Kamis, 05 Mei 2011

07. P U L A N G

Oleh : Hasbullah Said.-


UDARA dingin sore itu berselimut kabut putih, membentang luas hampir menutupi seluruh permukaan puncak Genting Hayland Malaysia, dingin dan dingin sekali, membuat Andini di sampingku menggigil sepertinya tengah diserang sakit malaria. Jaket kain wool yang membalut tubuhnya tidak mampu mengusik hawa dingin yang merebak masuk ke kulit arinya hingga ketulang sumsum.
Sepasang burung balam terbang rendah, lalu hinggap diranggas dahan pohon akasia menggoyang-goyangkan sayapnya menghalau dingin yang menyiksa dirinya, bertengger sambil menunggu malam yang sebentar lagi datang menjemputnya.
Dari atas ketinggian sepuas mata memandang kearah bawah, samar-samar nampak dari celah gumpalan kabut putih, hamparan sawah ladang diantara bunga rumput hijau bergoyang dihembus angin lalu mengikuti alunan irama musim dingin nan beku.
Dipelataran halaman depan sebuah bangunan jangkung berdiri kokoh, aku dan Andini tengah berada disitu, menikmati indahnya cakrawala alam yang indah mempesona.
“Dik Dini!” panggilku perlahan sembari mencolek pangkal lengannya yang sementara asyik menatap kagum keatas bangunan gedung jangkung yang berdiri tegak dihadapan kami.
“Ada apa Bang?” sahutnya kaget sambil mengalihkan pandangannya menatap padaku dengan senyum manis.
“Kini aku telah buktikan janjiku dulu, ketika kita masih berada di Makassar, kota kelahiranmu tempat dimana engkau dibesarkan, kelak bila kita jadi nikah akan kubawa kamu berbulan madu kepuncak Genting Hayland, suatu tempat peristirahatan yang sangat sejuk lagi indah.”
“Kamu masih ingat tokh Dini?” ulangku mengingatkan dia, ketika suatu hari kami berada di Pantai Losari, menyaksikan indahnya matahari saat hendak menceburkan dirinya kedasar laut biru, diiringi deburan ombak menyanyikan balada cinta di dua hati yang tengah mabuk asmara.
“Masih, … aku masih ingat Bang!”
“Inilah Genting Hayland.”
“Terima kasih Bang.” ujarnya lalu menatapku senyum sembari merebahkan kepalanya bersandar didadaku mendengar degup jantungku yang sedang berirama menyanyikan balada cinta.
Itu dulu pernah kuucapkan padanya ketika kami berdua sedang duduk diatas dermaga menghadap kearah laut ditengah keramaian restoran terpanjang di dunia namanya Pantai Losari. Aku merasa senang selalu diajak kesana, karena mirip ada kesamaan dengan pantai pulau Penang yang dijejali begitu banyak penjual aneka ragam makanan.
“Sesudah disini kita kemana lagi Bang?”
“Mana-mana kamu suka dik, Pulau Penang, Pantai Lumut, atau Pulau Langkawi semua indah dan menarik, tak kalah indahnya dengan pulau Bali-Indonesia, seperti apa yang pernah kamu tuturkan padaku, sekalipun aku belum pernah kesana tapi aku sudah bayangkan, biar kita bertualang menghabiskan bulan madu kita keseluruh tempat wisata yang ada di Malaysia sini.”
“Kamu senang toh sayangku?”
“Tentu sangat senang Bang, apalagi aku baru pertama kali kesini.”
“Baiklah dik, akupun merasa senang dan bahagia.”
Hari hampir malam, dan sebentar lagi sang surya hendak beranjak menuju keperaduannya diantara celah-celah gunung berselimut kabut-putih samar-samar ditelan oleh kegelapan malam.
Nuansa bulan madu yang kami layari begitu indah dan syahdu.Tapi sayang seiring dengan itu, peristiwa gejolak politik di Indonesia yang berhembus sampai ke negeri jiran via media cetak dan elektronik sepertinya melumat habis debar bahagia
didada Andini yang punya kepekaan rasa nasionalisme yang cukup tinggi.
Tuntutan reformasi dari berbagai elemen mahasiswa telah berhasil me- numbangkan rezim Orde Baru, kendati harus dibayar dengan harga mahal, sekalipun nyawa taruhannya. Sesudahnya itu perekonomian bangsa Indonesia terpuruk, mengakibatkan rakyat mengalami penderitaan yang semakin parah dan menyedihkan.
Dari hari kehari tuntutan reformasi diberbagai bidang tetap didengungkan, namun belum juga berhasil diraih bahkan semakin menjauh tak satupun luput menyentuhnya. Reformasi dibidang hukum sering mengalami kegagalan karena selalu berlindung dibalik baju HAM. Perlahan-lahan pertikaian antara kelompok yang bernuansa sara muncul satu persatu kepermukaan seperti peristiwa Ambon, Papua, Poso dan Aceh yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda hingga kini belum juga berhasil dipadamkan, bahkan semakin berkobar.
Belum selesai satu, timbul musibah lain, TKI bermasalah ramai di- perdebatkan antara dua negara bertetangga yaitu Malaysia dan Indonesia, seyogianya kedua negara serumpun harus menjalin hubungan kerja sama yang baik, bukan saling menuding dengan membuat pernyataan yang semakin membingungkan rakyat.
Andini tercenung sejenak, hatinya terenyuh seolah terkoyak-koyak melihat nasib bangsanya semakin hari semakin terpuruk.
“Oh, … Indonesiaku.” desisnya haru sembari merebahkan tubuhnya keatas sofa ruang tamu.
“Ada apa dengan Indonesiamu?” tegurku tiba-tiba membuyarkan hayalnya.
“Ah, tak perlu aku tuturkan pada Abang, cukup aku sendiri yang tahu.” jawab Andini dengan nada lirih.
“Lalu apa reaksimu?”
“Tak ada dayaku, kecuali bersimpati terhadap TKI yang terusir lalu dipulangkan dengan paksa.”
“Tentu ada masalahnya.”
“Yang biasa, ilegal pendatang haram.”
Dalam ruang tamu aku dan Andini diam sejenak dan sesaat kemudian aku beranjak lalu duduk disampingnya diatas sofa dimana Andini membaringkan tubuhnya.
Aku berupaya menenangkan hatinya yang risau, dengan bujuk rayu agar tidak terlalu jauh terbawa oleh arus emosinya. Aku sangat menghargai perasaannya dan kagum akan kebesaran rasa cinta kebangsaannya yang begitu tinggi.
“Bukankah adik Andini telah pindah ke jalur Gemilang*) sehabis kita nikah dulu?”
“Kamu paham dan masih ingat toh Dini?” ulangku sekali lagi mengingatkan dia.
“Aku paham dan masih ingat, tapi tak tega hati melihat sebangsaku diperlakukan seperti itu.”
“Maksudmu?”
“Dicambuk kayak hewan.” ujarnya dengan nada serius. Sepertinya aku telah kehabisan akal menghadapi Andini yang begitu menggebu-gebu mengadakan pembelaan terhadap TKI yang bermasalah, lalu sekali lagi aku berupaya membujuknya dengan kepala dingin serta sangat hati-hati agar tidak tersinggung perasaannya.
“Dik Dini!” panggilku lamban sembari menatapnya lekat-lekat.
“Biarlah kedua negara bertetangga berseteru asalkan jangan kita yang berantem hanya karena gara-gara TKI, kita bukan lagi sebangsa serumpun akan tetapi suami isteri dalam rumah tangga harmonis yang selalu menjaga hubungan kerjasama yang baik menuju terciptanya keluarga kecil sejahtera bahagia, tidakkah begitu toh dik Dini?” lanjutku sembari memeluknya lalu mengecup keningnya. Andini mengerti, lalu mengangguk perlahan tanda setuju. Kami bangkit bergandengan tangan berjalan perlahan menuju keruang tidur lantai atas, karena malam telah hampir mengetuk pintu larutnya. Udara pagi terasa sejuk berhembus menerobos masuk lewat pintu utama ruang tamu yang dibuka oleh Bibi Inem pembantu rumah tangga kami, entah mengapa ia bangun jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya.
Pagi itu, ia berjalan tertatih-tatih dari dalam kamar tidurnya menuju ruang tamu sambil menjinjing tas pakaiannya, lalu diletakkan diatas ubin dekat pintu masuk keruang tamu.
“Bibi Inem hendak kemana.” tegur Andini heran sambil berjalan menuruni anak tangga dari lantai atas.
“Anu, … anu nyonya, Bibi mau mohon pamitan.” sahut Bibi Inem gegagapan terputus-putus sembari merunduk kearah bawah menatap ubin. Andini berjalan perlahan mendekati Bibi Inem yang sementara duduk bersimpuh diatas ubin keramik.
“Pamit, … kemana?”
“Balik ke Jawa nyonya.” sahut Bibi Inem dengan nada terbata-bata. Bibi Inem sering melihat tayangan lewat TV3 Malaysia tentang banyaknya TKI ilegal yang dipulangkan karena tidak memiliki dokumen keimigrasian yang syah, sejak dikeluarkannya Undang-undang keimigrasian kerajaan Malaysia, sudah puluhan ribu bahkan ratusan ribu TKI bermasalah dideportasi dipulangkan secara paksa. Ia sangat takut dikenakan hukuman cambuk seperti apa yang ia saksikan lewat TV3 Malaysia.
“Bibi tak ingin menyusahkan nyonya bersama Ince Hisyam, jika Bibi bertahan tinggal lama-lama disini, takut Bibi nantinya diancam hukuman cambuk, lalu nyonya akan mendapatkan pula hukuman lebih berat dari kerajaan karena melindungi TKI illegal, betul nyonya.” lanjutnya dengan suara lirih.
“Lalu selanjutnya bagaimana?”
“Bibi harus segera pulang nyonya.”
“Baiklah, …!” kata Andini sambil berjalan masuk kekamar tidurnya, dan tak lama kemudian ia keluar menenteng sebuah tas tangan yang berisikan uang Ringgit Malaysia.
“Ini sekedar bekal Bibi diperjalanan bila Bibi butuhkan.” kata Andini sambil menyerahkan sebuah amplop berisikan uang senilai seribu Ringgit Malaysia.
“Terima kasih nyonya.”
“Aku harap, Bibi segera saja berangkat ke Port Klang untuk selanjutnya menyebarang kepulau Jawa, sebelum Putri dan Gadis anak kami terbangun dari lelap tidurnya, agar tidak terlalu sedih hati melihat keberangkatan Bibi yang mungkin nantinya akan mengalami jatuh sakit, karena mereka terlanjur dekat dan lengket sama bibi.” kata Andini dengan nada iba.
“Bibipun berpikiran demikian nyonya, namun Bibi berharap agar hari-hari pertama saja mereka merasakannya, dan akhirnya hari-hari berikutnya berangsur-angsur akan melupakan sama sekali.”
“Terima kasih Bibi, selamat jalan.” ucap Andini sambil berjalan bersamanya keluar rumah mengantar kepergian Bibi Inem menuju Port Klang Kuala Lumpur Malaysia.(*)

Makassar, 10 September 2002

Harian Pedoman Rakyat, 22 September 2002
Harian Radar Bulukumba, 23 Mei 2009


*) Gemilang = Nama Bendera Kerajaan Malaysia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar