Selasa, 03 Mei 2011

111. BOMBONNA BONTO TE’NE

Oleh : Hasbullah Said.-


BETAPA aku mencintaimu, menyayangimu setulus hatiku yang paling dalam. Lahir dari lubuk hatiku yang suci bening, sebening air telaga biru di kaki bukit sana. Mungkin kau masih ingat, isi hatiku itu kucetuskan padamu disaat malam pertama seusai kita nikah.
Aku sangat berbahagia mendapatkanmu. Kamu primadona kembang desa berjuluk Bombonna Bonto Te’ne. Berarti kamu yang paling cantik diantara sekian banyak gadis yang ada di desa kita Bonto Te’ne, desa yang adem aman dan tentram.
Tak ada rusuh. Tak ada demo. Tak seperti dikota-kota besar. Tak ada hari tanpa demo, atau unjuk rasa yang membosankan dan melelahkan bagi setiap pengguna jalan karena macet. Di desa kita disini tak ada seperti itu.
Aku telah berhasil merebutmu dari intaian sekian banyak anak muda di desa kita, karena selain kamu cantik jelita juga kamu anak dari seorang tuan tanah yang kaya raya. Memiliki berpuluh-puluh hektare tanah serta tambak, bahkan ratusan hektare luasnya dan pula memiliki sekian banyak ekor binatang ternak seperti sapi, kuda, kambing dan kerbau.
Kamu anak bungsu Haji Babu Daeng Makka, enam bersaudara yang dikenal kaya, namun dermawan sehingga ia sangat disenangi dan dihormati oleh hampir seluruh penduduk desa kita, Bonto Te’ne.
Kau senyum manis menatapku mendengar ucapku dimalam itu. Lalu kau jawab, aku lebih berbahagia, karena telah dipersunting oleh seorang perjaka jebolan dari sebuah perguruan tinggi negeri. Begitu katamu, kemudian kamu memelukku mesra.
Sementara malam bergulir perlahan mendekati ambang larut. Dan semilir malam pun berhembus dari balik perbukitan di belakang rumah, terasa begitu sejuk menyeruak masuk lewat kisi-kisi jendela kamarmu yang terbuat dari lawa sugi.
Kamar yang dirancang khusus bagi pengantian wanita di desa kita. Lawa sugi itu semacam tirai atau kamar darurat yang terbuat dari anyaman bambu. Ke-lihatannya memang sangat sederhana, namun nampak arstistik.
Malam pertama dikamar itu kita lalui hanya berdua, hampir tak dinyenyaki oleh tidur sedikitpun hingga pada pagi harinya. Semalam suntuk terisi dengan desah nafas birahi, yang melenakan kita dalam kamar pengantin dengan aroma wewangian menyebar hampir keseluruh ruang yang ada.
Pada pagi-pagi buta kita keburu bangun dan segera mandi di air pancuran yang mengalir tanpa henti sepanjang masa dari atas bukit dibelakang rumah. Sesudahnya kita shalat subuh berjemaah.
Hari-hari berikutnya. Kita lewati bersama dengan keagungan cinta abadi didua
hati yang telah lama merindukan kebahagiaan. Pernikahan kita memang direstui oleh kedua belah pihak, yaitu kedua orang tuamu dan juga dari pihak keluargaku. Ayahku bernama K.H.Muh.Diash Daeng Manaba adalah seorang tokoh agama kharismatik didesa kita yang juga cukup dihormati, sering disapa Gurunta Haji Naba.
Awal perkenalan kita sangat singkat dan sederhana. Disaat panen tiba, engkau sibuk bolak balik dari rumah kesawah membawakan makanan siang buat orang-orang yang sedang bekerja menuai padi disawah ladang milik ayahmu.
Sejauh mata memandang yang nampak hanyalah hamparan padi yang sedang menguning, bagai ombak gemulai melantunkan nyanyian sunyi tertiup angin siang. Duh, indahnya panorama alam oleh sejuta pesona anugerah karunia Ilaihi.
Kau berjalan perlahan tertatih-tatih diatas sebuah pematang sawah yang sempit bersama dua orang pengiringmu. Kita berpapasan. Disaat itu, aku hendak pulang kerumah sehabis mengadakan survey lapangan dalam rangka penelitian tentang pengaruh pupuk kandang dengan pupuk organik lainnya terhadap tanaman pangan, sebagai bahan penyelesaian penyusunan skiripsiku pada jenjang program S1 Fakultas Pertanian.
Ironisnya, karena pematang sawah itu sangat sempit dan disaat kita ber-papasan kakiku terpeleset membuat aku terjatuh terjerembab kedalam sawah. Untung saja karena sawah itu sudah kering dan tak lagi berair. Kau sangat merasa kasihan dan iba melihatku disaat itu. Kau memohan maaf padaku sambil mengulurkan tanganmu yang halus mulus membimbingku naik keatas pematang sawah itu dan menyalamiku diringi ucapan.
“Maafkan aku kak!” begitu ucapmu dengan nada lirih. Kontan saja kubalas sambil memegang erat tanganmu.
“Tidak apa-apa dik, aku yang salah.” balasku. Peristiwa itu berlangsung sangat singkat.
Setelah kutiba dirumah, kejadian disiang hari itu selalu membayang-bayangiku seolah menari-nari dibenakku bersama bayanganmu. Walau aku jatuh terjerembab masuk kedalam sawah, namun ada kenikmatan tersendiri yang kurasakan. Entah, kenapa demikian. Aku tak tahu. Aneh,.....hadir semacam kerinduan
ingin bertemu lagi denganmu diatas pematang sawah itu. Ingin aku jatuh berulang kali dihadapanmu sama seperti kemarin siang. Kataku membatin. Sebuah kenangan manis dan terindah bagiku.........Kenangan yang tak akan terlupakan untuk selama-lamanya.
Pada keesokan harinya, seorang bocah laki-laki bernama Baso Nai anak gembala kambing peliharaan Haji Babu Daeng Makka datang menemuiku di rumah sambil menenteng selembar kertas. Lalu ia sodarkan kepadaku.
“Ini surat dari kak Imah, teriring salam katanya buat kak Dul.” begitu ucapnya singkat sambil menghambur pergi meninggalkanku. Segera kubuka, lalu kubaca.
Buat Kak, Dul Hamid di rumah.
Melalui secarik kertas ini, perkenangkan sekali lagi adik ucapkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya atas kejadian peristiwa kemarin siang. Suatu kete-lodoran dan kekurang hati-hatian adik melangkah diatas pematang sawah itu yang sempit lagi licin menyebabkan kakak Dul, terjerembab jatuh kedalam sawah. Untung saja karena sawah itu sudah kering dan tak lagi berair.
Semalaman adik tak tertidur tenang hingga pada pagi harinya, memikirkan peristiwa naas kemarin siang. Hanya doaku, semoga saja ada hikmah dibalik kejadian itu.
Sekian, sampai jumpa.
Salam dari adik,
St.Halimah.
Sesudah kubaca, surat itu kumasukkan dalam saku bajuku. Dan pada keesokan paginya segera kubalas.
Menemui adik, St.Halimah
Di keharibaannya.
Suratmu telah aku terima, dan segala isinya aku telah maklum adanya. Aku sangat terharu membacanya, yang seyogianya akulah yang memohon maaf padamu, karena etikanya dalam kondisi seperti itu sebagai seorang lelaki harus berhenti menepi sejenak, mendahulukannya, menghormati dan menjujung tinggi seorang wanita bila berpapasan dijalan yang sempit. Maaf, siang kemarin itu aku buru-buru pulang ke rumah berhubung karena laporan penelitianku sudah sangat terlambat. Aku harap lupakan saja kejadian kemarin itu. Anggaplah saja tidak pernah terjadi. Terima kasih atas segala perhatianmu padaku.
Akupun tak luput berdoa pada Yang Maha Kuasa, semoga saja kita memetik hikmah di balik peristiwa kemarin. Sekian, sampai jumpa lagi.
Dariku,
Dul Hamid
Seminggu kemudian, aku tingalkan desaku menuju kota Makassar, tempat dimana aku menimbah ilmu. Laporan penelitianku sudah rampung dan segera kuserahkan pada Dosen pembimbingku. Dan beberapa bulan kemudian, aku telah diperkenangkan untuk mengikuti ujian skripsi. Dan pada hari yang telah ditentukan, akupun mengikuti ujian dan pada hari itu pula aku telah dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Maka resmilah sudah aku jadi penyandang gelar sarjana Pertanian.
Pada sore harinya, dari balik saku baju yang kukenakan terdengar riuh ring tone seluler mungilku.
“Halo,....selamat sore kak Dul.”
“Selamat sore dik Imah.” balasku dengan nada riang.
“Bagaimana kabar kak.”
“Ya, baik-baik saja, ini ada sebuah kabar gembira untukmu.”
“Kabar apa?” tanyanya penasaran.
“Oleh tim penguji, baru-baru saja aku dinyatakan lulus dalam ujian skripsi. Maka pada hari ini, resmilah sudah aku jadi sarjana Pertanian. Tolong sampaikan salamku pada semua keluarga yang ada di desa kita.”
“Selamat kak, selamat,............!” balasnya dengan nada bahagia.
“Terima kasih dik.” kataku menutup pembicaraanku dengannya, sambil kumatikan ponselku.
Beberapa minggu sesudahnya, setelah selesai pengurusan administrasi ijazah sarjanaku, maka segera aku balik kedesa. Betapa bahagianya aku setelah kutiba dirumah, aku disambut oleh sanak keluargaku beserta beberapa handai taulan, bak pahlawan pulang dari medan perang dengan membawa panji-panji kemenangan.
“Selamat.” begitu ucap mereka sambil menyalamiku bergantian. Maklum di desaku saat itu, hanya dihitung jari yang lanjut kuliah pada jenjang perguruan tinggi.
Di sudut ruang sana, juga Halimah hadir ditengah-tengah keluargaku turut memberi ucapan selamat kepadaku dengan wajah sumringah menyalamiku.
“Selamat kak, semoga ilmu yang diperoleh dapat disumbangkan kepada masyarakat bangsa dan negara.” ucapnya dengan nada gembira.
“Terima kasih dik.” balasku sambil menatap wajahnya dengan lekat. Mata kami berbenturan. Ada kenikmatan terasa disana. Nikmat haru.
Hari jelang malam, seusai shalat magrib ayah beserta bundaku memanggilku berkumpul bersama duduk santai diruang tengah. Tanpa kuduga ayahku menyarankan kepadaku mengatakan.
“Anakku Dul, kini sudah tiba masanya engkau mempunyai pendamping, karena usiamu kini sudah cukup dewasa dan pula kamu sudah berhasil me-nyelesaiakan studymu di perguruan tinggi, maka Insya Allah, besok ayah segera ke rumah Pak Haji Babu untuk melamar Halimah anak gadisnya, meminta untuk menjadikan anak manantu ayah. Mudah-mudahan saja Pak Haji Babu menerima baik niat suci kita.”
“Kau setuju kan?” tanya ayah sambil melempar senyum bahagia kepadaku.
“Tentu saja dia setuju Pak, karena mereka saling menyinta, suka sama suka.” timpal bundaku sambil mengulum senyum.
“Ya, terima kasih ayah, bunda...........!” ujarku malu kucing sambil berlari masuk kedalam kamar, lalu berbaring diatas tempat tidurku.
Malam perlahan merangkak kerititik larutnya menanti hari bahagia yang telah lama kunantikan. Kini usia pernikahanku dengan Halimah tak terasa sudah hampir setahun, sisa menunggu waktu kelahiran Si Buyung atau Si Upik yang telah lama kami dambakan.(*)

Makassar, 10 Pebruari 2011

Harian Palopo Pos, 12 Pebruari 2011
Mingguan Inti Berita, 13 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar