Selasa, 03 Mei 2011

112. KAMUFLASE CINTA PALSU

Oleh : Hasbullah Said.-


Malam yang membuat rindu. Membayang lembut perhatianmu padaku. Masih teringat patahan senyummu yang meruncing pada tiap kali mata ini membuka. Aku ingin kau duduk manis di sampingku. Menemaniku dalam nuansa kalut menderu dalam kalbu. Inikah rindu yang mendamba temu?
***
AKU baru saja menyelesaikan ending cerpen yang aku tulis dengan judul Kehilangan, ketika ponselku berdering bising. Kualihkan pandanganku dari layar monitor komputerku. Lalu, segera kuraih ponselku dan sesaat kudengar suara lembut seorang gadis dari seberang sana.
“Halo Diash,....... boleh nggak, kita ketemu sebentar sore sekitar pukul 16.00 di kampus UNM Gunung Sari Makassar? Ada sesuatu hal yang sangat penting aku akan bicarakan denganmu.” begitu pintanya dengan warna suara sendu, patah, serupa endapan tangis. Aku tertegun. Mencoba menerka prahara macam apa yang hendak di kabarkannya padaku.
“Oke, boleh saja, itu tidaklah masalah. Ada apa barangkali?” tanyaku pe-nasaran.
“Nggak, nanti sebentar sore sajalah. Maaf, aku telah mengganggu aktifitasmu. Terima kasih banyak atas kesediaanmu memenuhi permintaanku.” begitu jawabnya penuh harap.
“Ya, sama-sama.” balasku lalu hubungan ponselku terputus.
Gadis di ujung telepon itu adalah Yanty Khairani mahasiswi Fakultas Psykologi UNM Makassar. Dia salah seorang temanku yang dikenalkan oleh Helmi Syarif yang juga pacarnya via Hp-nya dari Bandung sana. Aku dan Helmi menekuni profesi cerpenis. Tapi itu saat dia masih di Makassar. Setelah pindah ke Bandung tulisan-tulisannya mulai jarang menyentuh media cetak. Mungkin ditebas kesibukan kuliahnya di Fak.Kedokteran UGM Yogyakarta. Meski begitu hubunganku dengan Helmi tetap baik dan tak tersentuh jenuh.
Melalui jejaring sosial facebook ataupun ponsel, aku sering berhubungan dengannya untuk saling mengobati rasa rindu yang setiap detik waktu selalu datang menyergapku.
Dia curhat padaku bercerita banyak tentang Yanty Khairani, seorang cewek yang ia kenal tanpa sengaja lewat jejaring facebooknya, kendati ia tak pernah sekalipun bertemu muka dengannya, namun ia telah menjalin hubungan cinta asmara jarak jauh. Hmmm, aneh, tapi nyata, ............cinta semu kamuflase di dunia maya. Itu kataku bercanda disuatu waktu dengannya.
***
Disamping gedung Auditorium Ammana Gappa, sore itu aku duduk bersama Yanty diatas sebuah bangku-bangku tua. Perempuan itu hanya mampu tertunduk diam disampingku. Sosoknya tampak demikian letih. Tak tahu apa yang harus ia katakan untuk memulai bicara denganku.
Sore itu, ia mengenakan gaun lengan panjang berwarna kuning telur, dipadu dengan jilbab warna yang serupa. Serasih benar dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Aku kagum melihat penampilannya sore itu yang begitu anggun. Sangat cantik menurut penilaianku.
Ia terenyuh. Telaga matanya tak mampu menutupi beban penderitaan yang menyergapnya. Jelas terbaca, beriak dalam tangis hatinya yang mengalun sumbang. Nafasnya begitu berat terasa ia tarik dalam-dalam. Wajahnya pucat pasi. Keringat dinginnya mengucur perlahan membasahi wajahnya. Sepertinya ada sesuatu yang sangat pribadi yang ia rahasiakan selama ini akan disampaikan kepadaku.
“Mungkin ada sesuatu yang perlu aku bantu?” tanyaku serius memulai bicara dengannya sambil menatap wajahnya lekat-lekat yang tertunduk bisu.
“Ya, terima kasih.” jawabnya pendek dengan nada perlahan, lalu ia seka keringat diwajahnya dengan selembar tissue.
Belum begitu jauh ia bercerita panjang lebar denganku, tiba-tiba gerimis senja di bulan Pebruari turun dari atas langit kampus. Kami beranjak berlari berbimbingan tangan menuju pelataran teras gedung Auditorium Ammana Gappa, untuk bernaung dari guyuran gerimis senja. Tak lama, hujanpun reda dengan pancaran matahari senja tersembul dari balik gedung perkuliahan UNM.
Kami pindah kesebuah kios kosong tempat penjual makanan ringan tepat didepan Gedung Ammana Gappa, Jln. Raya Pendidikan, duduk berdua disebuah bangku-bangku kecil dibawah rindangnya sebuah pohon cempaka.
“Permohonan maafku sekali lagi, beserta terima kasihku atas kesediaanmu menemani aku untuk berbagi rasa denganku sore ini.” katanya memulai bicara sesaat
setelah kami duduk diatas bangku-bangku itu.
“Akupun berterima kasih padamu, atas kepercayaanmu meminta aku untuk menemanimu disore ini, walau aku belum tahu persis entah apa gerangan yang engkau akan bicarakan padaku.” sejenak terdiam, lagi ia merunduk sepi, sepertinya tak kuasa menatapku.
Titik-titik air bening tiba-tiba mengambang perlahan diwajahnya membuat aku penasaran berat di buatnya.
“Ada apa Yanty, kenapa kamu menangis?” tanyaku menuntut jawab, disertai rasa iba melihatnya sedemikian rapuh dililit dilema.
“Begini,..... sebenarnya aku malu hati untuk mengatakan kepadamu, tapi apa boleh buat, karena kurasa tak ada lagi orang yang paling tepat untuk melakukan curhat kecuali kamu, atas sebuah prahara yang menimpaku baru-baru ini.” sahutnya dengan nada lirih terputus-putus sambil menyeka air matanya dengan punggung tangannya.
“Maksudmu?” lagi aku bertanya serius. Ia menghela nafas dalam-dalam lalu ia menatapku dengan pandangan mata sayu.
“Kurasa kamu yang paling tepat untuk mengetahui masalahku karena kamu itu adalah sahabat karibnya Helmi.”
“Ada apa masalahmu dengan Helmi,..........?” tanyaku lagi. Tapi ia tak segera menyahuti pertanyaanku. Ia diam seribu bahasa.
Semilir petang berhembus lembut dari balik gedung jangkung Rektorat UNM berlantai 17 yang sementara dalam taraf perampungan penyelesaiannya. Terasa begitu sejuk mengelus tubuh kami. Sepi sesaat. Hening. Kecuali bunyi kendaraan bermotor yang belalu lalang didepan kami terdengar begitu riuh.
“Helmi memutuskan cintanya sepihak denganku,...............” katanya dengan nada lirih terisak, di balik bibirnya nan mungil.
“Aku sangat malu kepada seluruh keluargaku, terutama kedua orang tuaku karena selama ini hubunganku dengan Helmi mereka pun telah pula mengetahuinya. Awalnya mereka mendukung hubunganku dengan Helmi. Namun setelah mereka mengetahui bahwa ia memutuskan cintanya sepihak denganku, maka mereka pun merasa kecewa atas keputusan yang diambil oleh Helmi.” lanjutnya lagi.
“Masalahnya apa?”
“Itu yang aku tak mengerti. Alasannya sangat sederhana, katanya ia telah di-pertunangankan oleh kedua orang tuanya dengan seorang gadis lain asal kota Bandung.” kata Yanty dengan isakan tangis memilukan hati.
“Kalau begitu, sudahlah dik Yanty,......! Tuhan sudah mengatur segalanya. Mungkin dia itu bukan milikmu. Tapi yakinlah dik, bahwa dibalik kepedihan hidup sesungguhnya Tuhan telah menyiapkan sebuah rencana besar untuk kita. Suka dan duka sesungguhnya tak ada bedanya. Sama-sama anugerah Tuhan. Mudah-mudahan saja kegagalanmu itu ada hikmah dibaliknya.” kataku menegarkan hatinya, sambil mengelus jilbab yang membungkus rambutnya.
Ia mengangguk sepi mendengar ucapku. Lahir rasa iba dihatiku melihatnya. Aku hanyut terbawa arus kepedihan hatinya. Hatiku goyah. Rapuh. Rupanya aku seorang lelaki yang tak kuasa menahan iba melihat seorang perempuan menangis sesunggukan dihadapanku.
“Terakhir aku coba menghubunginya lewat ponselnya, mengatakan kalau jodoh kita tidak dipertemukan oleh yang ada diatas, tidak apalah, aku pasrah dan ikhlas menerimanya dengan segala ketulusan hatiku, hanya satu pintaku, marilah kita kembali menjalin hubungan sebagai teman karib atau saudara saja bagai adik kandungmu sendiri. Lupakanlah masa lalu kita. Tapi ia tak menggubrisnya, ia tidak menanggapi serius kata-kataku, bagai angin lalu. Bahkan terkesan biasa-biasa saja, mengatakan bahwa kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Sungguh, sangat menyakitkanku.
Baru-baru ini aku berkunjung ke Surabaya dengan sesuatu urusan disana, aku meneleponnya ke Yogyakarta meminta untuk menemuiku, namun ia jawab me-ngatakan sedang sibuk dengan kuliahnya di Fak.Kedokteran UGM, padahal jika ia ingin menemuiku, jarak kota Yokyakarta dengan Surabaya begitu mudah dijangkau. Akhirnya aku pulang ke Makassar dengan menelan rasa kecewa.”
“Tapi boleh aku bertanya?” ujarku memotong pembicaraannya.
“Apa itu?”
“Selama kamu menjalin hubungan cinta dengan Helmi, apa kamu sudah pernah bertemu dengannya?”
“Nggak, hanya lewat jejaring facebook dan ponsel kami saja masing-masing.”
“Ha,ha,ha, cinta jarak jauh nie ye.....semu kamufpalse di dunia maya.” kataku menyindir berpura-pura bercanda. Lagi Yanty berdiam diri, tak satupun kata keluar dari celah bibirnya.
Senja jelang malam, kendaraan yang berlalu lalang didepan kami semakin ramai. Terdengar begitu bising. Teman-teman kuliahnya yang berlalu lalang didepan kami menatap sinis. Melihat kami bagaikan sepasang kekasih yang sedang bercumbu rayu. Tapi ia acuh. Cuek dengannya. Tak peduli dengan mereka. Anjing meng-gonggong kafilah berlalu.
“Ya, aku juga baru sadar akan hal itu. Dunia maya adalah dunia semu penuh dengan kepalsuan. Dan memang begitulah realitanya. Long distance terlalu riskan untuk dibawa keranah serius. Terlalu berisiko. Tapi ia terlalu pandai meyakinkanku. Membuat aku terbuai dengan bujuk rayunya hingga aku terlena, tanpa menyisakan sepotomg kata ragu kepadanya.
Terlebih ketika tepat dihari ulang tahunku, ia mengatakan akan melamarku seusai studynya di Fak.Kedokteran UGM. Aku sepertinya terbang melayang jauh mendengar ucapnya. Bahagia tak terkira. Tapi sekarang apa,....? Kenyataannya semua hanya kamuflase. Mimpi-mimpi indah semu dipadang fatamorgana,..........” isaknya samar terdengar, mengiris rasa kemudian ia terdiam lama.
“Maaf, aku tidak ingin terlalu jauh mencampuri urusan pribadimu dengannya, namun aku berharap agar kamu sabar menerima cobaan ini. Anggaplah bahwa tidak pernah terjadi sesuatu antara kamu dengan Helmi. Dan kemungkinannya, masih ada jalan terbaik untukmu. Kini usiamu masih begitu muda dan sebentar lagi kuliahmu akan selesai. Aku khawatir akan berdampak buruk pada psykologismu bila engkau larut dalam kepedihan hatimu, membuat kamu akan jatuh sakit. Sabarlah dik Yanty,.......!” bujukku dengan mengelus lagi rambutnya yang terbungkus rapi dengan jilbab warna kuning telur.
“Terima kasih, kak Diash. Tapi itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melupakannya.” bantahnya.
“Ya, memang begitu, ini hari, besok atau lusa masih sulit engkau untuk me-lupakannya, tapi pada hari-hari berikutnya perlahan-lahan sirna dari ingatanmu. Per-
cayalah,.........!” lagi aku menegarkan hatinya.
“Pintaku, tolong sampaikan permohonan maafku padanya, dan aku yakin suatu waktu kelak aku bertemu dengannya, walau ia tak ingin menemuiku lagi, aku berupaya untuk melihatnya walau dari kejauhan, kendati hanya punggungnya saja yang nampak olehku karena ia membelakangiku.” begitu harapnya.
“Insya Allah, nanti aku sampaikan kepada Helmi melalui ponselnya, sebentar malam setelah aku tiba dirumah.”
“Akupun minta padamu, agar hubungan kita jangan berakhir sampai disini, kendati Helmi bukan jodohmu, dan kuharap pula kita tetap bersahabat berbagi rasa suka dan duka. Bahagia yang kau raih kelak semisal esok hari kau mendapat jodoh, paling tidak kamu mendapat pacar baru, tolong ceritakan pula kepadaku, agar akupun ikut berbahagia bersamamu.” sambungku lagi.
“Ya,......!” jawabnya mengangguk samar.
“Semoga dihari esok, aku bisa membuka lembaran baru dengan lelaki yang lain. Lelaki yang baik hati, yang bisa menyayangiku setulus hati dan memberi bahagia yang tak bisa kudapatkan dari Helmi.” ujarnya lagi sambil ia menyalamiku diiringi deraian air mata yang menggelinding perlahan diwajahnya, lalu ia mohon pamit padaku karena malam perlahan-lahan datang menggamit kelamnya.
Aku pisah Yanty dalam dekapan hati yang tersayat lara, kemudian ia melangkah berjalan teratih-tatih disela-sela keremangan senja menjemput malam dengan membawa pulang kamuflase kepalsuan cinta semu yang gagal ia raih.
“Sampai jumpa lagi,.......!” kataku sambil melambaikan tangan kepadanya.(*)


Makassar, 22 Pebruari 2011

Harian Palopo Pos, 19 Maret 2011
Harian Radar Sulbar, 09 April 2011
Mingguan Inti Berita, 10 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar