Selasa, 03 Mei 2011

107. SEJAK KAU PERGI HATI INI SUNYI

Oleh : Hasbullah Said.-

DARI BALIK radio tape recorder rumah tetangga sebelah, terdengar sebuah lagu mengalun lembut. Kesunyian Jiwa. Lagu nostalgia lama, yang dilantunkan oleh Mukhsin Al-Alatas. Sebuah lagu Melayu favoritku yang sangat menggugah perasaanku. Entah, mengapa demikian. Mungkin karena lagu itu mengingatkan kepadaku pada masa-masa laluku bersama dia, Yaomi, gadis teman kuliahku dulu.
Anganku pecah begitu berhamburan jauh. Mengenang masa itu. Lima tahun lalu. Sudah cukup lama untuk mengenang masa itu. Namun tak pernah lekang dihatiku, tak pupus dalam ingatanku.
Sebahagian teks lagu itu masih sempat terekam dalam benakku, ..............
Tapi tak kusangka
Kau hanya berdusta
Untuk hidup bersama,.......................

Kalau kau tak sudi
Janganlah berjanji
Cobalah bayangkan
Nasibku ini.........................

Cinta yang mulia
Harapan hayalan belaka
Kini hampa yang kurasa
Kesunyian jiwa
Masa bahagia tinggal kenangan saja,.........................
Demikian lagu itu mengalun perlahan dalam indera pendengaranku terbawa angin lalu. Sejenak aku terpaku diam diatas balai bambu yang kududuki. Bernaung dibawah rindangnya sebuah pohon jambu air tumbuh dihalaman samping utara rumahku.
Kendati senja telah siap hendak beranjak pergi mengoyak tirai malam yang bergulir perlahan semakin mendekat menuju kelamnya. Namun tak mampu me-ngusikku dari atas balai bambu yang kududuki untuk segera bangkit pergi.
Angin petang membawaku hanyut dalam hayalku yang mengembara, me-ngenang masa-masa laluku yang begitu indah terasa bersama Yaomi.
Masa ketika sama-sama kuliah difakultas Hukum kampus merah di kota ini. Kukenal Yaomi berawal ketika masa pra-mahasiswa berlangsung yang disebut Mapram *). Ketika itu, Yaomi adalah kawalanku, dimana setiap seorang cama *) di-beri tugas oleh kakak senior kami untuk antar jemput masing-masing satu orang cami *) karena dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bila pulang larut malam kerumahnya masing-masing seusai Mapram. Ironisnya, didalam antar jemput itu tidak diperkenangkan mengendarai kendaraan bermotor ataupun semacamnya selain sepeda.
Pada malam pertama Mapram, Naomi memperoleh harga lelang tertinggi dari sekian banyak cami karena dia berpenampilan menarik lagi lincah, dan diberi nama samaran dari kakak senior kami Merpati Putih, dapat terbaca dengan jelas tertulis diatas sebuah karton tebal yang bergelatungan dilehernya. Aku tak tahu kenapa kakak senior kami memberi nama samaran Merpati Putih.
Sepeda kumbang metallic warna merah milikku, hadiah dari om-ku dihari ulang tahunku yang ke-17, kukayuh perlahan diatas aspal panas membara. Irama gesekan ban sepedaku diatas aspal bagai lantunan balada cinta begitu indah terasa di-pendengaranku. Sedang Yaomi diboncenganku tetap diam walau panas terik menerpa tubuhnya begitu sangat terasa.
Setiba dipintu masuk kampus, kami telah ditunggui oleh beberapa orang kakak senior kami. Dan dari jauh mereka telah berteriak dengan garangnya meminta kepada kami untuk segera turun dari atas sepeda yang kami kendarai.
“Hei, monyong, .....kamu berdua masuk dikampus sini harus dengan jalan mundur! Jangan coba-coba ada yang melanggar perintahku.” begitu ancaman salah seorang dari kakak senior kami. Dengan terpaksa, aku bersama Yaomi mengikuti pe-rintahnya, dengan penuh kesabaran karena khawatir kami akan mendapat hukuman yang lebih berat lagi. Namun, aku yang paling tesiksa karena harus jalan mundur dengan turut serta kubimbing sepedaku.
Walau dengan susah payah terseok-seok diatas batu kerikil tajam, kami tetap laksanakan perintahnya hingga kami telah tiba di halaman gedung fakultas Hukum dengan napas yang tersengal-sengal ditenggorokanku.
Setiba di depan gedung kampus, kami diterima oleh kakak senior lainnya dengan bentuk lain lagi perintah hukumannya.
“Hei si burung Merpati busuk,.......... teriak dari salah seorang kakak senior perempuan yang menggiring kami kearah bawah tangga lantai dasar gedung fakultas Hukum yang berlantai dua itu.
“Kenapa rambutmu itu kamu tidak ikat seribu kayak cacing, dengan pengikat kain pita warna pink. Apa kamu tidak dengar perintah kami dihari kemarin? Apa kau tuli cewek busuk?” bentak kakak senior itu dilontarkan kepada Yaomi. Tapi Yaomi diam, tak berani menyahuti ujarnya.
“Hei,.......cewek busuk, jawab,.........! kenapa kamu diam saja tak menyahuti tanyaku.” bentaknya lagi dengan nada mengancam. Titik-titik air mata Yaomi se-ketika jatuh perlahan membasahi wajahnya. Ia hanya merunduk diam kearah bawah ubin keramik.
“Dasar cewek cengeng, belum diapa-apain udah hujan lebat membasahi wajahnya. Awas,.......! kalo besok kamu belum juga laksanakan perintahku, maka aku akan menghukummu dengan hukuman yang lebih berat lagi.” begitu ancamnya kemudian berlalu meninggalkan kami berdua dibawah tangga gedung fakultas Hukum.
Sesaat kemudian, seorang kakak senior cowok menyuruh kami menuju halaman depan gedung fakultas di lapangan rumput hijau, berkumpul bersama dengan teman-teman cama dan cami lainnya untuk mengikuti upacara bendera.
Setelah upacara bendera selesai, tiga orang senior menyuruh kami pindah bernaung dibawah rindangnya pohon cempaka tumbuh dihalaman depan gedung fakuktas Hukum. Disana kakak senior kami menyuruh Yaomi melantunkan lagu apa saja dengan mimik sama seperti artis kenamaan.
Tanpa dinyana, dengan penuh perasaan Yaomi melantumkan lagu Melayu Kesunyian Jiwa punya Mukhsin Al-Alatas dengan perasaan sedih disertai dengan lelehan air mata yang mengambang dipelupuk matanya. Terdengar begitu syahdu dan merdu dilantukan oleh Yaomi mengundang rasa haru bagi kakak senior lainnya yang datang berkumpul bersama kami.
Yaomi bagaikan artis yang tengah naik daun. Terdengar pujian baik dari kakak senior kami maupun teman-teman cama dan cami lainnya. Menjadi pusat perhatian hampir semua dari kakak-kakak senior kami yang hadir beserta cama-cami peserta Mapram.
Ironisnya, setiap detik waktu senior kami datang bergantian menyuruh Yaomi menyanyi membuat ia kewalahan dan kelelahan dibuatnya. Akhirnya terkenallah sudah Yaomi sebagai artis lokal kampus merah. Karena dia itu adalah vokalis/ biduanita favorit dari group O.M.GITA MALAM sewaktu ia masih duduk dibangku kelas dua disebuah sekolah SMU di kota ini.
Akan tetapi, belum usai Yaomi melantukan lagu Kesunyian Jiwa, tiba-tiba beberapa orang kakak senior lainnya datang menyuruh berhenti menyanyi.
“Berhenti,........monyong, siapa yang suruh kamu menyanyi, lagu itu lagu kampungan.” cegatnya dengan suara yang menggelegar seolah akan meruntuhkan langit menimpa diatas kepala kami.
“Lanjutkan,........!” balas kakak senior kami yang berkerumun didekat Yaomi. Akhirnya, Yaomi kelabakan tak tahu apa yang hendak ia lakukan. Bagai memakan si buah malakama. Di makan ibu mati, tak dimakan ayah mati.
“Saya sudah katakan berhenti,.......! Itu lagu cengeng monyong, lagu patah hati, apa kamu putus cinta!” bentaknya lagi dengan nada yang agak lebih keras dari semula. Sesaat terjadi pertengkaran yang sengit antara dua kubu kakak senior kami. Hampir saja terjadi adu pisyik diantara dua kubu. Ada yang menginginkan lanjutkan, yaitu pendukung Yaomi, yang satunya melarangnya.
Melihat situasai yang tidak menguntungkan bagi Yaomi, akhirnya dia rubuh jatuh pingsan diatas rumput hijau tak sadarkan diri. Aku merasa sangat kasihan melihatnya. Segera aku gotong ramai-ramai bersama dengan teman-teman cama lainnya masuk kedalam ruang panitia untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan dari Panitia Mapram.
Begitu hari-hari kulewati bersama Yaomi dengan suka duka berbagai macam
ragam prilaku yang kami terima dari kakak senior kami. Akhirnya, seminggu kemudian Mapram itupun telah berahkir sudah.
Pulang pergi kuliah aku masih bersama Yaomi berbocengan dengan me-ngendarai sepeda kumbang merek Sim-King milikku. Sedikipun tak ada rasa gengsi atau malu dihati Yaomi bersamaku mengendarai hanya dengan naik sepeda, kendati teman-teman kuliahku lainnya sudah banyak mengendarai sepeda motor. Aku antar jemput Yaomi pulang pergi kuliah sama seperti disaat Mapram berlangsung. Suatu ketika aku bercanda pada Yaomi.
“Apa kamu tidak merasa gengsi naik sepeda bersamaku Omi?” tanyaku di-suatu ketika sepulang kuliah bersamanya.
“Kenapa mesti gengsi.” jawab Yaomi apa adanya diboncenganku berpegang erat setengah lingkar dipinggangku.
“Karena teman-teman kita sudah pada punya sepeda motor.”
“Ya, mau diapain, kalau memang itu adalah rezekimu hanya mampu memiliki sepeda butut untukmu. Kita syukuri apa adanya. Juga kan sepeda ini cukup berjasa membantu kita disaat mengikuti Mapram.” ujarnya merendah memperingatiku.
“Kalau gitu sudahlah dik Omi, terima kasih banyak, mari kita singgah dulu sebentar depan situ.” kataku sambil kuhentikan sepedaku tepat didepan sebuah cafe mini. Aku berjalan berbimbingan tangan bersama Yaomi memasuki cafe itu untuk mencicipi minuman segar. Kupesan dua gelas es buah sekadar untuk membasuh ke-rongkongan kami yang telah kering karena kepanasan di bulan Agustus.
Waktu bergulir terus tanpa henti, tak terasa kuliah kami di fakultas hukum telah usai sudah. Yaomi telah berhasil lulus dengan menyandang predikat Sarjana Hukum dengan tambahan gelar dibelakang namanya, Yaomi Marsuki, SH. Dan akupun demikian, telah selesai menyandang predikat sarjana hukum dengan selang waktu hanya satu bulan setelah Yaomi selesai.
Beberapa bulan kemudian sehabis kami diwisuda, Yaomi pindah ke Nusa Tenggara Barat (NTB) mengikuti Om-nya yang bekerja disana, sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemda Tkt.I Provinsi NTB, dan tak lama, ia menyuratiku mengabarkan padaku bahwa ia telah diangkat menjadi calon Pegawai Negeri Sipil di- Departemen Kehakiman dan di tempatkan di salah satu daerah Kabupaten di Provinsi NTB.
Sementara aku kini menekuni profesi sebagai Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) berkantor dan berkedudukan di kota ini.
Akhirnya terpaksa kami pisah dengan Naomi. Aku merasa kehilangan. Sejak kau pergi, hati ini sunyi, jiwa ini sunyi, aku Kesunyian Jiwa. Awalnya ia rajin ber-kirim surat padaku, bercerita banyak tentang suka duka yang dialami dimana tempatnya ia bekerja. Mengatakan diapun juga merasa kesunyian dan sedih berpisah denganku. Tapi jarang aku membalas suratnya, disebabkan oleh karena kesibukanku dikantor dimana tempat aku bekerja.
Akhirnya, lama-kelamaan ia tak menyuratiku lagi. Entah, aku tak tahu me-ngapa demikian. Beberapa kali aku coba membalas suratnya, namun tak pernah lagi ada jawaban darinya. Hilang bagai ditelan bumi, tak tahu lagi kemana kini perginya.
Dimana kamu sekarang Naomi? Betapa aku merindukanmu............! Namun aku yakin, suatu kelak pasti kita akan bertemu kembali.
Senja telah berlalu, kemudian menghilang lenyap bersama hilangnya hayal yang menyiksa bathinku, tertelan oleh remang-remang malam yang datang meng-hampiriku.
Segera aku beranjak dari atas balai bambu yang kududuki berjalan masuk me-
nuju kamar tidurku, karena suara adzan telah terdengar mendayu-dayu dari balik me -
nara mesjid menandakan bahwa waktu shalat maghrib telah tiba.(*)


Makassar, 21 September 2010
Mingguan Inti Berita, 26 September 2010
Harian Radar Bulukumba, 07 Januari 2011


*) Mapram = Masa Pra-Mahasiswa
*) Cama = Calon Mahasiswa
*) Cami = Calon Mahasiswi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar