Selasa, 03 Mei 2011

103. KETIKA CINTA DIBAKAR API CEMBURU

Oleh : Hasbullah Said.-


BILA kuingat, masa lalu yang kulewati bersama Fadli suamiku, maka hati ini menjerit pedih. Kesakitan. Bagai sebuah luka lama. Serupa bekas sayatan sembilu, amat perih yang tak akan pernah sembuh hingga kini.
Walau, hanya tinggal kenangan buram bagiku membekas dalam hati tak kunjung hilang sepanjang jalan hidupku. Jengkel dan sedih bercampur aduk menjadi sebuah kebencian. Demikian siksa lahir bathin ini aku derita, seusai menjalani pernikahanku dengannya.
Betapa tidak, sejak pernikahanku diawal tahun lalu, tepatnya tanggal 05 Januari 2009, aku menikmati kebahagiaan bersamanya hanya sekitar tiga bulan lamanya. Tak lebih dari seusia jagung semusim. Setelah itu, aku sering dicaci maki, bahkan aku dianiaya hanya karena terbakar oleh api cemburu buta yang me-ngepungnya.
Awalnya bermula, ketika tiga bulan setelah pernikahanku dengannya, kami ke Makassaar untuk tinggal bersama disebuah rumah kontrakan. Karena Fadli suamiku ingin lanjut kuliah di salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Makassar.
Ketika itu, Fadli suamiku masih kuliah dan belum memiliki suatu pekerjaan tetap, maka kami mengharapkan biaya hidup hanya uluran tangan dari kedua orang tua kami masing-masing.
Berhubung karena kebutuhan hidup di kota besar seperti Makassar sini begitu sangat susah, sedangkan biaya hari-hari hanya berharap dari uluran tangan dari kedua orang tua kami, maka terpaksa aku coba mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Awalnya, suamiku setuju saja bila aku bekerja. Maka aku mencoba melamar kerja disebuah Mall di kawasan Panakkukang sebagai Pramuniaga. Dan Alham-dulilah lalamaranku diterima.
Mula aku berkerja, kerukunan dalam rumah tangga kami berjalan lancar dan bahagia. Namun, belakangan timbul suatu masalah dalam keluargaku, karena akhir-akhir ini aku sering terlambat pulang kerumah tidak sepertinya hari-hari diawal mula aku bekerja, karena disibuki dengan pekerjaanku yang kian menumpuk.
Cukup sibuk dan sering diberi tugas tambahan oleh pimpinan atau Manajerku untuk bekerja lembur sampai malam, bersama beberapa orang teman wanita sekerjaku.
Fadli suamiku, rupanya sudah mulai curiga padaku, tidak menerima baik hal itu. Keterlambatanku pulang kerumah karena kesibukanku itu, sudah dijadikan suatu alasan Fadli, untuk marah karena cemburu menyangka aku terlambat pulang karena ada orang ketiga diantara kami berdua.
Walau, aku telah jelaskan dengan sejujurnya, bahwa aku terlambat pulang hanya karena aku lembur. Akan tetapi dia tidak percaya, dan tidak menerima baik alasanku, hingga dia sering marah-marah padaku. Bahkan dalam kemarahannya itu emosinya tak terkontrol lagi, aku sering mendapat siksaan yaitu pukulan dan tendangan ke arahku, setiap aku pulang kerja, membuat aku merintih kesakitan yang tak tertahankan.
Pada awalnya, perlakuannya itu aku maafkan saja, dengan penuh kesabaran seraya berharap dan berdoa agar Fadli, bisa sadar dan mengerti tentang tugas dan tanggung jawabku sebagai Pramuniaga dimana tempat aku bekerja.
Berulang kali kujelaskan kepadanya, bahwa aku bekerja demi untuk ke-langsungan hidup kita berdua, dan pula untuk biaya tambahah kebutuhan perkuliahannya. Belajar mandiri, agar kelangsungan hidup hari-hari, tidak selalu ber-gantung kepada orang tua kita. Demikian penjelasanku kepadanya. Namun dia tidak menerimanya dengan baik.
Akhirnya, karena keseringan ia melakukan kebiasan buruknya terhadapku, maka aku juga sudah tak tahan lagi, mulai aku membantah dan sesekali melawan per-lakuannya. Tapi itu kulakukan berharap agar ia sadar.
Akan tetapi, Fadli suamiku bukannya sadar, bahkan semakin menjadi-jadi prilaku buruknya terhadapku. Karena aku tak tahan selalu diperlakukan seperti itu, maka aku terpaksa tinggalkan dia. Untuk sementara waktu aku pisah tempat tidur dengannya.
Aku pilih tinggal kost disebuah rumah kontrakan, bersama temana-teman wanita sekerjaku, dengan harapan serta pertimbangan, semoga disuatu waktu dia sadar dan menjemputku pulang kerumah, untuk berkumpul kembali dengannya, membina rumah tangga kami yang telanjur ambruk dengan baik rukun dan tenteram.
Hal ini pula kulakukan, untuk menghindari perlakuan buruknya terhadapku, juga memberi pelajaran kepadanya, agar dia tidak sewenang-wenang terhadap seorang wanita, apalagi aku adalah istrinya. Namun harapanku itu gagal tidak terwujud. Bahkan Fadli mengancam, akan menganiaya aku bila ketemu dengannya.
Karena aku tak tahan lagi menerima siksaan darinya, maka terpaksa aku ajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama di daerah tempat asalku.
***
Pernikahanku dulu dengan Fadli, memang melalui proses panjang. Walau, aku sempat berpacaran dengannya, saat aku masih sama-sama duduk dibangku SMU.
Kala itu, usiaku baru menginjak 17 tahun. Aku duduk dibangku kelas dua, dan dia kakak kelasku ketika awal aku pacaran dengannya. Aku dengan Fadli saling jatuh cinta. Fadli sayang sama aku, dan akupun sayang sama dia. Maka terjalinlah hubungan asmara yang mesra.
Akan tetapi, setelah kami pacaran setahun lebih, yaitu setelah aku duduk dibangku kelas tiga dan dia sudah tamat, lanjut kuliah di salah satu perguruan tinggi.
Tiba-tiba terjadi suatu kesalah pahaman antara aku dengan dia. Aku putuskan hubungan cintaku dengan Fadli, walau kedua orang tuaku dan orang tua Fadli telah mengetahui hubungan kami berdua.
Setelah aku putuskan hubungan cintaku dengan Fadli, tiba-tiba ia jatuh sakit keras. Ia meminta kepada orang tuanya, untuk menghubungiku segera agar aku kembali padanya, menyambung tali cinta yang sempat terputus.
Awalnya, aku menolak. Tapi karena Fadli sudah beberapa kali jatuh sakit, dan sempat dirawat inap disebuah rumah sakit, beberapa hari lamanya hanya karena mengharapkan aku tetap menjadi kekasihnya, bahkan kedua orang tuanya datang melamarku secara baik-baik.
Akhirnya, karena niat baiknya itu, kedua orang tuakupun menerima lamarannya. Gayungpun bersambut. Aku siap jadi istri Fadli, dengan catatan ia harus
berjanji untuk tidak menyakiti hatiku lagi.
Pada awal tahun 2009, pesta pernikahanku berlangsung dengan amat meriah, seluruh kerabat keluargaku yang diundang pada datang semua. Maklum, keluarga Fadli terbilang keluarga yang berada, berkecukupan, sedangkan keluargaku hidup dalam kesederhaan.
Di awal pernikahanku, hidup kami memang cukup bahagia. Aku dan Fadli, selalu bersama kemana saja ia pergi. Sampai saatnya, aku diboyong ke Makassar bersamanya, untuk melanjutkan kuliahnya disalah satu Perguruan Tinggi, maka di-sinilah awal terjadinya malapetaka, menimpa rumah tangga kami yang sesungguhnya sama sekali diluar dugaanku. Fadli telah melanggar kesepakatan kami dulu, disaat jelang akad nikah.
***
Setelah beberapa kali sidang di Pengadilan Agama, akhirnya gugatanku di- kabulkan, maka resmilah sudah aku cerai dengan Fadli sebagai suami istri, dan aku pulang kerumah dengan menyandang predikat janda.
Tapi semuanya itu telah berlalu, biarlah pengalaman pahitku jadi kenangan buram dan pelajaran berharga bagiku, untuk menempuh jalan hidupku sendiri dimasa mendatang.
Di dalam kamarku yang sempit lagi hangat, aku terisak dalam tangisku yang tak berkesudahan menyesali nasibku yang malang. Tak putus-putusnya aku berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberiku petunjuk dan ketabahan hati menerima cobaan ini. Dan tak lupa pula kudoakan, semoga teman sejenisku atau se-kaumku Hawa tidak mengalami nasib serupa denganku.(*)

Mingguan Inti Berita, 08 Agustus 2010
Harian Radar Bulukumba, 08 Desember 2010 Makassar, 23 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar