Kamis, 05 Mei 2011

09. BUAT PAPA DAN MAMA

Oleh : Hasbullah Said.-

GERAH udara siang dibulan September semakin garang menyisakan luka bakar segala apa yang ada di atas muka bumi, di sepanjang jalan, diantara pepohonan, di setiap sudut kota, diatas dahan ranting kayu, kicauan burung terdengar resah pilu merintih pedih oleh panasnya bumi. Dan dari kejauhan terdengar rintihan orang-orang menyayat kalbu sarat dengan beban penderitaan hidup yang tak tertahankan.
Tertatih-tatih berjalan di atas bongkahan tanah yang menganga lebar akibat kering krontongnya bumi hanya sekedar mencari sesuap nasi sebagai penyambung hidup, di prapatan di bawah lampu merah, dikeramaian kota tak peduli oleh teriknya matahari yang mengganas, disana seolah ada jantung hati kian hari semakin memelas berdetak perlahan terasa segalanya sulit untuk bertahan akibat bias-bias terpuruknya perekonomian bangsa ini.
Bulan berkabut berbalut awan hitam, merangkul bergelayut melahirkan remang-remang kegelapan. Ketika awan bergeser menyisakan cahaya suram menerpa pepohonan melahirkan bayang-bayang panjang rebah berbaring diatas pelataran rumah berdiri tegak kokoh di ujung jalan buntu.
Besar rumah itu, pekarangannya sangat luas ditumbuhi dua pohon harumanis rindang daunnya, terasa sejuk bila kita berada disana bernaung di bawahnya. Sepi, lengang, terkesan nyaris rumah itu tak berpenghuni. Bentuk bangunannya sederhana gaya lama, namun kelihatannya antik mempesona.
Disini terdengar alunan nyanyi sunyi berdentang mendayu-dayu oleh gesekan tali senar dalam pelukan kerinduan.
Cahaya rembulan malam perlahan merayap menggapai pucuk-pucuk pepohonan, silih berganti awan berarak merangkul rembulan meninggalkan gelap sesaat. Dikaki langit tak ada bintang, berteman sunyi berbalut dingin, berselimut sepi dalam kerinduan.
Dikeremangan malam terdengar suara lolongan anjing dari kejauhan menggidik bulu roma mengungkit masa lalu melahirkan suatu cerita panjang. Kerinduan kini lahir bersemayam membuncah didada seolah tersayat-sayat sembilu. Terdengar ada tangis pilu, dikeheningan malam nan sepi disaat orang-orang disekelilingnya tengah tertidur lelap dibuai mimpi indah.
Perempuan itu, kini ia duduk bersandar lurus diatas sebuah dipan kayu dalam kamar tidurnya yang tertata apik. Guratan kecantikan masih nampak tersisa diwajahnya, sekalipun usianya beranjak menuju paruh baya.
Lewat jendela kamarnya, pandangannya kosong menatap rembulan tengah berayun-ayun hendak beranjak menuju lewat peraduannya. Terisak ia dalam tangisnya, matanya sembab oleh deraian air mata, kemudian ia mengatupkan kedua belahan bibirnya, dan sesaat terdengar suara lirih keluar perlahan dari celahnya yang mungil halus nyaris tak terdengar.
“Anakku.” begitu singkat kedengarannya seperti orang ngingau dalam tidurnya, tapi kini ia tidak tidur, duduk merenung sendirian mengingat-ingat masa lalunya. Sangat angkuh berlalu lewat begitu saja tanpa menoleh-noleh lagi kepadanya. Seperti ia tengah menyaksikan sebuah film drama lewat layar tancap, cerita yang sangat pilu menyedihkan, semakin lama semakin jelas gambar-gambar yang disodorkan oleh layar tancap terbuat dari kain terpal putih.
Beginilah, realita hidup keluarga kecil bahagia terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak semuanya perempuan, setelah usai nikah mereka pergi meninggalkan kedua orang tuanya mengikuti suaminya jauh dan jauh sekali darinya. Tanpa sadar sepertinya ia tak mau menerima kenyataan ini, terlalu dini memvonis jodoh itu kejam, mengoyak-ngoyak lalu mencampakkan tali kasih sayangnya terhadap kedua anaknya.
Dulu dirumah ini, sangat ramai oleh anak-anak sekolah tinggal bersamanya semua famili dekat ponakan dari kedua belah pihak dia dan suaminya, setelah selesai studinya diberbagai disiplin ilmu, satu persatu meninggalkannya pergi mencari kerja di berbagai tempat.
Di pandanginya satu persatu foto-foto wisudawan yang terpajang berderet santun hampir memenuhi separuh dinding ruang keluarga merobah wujud kayak foto pahlawan revolusi. Akh, entah apa nama ruangan ini, katakan saja ruang pameran foto karena selain foto wisudawan juga ada foto keluarga termasuk foto pengantin kedua anaknya, pisah lalu pergi jauh-jauh.
“Akh tidak, lebih tepat dikatakan rumah ini gudang sarjana.” begitu gumamnya sombong. Karena selain ponakan termasuk dirinya juga suaminya dan kedua anaknya ikut dalam pameran foto, walaupun kesarjanaannya tidak sesuai dengan profesinya sebagai guru, Pahlawan tanpa tanda jasa. Ia lebih senang memilih jurusan jurnalistik karena sejak dulu ia bercita-cita ingin jadi wartawati yang handal. Akan meliput semua peristiwa dimensional, merekomendasikan berbagai masalah termasuk keterpurukan di bidang pendidikan, penegakan hukum yang belum berjalan sesuai dengan tuntutan reformasi, perekonomian dan stabilitas keamanan, ketidak mampuan aparat meredam segala bentuk gejolak sosial yang ujung-ujungnya rakyat kecil kalangan bawah kena dampaknya.
Ia merasa bangga meraih profesi ganda, walaupun guru dan wartawan belum menjanjikan kesejahteraan yang memadai namun ia tetap tekun dan rajin melaksanakan tugasnya tanpa pamrih. Guru dan jurnalis diera reformasi saling membutuhkan informasi yang akurat, bebas dan bertanggung jawab.
***
Udara malam berhembus perlahan lewat kisi-kisi jendela kamarnya membuat tubuhnya terasa sejuk. Malam perlahan-lahan bergerak lamban merayap ketitik larutnya, dan semakin larut pula ia dalam bayang-bayang ingatan yang tak bertepi.
Bulan September tepat lima tahun silam, ia melepas anak sulungnya pergi ke Kuala Lumpur Malaysia mengikuti suaminya sehabis nikah, dan setahun kemudian disusul kepergian Tika anak bungsunya pergi ke Jayapura juga mengikuti suaminya yang sedang bertugas disana, tinggallah ia berdua bersama suaminya dalam rumahnya yang sepi lengang.
***
“Relakan aku pergi, Ma.” pinta anaknya dengan mata sembab, sembari memeluk mamanya dengan erat, ketika sesaat akan meninggalkan Bandara Hasanuddin Makassar. Perempuan itu tak tahan menahan pilu, isak tangis menggemuruh terdengar memenuhi ruang tunggu, seolah tak mau melepas anaknya pergi.
“Selamat jalan anakku.” sahutnya sambil melambai-lambaikan tangannya hingga pesawat MAS hilang lenyap dipandangannya.
Gelap malam membuat ia tak mampu memicingkan matanya sedikitpun. Jalinan tali kasih sayang terhadap anaknya melahirkan jerit tangis kerinduan terdengar melengking ditengah malam buta. Perlahan ia mengusap air mata yang meleleh di wajahnya, lalu ia menatap kosong keluar lewat jendela kamarnya. Desis rintihan semakin keras terdengar pilu menyayat kalbu.
“Eh, kamu siapa?” bentaknya bertanya kepada seseorang yang dilihatnya berkeliat melintas dihadapannya.
“Masak Mama tak mengenal lagi anaknya, aku ini Putri.” suara itu terdengar halus.
“Akh, kamu bohong, aku tak punya anak lagi, semuanya telah pergi jauh-jauh.” bentaknya dengan nada emosi.
“Tenanglah, sabarlah Ma.” bujuk suara itu terdengar perlahan meyakinkan.
“Tapi kenapa kamu sendirian, mana abangmu, cucuku yang manis, kenapa kamu datang sendirian tanpa mereka.” Perempuan itu bertanya dengan mata nanar mencari mengamati keseluruh ruang kamar tidurnya. Berkeliat lagi bayangan itu, berjalan perlahan mendekatinya dan semakin dekat padanya, kemudian me-rangkulnya dengan erat. Suara halus terdengar membisikkan ketelinganya.
“Maafkan Putri Ma, lebih awal anakda menyamapikan bahwa bulan depan anakda akan datang bersama Abangku beserta kedua anakku berkumpul bersama Papa dan Mama menyambut hari raya lebaran mendatang nanti.”
“Maksudmu?” tanya perempuan itu serius sembari mengerutkan keningnya.
“Untuk menyakinkan mama, agar tidak gelisah dalam penantian kehadiran anaknya dari perantauan.”
“Betulkah?” kembali ia bertanya dengan tidak sabar.
“Ya, betul Ma.” jawab Putri meyakinkan sembari merangkulnya erat.
Kesedihan kini bergeser perlahan, berganti riang bergelayut di wajahnya yang sedikit pucat karena tak tidur semalaman. Kembali bayangan itu berkelit melayang hilang dari pandangannya bersama gelapannya malam.
“Anakku dimana kamu.” suara histeris terdengar melengking memecah keheningan malam membuat suaminya terjaga dari tidurnya.
“Eh,............ada apa Ayu?” tanya suaminya kaget sembari memeluk menyadarkannya.
“Anakku dimana?”
“Istiqfarlah Ayu, disini tidak ada siapa-siapa kecuali kita berdua.”
“Tidak, barusan saja Putri anak kita pergi, tadi ia berada didekatku, memelukku, mencium pipiku, lalu membisikkan kepadaku, ia akan datang bersama suaminya dan kedua cucuku pada hari raya lebaran nanti.”
“Kamu mimpi Ayu, sadarlah!” bujuk suaminya menyadarkan dan mengajaknya berbaring kembali.
***
Hembusan angin siang tak mampu menghalau gerahnya matahari disiang itu. Ayu baru saja pulang dari tugasnya mengajar, dengan langkah perlahan ia memasuki pekarangan rumahnya, tetapi betapa kegetnya ketika hendak ia membuka pintu, dilihatnya sebuah benda aneh yang mencurigakan yaitu sebuah kardus kecil bentuk segi empat sama sisi, dibungkus dengan kantong plastik warna hitam, diletakkan tepat depan pintu masuk rumahnya. Sangat curiga ia melihat benda asing itu, sepertinya paket bom yang tak lama lagi akan meledak memporak-porandakan seluruh bangunan rumahnya. Tanpa sadar Ayu berteriak histeris sambil berlari keluar rumah. Untung suaminya cepat mencegatnya.
“Ada apa lagi Ayu?” tanya suaminya kaget.
“Ada ... bom, ... ada bom ... cepat ...!”
“Mana?” tanya suaminya dengan penuh penasaran sambil mengamati keseluruh ruang pekarangan rumahnya.
“Lihat itu!” sahutnya sambil menunjuk kearah benda aneh itu.
Dan dengan perlahan hati-hati suaminya berjalan mendekati benda itu lalu meraihnya kemudian membukanya perlahan, matanya terbelalak ketika melihat sebuah tulisan :
Buat Papa dan Mama. Pengirim Anakda Putri di Kuala Lumpur Malaysia. Rupanya pak Pos yang mengantar barang itu meletakkan begitu saja, ketika melihat rumah itu tertutup rapat pintunya. Ayu disampingnya menghela nafas lega sambil melempar senyum kearah suaminya. Dengan tidak sabaran mereka membuka kardus itu, isinya terdapat dua potong kain sutera Malaysia yang sangat halus. Senyum bahagia terlukis diwajah Ayu.
“Terima kasih anakku.” desis Ayu sembari meraih mendekap kain sutera itu lalu mencium berulang-ulang kali, terasa harum dan lembut menyentuh pipinya yang cekung.
Keesokan harinya ditemuinya pula benda serupa di letakkan tepat depan pintu masuk. Tanpa curiga dan ragu lagi, secepatnya ia meraih benda itu lalu membukanya, terdapat sebuah tulisan yang sama bunyinya kemarin.
Buat Papa dan Mama, dari Anakda Atika di Jayapura. Isinya dua potong kain batik tenunan Irian Jaya.
“Terima kasih anakku, terima kasih!” ujarnya riang sambil berlarian membawanya masuk kamar tidurnya.(*)

Makassar, 05 Oktober 2001

Harian Pedoman Rakyat, 28 Oktober 2002
Harian Radar Bulukumba, 05 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar