Kamis, 05 Mei 2011

04. BUNGA - BUNGA SIMPATIK

Oleh : Hasbullah Said.-

SENJA temaram menyisakan bayang-bayang panjang melintang disepanjang Jalan Penghibur. Roda-roda ban sepeda motor Suzuki-ku terus berputar menggilas rata bayangan itu menuju arah utara kota, menyebarkan asap putih berhamburan menutupi hampir seluruh ruas Jalan Penghibur.
Begitu laju kularikan membuat rambut Kartika acak-acakan menepis-nepis wajahnya oleh terpaan angin kencang. Berpegang erat melingkar di pinggangku pertanda cemas tak setuju dengan kecepatan tinggi. Namun tetap juga kularikan di atas rata-rata normal, sekalipun aku tahu dia merasa katakutan dibelakangku.
“Jalan-jalan sore, atau cari mati?” tegur Ika cemas dibelakangku dengan suara hampir tak terdengar olehku, karena suaranya ditelan oleh kesiur derasnya angin.
“Aku tak suka anak cengeng!”
“Mana yang kau suka aku loncat kebawah biar aku mati sendirian, atau kita mati berdua menggenaskan karena kecelakaan.“ ancam Ika dengan suara lirih.
“Dua-duanya aku tak suka.“ ujarku sambil menikung miring kayak balapan betulan mengitari bundaraan Jalan Riburane balik kearah selatan persis tepat depan Benteng Rotterdam.
“Stop, turunkan aku disini, jantungku mau copot!“ pinta Ika emosi sembari mencubit punggungku tanda tak senang dengan kecepatan tinggi.
“Tujuanku memang disini, depan Benteng untuk istirahat sambil bercanda bersama kamu.” kataku menyabarkan Ika sambil berjalan membimbing tangannya memasuki taman bunga duduk di atas bangku beton.
“Kamu perempuan nekad.” kataku memulai bicara setelah kami duduk bersama di atas bangku beton itu.
“Memangnya kenapa?”
“Kamu tak takut mati, ingin loncat dari atas sepeda motor yang sedang melaju, lalu kemarin kamu ikut unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah protes rencana kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik, tarif telepon dan kenaikan tunjangan bagi anggota DPR, sehingga terjadi saling dorong-mendorong didepan kantor DPR dengan petugas aparat keamanan disertai todongan laras senjata mengarah padamu, apa kau tak takut mati Ika?”
“Mati, siapa takut?” idealisme perjuangan mahasiswa tidak pernah mengenal takut dan mati sekalipun, kendati sudah banyak korban berjatuhan, karena keberpihakan pada kebenaran membela rakyat yang lemah, itulah wujud kepedulian mahasiswa memberantas segala kezaliman, ketidakadilan, kesewenang-wenangan oleh pihak penguasa.” jawab Ika dengan nada emosi.
“Ehem, apa kamu yakin semua perjuangan dan tuntutan mahasiswa itu murni?” aku mendehem mencibir Ika.
“Ya, aku yakin.” katanya pasti.
“Ah, Money Politik.” kataku memancing emosi Ika.
“Enak aja menuduh, memangnya mahasiswa banyak duit?” protesnya dengan nada emosi.
“Mau apa lagi, kan sudah ada lembaga yang diserahi tanggung jawab mewakili suara rakyat.”
“Tidak ada unjuk rasa sekiranya lembaga itu betul-betul aspiratif memba- wakan suara hati nurani rakyat.”
“Itulah sebabnya mahasiswa sering turun kejalan menentang kebijakan pemerintah karena sering bertentangan dengan tuntutan hati nurani rakyat. Buktinya bahan bakar minyak rencana naik, tarif dasar listrik, tunjangan anggota DPR naik antara 60 hingga 75 persen, suatu perimbangan kenaikan yang tidak adil dan realistis sementara perekonomian kita carut-marut membuat rakyat kecil termasuk pegawai negeri tingkat bawah semakin terpuruk, jurang pemisah antara sikaya dan simiskin semakin menganga lebar.” lanjut Ika dengan suara agak meninggi.
“Sudah … sudahlah Ika, jangan kita terlalu jauh bicara soal politik, kita bicara yang ringan-ringan saja, sekalipun aku turut dirugikan oleh kelompokmu karena rencana kenaikan gaji bagi PNS tertunda pembayarannya.”
“Baru rasa.” cemoh Ika padaku.
“Ika, kapan kuliahmu selesai?” tanyaku mengalihkan kepembicaraan lain.
“Masih lama, semester depan baru ikut KKN, kenapa?” balik Ika bertanya padaku.
“Tidak.”
“Ehem, aku tahu kamu menghendaki statusku cepat berubah jadi alumni, agar tidak lagi ikut unjuk rasa.”
“Iya, khan?” desak Ika.
“Betul sekali Ika.”
“Berarti kamu tidak dukung perjuanganku bersama teman mahasiswa lainnya membela kebenaran, berantas KKN dan penyelewengan lainnya.”
“Dukung sih dukung, tapi tidak dengan cara seperti itu, tiap hari banyak jatuh korban dari kedua belah pihak, keamanan dan mahasiswa, aku tak tega melihatmu digiring selalu oleh aparat keamanan dengan sekujur tubuhmu babak belur bekas pentungan.”
“Namanya perjuangan.”
“Perjuangan atau sikap arogansi mahasiswa?”
“Aparat keamanan yang arogan.” bantah Ika, dengan tatapan mata tajam padaku.
“Sama-sama arogan.” tangkis aku tak mau kalah.
“Seyogianya aparat keamanan bertindak bijaksana persuasif.” pinta Ika dengan nada sedikit lunak.
“Juga mahasiswa seharusnya turun kejalan dengan aksi damai, tidak dengan anarkis agar tidak terjadi benturan antara aparat keamanan dengan kelompok mahasiswa pengunjuk rasa.” balasku tak hilang akal.
“Iya, toh Ika?” Ika tak menyahut, wajahnya tampak merah padam menahan emosi hatinya.
Malam telah tiba. Lampu taman menyala serentak membiaskan cahaya terang menerpa di atas permukaan rumput taman. Pantai Losari semakin ramai dipadati oleh pengunjungnya. Hingar bingar suara kendaraan lalu lalang dihadapan kami. Ika diam lalu membathin. Pandangannya jatuh keatas hamparan laut biru dihiasi kerlap-kerlip lampu nelayan yang tengah mencari ikan.
“Ika, maafkan aku.” kataku lembut setelah lama kami terdiam.
“Egois, tidak ada rasa cinta dan kepekaanmu terhadap sesama manusia yang tengah dihimpit kesusahan dan kesulitan ekonomi, akibat kebijakan pemerintah yang tidak realistis sementara perekonomian rakyat semakin terpuruk nyaris tak berdaya.”
“Sungguh, aku mendukungmu Ika, dan aku akan buktikan besok.” balasku dengan nada penuh kesungguhan.
“Kenapa mesti besok?”
“Besok akan ada rapat akbar bertempat di halaman depan gedung Rektorat kampus Merah Tamalanrea, yang akan dihadiri oleh beberapa Guru Besar PTN dan PTS serta mahasiswa dan karyawan yang tergabung dalam KPN-PNS (Komite Perjuangan Nasib Pegawai Negeri Sipil) dari berbagai instansi pemerintah di kota ini. Bakalan ramai Ika, karena pembawa orasi adalah Guru-guru besar. Aku akan turut serta dalam aksi itu sebagai pernyataan dukunganku terhadap perjuanganmu dan juga rasa solidaritas terhadap PNS kelompok bawah.“ Ika menatapku dengan sorot mata tajam. Kulihat matanya sembab menahan kepedihan hatinya. Sepertinya ia kurang yakin atas pernyataanku.
“Kenapa kamu berubah pikiran balik 180 derajat, bukankah kamu sebagai seorang pegawai negeri sipil.”
“Apa artinya sebagai seorang pegawai rendahan, dan ini pernyataan dukunganku terhadap perjuanganmu Ika, percayalah padaku!” kataku meyakinkan dengan ekspresi wajah penuh keseriusan.
“Apa kamu tidak takut dipecat oleh atasanmu?”
“Bukan zamannya lagi seperti zaman dulu, semau gue penuh kepura-puraan dan kebohongan.”
“Dulu kapan?” tanya Ika serius.
“Dulu, sesudah Orde lama, kira-kira apa namanya Ika?” balik aku bertanya.
“Ya, tentu Orde Baru.” jawab Ika bersemangat.
“Nilai A plus buat Ika, kamu memang gadis cerdas.” candaku memuji Ika.
“Ika, panggilku pelan minta perhatian serius darinya sembari memegang pundaknya. Aksi damai Ika, tidak brutal dan anarkhis seperti apa yang kau bayangkan, karena yang ikut aksi nanti banyak-banyak karyawan dan intelektual kampus, mereka paling tidak suka terhadap kekerasan namanya saja aksi damai.
Baru kali ini terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran seperti itu, bahkan bunga-bunga simpatik telah dipersiapkan begitu banyak untuk dibagi-bagikan besok kepada siapa saja yang lewat di Jalan Perintis Kemerdekaan dan sekitarnya, terutama akan diberikan khusus kepada aparat keamanan nanti, tentunya mereka akan menerimanya dengan rasa senang hati karena bunga atau kembang suatu simbol tanda cinta damai. Semoga esok hari aksi damai berjalan lancar dan tidak terjadi hal-hal yang sama kita tidak inginkan.”
“Mudah-mudahan Fikram.” potong Ika bersemangat.
“Makanya, jangan kamu terlalu cepat apriori terhadapku, solusinya kita kan selalu cari jalan yang terbaik.“ Ika mengangguk senyum pertanda mulai yakin padaku.
“Maafkan aku Fikram.“ pinta Ika padaku dengan suara serak sepertinya ada penyesalan lahir dari dalam lubuk hatinya, sembari mengulurkan tangannya menyalami aku.
“Sudahlah sayang, tak usah kita persoalkan lagi.”
“Kamu datang besok toh, Ika.” ujarku lagi.
“Pasti, dan pasti aku datang, dimana kita ketemu nanti?” tanya Ika.
“Masuk melalui pintu I, dan kita ketemu nanti didepan gedung Rektorat.”
“Eh Fik, hampir aku lupa.”
“Apa lagi sayang. “
“Tolong berikan aku besok sekuntum bunga warna merah.”
“Untuk siapa?”
“Untuk seseorang pengunjuk rasa yang membagikan bunga kepada aparat keamanan.” jawab Ika serius.
“Gila kamu kali!”
“Sungguh, aku sangat mengharapkanmu.”
“Nanti besok.”
“Boleh aku tahu siapa orangnya?“ kembali aku bertanya.
“Orangnya ada di dekatku yang duduk disampingku, sebagai wujud rasa simpatiku padanya, karena visi dan misi perjuanganku sama.” mataku melotot menatap wajah Ika dengan senyum sumringah. Pandangan kami berbenturan. Dua pasang mata bertatapan. Mata Ika nampak berbinar kayak bintang kejora pertanda bahagia.
“Terima kasih.” kataku sembari membimbing tangan Ika beranjak meninggalkan taman itu.
Sepeda motor Suzuki-ku kembali kularikan dengan kecepatan dibawah rata-rata normal kearah selatan kota menuju rumah pondokan Ika.
“Selamat malam Ika.”
“Selamat malam Fikram, sampai jumpa besok di kampus Merah.” balas Ika sembari berjalan masuk ke pondokannya.(*)

Makassar, 10 April 2000

Harian Pedoman Rakyat, 13 Agustus 2000
Harian Radar Bulukumba, 03 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar