Selasa, 03 Mei 2011

100. LUKA HATI SANG JURAGAN

Oleh : Hasbullah Said.-


DINGINNYA malam ini. Sepinya malam ini. Hening sekali. Sekiranya kau ada disampingku, pasti aku tidak kesepian. Aku tak akan kedinginan. Kubelai rambutmu lembut sayang. Kuremas jemarimu yang lentik bagai duri landak. Tak putusnya kubisikkan ketelingamu, betapa aku menyayangimu. Mencintaimu setulus hati. Kau menatapku senyum. Senyum tersembul dari celah bibirmu yang mungil nan merah. Senyummu itu kumaknai jawaban cintaku yang tulus suci darimu, mengusir jauh enyah dariku tepuk tangan sebelah. Berbahagialah aku mendapatkan kamu, gadis desa yang cantik diperebutkan banyak pemuda didesa kita.
Kamu berjuluk bunga desa Tanjung Petang. Sebuah desa kecil yang jauh terpencil, namun adem-adem aman sentosa. Entah, siapa yang memberimu nama seperti itu. Tapi aku merasa bangga mendapat julukan nama bunga. Bunga desa berarti kau yang tercantik diantara sekian banyak gadis yang ada di desa kita Tanjung Petang.
Dalam belaian hembusan angin malam nan dingin membawa anganku ke masa lalu. Masa indah bersamamu. Diatas dermaga tua ini. Tempat berlabuh kapal nelayan. Berlafadzkan dentingan kelapak sayap burung camar riuh terdengar membelah keheningan senja menjemput malam. Deru ombak menyanyikan lagu syahdu di dua insan yang tengah dimabuk asmara. Sungguh, sebuah panorama alam yang mempesonakan mengundangku selalu untuk hadir disini. Tempat berlabuh cintaku dilubuk hatimu yang paling dalam. Sedalam laut Tanjung Petang yang menjadi kebanggaan Desa kita karena kecantikan penorama alamnya yang mempesonakan.
Tak ada senja terlewatkan, kita pasti berada ditempat ini. Rutin kita berada didermaga sini. Bertutur kata dalam belaian nafas berahi cinta polos lugu sebagai anak desa. Sepertinya telah ada komitmen bersama. Gelisah resah aku menunggumu bila kau terlambat datang. Aku tak membiarkan kamu terlambat sedetik nianpun. Apalagi kau alpa tak hadir. Mataku nanar mencarimu diantara bau amis rumput laut terbawa hembusan angin dingin dari arah selatan daya. Diantara alunan nada gelombang laut melantunkan nyanyian sunyi disela kesibukan para nelayan yang siap hendak melaut.
Pernah satu senja aku menunggumu lama. Namun engkau tak datang tanpa suatu pemberitahuan lebih dahulu. Sehingga aku pulang kerumah dengan hati yang amat kecewa.
Tiga hari sesudahnya, setelah kita bertemu kembali ditempat ini, kau katakan sedang terserang penyakit flu berat, akibat kemasukan angin malam yang begitu dingin mengerogoti tubuhmu yang semampai. Aku sangat menyesal. Karena malam itu kita pulang ke rumah masing-masing memang sudah terlalu jauh larut malam. Kita terlena larut dalam belaian asmara berbincang tentang dunia remaja dan angan-angan.
Keesokannya, kita pulang lebih awal khawatir sakitmu akan bertambah parah sekalipun kau kenakan jaket kain wool tebal pemberianku dulu sebagai oleh-oleh untukmu ketika kupulang dari kota sehabis menjual rumput laut.
Kau menerimanya pemberianku itu dengan rasa senang hati. Sangat cantik kulihat kau kenakan membalut tubuhmu.yang ramping.
“Jaket kamu bagus. Aku sangat senang melihatmu. Kamu manis sekali dengan jaket itu.” kataku memuji.
“Ya, tentu. Jelek bagusnya aku pasti merasa senang menerimanya karena itu pemberian khusus dari seseorang.” balasnya dengan melempar senyum padaku.
“Dari siapa?” tanyaku berpura-pura.
“Ya, siapa lagi kalau bukan dari juragan rumput laut.” katanya bercanda.
“Sungguh mulia hati sang juragan.”
Angin laut selatan berhembus perlahan membelai rambut Nursanga terlihat acak-acakan. Sesekali ia membetulkannya karena anak rambutnya sibuk menari-nari menutupi hampir seluruh permukaan wajahnya.
Para nelayan siap-siap hendak melaut menangkap ikan. Cakrawala di ujung senja turun memerahi laut. Merah jingga warnanya. Semerah wajah Nursanga berse -
ri yang tengah dilanda kasmaran.
“Aku ragu kebaikan hati sang juragan. Pasti ada maunya!” kataku berpura-pura memancing dia. Nursanga disampingku adem mendengar ujarku.
“Sebagai tebusan, karena dia mencuri hatiku. Ia berharap kehangatan cinta dariku.” balasnya seperti orang berfilsafat.
“Berbahagialah sang juragan.”
“Boleh aku tahu sang juragan itu dimana kini?” tanyaku.
“Ehem, dimana lagi kalau bukan disampingku. Yang selalu menjagaku, merayuku, membelai rambutku lembut sayang. Aku sangat berbahagia mendapatkan seorang juragan yang memperhatikanku selalu.” sahut Nursanga dengan wajah sumringah.
“Terima kasih sayang.” kataku sambil kutarik tangannya. Kuremas jemarinya dengan lembut penuh kasih sayang.
“Aku takut kehilangan kamu.”
“Kenapa?”
“Ya, karena banyaknya juragan yang melirikmu......!”
“Hanya satu juragan untukku, tak ada yang lain.” jawabnya pasti.
“Juragan mana?”
“Juragan rumput laut, bukan juragan ikan kakap.” balasnya sumringah sambil menatapku lekat.
Hari berganti. Beberapa bulan kemudian. Kami berada kembali ditempat ini. Diantara kesibukan orang-orang memanen rumput laut yang begitu berlimpah ruah dimusin kemarau panjang. Aku kewalahan menampung begitu banyak rumput laut yang dijual oleh petani rumput laut kepadaku. Tiga gudang menumpuk penuh dibelakang rumah siap untuk dijual. Bahkan diluar gudang milikku juga masih banyak tak tertampung lagi.
Akhirnya aku putuskan untuk menjualnya langsung ke Surabya karena harga jual di kota Makassar begitu anjlok. Harga turun karena hasil panen begitu melimpah banyak. Sebuah kapal kayu aku sewa untuk mengantarnya langsung ke- Surabaya karena harga disana masih cukup menjanjikan.
“Relakan aku pergi sayang.” kataku pada Nursanga disore itu.
“Mau kemana?” tanyanya kaget, sambil mengernyitkan keningnya yang saling merapat kayak sayap burung camar.
“Ke Surabaya.”
“Urusan apa?” lagi ia bertanya tak mengerti.
“Demi masa depan kita, yaitu membawa rumput laut yang akan aku jual di- Surabaya.” kataku meyakinkan dia. Sejenak dia terdiam mendengar ujarku.
Gelombang laut terdengar berdendang ria melagukan nada cinta. Sedang angin laut selatan tetap berhembus lembut dengan begitu sejuk mengelus tubuh kami. Nursanga mengangguk senyum menatapku tanda setuju.
“Berapa lama?” tanyanya lagi setelah sekian lama kami terdiam.
“Tidak lama, palingan hanya seminggu.”
“Begitu lama.”
“Tidak lama sayang, aku segera balik dengan membawakanmu nanti oleh-oleh yang paling sagat kamu senangi.” begitu janjiku padanya dengan nada pasti. Ia senyum mengangguk mendengar ujarku.
Hari hampir malam. Semua petani rumput laut pada pulang dengan membawa hasil panennya yang begitu banyak. Aku bersama Nursanga pulang ke-rumah dengan hati yang bahagia.
Sudah seminggu kini aku berada di Surabaya. Namun rumput laut yang aku bawa belum juga laku dibeli orang, dengan alasan bahwa kini rumput laut di- Surabaya melimpah ruah. Terpaksa harganya turun drastis. Bahkan harga jual jauh lebih murah disini dari pada di Makassar. Dengan sangat berat hati terpaksa aku jual dengan harga yang sangat murah, dari pada aku menunggu lama. Akhirnya aku pulang dengan membawa kerugian besar.
Setelah kutiba, aku hubungi Nursanga lewat ponselnya, namun gagal karena tidak aktif. Kucoba beberapa kali lagi. Dari balik ponselku terdengar jawaban dari operator seluler mengatakan nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi. Pada keesokan sorenya aku coba lagi menghubunginya. Dari balik Hp milikku terdengar sayup-sayup suaranya terputus-putus.
“Ya, aku Nursanga kak.” balasnya dengan nada lirih.
“Ada apa denganmu, kenapa baru kali ini kamu angkat ponselmu.” begitu tanyaku heran dengan nada kesal.
“Nggak, nanti aku ceritakan masalahku pada kakak.” balasnya lagi.
“Masalah apa?” tanyaku lagi dengan penuh penasaran. Tak ada jawaban darinya. Pembicaraan kami tiba-tiba terputus.
“Halo,....halo,.....” kataku setengah berteriak, namun tak ada jawaban karena telanjur hp-nya dia matikan.
Sesaat sebelum aku tinggalkan dermaga tua ini. Dari dalam saku baju yang kukenakan tiba-tiba terdengar nada ring tone pesan singkat bernada lirih. Segera kubuka lalu kubaca.
Kak Zul, aku kini tengah terpasung dalam kamarku yang sempit lagi hangat. Setiap langkahku diawasi ketat oleh kedua orang tuaku. Minggu lalu disaat Kak Zul tengah berada di Surabaya aku datang dilamar oleh juragan ikan Kakap yang bengis lagi pelit itu. Aku tak dapat berbuat banyak. Kecuali tangisku yang tak punya henti sebagai bentuk protes penolakanku. Bila dilayar monitor Hp milik kak Zul terlihat kabur samar-samar hampir tak terbaca, itu adalah rintik air mataku yang jatuh membasahinya. Permohonan maafku. Dari kekasihmu.
Sehabis kubaca, dunia serasa kiamat. Langit terasa runtuh menimpa diatas kepalaku membuat tubuhku remuk hancur berkeping-keping. Aku segera bangkit bergegas pulang kerumah dengan langkah tertatih-tatih. Ada air bening mengalir perlahan membasahi pelupuk mataku mengiringi langkahku. Langkah sial dari seorang juragan yang tak putus dirundung malang. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Namun, aku tetap tegar berupaya keras untuk bangkit dari reruntuhan hidupku dan belajar untuk melupakan masa laluku bersama Nursanga.(*)


Makassar, 25 Mei 2010

Mingguan Inti Berita, 30 Mei 2010
Harian Radar Bulukumba, 16 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar