Kamis, 05 Mei 2011

10. MA, TADI MALAM ADA PENELPON GELAP

Oleh : Hasbullah Said.-

JAM dinding dikamar berdentang dua kali, nyaring kedengarannya ditelan oleh sunyinya malam. Malam itu aku terlelap tidur lebih awal karena kecapaian kerja hampir seharian penuh. Pagi harinya hingga siang kerja sebagai tenaga administrasi di salah satu instansi pemerintah, sorenya di sebuah PTS *) di kota ini, sebagai upaya tambahan penghasilan yang pas-pasan.
Jelang Ujian semester merupakan puncak kesibukan dari berbagai kegiatan mulai urusan Akademik, Keuangan BPP, SPP hingga demonstrasi mahasiswa menentang kebijakan Rektor menaikkan biaya SPP karena dianggap sangat rendah dibanding dengan PTS lainnya, serta belum dapat sepenuhnya menunjang biaya-biaya operasional Universitas.
Letih sekali dan melelahkan. Walaupun Sabtu petang kemarin sempat jalan-jalan ke pinggir pantai menghirup udara segar menyaksikan matahari terbenam di dasar laut biru. Guna menghilangkan kepenatan dan ketegangan. Didalam kelelapan tidurku aku terjaga ketika tiba-tiba dikagetkan oleh deringan telepon dari ruang tengah rumahku.
“Akh, tengah malam begini menelepon sepertinya tidak tahu etika.“ gumamku menggerutu, sambil menggosok-gosok mataku berjalan menuju ruang tengah meraih gagang telepon yang berdering bising.
“Halo …………. dengan siapa?” tanyaku.
“Tak perlu kamu tahu aku siapa, karena ini penting.” balas suara dari balik gagang telepon di genggamanku.
“Kan aku tak kenal anda!”
“Nanti kamu akan tahu sendiri siapa aku.“ begitu jawabnya angkuh.
“Tapi kenapa kamu meneleponku malam-malam begini, disaat orang-orang tengah tertidur lelap.” begitu balasku kesal.
“Tadi telah kukatakan hal ini penting.”
“Jawaban yang kurang bersahabat.“ pikirku lalu telepon segera kuletakkan gagangnya kembali pada tempatnya semula, kemudian aku beranjak masuk ke kamar tidurku karena telah didera rasa kantuk yang tak tertahankan.
Pagi harinya kusampaikan kepada Lisa istriku bahwa tadi malam ada penelepon gelap.
“Itu iseng dari seseorang dan mungkin juga perasaanmu saja demikian karena kecapaian.“ kata Lisa menyadarkan aku.
“Ah ……….. betul Ma.” kataku meyakinkan.
Sejurus kemudian kami berdiam diri, untuk mengingat-ingat siapa penelepon itu, mungkin betul juga hanya iseng dari seseorang, pikirku.
Tiga malam sesudahnya udara diluar sangat dingin. Hujan deras baru saja usai mengguyur rata hampir seluruh permukaan bumi. Gemercik air diparit terdengar riuh berlarian seolah berlomba mengalir menuju rawa-rawa di belakang rumah.
Jam dinding di ruang tengah kembali berdenting dua belas kali menunjukkan pukul dua belas tengah malam, kami berdua belum juga tidur karena tengah asyik nonton sinetron akhir pekan. Tiba-tiba kami dikagetkan oleh desah angin yang menerobos masuk lewat jendela ruang tamu disertai lolongan anjing dikejauhan bersahut-sahutan disusul aroma bau tak sedap menyengat pernafasan. Kain-kain gordyn jendela kamar seolah menari-nari dibuatnya begitu derasnya angin menerpa masuk lewat jendela ruang tamu.
“Ma, apa kamu tidak mencium bau lain-lain.” ujarku sambil mencari dari mana asalnya bau itu.
“Yah, sepertinya bau bangkai Pak.” jawabnya sembari beranjak dari duduknya mengamati seluruh ruangan, di bawah meja, kursi tamu, di samping buffet siapa tahu ada bangkai tikus yang habis dilalap oleh si Pus kucing peliharaan kami begitu pikirnya. Tak ditemukan, bahkan bau itu semakin deras mengalir merambah hampir seluruh ruangan.
“Ah, ada yang tidak beres, Ma.” kataku mengingatkan Lisa.
Sementara itu lolongan anjing semakin bertambah riuh mengitari rumah kami sepertinya tengah memperebutkan bangkai atau tulang. Lolongan panjang ditengah malam buta seperti ini sangat menyeramkan karena tidak biasanya demikian. Kata orang seperti itu alamat buruk bakal terjadi, entah benar, entah tidak. Sesaat kemudian dari ruang tengah terdengar kembali telepon berdering panjang. Gagang telepon kuraih perlahan.
“Halo …………….. dari siapa?”
“Yang meneleponmu tiga malam lalu.”
“Anda siapa?” kembali aku bertanya.
“Telah kukatakan berulang kali tak perlu kamu tahu.”
“Kamu Jin, Malaikat atau Setan.” kataku geram karena jengkel.
“Eh, kamu tak takut dosa menuduhku setan.” protesnya mengancam.
“Ya, karena kamu tak memperkenalkan dirimu.”
“Baik, …………!.” katanya lalu sejenak terhenti.
“Aku adalah bagian dari hidupmu, dan saat ini aku tengah berada di sekitarmu.” sambungnya lagi.
Mendengar jawaban itu sesaat aku tertegun bisu, seketika keringatku mengalir hampir menyatu dengan bajuku. Bau tak sedap semakin keras menyengat hidung memenuhi hampir seluruh ruangan.
“Kenapa kamu tak menampakkan wujudmu yang sebenarnya agar kita dapat berbincang-bincang dan kalau perlu kamu datang kerumahku.” tanyaku lagi.
“Mustahil aku akan kembali pada wujudku semula, karena kita berbeda alam.”
“Kenapa?”
“Dilarang ….!”
“Oleh siapa.” lagi aku bertanya.
“Penciptaku dan juga yang menciptakanmu.”
Hubungan pembicaraan kami kembali terputus. Lama aku tertegun bisu. Tak tahu apa yang akan kukatakan selanjutnya. Bathinku goyah, sekujur tubuhku menggigil dingin, gagang telepon ditanganku nyaris jatuh kelantai. Kubesarkan hatiku lalu aku lanjut bicara padanya.
“Lalu apa perlunya kamu meneleponku malam-malam begini.”
“Banyak hal, antara lain harta kekayaan almarhum ayahmu yang begitu banyak kau apakan?”
“Kenapa kamu tahu, dan apa hubungannya denganmu?” balik aku bertanya serius.
“Eh, … harta kekayaan pejabat siapun aku tahu!” balasnya meyakinkan aku.
Gagang telepon kembali kuletakkan pada tempatnya semula, aku tak ingin bicara panjang lebar dengan orang yang tak jelas identitasnya.
Malam semakin larut, udara semakin dingin mengelus ari tubuhku, segera aku beranjak menuju kamar tidurku karena telah didera oleh rasa ngantuk.
Mentari pagi menebarkan bias-bias cahaya kuning segar lewat jendela ruang tamu. Peristiwa semalam masih juga menghantui pikiranku. Lisa istriku menyarankan agar kami pindah rumah saja.
“Lebih baik kita pindah dari rumah ini Pak, mencari tempat yang lebih aman agar kita terhindar dari teror yang selalu menghantui kita.”
“Lho Mama ini bagaimana, rumah ini kan milik kita, kenapa kita mesti pindah lagi, kalau hanya telepon itu kan mudah, putuskan saja kabelnya, tentunya kita tak dapat lagi berhubungan dengannya, habis perkara.”
“Ya, siapa tahu penelepon itu nekad datang kemari mengancam kita.” katanya dengan rasa was-was.
“Keterlaluan, dan apa hubungannya dengan kita.” kataku geram.
“Sekarang kita tak usah takut, yakin saja kita tetap aman.“ kataku sekali lagi meyakinkan Lisa.
Memang, kadang ada orang yang tidak merasa senang melihat kita bahagia. Selalu ada saja orang usil, sekalipun kita sedang enak makan tidur di rumah kita sendiri.
Aku tidak mengerti bila ada orang yang berprilaku demikian. Selalu mengungkit-ungkit harta kekayaan ayahku segala.
Lisa terdiam, ekspresi wajahnya nampak sedih dan ketakutan. Terkenang dibenakku seluruh peristiwa silam, bagaikan layar kaca mempertontonkan gambar-gambar yang sangat jelas. Kehidupan keluarga kami masa lalu memang termasuk keluarga kecil bahagia, terdiri dari ayah, ibu dan aku sendiri sebagai anak tunggal.
Reputasi ayahku dimata masyarakat memang terpandang karena dia sebagai seorang pejabat salah satu instansi pemerintah, maka dengan sendirinya semua fasilitas mudah dimilikinya, disamping gajinya cukup lumayan untuk kami bertiga.
Sebagai anak tunggal semata wayang kedua orang tuaku sangat menyayangi dan memanjakanku.
Demikian masa laluku kulewati dengan penuh rasa bahagia. Ketika usiaku hendak beranjak dewasa, tiba-tiba badai puting beliung datang menerjang memporak-porandakan kehidupan kami. Ibuku tercinta dipanggil lebih duluan menghadap oleh Yang Maha Kuasa akibat penyakit lever yang dideritanya sejak bertahun-tahun lamanya.
Setahun kemudian disusul kematian ayahku yang teramat kusayangi. Penyakit jantung kronis yang kejam merenggut nyawanya. Sangat tragis dan menyedihkan. Badanku lemas terkulai layu, bumi tempatku berpijak seolah runtuh tak kuasa menahan beban bathin penderitaanku.
Pupus sudahlah harapanku, luluh lantak berkeping-keping masa depanku yang tak menentu. Tinggallah aku sebatang kara didunia ini. Untuk menyambung kelangsungan hidupku, satu persatu harta peninggalan orang tuaku kujual, karena aku belum berpenghasilan tetap.
Sebagai pelarian kekosongan jiwaku, hari-hariku hampir seluruhnya kuhabiskan di tempat hiburan malam di keremangan lampu-lampu bar, berhura-hura dari diskotik satu ke diskotik lainnya, mengkomsumsi obat-obat terlarang dan minuman-minuman keras. Ketergantungan minuman keras dan obat terlarang sudah menjadi bagian dari hidupku, yang sudah sangat sulit kupisahkan dariku. Kadang malam-malam tertentu aku pulang hingga pagi harinya dengan langkah tertatih-tatih menelusuri sepanjang jalan menuju rumah tempat tinggalku.
Entah mengapa, tiba-tiba ada dewa penolong merasa kasihan padaku, melihat keadaanku yang sudah terlanjur ambruk hancur berantakan. Budi demikian nama sahabatku datang kerumah mengajakku bersamanya melamar pekerjaan di salah satu instansi pemerintah di kota ini, dengan mengandalkan ijazah Sarjana Akuntansi yang kumiliki, dan syukur ternyata aku bersama Budi diterima bekerja hingga pada hari ini.
Semua masa laluku yang kelam kini telah kukubur dalam-dalam dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sejenak kemudian aku terdiam dan membathin, aku menghela nafas dalam-dalam sembari menatap mentari pagi yang hendak beranjak naik.
Bias-bias cahayanya temaram menerpa pelataran rumah memantulkan cahayanya keatas permukaan teras rumahku. Hari-hari berikutnya kulalui dengan melupakan segala peristiwa silam yang suram menuju hari esok yang penuh harapan.
Hari hampir siang, kegerahan udara mulai merayap perlahan merambah menggapai seluruh ruangan. Mataku melotot ketika menangkap seberkas sinar samar-samar berlalu di hadapanku.
“Hei, ……. kamu harus jawab sejujurnya pertanyaanku.” begitu suaranya kedengaran jelas, tapi tak nampak siapa-siapa didekatku, termasuk Lisa terheran-heran mendengar suara itu.
“Ini atas perintah siapa?” sahutku sambil mengamati dari mana arahnya suara itu datang.
“Yang menguasai alam ini beserta isinya.”
“Oh, hebat lebih dari Presiden.” kataku menyindir.
“Eh, jangan banyak bicaramu.” ancamnya.
“Sekarang dimana kamu simpan semua harta peninggalan ayahmu yang begitu banyak.”
“Harta?” kataku sejenak lalu berpikir sembari mengerutkan kening.
“Semuanya telah kujual habis sekadar penyambung hidupku karena saat itu aku belum berpenghasilan tetap, dan sekarang jangankan harta, untuk makan pagi dan petang saja sangat susah disaat-saat krisis seperti ini.”
“Tapi selain kamu jual, tentu masih ada yang lain.”
“Sungguh, berani sumpah tak ada lagi yang lain.” kataku dengan ekspresi wajah sedih dan meyakinkan.
“Ingat, sesungguhnya semua harta itu, bukan milik siapa-siapa akan tetapi pada hakekatnya adalah titipan dari Yang Maha Kuasa dan ada pula orang-orang yang berhak atas harta itu.”
“Sekiranya hartaku banyak, tentunya telah lama aku memiliki mobil dan rumah mewah, buktinya sekarang aku hanya punyai sebuah sepeda motor butut, itu pun kondisinya sudah tak layak pakai karena telah termakan usia. Kecuali satu-satunya rumah yang kami tempati ini adalah peninggalan orang tuaku dan sebagai pewarisnya tentu adalah aku, karena aku terlahir sebagai anak tunggal semata wayang.”
Sejenak aku terdiam, dialog sementara terputus. Suara itu tiba-tiba hilang di pendengaranku. Mataku tak lepas menatap langit-langit rumahku yang sudah berubah warna karena lama tak terawat.
Senja diambang batas, buru-buru hendak beranjak menuju malam menyisakan bias-bias kuning jingga menerpa pucuk-pucuk pepohonan. Aku melangkah hendak menuju kampus tempatku bekerja, sebentar malam ada rapat pembentukan panitia Ujian Semester Akhir.
Ketika aku melangkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil-manggil namaku.
“Riza, …….. tunggu Riza!” begitu panggilnya akrab menyebut namaku. Aku menoleh kebelakang namun tak ada orang kulihat di sekelilingku. Urung aku melangkah balik masuk keruang tamu mengamati dari mana datangnya suara yang memanggilku. Diatas meja tamu kudapati sebuah benda asing yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Bentuknya aneh, seperti anak kunci yang pada ujungnya bercabang menyerupai huruf “ T ”
“Ma, ini kunci siapa?” tanyaku heran kepada Lisa sembari kuamati benda aneh itu.
“Mana aku tahu.” jawabnya.
Suara halus kembali terdengar dari balik pintu memanggil namaku.
“Riza, ………..!” begitu panggilnya sangat akrab padaku.
“Coba kamu berjalan menuju kamar belakang, kamu bongkar lantai tegel keramik warna coklat tua yang berada di bawah tempat tidurmu, lalu dengan anak kunci yang kamu pegang itu kamu buka tombol Brand Kas yang berada dibawah tanah yang dilapisi dengan beton bertulang, putar Kode 3X kekiri angka “50” kekanan 4X angka “35”. begitu perintahnya tegas padaku. Bagaikan seorang prajurit semua perintah komandan kulaksanakan dengan patuh sesuai dengan Sapta Prajurit.
Dan, …… setelah kubuka betapa kagetnya aku melihat benda-benda yang ada di dalamnya, seperangkat perhiasan terdiri dari emas, berlian serta setumpuk uang kertas lembaran lima puluh ribuan. Aku terperangah. Sepertinya tak percaya seolah dalam hayal mimpi. Akan tetapi aku yakin bahwa harta itu adalah peninggalan orang tuaku, karena semasa hidupnya ayahku pernah bercerita kepada ibuku bahwa ada sedikit simpanannya buatku sebagai biaya sekolah serta biaya keperluan lainnya, hanya tidak disebutkan dimana ia simpan. Sayang, karena ketika itu tidak disimpan di Bank. Sebagai seorang pejabat, mungkin khawatir disoroti orang kenapa begitu banyak ia miliki harta. Aku berteriak histeris memanggil-manggil Lisa istriku.
“Ma, cepat kemari lihat ini.” panggilku tak sabar.
Begitu Lisa melihat benda itu langsung ia mengucapkan syukur Alhamdulillah. Kami berangkulan tanda bahagia sembari aku berbisik, mari kita bersujud syukur.
“Terima kasih Malaikat.” ujar kami serempak.
“Besok kita ke masjid-masjid, panti-panti asuhan menemui fakir miskin peminta-minta di sepanjang Jalan A. Yani dan Mesjid Raya untuk di sedekahkan kepada mereka sebahagian dari harta kita ini.” kataku bahagia sambil berjalan bergandengan tangan masuk kamar tidur karena malam telah mendekati ambang larut. Kokok ayam di kejauhan mengantar kelelapan tidur kami jelang hari esok yang cerah.(*)

Harian Fajar, 05 Maret 2001 Makassar, 05 Pebruari 2000
Harian Radar Bulukumba, 15 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar