Kamis, 05 Mei 2011

06. DI ATAS KM. BUKIT SIGUNTANG

Oleh : Hasbullah Said.-

PERLAHAN-LAHAN KM Bukit Siguntang menghindar menjauhi dermaga pelabuhan alam Bau-Bau hendak bertolak menuju Kota Makassar, dan tak lama kemudian kapal itu kembali melaju membelah laut biru, menyisakan busa-busa putih kayak kapas berhamburan lari berkejaran di kedua belah sisi kapal menuju buritan.
Gadis itu masih juga berdiri bersandar diteralis pengaman kapal dek 4, menatap ke atas bukit ketinggian tempat keraton Sultan Buton nampak samar-samar semakin lama semakin mengecil tinggal titik noktah kebiruan dari jauh, dan akhirnya hilang lenyap sama sekali di pandangan mata. Selamat tinggal Kota Bau-bau Kota Kerajaan Buton yang Bertaqwa.
Diatas kapal sarat penumpang berbaur bersama eksodus asal Tual, Ternate dan Ambon tujuan Makassar-Surabaya. Begitu padatnya penumpang sehingga sangat sulit untuk merebahkan tubuh dengan sempurna, ditambah dengan barang bawaan yang mengambil banyak tempat. Ruang gerak sangat terbatas oleh jejal-jejal manusia berhimpitan memenuhi hampir seluruh ruang kapal, mulai lorong-lorong kamar hingga koridor paling luar.
Tidak peduli dengan terpaan angin kencang atau pun percikan air laut senantiasa datang tiba-tiba ketika ombak besar menghempas dari arah haluan kapal, yang penting dapat terangkut dan tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Saya beserta tiga orang teman lainnya hanya mampu memperoleh tempat dekat pintu keluar menuju koridor dek 4, duduk bersandar sambil sesekali menjulurkan kaki ke depan melemaskan otot-otot karena kecapaian.
Di kapal memang sangat tersiksa dan menderita, ditambah gerah udara pengap karena AC pendingin sepertinya tak mampu berfungsi normal akibat sesaknya penumpang.
Matahari pagi dari arah timur memancarkan cahaya kuning tembus lewat kaca jendela pintu berbentuk bundaran bola kaki. Lola gadis itu sepertinya telah kecapaian berdiri diluar lalu kembali ia berjalan masuk menuju kelas ekonomi persis di mulut lorong tempat ia merebahkan tubuhnya. Sial baginya, ketika untuk kedua kalinya ia berjalan buru-buru hendak keluar menuju koridor, Lola jatuh tersandung oleh kaki saya yang terjulur ke depan, membuat mukanya merah menahan rasa malu. Berkali-kali ia mohon maaf padaku, namun saya jawab.
“Tidak, saya yang mohon maaf karena kakiku jorok membuat engkau terjatuh.” kataku iba, merasa kasihan melihat ia terjerembab tepat di hadapan kami disaksikan oleh banyak penumpang lainnya. Rasa penyesalan selalu datang mengejar-ngejarku menghantui pikirannku seolah berdosa besar terhadapnya.
“Kaki yang nakal hukumannya harus dipotong biar buntung supaya dia rasa.” kelakar Karim temanku pura-pura bela gadis itu.
“Demi keadilan, yang salah harus dihukum.” timpal Sehu di dekatku dukung Karim.
“Eh, enak saja, kapan kalian jadi pengacara, persoalan kecil begini ramai-ramai ingin jadi pahlawan kesiangan.” kataku geram pada mereka.
“Namanya negara hukum, tentunya supremasi hukum harus ditegakkan dan dijunjung tinggi.” ujar Dini di sampingku menimpali.
“Tapi ini kan di atas kapal.” bantah aku, agar tidak menjadi perhatian bagi penumpang lainnya.
“Di mana pun kita berada hukum tetap harus ditegakkan, sekalipun di hutan belantara yang tak berpenghuni, apalagi diatas kapal yang dipadati oleh banyak penumpang.” ujar Sehu sekali lagi dengan nada serius.
“Kalau kebal hukum, kita serahkan saja ke pengadilan rakyat, biar rakyat ramai-ramai menghakiminya.” teriak Dini mengancam aku.
“Akh …, sudah …, sudahlah, cepat-cepat minta maaf padanya, biar jatuh vonis bebas tanpa syarat.” desak Karim padaku dengan mimik sungguhan.
“Oke,” kataku sembari mengulurkan tanganku menyalami gadis itu disertai ucapan maaf yang disambut dengan sedikit grogi karena rasa malu.
“Kenalkan, namaku Iwan, kami berteman 4 orang hendak balik ke Makassar sehabis mengadakan penelitian dampak pencemaran laut disekitar perairan Pulau Buton dan Muna.”
“Ini Karim, kemudian di sampingnya namanya Sehu, dan di sebelahnya lagi namanya Dini.” lanjutku memperkenalkan satu-persatu kepadanya.
“Namaku Lola, naik di dermaga Pelabuhan Yos sudarso Ambon tujuan Makassar.” balasnya sambil melempar senyum malu padaku.
“Kulihat kamu sepertinya gelisah tak sabaran duduk berlamaan di tempatmu, sebentar keluar sebentar masuk, ada apa Lola?” tanyaku ingin tahu. Lola cuek dan tak menyahuti tanyaku, lalu ia bangkit kembali hendak beranjak menuju koridor tapi aku cegat.
“Tunggu …, aku ikut denganmu!” begitu pintaku sambil berjalan mengikutinya dari belakang.
“Lola, sekali lagi aku mohon maaf.“ kataku dengan nada memelas sembari menepuk pundaknya lalu aku berdiri di sampingnya sama-sama berpegang pada terali pengaman kapal yang terbuat dari kayu jati.
“Tak usah dibesar-besarkan, sudahlah….., kita sama-sama khilaf.“ katanya lembut menyabarkan aku.
“Terima kasih.” ujarku perlahan.
“Tapi kulihat kamu nampak gelisah dan tak tenang di tempatmu?” lanjutku bertanya.
“Makassar sudah dekat, aku ingin lihat dari jauh sebelum kapal sandar merapat di dermaga Soekarno-Hatta, kata orang panoramanya indah dan sangat cantik di pandang dari jauh.”
“Betul Lola, tapi Makassar masih jauh, perjalanan ditempuh kira-kira enam hingga tujuh jam lagi, dan Lola sudah berapa kali ke Makassar?” tanyaku lagi serius sambil menatap lekat-lekat wajahnya.
Mata kami berbenturan. Dari raut wajahnya kulihat ada tersimpan sesuatu yang ia pendam dalam-dalam. Lola diam, lalu menatap air laut berlarian berkejaran menuju buritan kapal, sesekali ia membetulkan rambutnya yang menepis–nepis menutupi hampir separuh wajahnya oleh terpaan angin buritan.
“Pertama kalinya.” jawabnya lembut sembari mengangkat wajahnya menatapku.
“Lalu, kamu ditemani siapa?”
“Sendirianku.”
“Kau gadis pemberani.” kataku memuji.
“Kenapa takut, kendati setiap gerak-gerik orang tetap aku curigai dan waspada selalu.”
“Kenapa?” tanyaku serius penasaran.
“Situasi dan kondisi di Ambon memaksakan demikian.”
“Tapi …, aku bukan penjahat yang harus kau curigai, dan di sini bukan Ambon, kita sementara berada di atas kapal, percayalah Lola …, aku berjanji tak akan berbuat jahat kepadamu, kami berteman orang baik-baik semua.” kataku berulang-ulang meyakinkan dia.
“Ehem, aku tak yakin, di kapal tidak menjamin sepenuhnya keselamatan dan keamanan bagi para penumpangnya, disini katanya sering terjadi kecopetan, keributan, perkelahian antara dua kelompok yang bertikai, bahkan pembunuhan sadis pernah terjadi dengan melempar korbannya ke tengah laut, lalu ditinggalkan begitu saja, makanya aku tetap selalu waspada dan curiga terhadap siapa pun juga.” kata Lola dengan ekspresi wajah yang pesimis.
“Sekali lagi …, percayalah aku Lola!” suaraku serak parau memelas sembari memegang pundaknya, lalu aku lanjut bicara padanya.
“Aku tidak melihat dari kelompok mana yang bertikai, merah atau putih, yang jelas kita masih bernaung di bawah satu Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, Indonesiaku dan juga Indonesiamu, yang memberikan jaminan keamanan dan ketentraman bagi setiap warganya. Dan …, dan …, aku beserta ketiga temanku sepakat untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan terhadapmu dalam perjalanan menuju Makassar, kau setuju toh, Lola?” Lola menganguk senyum tanda setuju.
Kami terdiam, tak ada suara kedengaran kecuali, bunyi mesin kapal yang tak henti-hentinya melaju terus membelah laut biru. Burung camar beterbangan menyambar-nyambar ke atas permukaan laut dengan lincahnya bergerombol mengitari kapal.
“Yuk, kita ke kantin Lola, capek kita berdiri di sini, biar di kantin kita ngobrol lebih lama.” pintaku sembari membimbing tangan Lola menuju dek 5, kupesan dua gelas air jeruk hangat.
Angin dari buritan berhembus perlahan lembut, mengelus tubuh Lola membuat ia menggigil kedinginan. Jaket blue jeansku yang kupakai kuberikan padanya biar ia hangat tidak kedinginan.
“Terima kasih.” sahutnya senyum sembari mengenakan di badannya.
Mentari di ambang senja, bias-bias kuning keemasan menerpa ke atas permukaan buritan kapal pertanda sebentar lagi hendak bergulir jatuh menceburkan dirinya ke dasar laut biru.
“Lola, katakanlah sejujurnya, aku belum mengerti apa yang kau maksudkan tadi.” kataku setelah sekian lama kami terdiam. Lola masih tertegun bisu, sulit rasanya membuka mulutnya. Ia membathin. Sepertinya ia tengah memusatkan pikirannya pada peristiwa kerusuhan Ambon beberapa waktu lalu.
“Katakanlah … Lola!” desakku sekali lagi.
“Baiklah ….....!” kata Lola, sembari menelan air liurnya yang tertahan di tenggorokannya menahan sedih. Matanya nampak berkaca-kaca lalu ia kembali lanjutkan bicaranya.
Aku terlahir didunia ini ditakdirkan sebagai anak malang, jauh dari keberuntungan hidup. Aku dilahirkan dari seorang ibu keturunan Ambon tulen dan ayah asal daerah Makassar sini. Merantau mengadu untung ke Ambon ketika di daerah ini dilanda panen gagal akibat kemarau berkepanjangan berturut-turut tiga tahun lamanya. Orang Bugis-Makassar terkenal perantau yang sukses di negeri orang karena tekun dan ulet. Ketemu jodoh dengan ibuku sama-sama pedagang kaki lima di emperan toko disudut-sudut kota Ambon.
Aku anak perempuan bungsu dari dua saudara yang sulung laki-laki. Awalnya hidup kami sekeluarga pas-pasan dari hasil jualan barang campuran. Akhirnya berkat keuletan dan kerja keras kedua orang tua kami, hasil jualannya semakin hari semakin bertambah maju dengan pesatnya. Sebagai penyalur tunggal sembilan bahan pokok di kota Ambon, maka kedua orang tuaku termasuk pengusaha sukses yang memiliki banyak jenis usaha. Hidup keluarga kami waktu itu boleh dikata sangat berkecukupan rukun bahagia.
Ketika era reformasi bergulir merambah ke seluruh pelosok tanah air menuntut agar diadakan perubahan total di segala bidang. Ambon turut bergolak rusuh dengan menyimpang dari tuntutan reformasi yang bernuansa politik sara. Di sinilah awal malapetaka yang menimpa keluarga kami. Dua kelompok yang bertikai saling membantai, masing-masing menamakan dirinya kelompok putih dan merah, kedua-duanya saling bermusuhan bertahan tidak ada yang mau mengalah.
Dari hari ke hari Kota Ambon semakin mencekam bagai kota mati. Bom molotov rakitan sendiri serta bunyi senjata api terdengar di mana-mana setiap detik waktu. Korban berjatuhan terus, namun pembantaian manusia tak akan pernah usai. Pela Gandong falsafah orang-orang Ambon suatu bentuk kerukunan antar agama yang dianut oleh nenek moyang mereka sejak dahulu kala turun temurun tetap terpelihara, namun kini telah sirna terkoyak-koyak oleh tangan-tangan biadab.
Hari jelang malam, semua rumah-rumah penduduk termasuk ruko milik orang tuaku hendak tutup lebih awal khawatir terjadi kerusuhan malam hari yang lebih besar. Sejenak kemudian tiba-tiba dari arah jalan raya sekelompok massa perusuh datang menuju rumah kami memaksakan ruko milik orang tuaku tetap dibuka, semua isinya dijarah dan sebahagian dihancurkan.
Tentunya perlakuan seperti itu, kedua orang tuaku tidak dapat menerimanya begitu saja, darah Makassar yang mengalir di tubuhnya seketika mendidih panas, dia mengadakan perlawanan namun agaknya sia-sia belaka karena jumlahnya tak seimbang. Massa perusuh semakin beringas semua isi dijarahnya beserta ruko milik orang tuaku dibakar habis, mujur ketika itu aku beserta saudara laki-lakiku sempat lolos melarikan diri melalui pintu belakang, sehingga terhindar dari amukan massa yang brutal serta kobaran api yang melalap seluruh bangunan beserta isinya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, kami berdua mengendap-endap menelusuri lorong-lorong sempit agar tidak terlihat oleh massa perusuh menuju tempat perlindungan yang lebih aman.
Keesokan harinya baru kami dengar kabar bahwa kedua orang tuaku telah tewas terpanggang api di atas reruntuhan ruko miliknya yang habis terbakar hangus.
Tak lama sesudahnya, saudara laki-lakiku pamit padaku hendak lari ke hutan membantu kelompok putih dengan alasan berjihad, hingga saat ini nasibnya aku belum tahu pasti, entah hidup entah telah mati terbunuh oleh lawannya. Tinggallah aku sebatang kara di dunia ini merenungi nasib di penampungan sementara dijaga ketat oleh kelompok putih beserta petugas aparat keamanan. Karena aku tak betah tinggal di dalam barak-barak penampungan dengan ruang gerak yang sangat terbatas, maka terpaksa aku minggat ke Makassar sini karena katanya cukup aman bagi eksodus Ambon.
Satu-satunya bekal yang aku bawa hanya secarik kertas yang diberikan oleh ayahku semasih ia hidup. Lola tiba-tiba berhenti bicara, ia sesunggukan sepertinya tak sanggup menahan emosi kepedihan hatinya. Kemudian perlahan-lahan dari dalam saku bajunya dikeluarkannya secarik kertas yang bertuliskan : Ayahanda Bora Dg.Ngirate, Kampung Mamajang Makassar Sulawesi Selatan.
“Sudahlah dik Lola …!” begitu bujukku menyabarkan ia sembari mengusap-usap rambutnya.
“Semoga alamat ini dapat membantu adik mempertemukan keluargamu yang ada di Makassar, dan aku beserta teman-teman lainnya akan berusaha mencarinya.”
Seruling KM.Bukit Siguntang meraung-raung menggema ke angkasa memecah keheningan malam pertanda sesaat lagi kapal akan sandar dengan sempurna di dermaga pelabuhan Sukarno-Hatta, semua penumpang berkemas-kemas hendak turun dari atas kapal.
“Kita sudah tiba Lola, mari kita turun.” kataku sambil berpegangan tangan -


menuruni anak tangga kapal.(*)

Makassar, 07 April 2000

Harian Pedoman Rakyat, 25 Juni 2000
Harian Radar Bulukumba, 26 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar