Kamis, 05 Mei 2011

15. CIKGU ADILA

Oleh : Hasbullah Said.-

DIAMBANG sore nan cerah, dan matahari telah jauh condong kebarat terjepit diantara celah-celah bangunan rumah susun yang menjulang tinggi sepertinya hendak menggapai langit.
Mentari sore memantulkan sinar lembayung di atas permukaan danau yang tak seberapa luasnya. Danau buatan itu terletak ditengah-tengah permukiman penduduk dan di sekitarnya terdapat taman bunga yang indah tempat bermain, diapit oleh jalan setapak melingkar mengelilingi danau itu. Pada sisi sebelah selatan ditumbuhi banyak pohon pinus berbentuk krucut dan dibawahnya terdapat beberapa buah bangku-bangku tempat duduk untuk istirahat terbuat dari semen beton bertulang yang sangat kokoh.
Memang sangat cantik dan indah kelihatannya ketika sore hari jelang malam, membuat tempat itu ramai dikunjungi orang. Taman itu diberi nama tasik*) Puchong*). Entah apa arti Puchong, yang aku tahu Puchong itu adalah nama tempat atau kawasan permukiman penduduk yang ideal terletak di sebelah selatan Bandar Raya Kuala Lumpur Malaysia.
Setiap sore aku berada disitu, berjalan mengitari danau menghirup udara segar, atau duduk diatas bangku beton menunggu datangnya malam. Dari balik pohon pinus rembulan malam nampak memancarkan cahayanya menerpa di atas permukaan danau, membuat malam semakin indah.
Burung jalak terbang rendah, lalu hinggap di ranggas dahan pohon pinus. Riuh kedengaran suaranya, seolah gembira ria menyambut datangnya malam. Hampir separuh waktuku kuhabiskan hanya berada di taman itu.
Dan ketika sehari sebelum meninggalkan Puchong menuju tanah air Indonesia tercinta kembali lagi aku berada di tempat itu, menikmati indahnya danau sebagai pertanda pamit salam perpisahan, selamat tinggal Puchong, selamat tinggal taman yang indah. Begitu desisku perlahan dalam hati.
Burung jalak di atas dahan kembali berkicau dengan riuhnya sambil menyambar-nyambar di atas kepalaku terlihat sangat jinak dan akrab padaku, seolah tahu akan rencana kepulanganku besok dengan ucapan selamat jalan.
Tiba-tiba aku teringat, ketika dua minggu lalu awal mula aku datang ke tempat ini, seorang gadis Melayu asal Negeri Klantan, memakai baju kurung dipadukan dengan kerudung warna kuning telur, sangat serasi dengan warna kulitnya yang sawo matang, berjalan melintas di hadapanku sambil menggenggam sebuah Ponsel merek Nokia, kemudian ia berhenti sejenak lalu balik berjalan perlahan menuju arahku duduk di sampingku, di atas bangku beton bertulang. Dengan suara gagap terbata-bata aku beranikan diri menyapanya.
“Boleh tidak aku tahu adik darimana?” begitu tegurku sopan lagi perlahan.
“Aku Cikgu*) lepas memberi latihan bagi budak-budak Tadika*) untuk persiapan karnaval besok pagi, tempatnya di Ujung Tasik*) ini, karena penat berjalan, aku mampir sebentar untuk rehat.” jawabnya ramah dengan logat Melayu yang kental sambil menunjuk arah timur. Mendengar jawabnya aku terdiam sejenak lalu berpikir karena banyak kata-kata yang ia ucapkan sangat asing dan tidak kumengerti apa maksudnya.
“Cikgu itu apa, dan apa pula artinya Tadika?” ulangku bertanya serius ingin tahu.
“Oh, ... Cikgu itu dalam bahasa Melayu artinya Encik Guru, dan Tadika itu Taman Pendidikan bagi Budak-budak*) kecil usia antara 4 - 6 tahun.” jawabnya ramah diiringi senyuman sambil menatap padaku. Aku menaruh simpatik dan merasa puas atas jawabannya yang lemah lembut, dengan logat Melayu yang kental.
“Terima kasih, aku ngerti, begitu pula di negeriku Indonesia sama namanya Taman Kanak-kanak.”
“Abang dari Indonesia?” potongnya bertanya sambil menatap lagi padaku.
“Ya.” jawabku singkat diiringi dengan anggukan kepala.
“Tak payah kita bercakap dalam bahasa Melayu karena kita serumpun yang memiliki bahasa, kultur dan budaya yang sama.” ujarnya lalu ia bangkit dari duduknya pamit padaku hendak beranjak pergi karena malam telah hampir tiba.
“Cikgu tinggal dimana?” tanyaku sekali lagi sebelum ia pergi me-ninggalkanku.
“Aku duduk *) berhampiran *) Pasar Raya Puchong tak jauh dari sini.”
“Sampai sua, Assalamu alaikum.” katanya mengucap salam sambil buru-buru melangkah berjalan di atas setapak menuju arah barat.
Aku masih berada di tempat itu, duduk menghadap kearah danau menikmati senja mendekati malam. Kulihat sebuah Ponsel merek Nokia tergeletak disampingku, aku tahu pasti milik Cikgu tadi yang tertinggal karena kelupaan olehnya. Kuraih lalu bangkit berlari berupaya mengejarnya, namun aku tak menjumpainya lagi karena gelapnya malam telah datang merayap perlahan. Ponsel itu kubawa pulang dengan harapan akan kuserahkan padanya bila aku jumpa dengannya. Tanpa sengaja dari balik layar Ponsel itu kulihat label nama bertuliskan : Adila Cikgu Tadika Islam Puchong Perdana Malaysia.
Keesokan harinya kembali lagi aku berada di tepi danau itu, duduk di taman menikmati indahnya alam dengan hembusan angin senja yang terasa sangat sejuk menyentuh ari tubuhku. Satu dua anak Tadika melintas dihadapanku sepulang mengaji disurau berjalan diatas jalan setapak menuju rumah tempat tinggal mereka tak jauh dari sini.
Mataku nanar mencari-cari kesetiap penjuru danau, dan tak lama kemudian dari jauh nampak olehku Cikgu berjalan melintasi pinggiran danau itu menuju arah selatan. Segera aku bangkit lalu berlari sambil memanggil-manggilnya disertai dengan tepukan tanganku.
“Cikgu, ... Cikgu Adila!” bagitu teriakku padanya sambil menyebut namanya. Tertegun ia sejenak mengamati dari mana datangnya suara itu, lalu ia berhenti kemudian menoleh kearahku.
“Bang, ..... ada apa Bang?” suaranya lembut bertanya padaku.
“Ini mungkin Ponsel milik Cikgu ketinggalan kemarin.” kataku sambil kukeluarkan Ponsel itu dalam saku celanaku lalu kuserahkan padanya.
“Oh, Ya, ... ...terima kasih, ........... terima kasih, Bang!” ujarnya berulang kali sembari menjabat tanganku.
“Terima kasih pula.” balasku senyum.
“Abang pria Indonesia yang sangat jujur.” katanya memuji aku sambil duduk didekatku diatas rumput taman.
“Ah, Cikgu terlalu berlebihan.” bantahku merendah malu-malu.
Hari hampir malam dan matahari sebentar lagi jatuh ke dasar danau itu, dan dengan segera Cikgu Adila minta pamit padaku, ia buru-buru balik ke rumahnya karena baru saja ia menerima telepon dari Makciknya*) minta untuk segera pulang malam ini juga ke Kota Bharu Klantan, karena sesuatu urusan keluarga disana, dan sebelum ia beranjak pergi ia sempat bertanya padaku.
“Bila, Abang balik ke Indonesia?”
“Hari Selasa minggu depan.”
“Begitu buru-buru, tak apalah Abang tinggal lama-lama disini.” pinta Adila penuh kesungguhan.
“Terima kasih dik, aku takut tinggal lama-lama di negerimu Malaysia, Visa tinggalku berakhir sisa beberapa hari lagi. Sanksi hukum disini sangat berat bagi pendatang yang melanggar undang-undang ke Imigrasian, sekalipun aku bukan pendatang haram, namun aku sangat takut nantinya dicambuk dengan rotan atau kurungan badan. Banyak TKI dipulangkan ke kampung halamannya karena melanggar undang-undang Imigrasi.
Entah berapa banyak sudah, mungkin mencapai ribuan bahkan ratusan ribu yang dideportasi atau dipulangkan ke Indonesia dengan secara paksa. Jujur aku katakan Dila, bahwa negeriku Indonesia sangat miskin dibandingkan dengan Malaysia negerimu yang kaya raya, walaupun Indonesia juga memiliki potensi sumber alam yang melimpah ruah, itulah sebabnya banyak pencari kerja yang datang kemari mengadu nasib keberuntungan sekalipun dengan cara apa ia tempuh untuk masuk ke negerimu, legal ataupun ilegal dengan resiko tinggi, yang penting dapat menuai ringgit namun pupus harapan mereka untuk mengumpul ringgit sebanyak-banyaknya karena kuburu dideportasi oleh pihak Imigrasi Malaysia. Atas peristiwa itu, kini sudah menjadi topik dan bahan pemberitaan yang hangat di Media Cetak dan Elektronik luar dan dalam negeri. Suatu masalah serius yang harus ditangani dengan arif dan bijak oleh kedua negara bertetangga yaitu Malaysia dan Indonesia.”
“Tidakkah begitu dik Dila?” lama ia diam mendengar bicaraku, kemudian ia berujar dengan nada serius.
“Benar Bang, tapi, ... tapi mana mungkin pembangunan bisa berjalan lancar tanpa tenaga kerja, itu tak mungkin karena hampir seluruh proyek dan industri negeri ini dilaksanakan oleh tenaga kerja asal Indonesia, itu jujur pula aku katakan, dan khawatir akan berdampak buruk pada perekonomian Malaysia bila tidak ada tenaga kerja dari luar.”
“Ya, benar dik Dila, tapi hukum dan undang-undang yang berlaku di negerinya orang tetap harus kita patuhi dan junjung tinggi.” kataku menyadarkannya.
“Oke, sudahlah Bang, jangan kita terlalu jauh bicara tentang TKI, itu urusan Kerajaan *) kedua belah pihak Insya Allah kita jumpa kembali sehari sebelum bang berangkat balik ke Indonesia.”
Hari berlalu tanpa terasa sudah memasuki minggu keempat aku berada disini, Kota Kuala Lumpur Darul Ehsan kota yang aman dan tenteram. Tinggal beberapa jam lagi aku berada di kota ini, karena keesokkan harinya pukul delapan pagi sudah harus berangkat menuju Kota Johor Bharu untuk selanjutnya menyeberang ke Pulau Batam melalui pelabuhan Pasir Gudang Malaysia.
Suasana disekitar taman itu kembali ramai dikunjungi orang dan juga banyak keluarga yang membawa anak-anaknya bermain di taman. Aku gelisah menunggu kedatangan Adila, karena sebelum berangkat ke Klantan ia janji akan menemui aku sehari sebelum pulang ke Indonesia.
Hari sudah malam, lampu-lampu di sekitar taman itu telah menyala membuat suasana berubah menjadi terang benderang. Aku bangkit beranjak berjalan menelusuri sekitar taman itu, dan sejenak kemudian terdengar suara perempuan memanggil-manggil kearahku.
“Bang, ... ..Bang, mau kemana?” kudengar suara itu sepertinya tak asing lagi bagiku. Dan dari arah utara Adila kulihat berjalan perlahan mendekatiku.
“Bila Cikgu tiba dari Klantan?” tegurku mulai bicara padanya sembari duduk bareng di atas rumput bersandar ditiang lampu taman.
“Baru saja Bang, sekitar pukul empat petang tadi.” ujarnya sambil meletakkan tas sandangnya keatas pangkuannya. Malam itu ia mengenakan baju kurung bermotifkan bola-bola kecil dasar merah lembut, sangat serasi dengan warna kulitnya yang putih bersih. Cantik betul kulihat malam itu. Sejenak hening diantara kami berdua, kecuali suara anak-anak terdengar riuh yang sedang bermain di taman.
“Bang, ... !” panggilnya perlahan lembut, hampir tak terdengar olehku.
“Ada apa dik?” tanyaku sembari bergeser merapatkan tubuhku padanya. Kembali ia diam lalu menatap keatas rembulan malam yang tengah tertutup awan, kemudian menatap wajahku sembari merebahkan tubuhnya bersandar didadaku.
“Hati ini sunyi, bila Abang telah pergi dan aku merasakan telah kehilangan sesuatu, .....!” begitu kedengaran suaranya serak perlahan tersendat-sendat dari celah bibirnya yang mungil.
“Kehilangan, ...?” ulangku bertanya serius.
“Seorang pria jujur, pergi meninggalkanku.”
Aku diam, perlahan kutatap wajahnya sekali lagi, nampak butiran-butiran air bening jatuh menggelinding membasahi wajahnya yang cantik.
“Cikgu, ...!” panggilku perlahan padanya.
“Jangan engkau panggil, aku Cikgu!” potongnya protes padaku.
“Hanya budak-budak kecil saja yang pantas panggil Cikgu.” lanjutnya sambil menatapku dengan sorot mata sayu.
“Lalu aku panggil apa?” tanyaku lagi bingung.
Kembali aku diam menundukkan kepala menatap keatas rumput hijau, lahir suatu penyesalan dalam hatiku berujar demikian.
“Panggil saja adik Dila, sama pula aku tak panggil awak pada Abang.” jawabnya setelah sekian lama tak menyahut.
“Aku mohon maaf padamu dik.” kataku menyesal sambil menjabat tangannya. Kurasakan begitu dingin tanganku ketika bersentuhan dengan jemarinya.
“Bukan adik Dila saja yang merasakan demikian, Abangpun kehilangan seorang guru yang berhati mulia dan suci.” sambungku lagi.
“Tapi apa boleh buat Dila, kita tak dapat berbuat lebih banyak kita harus berpisah disini, karena kita dua bangsa yang berbeda sekalipun serumpun yaitu rumpun Melayu, semoga kali lain kita jumpa kembali.” lanjutku dengan nada lirih.
Malam hendak mendekati larut, suasana taman itu berangsur sepi oleh pengunjungnya hanya satu dua pasang remaja masih nampak sedang duduk bermesraan di sudut taman.
“Sudahlah ... dik Dila, mari kita pulang, malam telah larut.” bujukku sembari kuhapus bekas air mata yang meleleh di pipinya Adila bangkit dari duduknya hendak beranjak, lalu dari dalam tas sandangnya diraihnya sebuah cendramata terbuat dari lukisan pemandangan di atas piring cantik dan pada pinggirannya tercetak melingkar.
Buat seseorang, ... Ingatan*) dari Tasik Puchong Kuala Lumpur Malaysia 07 Hari Bulan Julay 2002.
“Terima kasih Dila, terima kasih dik.” kataku sedih sembari menjabat tangannya sekali lagi, lalu kami pisah meninggalkan taman itu yang samar-samar ditelan oleh kegelapan malam yang semakin larut.(*)

Makassar, 30 Juli 2002

Harian Pedoman Rakyat, 11 Agustus 2002
Harian Radar Bulukumba, 09 Oktober 2009


Catatan : *)
Cikgu = Ibu Guru
Tadika = Taman Kanak-Kanak
Tasik = Danau
Budak-Budak = Anak-anak kecil
Puchong = Kawasan, tempat pemukiman penduduk
Duduk = Tempat tinggal/kediaman
Berhampiran = Berdekatan
Kerajaan = Pemerintah
Awak = Engkau
Makciknya = Bibinya/tantenya
Ingatan = Kenang-Kenangan/cinderamata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar