Selasa, 03 Mei 2011

104. KASIH BERSEMI DI TANJUNG BIRA

Oleh : Hasbullah Said.-


ANGIN pantai Tanjung Bira berhembus lembut. Hembusannya begitu terasa sejuk dari arah selat Selayar. Diiringi nyanyian sunyi deburan ombak gemulai. Berlari seolah berlomba hendak menggapai tepian pantai nan landai.
Aku bersama Maryam berjalan, dan berjalan lagi menapaki bibir pantai dengan jilatan air laut menyentuh membasahi ujung-ujung kaki celana jeans yang kami kenakan.
Bekas pijakan jemari kaki kami diatas hamparan pasir putih itu kulihat nampak jelas. Pasir putih Tanjung Bira begitu lembut terasa, menyentuh kulit ari kaki kami yang telanjang. Busa putih bagai hamparan salju dimusim dingin keperakan tertimpa oleh terik matahari pagi.
Bila hujan tiba, begitu cepat meresap bersembunyi dibalik tanah berpasir. Hanya bekas ramahannya yang basah nampak tersisa, menandakan bahwa ia pernah ada. Tak nampak sedikitpun genangan air atau tanah berbecek diatasnya karena be-gitu cepat dilumat habis oleh resapan pasir lembut.
Maryam masih memegang erat tanganku sambil menyandarkan kepalanya tepat didepan bahuku, berjalan bersamanya diatas pasir putih. Aku amati bekas pi-jakan kaki-kaki kami diatas tanah berpasir itu.
Kemudian kudapati bukan hanya satu jejak, tapi ada banyak jejak berjejer di- dekatnya. Menandakan bahwa banyak orang berlalu lalang sebelum kami tiba disini, dan tanah itu tidak rata, tak seperti tadi diawal kami menginjakkan diatasnya. Pasti malam minggu tadi banyak pengunjungnya. Begitu pikirku dihati.
Berjalan terus bersamanya, tak henti menyusuri bibir pantai kearah barat. Tak terasa kami telah jauh berjalan, dan tiba tepat di sebuah pohon ketapang tumbuh di-pinggir pantai menantang langit, kami singgah istirahat di bawah rindangnya, karena
kulihat Maryam sudah kelelahan berjalan.
Matahari pagi memancarkan sinarnya yang sehat menerpa ubun-ubun. Perlahan-lahan pengunjung pantai Bira datang bergerombol dari berbagai arah. Bibir pantai nan landai dengan panorama lautnya yang sangat cantik membuat aku senang kemari dan betah tinggal berlamaan disini. Walau kali pertama aku berkunjung kesini. Daya pesona alamnya sangat memikat bagi siapa saja pengunjungnya.
“Kalau dik Maryam, apa senang tidak datang di Tanjung Bira sini?” tanyaku setelah sesaat kami duduk diatas pasir putih dibawah rindangnya pohon ketapang.
“Tentu aku senang dan senang sekali kak Bahar, karena aku rasa sepertinya berada di kampung halamanku sendiri.” sahutnya dengan nada riang.
“Kalau gitu kamu anak kampung.” gurauku sambil menatap wajahnya yang sumringah.
”Nggak juga dong, siapa bilang? Kita kan sama-sama anak kota. Dibesarkan di kota Kabupaten Gowa, kita satu sekolah mulai dari SD hingga tamat di SMA, kemudian lanjut kuliah di PGSD IKIP Makassar, terakhir sempat melamar jadi Guru dan kita sama-sama berhasil diangkat menjadi Guru Sekolah SD Inpres Mangasa Kab.Gowa. Iya, kan?” balas Maryam dengan nada protes.
“Maksud aku, orang tua kita kan sama-sama dari kampung. Dan kamu sendiri bilang sama seperti di kampung halamanku sendiri.” balasku pura-pura menepis bersilat lidah.
“Ya, kenapa kita mesti malu mengaku anak kampung?” bantahnya dengan nada sedikit kecewa.
“Udah,...udah deh, mari kita nikmati panorama pantai Bira dengan melupakan semua ganjalan di hati, membuang jauh-jauh rasa stres selama kita laksanakan tugas sebagai tenaga pengajar di SD Inpres Mangasa.” balasku menenangkan dia. Aku sedikit menyesal dengan gurauanku yang tak kusangka-sangka kalau dia itu tak akan menerimanya dengan baik.
Pangdanglah laut yang luas itu, seluas dan setulus hatimu menerimaku se-bagai seorang kekasih. Kekasih yang sama-sama berprofesi sebagai guru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Maka berbahagialah seorang guru yang telah mengabdikan dirinya, sebagai pengajar, mencurahkan segala tenaga dan pikirannya mencerdaskan ke-hidupan anak bangsa tanpa pamrih. Aku bangga jadi seorang guru, karena guru kini tak seperti dulu lagi, guru tempo doeloe dipandang hanya sebelah mata saja. Tidak ada artinya apa-apa, dibanding dengan karyawan atau pegawai Negeri dari Instansi lainnya.”
“Iya, kan dik Mar?” bujukku sambil memeluknya erat. Maryam diam tak me-nyahuti ujarku. Sesaat ia melempar pandangannya kearah laut yang tengah ke-perakan tertimpa matahari pagi. Burung camar nampak ramai menyambar-nyambar diatas permukaan laut menyambut pagi hari yang cerah.
“Kau marah dik Mar?” tanyaku penasaran.
“Nggak, anak kampung tak semudah itu marah.” balasnya lagi menyindir.
“Aku mohon maaf dik.” kataku lagi sambil memegang erat tangannya. Terasa begitu dingin bersentuhan jemariku. Pembicaraanku kini kualihkan seputar sertifikasi guru.
“Kalau sertifikasi kita telah disetujui dan dibayarkan pada semester awal yang akan datang, maka apa rencana kamu selanjutnya?”
“Mana mungkin sertifikasi guru akan terealisasi dengan cepat. Pengurusannya saja begitu berbelit-belit. Aturannya labil, tidak menetap, sering berobah-robah Mungkin karena didapati banyak guru spekulasi dengan foto copy bahan-bahan yang tidak realistis.” jawabnya dengan nada pasimist.
“Asal bukan kita yang lakukan kecurangan seperti itu. Dan bukankah kita sudah lolos seleksi berkas kan?” bantahku meyakinkan dia.
“Ya, syukurlah, karena kita tidak melakukan hal yang tidak terpuji itu.” balas Maryam menyemangatiku.
“Ngomong-ngomong, setelah kamu terima tunjangan sertifikasimu itu, kamu akan gunakan untuk membeli apa?” tanyaku berpura-pura memancing dia.
“Kalau cewek, tentu tidak lain hanya untuk pembeli perhiasan.”
“Oh, supaya kamu nampak lebih cantik lagi, dengan perhiasan emas berge-lantungan disekujur tubuhmu terlihat kayak toko emas berjalan.” balasku bersoloroh.
“Ah, kamu menghibur atau menghina aku.”
“Tentu aku menghibur kamu.”
“Kalau kamu, mau gunakan untuk membeli apa?” balik ia bertanya.
Aku diam tak secepat menyahuti tanyanya. Aku berpura-pura berpikir lama. Membatin. Lalu sesaat kulempar pandanganku jauh kearah laut yang tengah keperakan tertimpa matahari siang. Hembusan angin laut kian lembut terasa, begitu sejuk mengelus tubuh kami berdua. Gemuruh ombak tak henti-hentinya melantunkan lagu syahdu terasa empuk di pendengaranku.
“Em,..........em........akan kupakai untuk kawin. Begitu kuterima tunjangan sertifikasiku, segera aku akan melamarmu.” kataku lagi bergurau setelah sekian lama aku terdiam.
“Ehem,....biaya ulang tahun anak balita saja tak akan cukup dengan sejumlah itu, apa lagi akan dipakai kawin.”
“Itu, kan hanya tambahannya saja. Selebihnya, jauh sebelumnya aku telah persiapkan sejumlah puluhan juta rupiah.” kataku lagi bercanda menyombongkan diri.
Suasana Tanjung Bira semakin ramai, dipadati oleh pengunjungnya yang datang hampir dari seluruh penjuru kota. Apalagi liburan sekolah seperti ini, pe-ngunjungnya lebih banyak anak sekolah dari luar kota Bulukumba datang kemari untuk mengisi liburan panjangnya. Maryam diam terpaku menatap laut yang ke-perakan tertimpa mentari siang. Aku mencoba merajuk hatinya dengan degup jantung yang berpacu keras.
“Apakah dik Maryam bersedia menerimaku sebagai seorang suami, walau aku dalam status duda dengan punya anak tiga?” tanyaku tiba-tiba mengagetkan dia.
Maryam lagi diam mematung tak menyahuti tanyaku. Walau dia sudah lama mengetahui bila aku duda. Kematian istriku beberapa bulan lalu, diapun turut hadir berbela sungkawa dirumahku hingga usai pemakaman istriku. Yang menjadi prob-lema sekarang hanya tinggal menunggu restu kedua orang tuanya.
“Kukira tidak ada masaalah, soal duda atau punya anak berapa, yang penting kedua orang tuaku merestui hubungan kita berdua.” kata Maryam dengan suara lirih, serak tertahan di tenggorokannya. Ada butiran-butiran air bening mengambang di- pelupuk matanya yang sayu. Aku menatap wajahnya lekat-lekat lalu memeluknya mesra, kemudian kuulurkan tanganku menyalaminya.
“Terima kasih dik, semoga kedua orang tuamu merestui hubungan kita, dan menerima lamaranku. Insya Allah, akhir bulan depan aku akan segera datang me-lamarmu. Sekalipun tunjangan sertifikasi guru belum aku terima.” begitu ujarku sedikit bercanda.
“Semogalah,..........!” balasnya dengan wajah sumringah.
Senja telah hampir berlalu. Burung camar terbang tinggi, lalu menukik ke-bawah menyambar-nyambar diatas gelombang laut, riuh kedengarannya menyambut datangnya malam, siap-siap hendak pulang menuju sarangnya masing-masing.
Sementara gelombang laut tak hentinya bernyanyi melantunkan balada cinta abadi, merasuk perlahan dihati kami berdua. Segera kami beranjak hendak pulang.
“Yuk, kita pulang Mar, hari hampir malam!” ajakku padanya sambil kami berjalan berbimbingan tangan menuju mobil Suzuki Jimny yang aku kemudikan sendiri. Hanya kami berdua dengan Maryam, dia duduk disampingku.
Akhirnya, mobil Suzuki yang kami tumpangi melaju diatas jalan aspal menuju kota Sungguminasa-Gowa dalam belaian remang-remang senja yang kian kelam.(*)


Makassar, 10 Agustus 2010

Mingguan Inti Berita, 22 Agustus 2010
Harian Radar Bulukumba, 20 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar