Kamis, 05 Mei 2011

14. KERETA API BIRU MALAM

Oleh : Hasbullah Said.-


HUJAN rintik-rintik diluar sejak siang tadi masih saja kedengaran menerpa atap genteng rumah sakit itu, dan bel rumah sakit terdengar kembali mendering panjang pertanda jam besuk sore itu telah usai.
Perlahan satu-satu pembesuk meninggalkan bangsal itu, dan akhirnya sama sekali menghilang lenyap membuat suasana yang tadinya riuh kini menjadi hening sepi.
Lebih sepi lagi dibangsal no.4 di mana aku tidur terlentang diatas pembaringan beralaskan kain yang serba putih. Cuma erangan si sakit di sekitarku kedengaran sangat menyayat hati, dan hati ini pula menjerit pedih, Ya ...... Tuhan, apa gerangan dosa hambamu ini. Demikian desisku kedengaran bersamaan dengan daun pintu kamarku terkuak dibuka oleh suster Eny masuk membawa jatah makan malam untukku lengkap dengan lauknya.
“Makan banyak-banyak ya, agar cepat sembuh.” pintanya membujuk aku.
“Ya, Sus.” kataku mengangguk, lalu kubuka selimut yang membungkus tubuhku seraya kutanyakan padanya keadaan Amir temanku.
“Oh Amir teman anda itu, sudah agak baik-baik.” ujarnya sambil ia meletakkan nasi itu diatas lemari kecil disamping tempat tidurku.
“Kuharap tak usah kamu pikirkan semua itu, kami berjanji akan merawat kalian hingga sembuh betul.” lanjutnya menyabarkan aku sambil berjalan keluar menuju bangsal lainya.
“Terima kasih, Sus.” sahutku sembari kuperbaiki letak selimut yang melindungi sekujur tubuhku.
Lewat jendela kamarku kulihat di luar hujan semakin deras membuat hati ini tambah didera jua. Perlahan-lahan kembali terbayang olehku akan peristiwa itu yang hampir saja merenggut jiwa kami berdua, dan semakin terbayang, .................
***
“Kemana kita pagi ini Udin?” tanya Amir padaku.
“Ya, kemana lagi kalau bukan ke permandian air terjun itu, banyak anak muda ngebut keluar kota.” kataku sambil kuhidupkan mesin sepeda motor HD-ku.*)
“Oh, ............ kereta api BIMA*) turut ngebut Bandung-Surabaya.” begitu gurau Amir menjuluki sepeda motor HD-ku, kereta api karena suaranya keras lagi mengeluarkan asap tebal bila kularikan dengan kecepatan tinggi yang tak ubahnya K.A. BIMA
Perlahan-lahan tali kopling kutarik dan berturut-turut gigi 1, 2, dan 3 berpindah dan sesaat sepeda motorku telah melaju dengan kecepatan tinggi di atas aspal yang licin menuju luar kota.
“Pelan-pelan aja, Udin.” jerit Amir cemas di belakangku sembari memperbaiki letak duduknya berpegang erat melingkar di pinggangku.
“Dulu kamu bilang mau jadi penerbang, baru ginian sudah mati ketakutan.” kataku bercanda dan sebuah cubitan mendarat di punggungku pertanda ia merasa malu kukatakan demikian.
Suasana jalan keluar kota pagi itu masih sepi, kecuali satu dua mobil penumpang dari luar kota lewat berpapasan denganku. Hutan pinus yang tumbuh di sisi kiri kanan jalan telah hampir kami lewati dan sebentar lagi kami tiba di tanjakan dekat pancuran air yang dibawahnya terdapat tikungan tajam.
Pohon pinus di sisi jalan kulihat berlarian rebah begitu laju sepeda motor HD-ku yang tak terkendalikan dan dari balik kaca spion motorku, kulihat rombongan anak muda datang menyusulku dari belakang mengendarai sepeda motor dari berbagai jenis dan type. Anak telinga serasa pecah oleh suara bising karena saringan knalpot yang terbuka.
Lewat spion kaca, kulihat mereka ngebut dan kian mendekat menyusulku dari belakang dan dekat sekali akhirnya, mereka melambung kami diiringi sorak-sorai yang riuh.
“Ohoi, ... ngebut dong, K.A. BIMA, turut serta recing Bandung-Surabaya.” begitu teriak mereka menyindir.
“Biarin ... Mir, akan kita susul dan melambungnya nanti setelah tiba di tikungan depan situ.” kataku geram penasaran.
Sementara itu sepeda motor HD-ku kularikan terus dengan kecepatan yang tidak terkendalikan tak ubahnya anak panah yang lepas dari busurnya. Kulihat mereka saling susul-menyusul menikung miring dikaki bukit terjal yang sangat berbahaya itu, walaupun aku sadar bahwa maut senantiasa mengintai kami setiap detik waktu.
Di tikungan itu, kulihat kami telah terpisah jauh kebelakang sekitar 150 meter lebih. Hatiku di dalam tambah panas dan geram.
“Akan kuberikan perhitungan .............. dan juga kamu mesti berhitung Mir, siapa-siapa yang pertama kita lambung, kedua dan seterusnya.” Amir di belakangku tak menyahut, kecuali ia tambah berpegang erat di pinggangku karena merasa cemas ketakutan.
Perlahan-lahan gigi 3 dan 4 berpindah kemudian gas motorku bertambah dan kutambah lagi, sehingga kecepatannya telah mencapai titik maksimalnya, kurasakan bagaikan kilat menyambar-nyambar dan tak lama kami telah dekat dengan rombongan mereka. Tapi mereka tahu pula bahwa kami telah menyusulnya dari belakang membuat mereka tak mau kalah berlomba susul-menyusul saling mendahului, maka terjadilah persaingan sengit, ......... seperti halnya balapan betulan memperebutkan Jakarta Race kelas 1500 cc.
Namun aku tak mau pula kalah, terus kuburu dari belakang dan satu persatu, kulambung walau dibalik itu aku selalu sadar bahwa maut senantiasa mengintai kami.
“Kamu mulai menghitung Mir!” kataku membakar semangatnya. Namun tak ada jawaban darinya, kutahu ia telah mati ketakutan di belakangku, walau aku sendiri menghitungnya dalam hati. Satu, dua, tiga, ciis, ........... begitu suara kudengar mendesis dan selanjutnya aku tak ingat lagi apa yang terjadi pada diri kami berdua, ............
Dan, ...................... ketika aku sadar, ampun, ........ Ya Tuhan, kiranya aku telah berada dalam bangsal ini, di atas pembaringan yang beralaskan kain serba putih. Kulihat wajah-wajah di sekitarku penuh dengan linangan air mata yang meluluhkan hati.
Seorang di antaranya selalu menatapku cemas dengan linangan air mata yang tak henti-hentinya membasahi wajahnya. Dia Rara, gadisku yang mendekapku selalu sambil mengusap keringat di wajahku dan membisikkan di telingaku dengan suara lirih.
“Semoga lekas sembuh.”
Suasana di luar rumah sakit itu sudah mulai gelap, dan lampu-lampu taman telah menyala terang terlihat kerlap-kerlip dibelai oleh gerimis malam. Suasana begitu sepi dan mencekam, membuat bayangan tragis yang tadinya menghantui jiwaku kini perlahan-lahan hilang lenyap ditelan oleh kelelapan tidurku yang nyenyak hingga keesokan harinya.(*)

Makassar, 10 November 1999

Harian Pedoman Rakyat, 16 Januari 2000
Tabloid Himbauan, 04 Agustus 2003
Harian Radar Bulukumba, 11 September 2009


*) K.A.BIMA = Kereta Api Biru Malam
*) HD = Harley Davidson

Tidak ada komentar:

Posting Komentar