Selasa, 03 Mei 2011

102. AKHIR SEBUAH MAHLIGAI

Oleh : Hasbullah Said.-


AMAT pedih, perih terasa. Sedih dan jengkel bercampur aduk berkecamuk dalam rongga dadaku. Terasa sesak didada. Bagai tertusuk duri-duri yang melebamkan sekujur permukaan hatiku. Begitu setelah kuketahui Nanang suamiku yang amat kukasihi selama ini, menghianati cintaku. Cinta setulus hati seorang istri yang kuberikan kepadanya. Kini tiga tahun sudah usia pernikahanku dengannya. Masih seumur jagung.
Awal perkenalanku dengan Nanang sangat sederhana. Hanya saling pinjam meminjam buku pelajaran ketika kami masih sama-sama duduk dibangku SMK.
Yang kemudian berlanjut dengan lahirnya semacam kerinduan di hati kami, selalu ingin bertemu, kendati setiap hari kami selalu bersama di sekolah. Bahkan pulang pergi sekolah selalu aku berdua dengannya. Saling menyayangi. Akhirnya, telah terjalin hubungan cinta suci didua insan remaja.
Setamat di SMK, Nanang melamarku. Gayungpun bersambut. Kedua orang tuakupun tak keberatan atas lamarannya. Awal pernikahanku dengannya berjalan begitu sangat rukun bahagia. Satu tahun kemudian lahirlah anak kami yang pertama, maka lengkaplah sudah kebahagiaan yang telah lama kami idamkan.
Walau suamiku ketika itu masih bergaji pas-pasan karena baru terangkat sebagai PNS disalah satu Instansi Pemerintah di kota kecil kelahiranku. Akan tetapi kedua orang tuanya termasuk orang yang berada, sehingga kami masih mendapat subsidi bila sewaktu-waktu ada sesuatu kebutuhan atau keperluan yang sangat mendesak.
Nanang adalah anak tunggal laki-laki dari lima bersaudara. Keempat saudaranya semuanya perempuan. Maka tak heran, bila didalam rumah tangganya dia itu, adalah anak yang sangat disayangi dan dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Maklum, dia adalah anak laki-laki tunggal dalam keluarganya.
Jelang empat tahun usia pernikahan kami, prahara cinta datang melanda rumah tangga kami. Angin puting beliung memperorak perandakan rumah tanggaku yang rukun bahagia. Hadir orang ketiga diantara kami berdua. Sebut saja Irma nama perempuan selingkuhnya.
Sebagai seorang perempuan yang lemah, aku tak dapat berbuat banyak. Kecuali tangis kesedihan sering terurai membasahi wajahku. Hanya kumampu berdoa setiap usai shalat memohon kepada yang Maha Kuasa agar memberikan ketabahan hati padaku menerima cobaan ini, dan juga dia Nanang suamiku disadarkan dan diluruskan hatinya.
Kala itu, senja telah tiba dan jam dinding diruang tengah berdentang lima kali, pertanda bahwa waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Suara sepeda motornya terdengar meraung bising memasuki pekarangan rumah.
Didepan pintu masuk rumah kutunggu kedatangannya, begitu rutin kulakukan selalu. Aku berdandan seadanya, sebagai ungkapan seorang ibu rumah tangga yang setia dan cinta terhadap suaminya. Seperti hari-hari sebelumnya, aku siapkan selalu secangkir kopi hangat tersaji diatas meja, serta pakain ganti untuknya.
Seusai ganti pakaian, Nanang menuju meja dimana tempat minuman yaitu secangkir kopi hangat yang telah aku siapkan. Aku duduk berhadapan dengannya, namun aku tak memberikan komentar atau pertanyaan seperti biasanya. Aku hanya duduk diam mematung. Air mataku jatuh berlinang tanpa kusadari. Nanang lalu bertanya membuka bicara padaku memecah keheningan senja.
“Mengapa adik Dinda menangis? Ada apa?” begitu tanyanya heran. Aku masih tetap membisu tak menyahuti ujarnya. Dadaku terasa sesak, sepertinya akan meledak menahan sedih, perih bercampur aduk dengan rasa jengkel. Setelah tangisku sedikit meredah, baru aku balik bertanya padanya.
“Kemana kamu setiap malam pergi? Dan mengapa sampai larut malam bahkan kamu tak pulang-pulang hingga pagi harinya?” Dengan suara gemetar tersendat-sendat Nanang menyahuti tanyaku.
“Kerumah teman, karena kami asyik ngobrol hingga aku terlambat pulang.” Jawaban yang sangat menyakitkan hatiku. Sebab aku telah tahu bahwa Nanang sering kerumah perempuan selingkuhnya, bahkan dia sempat bermalam disana. Sebenarnya hal ini telah lama aku mengetahuinya. Tapi aku masih tak percaya sebelum aku me-nyasikkan dengan mata kepalaku sendiri.
Malam itu, aku keluar rumah dengan sesuatu keperluan yang mendadak. Persediaan susu Dancow minuman anakku telah habis, sehingga tak hentinya ia menangis karena kelaparan ingin minum susu. Dengan menumpang sebuah becak aku melintas dijalan sebuah perkampungan menuju toko penjual susu.
Tanpa sengaja, sepeda motor Nanang kulihat terparkir di halaman depan sebuah rumah. Kepada tetangga yang berdiam disamping rumah itu seorang ibu paruh baya kutanyakan, kemana pemilik sepeda motor itu? Dengan lugu dan jujur ia menjawab tanyaku. Sepeda motor itu milik Pak Nanang. Di rumah itu tinggal pacarnya bernama Irma dan setiap hari Nanang selalu berada disitu.
Mendengar jawaban dari ibu tadi, akupun bergegas pulang kerumah dengan menumpang sebuah becak. Didalam perjalananku pulang tak putusnya aku menangis meratapi nasibku yang malang. Rupanya selama ini Nanang suamiku telah meng-hianati pernikahanku dengannya.
Jawaban Nanang yang seadanya itu, bukannya aku merasa legah, akan tetapi hatiku didalam semakin hancur. Kutanya, siapa perempuan itu? Dan kenapa Nanang bermalam di rumahnya? Padahal aku menunggumu hingga larut malam, bahkan hingga pagi harinya aku tak tidur menunggu kepulanganmu. Nanang diam membisu, tak dapat ia berkutik. Ia mematung hampa. Mulutnya terkunci rapat. Ia melempar pandangannya keatas, menatap langit-langit rumah yang berwarna kusam karena telah lama tak terawat.
Malam perlahan menggamit larutnya. Diluar angin malam berhembus lembut, membelai dedaunan jambu air yang tumbuh dihalaman depan rumah. Dalam ke-heningan malam yang bisu, aku buka bicara padanya.
Kukatakan bahwa dengan mata kepalaku sendiri aku melihat sepeda motormu itu terparkir tepat dihalaman depan rumah seorang perempuan yang bernama Irma. Mendengar ujarku, raut wajahnya kulihat sepertinya ada lahir setangkup penyesalan. Penyesalan yang kurasakan sudah sangat terlambat.
Aku ajukan sebuah pernyataan padanya yang sangat diluar dugaannya. Nanang kala itu tak dapat berbuat banyak. Ia diam merunduk.Membisu tak menyahuti ujarku. Kuminta padanya agar dia siap untuk kunikahkan dengan Irma pacar selingkuhnya itu.
Aku tak inginkan sebuah perbuatan yang terkutuk. Biarlah, aku mengalah. Dan aku lakukan hal ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, agar Nanang tidak dipecat dari kantornya tempat dimana ia bekerja sebagai PNS. Dan akupun tak sampai hati melihat anaknya mederita bila kelak dikemudian hari mengetahui ayahnya selingkuh dengan seorang perempuan bernama Irma teman sekerjanya.
Sepekan kemudian, Nanang pun menikah dengan Irma perempuan se-lingkuhnya. Kejadian ini aku sangat rahasiakannya kepada siapa saja termasuk kedua orang tuaku. Aku terpukul dan sangat malu atas kejadian ini. Tapi apa boleh buat. Karena aku tak mau Nanang suamiku memelihara dosa dan aib.
Kesedihan hatiku kupendam sendiri dalam lubuk hatiku yang hancur. Namun dihati tak pernah menyimpan rasa dendam atau benci, karena ini memang sudah suratan takdirku dari Yang Maha Kuasa.
Sejak pernikahannya itu, aku telah nyatakan akan minta cerai, dan memulai pisah tempat tidur dengannya. Biarlah aku mencari jalan hidupku sendiri. Setelah cukup tiga bulan aku pisah tempat tidur dengan Nanang, maka segera kuajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama setempat.
Setelah beberapa kali sidang, perkaraku putus dan gugatan ceraiku dikabulkan oleh Ketua Pengadilana Agama, maka resmilah aku bercerai dengannya. Walau aku tahu bahwa perceraian itu adalah suatu perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untukku.
Selama beberapa bulan kemudian setelah aku cerai dengan Nanang, kudengar berita bahwa istri barunya tidak pernah rukun dengannya. Akhirnya diapun cerai dengan Irma istri barunya.
Kini, aku tinggal bersama anakku disebuah rumah kontrakan, dengan penuh ketenangan dan kedamaian, sekalipun aku telah berstatus janda muda. Untuk me-menuhi kelangsungan hidup hari-hariku bersama anakku, aku menerima jahitan pakain khusus wanita dan anak-anak, sesuai dengan keterampilan yang kuperoleh dulu semasa aku sekolah di SMK jurusan Tata Busana.
Aku tak mau lagi membina rumah tangga dengannya, sekalipun beberapa kali ia menghubungiku lewat orang dekatnya meminta untuk rujuk kembali. Aku tahu ia masih sangat mengharapkanku. Namun aku tolak, dan mengatakan tak mau lagi hidup bersama dengan seorang pengecut, penghianat cinta.
Karena itu, hingga saat ini aku tetap di jalanku sendiri, bersama anakku semata wayang yang sangat aku sayangi. Hanya tinggal kenangan buram, menghiasi benakku selalu yang tak kan pernah pupus dalam ingatanku sepanjang jalan hidupku. Bila teringat masa itu, maka kuanggap hanyalah sebuah nostalgia lama belaka bagiku.(*)

Makassar, 21 Juli 2010

Mingguan Inti Berita, 01 Agustus 2010
Harian Radar Bulukumba, 13 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar