Kamis, 05 Mei 2011

12. K E M B A L I

Oleh : Hasbullah Said.-


ANGIN laut berhembus lembut menebarkan hawa dingin menggigit tulang, dan bola emas diufuk barat perlahan lamban hendak bergulir jatuh ke dasar laut biru.
Dari atas anjungan KM. Umsini, seruling kapal terdengar menggema memecah keheningan senja, pertanda sebentar lagi akan bertolak meninggalkan kota Ambon, tujuan Bau-bau dan Ujung Pandang.
Dipermukaan laut sesaat ketika pandangan jatuh keatas bukit nampak jelas kelihatan kepulan-kepulan asap tebal hitam mengotori mega-mega putih yang tengah berarak melintas diatas kota Ambon yang mencekam mati.
KM. Umsini perlahan-lahan menarik jangkar berjalan lamban menjauhi dermaga pelabuhan Yos Sudarso Ambon, sarat dengan penumpang eksodus warga pendatang asal Buton, Bugis dan Makassar berjejal berhimpitan sikut menyikut saling berebutan tempat, badan terjepit serta terdorong kedepan dan kebelakang karena desakan eksodus lainnya.
Perjuangan untuk bisa naik dan terangkut olek KM. Umsini begitu susah, tiba diatas kapal tidak semudah untuk mencari tempat merebahkan tubuh, apalagi menaruh barang bawaan, kecuali yang tiba duluan diatas, mereka gunakan kesempatan berbaring, di lorong-lorong kamar memenuhi hampir seluruh emperan-emperan dek kapal beralaskan tikar atau koran-koran bekas. Suatu pemandangan yang mengundang rasa iba dan meluluhkan hati bagi siapa yang melihatnya.
KM. Umsini pelayaran reguler milik PELNI berubah fungsi menjadi kapal pengungsi sarat dengan penumpang eksodus kerusuhan Ambon, mirip pengungsi Bosnia dan Sarajevo.
Kepulan asap hitam tadi itu bukannya habis kebakaran hutan yang sering terjadi bila kemarau panjang tiba, akan tetapi berasal dari kobaran api yang melalap ribuan rumah penduduk dan bangunan gedung serta rumah ibadah yang habis musnah terbakar oleh kerusuhan amukan massa yang bertikai.
Ambon mirip dengan suasana di Bosnia, darah mengalir terus tanpa henti. Bom molotov rakitan sendiri meledak dimana-mana setiap detik waktu, pembakaran terus berlangsung, asap hitam menebal membubung keatas mengotori langit biru.
Konflik antar suku telah berkembang berkepanjangan menjadi konflik berbau Sara yang kian hari kian mencekam merebak kemana-mana keseluruh penjuru kota bahkan hingga kedesa-desa.
Entah berapa banyak sudah nyawa yang melayang, tapi aksi saling membantai belum juga usai, sekalipun petugas keamanan telah berjaga-jaga disetiap sudut kota. Memang, Ambon terlanjur ambruk, luluh lantak rata tanah berubah menjadi kota mati. Ambon menangis.
”Akh …., sungguh mengerikan.”
Lelaki itu sepertinya tidak percaya pada dirinya sendiri bahwa apa yang dia saksikan ketika peristiwa itu terjadi bukanlah suatu tayangan sinetron peperangan kolosal dalam televisi yang sering ditontonnya. Akan tetapi peristiwa itu adalah kejadian yang sesungguhya menimpa dirinya dan juga orang-orang sesama pendatang lainnya.
Sungguh dia terheran-heran, hingga kini masih diliputi tanda tanya dalam benaknya yang sulit dia jawab, kenapa mesti terjadi demikian …….? Bertahun-tahun lamanya, bahkan sejak dahulu kala hidup rukun dan damai saling menghargai, menghormati antar agama dan ras. Malah hidup bahu membahu didalam membangun rumah ibadah sekalipun berbeda agama, tanpa ada benturan-benturan yang terjadi. Gotong royong seperti itu mereka bina dan warisi sejak dahulu kala oleh nenek moyang mereka.
Tapi kini, sejak lahirnya reformasi entah mengapa rasa persatuan dan kesatuan tercabik-cabik tergusur menepi menuju jurang kehancuran yang melahirkan kesengsaraan berkepanjangan.
Masih dalam kebingungan dicekam oleh rasa ketakutan. Dg. Bora, lelaki itu tengah duduk bersandar diterali pengaman kapal dekat tangga turun dari atas dek 5, merenung nasibnya yang malang. Merasa tidak tenteram dan aman untuk tinggal di Ambon maka tidak ada pilihan lain kecuali pulang bersama keluarganya ke kampung halamannya Butta Jumpandang tempat kelahiranya.
“Lebih baik pulang ke kampung halaman untuk membangun hidup baru, dari pada mengadu nasib di rantau orang hanya untuk mencari kematian.” ujar lelaki setengah baya itu, dalam hati.
Dalam renungannya yang diliputi rasa kecemasan sepertinya bau asap, serpihan kayu dan dinding yang terbuat dari kayu lapis hangus terbakar masih terasa ikut lengket menyengat hidung memerihkan mata membuat dia trauma berkepanjangan.
Dihadapan mata kepalanya sendiri menyaksikan ketika sekelompok massa perusuh datang dengan beringas memporak-porandakan membakar hangus rata tanah kios Coto Mangkasarak miliknya yang dia bangun dengan susah payah sejak bertahun-tahun lamanya.
Ditengah-tengah reruntuhan rumahnya yang tengah terbakar itu, dia sempat lolos dari amukan massa perusuh yang brutal. Dengan sisa-sisa tenaganya yang ada dia bersama istrinya mengendap-endap menelusuri jalan yang sempit agar tak terlihat oleh mereka menuju masjid AL-Fatah Ambon sebagai tempat perlindungan yang lebih aman bersama orang-orang lainnya.
Tangis teriakan menggemuruh dicekam oleh rasa ketakutan. Saling cari mencari keluarganya yang cerai berai tak tentu entah kemana perginya mencari perlindungan untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Tak sedikit jumlah anak-anak yang kehilangan orang tuanya, begitu pula isteri kehilangan suami dan sebaliknya. Hiruk pikuk suara tangis histeris didalam Masjid AL-Fatah ketika pertama awal kejadian kerusuhan itu, tak terhitung banyaknya dari berbagai suku bangsa yang meminta perlindungan kepada aparat keamanan.
Suatu pemandangan mengundang rasa iba terhadap mereka. Disela-sela rintihan tangis menggemuruh terdengar suara Takbir, Tahmid, dan Tahlil menggema keangkasa memohon pertolongan dari-Nya, hanya itulah kemampuan mereka selain bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya. Juga terdengar lonceng gereja berdentang-dentang dimana-mana membuat suasana semakin hiruk pikuk tak karuan.
KM. Umsini melaju terus membelah laut biru meninggalkan busa putih berlarian dikedua belah sisi kapal menuju buritan, sedang angin laut dari arah haluan berhembus deras dingin mengelus tubuh Dg. Bora menggusur segala kelelahannya serta menghalau kenangannya yang amat pahit. Kelopak matanya didalam menari-nari mempertontonkan kembali masa lalunya yang sukses yang dia raih dengan susah payah selama bertahun-tahun lamanya.
Ketika mentari pagi hendak beranjak naik membakar ubun-ubun, terdengar suara gaduh gemerincing sendok dan mangkok beradu, bunyi seperti itu menambah semangat dan gairah kerja Dg.Bora sebagai sosok lelaki yang ulet tak pernah kenal lelah.
Tersungging senyum dibibirnya begitu bersemangat melihat jejalan orang-orang disekelilingnya antrian panjang karena kiosnya tak mampu menampung banyak orang maka terpaksa langganannya rela antri menunggu giliran usai melahap dengan nikmatnya hidangan coto Mangkasarak masakan khas Ujung Pandang, yang banyak orang menyukainya. Dg.Bora bersama isterinya kewalahan melayani para pelanggannya. Bahkan menambah dua orang pembantu dengan imbalan yang memadai, itupun masih kewalahan.
Usahanya dari hari kehari nampak ada perkembangan pesat. Tak heran bila setiap harinya Dg.Bora dapat meraup untung yang lumayan banyaknya. Tak sedikit hasil jerih payahnya dikirimkan kepada kedua orang tuanya di kampung halamannya sebagai pertanda bakti kepadanya.
Kemudian selang beberapa tahun diberitakan bahwa ibunya meninggal akibat sakit asma yang dideritanya bertahun-tahun lamanya, disusul kematian ayahnya digerogoti oleh serangan jantung akut, sebagai anak tunggal maka kini tinggal dia sebatang kara dirantau orang. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat, begitu melintas berlalu tanpa menoleh sedikitpun kearahnya. Begitu angkuh dan sombong, tanpa belas kasih melihat pada dirinya yang tengah dihimpit oleh kesangsaraan dan penderitaan yang menderanya.
Seperti bumi dan langit bedanya dahulu masa lalunya dengan sekarang tak ubahnya seperti dinding pemisah yang tebal antara dirinya dengan masa lalunya. Belum tentu dia dapat meraihnya kembali, apalagi mengulanginya, masih dalam tanda tanya, mampukah dia membangun kembali reruntuhan hidupnya yang terlanjur ambruk.
KM. Umsini melaju terus tanpa henti, burung camar terbang hendak menggapai anjungan kapal menari-nari menyambar-nyambar keatas permukaan laut seolah-olah bersuka ria menjemput kedatangan eksodus dari Ambon.
“Daeng, setelah kita tiba di Ujung Pandang nanti dimana kita nginap?” tanya isterinya masygul tiba-tiba membuyarkan segala hayalnya.
“Kalau tidak ada sanak famili lagi, paling kita menginap di Masjid Raya sebagai penampungan sementara bila Pemda setempat belum siap menerima baik kedatangan kita.” jawab Dg.Bora suaminya dengan lirih sembari mengisap rokoknya dalam-dalam.
Helaan nafas panjang terdengar amat berat seperti ada yang mengganjal dari dalam.
Ditatapnya wajah isterinya lekat-lekat, dahinya mengkerut seperti ada yang tengah diingat-ingat.
“Ma, bagaimana kalau kita cari alamat Uwak Nongka, siapa tahu dia dapat menunjukkan kepada kita bekas tempat tinggal almarhum orang tua saya.”
”Uwak Nongka penjual buroncong itu?” tanya isterinya.
“Yah, kalau dia masih hidup, karena sudah beberapa tahun terakhir kita tidak berhubungan lagi dengannya.”
“Atau kita langsung saja ke Kampung Mariso mencarinya?” ujar istrinya lagi bersemangat. Dg.Bora tak menyahut sedikitpun. Dari kejauhan samar-samar nampak pulau Samalona, berarti Butta Jumpandang sudah dekat dan sebentar lagi KM.Umsini akan sandar di Pelabuhan Soekarno-Hatta.
Tak lama kemudian puncak gunung Bawakaraeng telah nampak jelas dari kejauhan diselimuti awan putih berdiri tegak dengan segala keangkuhannya seolah-
tersenyum masam merasa kecewa menerima kedatangan para eksodus dari Ambon.
Dg.Bora memperbaiki letak duduknya untuk siap-siap turun dari atas kapal. Dia bertekat untuk bangkit kembali mencoba membangun puing-puing reruntuhan hidupnya yang telanjur ambruk.
Dengan langkah tertatih-tatih Dg.Bora bersama istrinya berjalan berpe- gangan tangan menuruni anak tangga kapal dengan suatu harapan menanti esok hari yang lebih cerah.(*)

Makassar, 07 Maret 1999

Harian Pedoman Rakyat, 16 September 1999
Majalah Prospek Kopertis IX, 15 Oktober 1999
Harian Radar Bulukumba, 25 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar