dibayang-bayangi oleh rasa rindu kemana ia pergi disitu ada kerinduan. Fitri masih tertunduk sedih. Kulihat ada butiran-butiran air bening mengalir perlahan membasahi wajahnya yang kuning langsat.
“Sudahlah dik Fit.” ucapku perlahan menenangkan hatinya yang tengah diliputi kepedihan sembari memegangi pundaknya.
Aku menghela nafas panjang, lalu mendehem menelan air ludah yang terbawa arus kepedihan hati Fitri.
“Kamu sayang sama Papa dan Mamamu tokh Fitri?” tanyaku padanya sambil menatapnya. Ia mengangguk sambil menyeka air matanya yang meleleh membasahi wajahnya.
“Papa dan Mamamu tentu juga sayang dan teramat sayang padamu karena kamu anak yang berbakti kepadanya.” kataku lagi.
“Tapi jauh, dan jauh sekali dari sini Bang.” kata Fitri dengan suara serak parau tertahan ditonggorokannya.
Gemercik air laut riuh terdengar menepis-nepis bibir dermaga dan perci- kannya membubung tinggi kemudian jatuh membasahi kerudung putih Fitri. Ia tak bergeming sedikitpun, lalu kami diam sama-sama. Sedang angin laut berhembus perlahan sepoi basah sejuk terasa mengelus tubuh kami berdua. Kubujuk terus Fitri agar tidak terlalu terpuruk dalam kesedihannya.
“Papamu ada disini Fitri, tidak jauh dan dekat sekali sama kamu.” kataku menghibur. Fitri terperangah mendengar ucapku, matanya nanar mencari kesana-kemari.
“Dimana?” tanya Fitri sumringah tak sabar.
“Duduk di sampingmu, aku Papamu, Abangmu, juga suamimu yang menjaga dan melindungimu serta menyayangimu, lebih dari kasih sayang Papa dan Mamamu.”
Fitri kembali diam, lama ia tak menyahut. Sekilas pandangannya tertuju pada kerlap-kerlip lampu diseberang sana timbul tenggelam dibuai ombak. Fitri bergeser dari duduknya. Pelan sekali, kemudian ia merebahkan tubuhnya bersandar didadaku. Terasa hangat badan Fitri dipangkuanku. Aku merunduk pelan lalu mengecup keningnya.
“Aku Papamu sayang kamu.” kataku perlahan lembut. Aku menatapnya lagi. Mata kami berbenturan. Dari sorot matanya lahir seberkas cahaya abadi, cinta abadi dalam kebahagian. Fitri mendekapku erat, kemudian di bisikkannya ketelingaku dengan suara datar hampir tak terdengar olehku.
“Bang, ada orang panggil Papa padamu. “
“Siapa?” tanyaku heran sambil memandang kesemua arah.
“Di dekatmu dan diantara kita.”
“Ehem,..... kamu membalas, skor dua sama.” kataku mendehem. Seraut wajah manis menatapku senyum.
“Tamuku sudah dua minggu kutunggu tak kunjung datang.”
“Oh, dari Makassar pasti?” potongku dengan nada riang.
“Kamu tak paham Bang, maksudku aku sedang ,........telat bulan dan tak lama lagi kamu akan dipanggil papa oleh orang yang bersembunyi di balik rahimku, anakku juga anak Abang Zul, cucu Dato’ Haji Shaharudin bin Abd.Rahman dari Kerajaan Selangor Darul Ekhsan Negara Bagian Malaysia.”
“Amboi,............” kataku girang setengah berteriak sambil kupeluk Fitri dengan erat. Erat sekali. Lama kami berpelukan, tanpa hirau dengan orang yang lalu lalang disekitar kami.
Malam mendekati ambang larut, gelombang laut terus mendendangkan lagu riang, riang gembira didua hati yang tengah berbulan madu.
“Mari kita pulang dik Fitri, sudah terlalu lama kita disini dan malampun telah hampir larut, nanti kamu sakit sayang.” pintaku sambil bangkit bersamanya me- ninggalkan dermaga itu.
Waktu berjalan terus dan hari-hari kulewati bersama Fitri penuh kasih sayang bahagia, perhatian sepenuhnya kucurahkan padanya agar dia tidak ter-belenggu selalu didalam keterasingannya.
“Dik Fitri,” panggilku disuatu petang ketika aku baru saja pulang kerja.
“Hem, ada apa lagi Bang?” tanya Fitri.
“Maukah kamu janji sayang, untuk tidak menangis dan bersedih hati lagi?”
Fitri diam tak menyahuti tanyaku, dan tak lama kemudian ia mengangguk senyum tanda setuju.
“Aku sangat menyayangimu dik, tapi kamu janji jangan bersedih hari selalu-
dan bersedia untuk melupakam semua itu.” bisikku ketelinga Fitri dengan nada lembut.
“Tapi Abang Zul, harus janji pula.”
“Janji apa Fit?”
“Kelak bila anak kita lahir selamat, maukah Abang lantunkan lagu Anging Mammiri kesayanganmu sebagai pengantar tidurnya.”
“Ya, tentu dong, tapi Fitri juga janji lantunkan lagu Semalam di Malaysia.” ujarku sembari mengangkat kedua belahan lenganku keatas tinggi-tinggi lalu,.........!
”Chess,.....” kedua telapak tanganku beradu dengan tangan Fitri.
“Oke Bang.” sahutnya riang sambil berlalu meninggalkanku menuju keruang dapur menyiapkan makan malam.(*)

Makassar, 10 November 1997

Harian Pedoman Rakyat, 29 November 1998
Harian Fajar, 06 Desember 1998
Harian Radar Bulukumba, 15 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar