Kamis, 05 Mei 2011

05.SURAT DARI MAKASSAR

Oleh : Hasbullah Said.-

LANGIT melingkar berselimut kelam. Hitam sekali. Tak satupun bintang nampak berkedip. Air langit lebat, sebentar lagi turun mengguyur segala apa yang ada dibumi. Angin berhembus lembut mengelus kulit ari menyeruak masuk ketulang sum-sum dingin terasa untuk ukuran seperti biasa.
Malam perlahan-lahan datang merangkul orang-orang yang tengah sibuk menyiapkan apa adanya untuk hari Raya Lebaran Idul Fitri pagi esok, hari ke-menangan bagi ummat muslim.
Dari balik puncak menara mesjid terdengar suara takbiran menggema memecah keheningan malam Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilham, memuji kebesaran Asma Ilahi, diiringi dentuman petasan disela-sela suara takbiran meninggalkan kesan haru bagi orang-orang yang mendengarnya.
Bulan Suci Ramadhan bergulir perlahan bergeser menuju hari-hari berikutnya dengan lelehan air mata, memohon pengampunan dosa kepada Yang Maha Kuasa.
Kota Kuala Lumpur sepertinya terjaga dari lelap tidur panjang oleh serentetan bunyi petasan disusul hiasan kembang api warna-warni terpencar membelah langit biru berselimut kelam.
Sehari sesudah itu ketika malam tiba, Isma duduk diruang tengah, menatap lurus pandangannya jatuh pada gambar-gambar yang di sodorkan oleh TV3 Malaysia menayangkan seputar peristiwa Negeri Jiran Indonesia.
Terbius oleh berita itu, bergeser ia agak kedepan agar lebih jelas inderanya menangkap tayangan-tayangan sembari mengusap matanya berkali-kali untuk meyakinkan pada dirinya bahwa apa yang dilihatnya itu bukanlah suatu mimpi buruk yang tengah melanda bangsa Indonesia tanah airnya.
“ Sekitar 60 orang telah tewas dan ratusan rumah ibadah hangus dibakar massa akibat kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon sehabis Sholat Idul Fitri pagi tadi.”
Mendengar berita itu, Isma mengelus dada dengan helaan nafas panjang sembari mengucap Istigfar berulang-ulang kali. Seminggu yang lalu ia menerima surat dari ibunya di tanah Mangkasarak tempat ia dilahirkan. Luka. Setumpuk keluhan tergores disana. Tak nampak karena jauh, tapi mata hatinya didalam melihat segala kejadian, dan kini ia turut meratap sedih sesunggukan. Ika adiknya minggu depan akan ujian skripsi sebagai pra-syarat untuk meraih gelar S1. Berarti ia butuh biaya yang tak sedikit jumlahnya. Sementara pesangon yang diterima ayahnya sebagai konpensasi pemutusan hubungan kerja diperusahaan swasta dimana ia bekerja, hanya cukup untuk menutupi utang-utang yang menumpuk, itupun harus nombok karena masih banyak yang belum terlunasi.
Paham betul ia akan maksud surat itu. Satu-satunya tumpuan harapan orang tuanya dialah seorang karena terlahir hanya dua bersaudara semuanya perempuan. Dalam surat ibunya diungkapkan, krisis ekonomi yang berkempanjangan sangat mempengaruhi hidup hari-harinya nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Mungkin nasib baik belum berpihak kepadanya.
Suatu indikasi yang memperburuk suasana membuat terpuruknya perekonomian bangsa, adalah gejolak politik yang berkepenjangan yang bermuara kepada maraknya aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi dimana-mana, penjarahan, perampokan, pertikaian antara kelompok, pembakaran rumah-rumah ibadah, pembunuhan dukun santet dan setumpuk lagi perbuatan anarkhis yang tak sempat disebut satu persatu.
“Mengapa mesti terjadi demikian?” tak putus tanya Isma dalam hatinya. Dibacanya sekali lagi surat ibunya......... Anakku, bangsa kita kini dalam suasana hidup ketidak pastian diliputi rasa kecemasan dengan bentangan permadani reformasi di segala bidang yang diharapkan, belum juga kunjung terwujud, sementara kondisi perekonomian bangsa kita semakin terpuruk, oleh krisis ekonomi keperpanjangan. Luka dihati rakyat semakin hari semakin menganga lebar dengan rintihan kepedihan yang tak tertahankan, karena ketidak mampuan meraih segala kebutuhan hidup yang semakin menggila.
Anakku, malu dan amat malu bunda paparkan lebih jauh kepadamu terlebih Abangmu, suamimu dan seluruh kerabat keluarganya yang ada di Malaysia tentang keadaan bangsa kita saat ini. Entah apa nama bangsa ini. Kesatuan dan rasa cinta kebangsaaan semakin tercabik-cabik terkikis habis menepi menuju jurang kehancuran. Hal ini bunda katakan dengan sejujurnya, Akh…, katakan saja negara krisis, krisis ekonomi, krisis kepercayaan dan krisis segala-galanya. Indonesiaku adalah Indonesiamu, tumpah darahku juga tanah tumpah darahmu, sekalipun engkau telah beralih warga negara mengikuti suamimu yang terlahir sebagai warga negara Malaysia tulen. Bunda yakin kau masih memiliki rasa kecintaan kebangsaan yang tinggi karena kau dilahirkan di tanah persada Indonesia tercinta ini, tanah Mangkasarak kota Daeng. Bangsa kita dulu penuh kerukunan dan kedamaian walau terdiri dari berbagai corak ragam agama dan etnis, tak sepertinya dulu lagi, Indonesia kini tak ubahnya bagaikan panggung sandiwara raksasa, dengan mempertontonkan episode-episode kekuasaan yang penuh dengan kepura-puraan dan kebohongan yang dilakonkan oleh tokohnya yang disebut Orde Baru. Ironisnya, para penonton juga orang yang berpura-pura di atas kebohongan. Belum sempat drama itu berakhir tiba-tiba datang gelombang TSUNAMI memporak-porandakan seluruh aktivitasnya, diguyur oleh derasnya hujan reformasi disegala bidang, membuat para pelakunya lari terbirit-birit mencari tempat yang lebih aman.
Akh…, entah apa nama judul drama itu, katakan saja drama maut yang menyengsarakan rakyat selama bertahun-tahun lamanya.
Ketika Rezim Orde Baru tumbang, tak sedikit pakar politik muncul kepermukaan dengan berbagai wejangan yang semakin membingungkan masyarakat awam.
Mampukah ia bangkit kembali setelah terpuruk? Bagaikan layangan putus, kemana angin berhembus kesitu pula ia berada. Kemanakah bangsa ini akan dibawa.
Anakku, lewat media cetak dan elektronik dinegerimu tentunya, engkau akan tersiksa dalam kecemasan membaca berita issu simpang siur tentang bangsamu yang tengah dilanda oleh maraknya berbagai macam kerusuhan.
Isma terhenti sejenak membaca, lalu ia menyeka air matanya yang jatuh berlelehan dengan punggung tangannya, kemudian ia lanjut membacanya.
Pupuslah sudah segala harapanku untuk tenang di negeri ini, berangan-angan hendak hijrah mencari ketenangan hidup di negerimu Malaysia yang kaya raya lagi tentram aman damai, akan tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan karena banyaknya pendatang haram yang dipulangkan.
Himpitan penderitaan yang berkepanjangan membuat rakyat kecil seperti Ibumu, selalu mencari jalan keluar dalam lingkaran setan yang membelenggu.
Ketidak berdayaan oleh himpitan beban krismon yang serba susah, ayahmu bangkit tertatih-tatih mencoba membangun kehidupan baru di atas puing rentuhan yang terlanjur ambruk.
Dengan mengandalkan pengalaman kerja bertahun-tahun lamanya di perusahaan swasta, disodorkannya kepada siapa saja. Jawabannya hampir-hampir sama, maaf tidak menerima karyawan baru, perusahaan kami sementara penciutan organisasi karena terancam gulung tikar.
Surutlah ia kebelakang dengan mengelus dada kepasraan menghabiskan sisa-sisa usianya hanya untuk mengabdi semata kepada Khalik-nya agar impas di dunia ini berdarah-darah menerima sial sejuta kesusahan, akan tetapi tersenyum bahagia kelak di alam sana. Sesudah itu ayahmu sering sakit-sakitan, mungkin trauma menerima nasib sial seperti itu.
Hari-hari kulewati bersamanya dengan was-was kecemasan. Pesta demokrasi sudah diambang pintu anakku, Bayangkan, puluhan partai politik akan ikut bertanding dengan mempertaruhkan segalanya, nilai harga diri dan cinta kebangsaan telah tercabik-cabik oleh ambisi kedudukan yang selalu dikejar-kejar.
Paling menakutkan lagi, pakar politik dinegeri ini sering meramal akan terjadi pertumpahan darah yang tak dapat dielakkan bilamana semua per-masaalahan tidak dapat diselesaikan dengan arif bijaksana. Ramalan seperti itu sering menghantui pikiranku. Akh........., sungguh mengerikan.
Timbul tanya dalam benak yang sulit terjawab. Sampai kapankah rakyat disini bertahan dalam penantian kedamaian. Anakku, hanya satu harapan dalam penantian, dipercepatnya Pemilu yang demokratis, jujur dan adil dengan terbentuknya pemerintahan baru yang bersih terbebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) agar bangsa kita terhindar dari ancaman malapetaka yang mengerikan.
Kuharap balasan darimu dengan berita yang menggembirakan agar hatiku-
terhibur. ­
Peluk cium dari Ibundamu,
Bungalia
Malam merangkak perlahan ke ambang larut. Isma hendak beranjak dari duduknya, tiba-tiba Abangnya telah berdiri di belakangnya sembari memegang pundaknya.
“Sudahlah dik Isma, minggu depan kita ke Makassar!” bujuknya me-nenangkan hati Isma.
“Bagaimana Bang, penerbangan Mas Kuala Lumpur-Makassar sudah lama tutup.” ujar Isma istrinya dengan nada lirih.
“Kita lewat laut saja, menyeberang melalui pulau Batam terus ke Kijang kemudian kita langsung ke Makassar, biar lambat tapi sedikit irit biaya.”
“Kamu setuju tokh, Isma?” tanya Abangnya.
Isma mengangguk tanda setuju, lalu menatapnya senyum dengan sorot mata penuh harap sembari berjalan bergandengan tangan masuk ke kamar tidurnya, karena malam perlahan merangkak menuju titik larutnya.(*)

Makassar, 02 Januari 2000

Harian Fajar, 28 Pebruarii 2000
Harian Radar Bulukumba, 10 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar