Kamis, 05 Mei 2011

16. TIMANG-TIMANG ANAKKU SAYANG

Oleh : Hasbullah Said.-


MALAM terlalu gelap, lampu padam bergilir dua kali seminggu. Ada kerusakan tehnis digardu induk, begitu pengumuman dari PLN sehari sebelumnya. Di luar awan melingkar dikaki langit berselimut kelam. Tak satupun bintang dilangit nampak berkerlip.
Sepi dan gelap sekali kota dimalam itu. Seperti kota mati, terlelap dari tidur panjang. Air lebat dari langit sebentar lagi turun menguyur segala apa yang ada di bumi. Angin malam berkesiur menghalau segala kehangatan mengoyak-ngoyak kelelapan tidur orang-orang yang tengah dibuai mimpi indah.
Kini hujan berlahan-lahan turun menimpa atap genteng rumah melahirkan suara riuh.Athira belum juga memejamkan matanya, menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari kayu lapis. Lilin menyala redup diatas meja tulis sejak awal malam. Redup, kemudian meleleh, akhirnya hancur lebur sama sekali lalu padam. Tinggal bongkahan kecil sisa bakaran lilin melengket keras diatas meja.
Gelap gulita datang merangkulnya di dalam kamarnya yang sempit lagi sunyi. Bulu kuduknya merinding karena rasa takut datang menderanya. Ia ingin berteriak, namun tak ada siapa-siapa di dekatnya kecuali seorang pembantu rumah tangganya tengah tertidur lelap di kamar belakang. Ia bertahan melawan rasa takutnya.
Dulu, di rumah ini berpenghuni banyak orang, adik ipar saudara suaminya pergi satu-persatu sehabis kawin mencari hidup di kota lain. Malam ini Athira tidur sendirian, karena Dinsu suaminya sedang tugas keluar kota selama beberapa hari lamanya.
Malam sepi seperti ini sebagai saksi dirinya bercerita dalam perjalanan hidupnya hari-hari. Ah, terlalu gelap, sepi lagi dingin. Keluhnya sambil menghela nafas panjang.
Pohon pisang di samping rumah roboh diterjang angin kencang. Disela-sela -
kucuran air langit lebat yang semakin menggila, meninggalkan rasa cemas di dalam dadanya. Jam dinding di kamarnya berdentang dua kali. Berarti malam telah jauh larut. Ia teringat masa lalunya, bagaikan layar kaca bening menyodorkan gambar-gambar adegan kayak sinetron yang semakin jelas. Akhirnya rasa cemas dan takut perlahan tergusur oleh adegan itu.
Waktu terlalu cepat bergulir, bergeser berduyung datang pergi menepis segala angan-angan yang tak terwujud. Tiga tahun baginya bukan waktu yang singkat. Penantian di simpang jalan adalah pekerjaan yang membosankan oleh setumpuk kepedihan yang berlelehan.
Tangis bayi anak tetangga terdengar menjerit dimalam itu, terjaga dari lelap tidurnya mendengar guyuran air hujan yang menggila. Disitu ada setumpuk luka dihatinya menjerit pedih bila mendengar suara tangis bayi. Tapi gemas, sepertinya ia ingin merangkulnya dalam kehangatan. Hujan diluar sedikit reda. Gambar-gambar dalam hayalnya semakin jelas ........
***
Sepeda motor Honda Astrea meluncur diatas aspal licin, menerobos kabut dingin dipagi itu. Ira berpegang erat setengah lingkar dipunggung Dinsu. Melewati pohon-pohon pinus yang tumbuh disepanjang jalan berkesiur diterpa angin pagi. Malino sudah dekat berada dihadapannya, jalan yang berkelok-kelok dengan jurang disisi kanan jalan menganga lebar sangat pengerikan.
“Pelan-pelan aja Kak Din!” tegur Ira dibelakangnya cemas memperingati dia.
“Lho, siapa bilang mau jadi astronot wanita pertama didunia, baru ginian sudah mati ketakutan.” gurau Dinsu mengingatkan omongannya dulu ketika awal pertama naik pesawat udara bersamanya ke Palu.
Ira dibelakangnya diam. Sebuah cubitan mesra mendarat dipunggungnya. Sepeda motor Astrea meluncur terus menapaki kaki-kaki bukit yang berkelok-kelok menikung miring.
Air mengalir di lereng-lereng bukit terdengar mendesir tanpa henti. Angin berhembus perlahan dari arah puncak gunung Bawakaraeng terasa dingin mengelus kulit ari dibalik jaket yang ia kenakan seolah tembus kedalam tulang sum-sum. Betapa indah panorama gunung berselimut kabut putih diantara sela-sela pepohonan pinus.
“Kita istirahat di sini.” kata Dinsu sambil membimbing tangan Ira menapaki bebukitan bernaung dibawah teduhnya pohon pinus.
“Aku senang dengan panorama alam bebas seperti ini, agar kita terbebas dari gangguan orang-orang usil, namun tidak berarti bahwa kita bebas berbuat sesuka hati, ya toh Ira?” katanya memulai bicara sambil menatap wajah Ira.
Ira mengangguk senyum, sambil mengalihkan pandangannya ke puncak gunung Bawakaraeng berdiri tegak dengan segala keangkuhannya.
“Kamu pria jujur dalam bercinta.” kata Ira acung jempol.
“Liburan depan kita kemana?” lanjut Ira bertanya.
“Pulau Kayangan atau Topejawa, terserah kamu pilih mana suka.” kata Dinsu sembari merapatkan tubuhnya ke dekat Ira duduk di atas rumput hijau.
“Mana-mana saja.” jawab Ira sambil bergeser merebahkan tubuhnya bersandar di dada Dinsu. Semilir angin gunung berhembus sejuk, gumpalan-gumpalan kabut putih di atas rumput perlahan-lahan hilang lenyap dihalau oleh terpaan mentari pagi yang tersembul dari balik celah pepohonan.
“Ira, kamu beri nama siapa kelak bila anak kita lahir?” tanya Dinsu setengah berbisik ketelinga Ira.
“Eh, kenapa bicaramu lari ke situ?”
“Apa salahnya jauh hari kita rencanakan.”
“Belum lahir sudah dipangku.” kata Ira menyindir.
“Tak apa-apa.”
“Baik, kalau cowok namanya si Buyung cewek si Upik, habis, kan gampang tak perlu cari nama asing, kadang enak kedengaran ditelinga tapi artinya jelek.”
“Ah, kuno ……, kuno Ira, jangan pakai nama itu!” protes Dinsu.
“Jadi kamu pilih nama siapa.” balik Ira bertanya. Dinsu berfikir sejenak, lalu menengadahkan wajahnya keatas menatap pucuk-pucuk pohon pinus yang sedang bergoyang tertiup angin pagi.
“Bilang cepat siapa?” desak Ira tak sabar, sambil menatap wajah Dinsu dengan lekat-lekat.
“Em ……., kalau cewek bernama Cleopatra, istri Pangeran ……!”
“Ah, lebih jelek, aku tak suka.” balik Ira protes.
“Sudah dik Ira, nanti kita rembukkan kemudian.” bujuk Dinsu sambil memegang pundaknya.
“Biarlah aku tak memberi nama, tapi aku janji akan kudendangkan sebuah lagu buat anak kita nanti sebagai pengantar tidurnya.” lanjutnya lagi.
“Lagu apa?” potong Ira bertanya.
“Timang-timang anakku sayang.”
“Kamu setuju toch Ira!“ tanya Dinsu.
“Oke, aku sangat setuju “ sahut Ira.
Ira menganguk senyum, lalu mereka berangkulan tanda setuju. Pohon pinus berkesiur diterpa angin siang, hembusannya dingin menyeruak masuk ke tulang lewat kulit ari. Keduanya bangkit berdiri sambil menepis-nepis embun yang melengket di ujung-ujung celana jeansnya.
“Yuk kita pulang.” pinta Dinsu sambil berjalan berbimbingan tangan menuruni perbukitan diantara sela-sela pohon pinus. Sepeda motor Astrea Dinsu kembali meliuk-liuk diatas aspal hitam menuruni kaki-kaki bukit melingkar menuju Ujung Pandang.
***
Hujan diluar kembali reda. Riak-riak air diparit mengalir mendesir tak hentinya sehabis diguyur hujan deras sepanjang malam. Jam dinding dikamar berdentang enam kali, menyadarkan ia dari khayalnya yang panjang. Tak semua angan-angan membuahkan kenyataan. Si Pungguk merindukan bulan, belum lahir sudah ditimang, semua orang punya rencana namun kadang nasib bicara lain.
Tiga tahun cukup lama di penantian dengan lelehan air mata. Menunggu Upik atau Buyung momongan bayi yang tak kunjung datang. Ah …., nasib, kembali ia menghela nafas panjang. Dinsu suaminya tiba-tiba berdiri didepannya pulang dari tugas luar kota.
Ia menatap wajah Ira. Matanya berbenturan. Lama ia bertatapan. Mata Ira sembab nampak merah berkaca-kaca.
“Kenapa kamu menangis sayang?“ tanya suaminya.
Ira tertunduk diam. Lama tak menyahut, kemudian ia mengangkat wajahnya menatap sedih.
“Semalaman aku tak tidur.”
“Ada apa habis kamu lakukan?“ lanjut suaminya bertanya heran.
“Karena tak terdengar nyanyian Timang-timang anakku sayang pengantar tidur anak kita.” suaranya serak datar hampir tak terdengar dengan nada memelas, sembari menyeka air matanya yang meleleh. Bagaikan disambar petir disiang bolong, begitu perasaan Dinsu, bathinnya didalam sepertinya tercabik-cabik namun tak ada sisa serpihan disana. Dibesarkan hatinya, lalu mengelus dada maju kedepan mendekap Ira sembari berbisik membujuknya.
“Sudahlah dik, besok kita sama-sama ke dokter periksakan diri.”
Ira tersenyum bahagia, menatap hari-hari yang cerah. Mentari pagi perlahan-lahan menampakkan dirinya dibalik tirai menyelinap masuk kedalam kamarnya, seolah menanti hari esok kelahiran si Buyung atau Upik yang lama ia dambakan.(*)


Makassar, 05 Desember 1999

Harian Fajar, 24 Januari 2000
Harian Pedoman Rakyat, 05 Maret 2000
Harian Radar Bulukumba, 27 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar