Selasa, 03 Mei 2011

101. DI JEJARING FACEBOOK TERSIMPAN DUSTA

Oleh : Hasbullah Said.-


ANDAIKAN aku seekor burung punya sayap, maka aku akan terbang tinggi untuk menemuimu dipulau kecil yang jauh terpencil, pulau Seram nun jauh disana. Sedang aku berada disini disebuah kota besar bernama Metropolitan Makassar.
Karena aku tak punya sayap, maka itu hanyalah sebuah hayalan atau impian belaka yang tak akan mungkin terwujud untuk selama-lamanya. Bermaksud untuk menemuimu hanya untuk menghilangkan keraguanmu padaku. Karena selama ini, kita sering berhubungan hanya lewat internet atau ponsel kita masing-masing.
Kendati telah terpajang tampan fotretku lewat jejaring facebook milikku. Namun kamu selalu katakan, bahwa dunia maya tak ubahnya dengan dunia mimpi yang penuh kebohongan dan kepura-puraan. Wajar saja bila kamu berkata demikian, karena kita saling berjauhan dan tak pernah bertemu muka. Hanya suaramu yang kudengar selalu, meriuhi keseharianku via ponsel milikmu. Setahun sudah kita menjalin hubungan asmara lewat internet.
Demi cintaku padamu maka aku bertekad untuk menemuimu agar kera-guanmu padaku enyah darimu. Entah, kapan dan dimana saja. Tapi apa dayaku, karena aku hanyalah seorang penulis biasa yang tak punya kemampuan apa-apa untuk bepergian jauh dengan biaya atau kost yang tak sedikit jumlahnya.
Kita saling kenal awalnya hanya lewat tulisanku yang sering dimuat disebuah koran mungil di kota kecilmu Masohi, pulau Seram. Lewat jejaring facebook, kamu kirim salam kenal padaku hanya karena ketertarikanmu pada cerita pendek yang aku tulis.
Satu diantara sekian banyak yang telah berhasil dimuat, dengan jujur kamu katakan padaku bahwa kamu sangat menyukainya dan ada getar-getar aneh tersembul dari balik rongga dadamu, seusai kamu baca.
Entah, mengapa demikian. Aku tak tahu apa nama judul cerpen itu. Mungkin karena alur cerita serta tema persis sama dengan kisah yang pernah kamu alami dimasa lalumu. Itu hanya perkiraanku semata. Tak juga kamu pernah ceritakan padaku apa penyebabnya. Maka kujawab, bahwa itu mungkin kamu sedang berada disuatu musim yang disebut musim bunga yang sedang mekar. Serupa bunga melati menerbarkan bau wangi yang menyebar keseluruh ruang yang ada.
Akhirnya, kamu menyambutnya ucapku dengan menempatkan dirimu sebagai seorang kekasih. Jauh dimata dekat dihati selalu. Balasmu melalui ponselmu dengan suara bergetar bergelombang bagai gelombang laut Seram disana.
Mulanya aku tak begitu percaya, mana mungkin ada cinta jarak jauh yang dipisahkan oleh laut Seram yang begitu sangat luas dan dalam. Ini tak mungkin. Ini suatu kegilaan atau mungkin ini hanyalah sebuah ilusi. Begitu cegatku dalam hati.
Tapi tak putus-putusnya kamu kirimkan kata-kata yang manis mesra lewat facebook milikku. Dan kamu katakan tidak ada yang tidak mungkin bila cinta telah bersemi. Waktu dan ruang tidaklah masaalah. Bukan suatu rintangan atau tantangan untuk menjalin hubungan asmara. Apalagi kini telah ditunjang dengan hadirnya tehnolgi tinggi sangat canggih yang disebut dunia maya.
Terus menerus, tak henti-hentinya kamu mendesakku, memohon jawaban dariku. Sebuah foto profil sangat cantik terpajang di facebookmu. Aku sangat kagum dan bersimpati melihat fotomu.
Karena ketertarikanku melihat wajahmu yang begitu sangat cantik menurut penilaianku. Akhirnya, hatiku luluh juga. Terlena dalam pelukan impian yang mengembara. Anganku pecah berhamburan melayang jauh, seolah tanpa dinding pemisah yang membatasinya. Kedua belahan tanganku terbuka lebar menerima harapmu. Aku berharap agar hubungan kita berlanjut terus hingga berakhir di-pelaminan kelak. Begitu balasku melalui facebook.
Itu adalah awal kisah cinta yang melandaku,...................Rasa penasaranku menjentik. Selalu saja aku on line chatting Marlina, seperti tiada lagi waktuku yang lowong tanpa bercerita panjang lebar di facebookku. Aku terlena dalam keteduhan hatiku pada kesejukan yang kurasakan seusai gerimis kala musim hujan tiba. Seperti inilah percakapan perdanaku dengan Marlina via jejaring facebook milikku.
Aku : Fotomu sangat cantik aku lihat. Aku sangat tertarik dan senang
sekali melihatmu.
Lina : Foto yang mana?
Aku : Yang kamu pajang di facebookmu.
Lina : Ah, kamu bohong. Aku sendiri tidak merasakan seperti itu. Aku
hanya iseng. Memang aku pasang fotoku yang kurang baik.
Aku : Aslinya tentu pasti jauh lebih cantik lagi dari pada foto yang kamu
pajang di facebookmu.
Lina : Gombal ni ye!
Aku : Betulan, aku tidak main-main.
Lina : Berani sumpah.
Aku : Ya,............!
Lina : Nggak lucu.
Aku : Haaaa, ha,ha, aku memang bukan pelawak. Tapi aku penulis.
Lina : Aku tahu memang kamu penulis.
Aku : Boleh aku tahu siapa namamu dan kamu orang mana?
Lina : Aku Marlina. Aku pengagum dari semua tulisanmu yang dimuat
disebuah koran mungil terbitan di kota kecilku, Masohi, pulau
Seram. Aku orang Seram. Kalau kamu?
Aku : Aku Faizal dari Makassar. Tapi raut wajahmu sepertinya kamu
bukan orang Seram. Sangat lembut sekali untuk ukuran orang
Seram.
Lina : Sumpah deh, Lina orang Seram, cuma ada sedikit campuran
Filipina. Kakek orang Filipina.
Aku : Pantas begitu cantik, karena kamu blasteran.
Lina : Ehem,........nggak juga.
Aku : Oke, sampai disini saja dulu, nanti kita sambung lagi, ya. Daaah,.....
Percakapan perdanaku dengan Marlina berakhir disitu. Semuanya mem-bawanya dalam lamunanku yang berkepanjangan seperti tak punya akhir. Dalam fantasi yang mengelana liar. Tapi aku sangat menyukainya. Berikutnya, per-cakapanku dengannya bukan lagi melalui facebook, akan tetapi melalui ponselnya.
Akhirnya, dia berharap sangat untuk aku datang ke Masohi, pulau Seram menemuinya. Katanya untuk menghilangkan keraguannya padaku. Dunia maya tak ubahnya dunia mimpi yang penuh kebohongan dan kepura-puraan. Begitu alasannya. Kujawab dengan jujur bahwa aku adalah seorang penulis biasa yang tak memiliki apa-apa.
Biaya perjalanan dari Makassar ke pulau Seram sangat mahal. Begitu kataku. Tapi dia jawab, semua biaya-biaya yang timbul dalam perjalanan dari Makassar ke pulau Seram, temasuk harga tiket kapal laut p.p. dan biaya pemondokan serta biaya lain-lainnya selama berada di pulau Seram aku yang tanggung. Dan nanti setelah tiba baru aku gantikan uangnya. Begitu katanya meyakinkanku.
Aku terharu mendengar ucapnya, akhirnya aku putuskan untuk segera berangkat, kendati aku bersusah payah ngumpulin uang untuk biaya perjalanan. Lap-Top satu-satunya milikku terpaksa kujual ditambah dengan honor menulisku selama ini. Segera kuhubungi via ponselnya.
“Halo, dik Lina, sedang ngapain kamu disitu?” tanyaku membuka pem-bicaraan padanya.
“Lagi santai kak, sore seperti ini Lina senang duduk diteras rumah menikmati indahnya laut Seram.” balasnya dengan nada riang.
“Apa dik Lina bersedia menerima kedatanganku di Masohi?” tanyaku lagi.
“Kenapa tidak, justru itulah yang adik harapkan. Tapi kapan kakak datang?” tanyanya ingin tahu.
“Kalau tak ada halangan lusa sore aku berangkat dengan menumpang kapal laut. Jemput aku di dermaga.” begitu harapku.
“Ya, tentu dong, dengan rasa senang hati Lina akan jemput kakak di dermaga, beri kabar via ponselmu bila kapal sudah hendak sandar di dermaga.”
“Terima kasih sayang. Tapi bagaimana aku mengenalmu karena untuk pertama kalinya kita akan bertemu”
“Itu soal gampang, kan setiap detik waktu ponsel kita aktifkan, dan kalau perlu baju yang aku kenakan persis sama dengan baju yang aku pakai dipajangan -
facebookku, agar mudah kamu mengenaliku.”
“Oke, terima kasih sekali lagi sayang, Daah,........... selamat sore. Sampai jumpa lagi.” balasku lalu kumatikan ponselku.
Kapal yang kutumpangi perlahan-lahan merapat kedermaga. Segera aku hu-bungi Lina via ponselku.
“Halo,........halo Lina,........” panggilku setengah berteriak. Namun tak ada jawaban darinya. Dari operator seluler menjawab bahwa nomor yang anda tuju sementara tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi! Aku mencobanya berulang kali namun tetap tak ada jawaban, sementara kapal sudah sandar dengan sempurna di- dermaga. Betapa kecewanya aku.
Dengan langkah tertatih-tatih aku turun dari atas kapal, namun wajah dan batang hidung Lina belum juga nampak dari pandanganku.
Lama aku menunggunya di pelataran dermaga, namun belum juga aku ber-temu dengannya. Segera kutinggalkan dermaga itu mencari pemondokan atau pe-nginapan yang terdekat.
Keesokan harinya, aku melangkah keluar mencari alamat rumah yang pernah diberikan kepadaku beberapa waktu lalu, namun pemiliknya mengatakan bahwa dirumah ini, tidak ada orang yang bernama Marlina.
Dua hari dua malam aku menunggunya, berulang kali aku menelponnya namun selalu gagal, tak ada jawaban darinya. Sepertinya sengaja ia tak me-ngangkatnya. Akhirnya, kuputuskan untuk segera balik ke Makassar melalui pe-labuhan Yos Sudarso Ambon, karena disana setiap saat kapal PELNI siap berangkat menuju Makassar-Surabaya.
Aku pulang dengan membawa oleh-oleh sejuta lara. Terluka. Bagai duri-duri menancap melebamkan sekujur permukaan hatiku. Terasa amat perih disana. Ada air bening mengambang dipelupuk mataku. Tapi aku yakin, suatu waktu kelak pasti aku akan bertemu dengannya. Entah, besok atau lusa, entahlah kapan,.............!
Hingga kini aku tak berhubungan lagi dengan Marlina. Dia hilang bagai ditelan bumi. Tak tahu dimana kini rimbanya. Aku telah kehilangan segalanya.
Rupanya aku telah terjebak dalam kepalsuan cintanya via jejaring face-book.(*)


Makassar, 01 Juli 2010

Mingguan Inti Berita, 11 Juli 2010
Harian Palopo Pos, 11 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar