Kamis, 05 Mei 2011

17. REMBULAN DIATAS KOTA IPOH

Oleh : Hasbullah Said,-


LANGIT CERAH. Rembulan malam memancarkan cahayanya temaram di atas IPOH ibu kota Perak Negara Bahagian Kerajaan Malaysia membuat suasana teramat indah di malam itu.
Tak ada awan sedikitpun melintas di dekatnya atau datang bergelayut merangkulnya. Kecuali hembusan angin malam sepoi basah, menggusur perlahan sisa-sisa gerah udara siang serta menghalau segala kepenatan bagi warga kota.
Bias-bias cahaya rembulan menyelinap masuk menerpa pelataran koridor rumah plat kontrakannya yang berlantai tujuh.
Suasana malam nan indah, membuat perempuan itu betah duduk diluar berlama-lamaan menghirup udara segar. Di sini ia menyandarkan punggungnya pada dinding tembok rumah plat bercat kuning gading termenung sendirian.
Tatapannya kosong, sekalipun kelopak matanya jatuh ke arah bawah, gemerlapnya lampu kota semrawut oleh kendaraan hiruk pikuk sibuk sendiri-sendiri. Namun semua itu tidak mempengaruhi jalan khayalnya yang mengembara. Tapi sangat aneh. Sepertinya alur khayalnya berkisar di situ-situ saja terus. Sekalipun melintas jauh mengarungi laut Selat Malaka menuju Selat Makassar dan berhenti di kota Daeng. Badannya terasa lemas. Seolah luluh lantak dipermainkan oleh derasnya arus khayal yang tak bertepi.
Lewat media cetak dan elektronik di kotanya ia kekenyangan dengan berita simpang siur tentang maraknya kerusuhan yang terjadi di mana-mana melanda bangsa Indonesia, negeri asalnya.
Peristiwa itu bagaikan bayang-bayang yang menakutkan terekam dalam benaknya kayak layar tancap menyodorkan gambar-gambar yang sangat jelas. Peristiwa kerusuhan Ketapang, Sambas, Timor-Timur, Aceh, Ambon, Poso dan terakhir peledakan bom masjid Istiqlal Jakarta. Susul-menyusul berita kerusuhan yang tak henti-hentinya mengguncang bangsa Indonesia.
Jelang pemilu didahului berbagai kerusuhan yang terjadi di mana-mana hampir merata ke seluruh pelosok tanah air, sehingga timbul kekhawatiran akan terjadi kerusuhan susulan yang lebih besar lagi menelan korban lebih banyak jika jelang hari “H” Pemilu. Berdiri bulu roma memikirkan peristiwa yang bakal terjadi, sehingga lahir rasa was-was kecemasan selalu datang merangkulnya setiap detik waktu memikirkan keselamatan jiwa kedua orang tuanya beserta keluarga lainnya yang ada di Ujung Pandang.
Mendekati hari “H” Pemilu, ketika kampanye OPP turun ke jalan tak terhitung banyaknya eksodus warga keturunan datang ke Kuala Lumpur Malaysia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara seperti Singapura dan Hongkong, untuk mencari ketenangan hidup menghindari kerusuhan besar yang bakal terjadi. Untuk ikut eksodus kedua orang tuanya sangat tidak memungkinkan karena biaya perjalanan sangat tinggi tak terjangkau ditambah pengurusan pasport yang berbelit-belit, serta biaya fiscal terlampau mahal.
“Kasihan …..” begitu keluhnya diiringi helaan nafas panjang. Kini Pemilu telah berlalu, ramalan akan terjadi kerusuhan besar jelang hari “H” ternyata meleset. Tidak terjadi apa-apa, bahkan terkesan paling jurdil sejak dilaksanakannya Pemilu baik sebelum dan sesudahnya Orde Baru tumbang, ini sesuai pengamatan, berbagai pemantau Pemilu dari dalam dan luar negeri. Berarti ciri demokrasi di negeri ini sudah mulai ditegakkan.
Masih dalam renungan yang memilukan, disinari oleh rembulan malam yang mulai condong ke barat. Perempuan itu semakin larut dalam khayalnya yang mendera-dera. Merasakan dirinya jatuh terjungkal jauh dari kampung halamannya mengikuti nasib keberuntungan dirinya. Jodoh pernikahan memisahkan dia dari lingkungan keluarga kecil penuh kedamaian. Matanya nampak berkaca-kaca. Ada air bening menggelinding jatuh perlahan membasahi wajahnya yang kuning langsat..
Tiga tahun tak terasa olehnya menetap di negeri ini. Begitu sedih mengenang awal datang di Kota Ipoh, kesepian dan kerinduan selalu mencekamnya. Akhirnya setelah lahir putrinya yang pertama berangsur-angsur hilang pupus digusur oleh kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.
Purnama malam kian meninggi memancarkan cahaya temaram menerpa puncak gedung-gedung pencakar langit. Maryam semakin larut dalam angannya. Ismar Abangnya, datang tiba-tiba mendekatinya sambil menatap rembulan malam.
“Mer…!” panggilnya dengan suara halus hampir tak terdengar oleh Maryam.
“Wajahmu mirip rembulan malam.” hiburnya sembari menengadahkan wajahnya menatap rembulan, kemudian ia lanjutkan.
“Seandainya engkau rembulan malam, dan aku jadi awan, tentunya akan kubawa kemana kau mau pergi, dengan mudah kita berkelana kemana saja mengelilingi belahan dunia ini, ke Hongkong, Paris tanpa susah payah mengeluarkan banyak biaya.”
“Kamu mau toh, Mer …?”
“Tentunya Bang!” jawab Mer istrinya dengan senyum dikulum lahir dari pancaran wajahnya yang ayu, menggusur segala kenangannya yang pilu.
“Tapi kenapa kita tidak sekali ke Indonesia berlibur di Bali atau Ujung Pandang?” mendengar pertanyaan Mer, sejenak Ismar suaminya berdiam diri sembari menengadahkan kembali wajahnya menatap bulan.
“Nanti setelah nilai tukar rupiah menguat terhadap Dollar.” Mer berpura-pura penasaran lalu menatap wajah suaminya lekat-lekat.
“Lho, apa hubungannya awan dengan nilai tukar Dollar, dan Abang tadi bilang naik awan tak perlu keluar banyak biaya.”
Is, Abangnya tertawa renyah lalu perlahan bergeser ke depan mendekap tubuh Mer.
“Dik Mer, ini hanya sebatas angan-angan dan analoginya adalah pesawat terbang, mana mungkin orang bisa naik awan, mustahil kan?” Muka Mer cemberut lalu sebuah cubitan mendarat dilengannya pertanda protes.
“Makanya Bang jangan berangan-angan bila mustahil akan terwujud!”
“Sory ya Mer.” pinta Is, sambil mengulurkan tangannya menyalami Maryam.
“Baik, tapi ada pintaku pada awan.”
“Minta apa?”
“Wahai awan putih sahabatku, bawalah daku ke alam duniamu yang damai -
agar aku terhindar dari belunggu kecemasan dalam penantian kedamaian negeriku Indonesia tercinta, Indonesia baru dambaanku dan dambaan bagi seluruh rakyatnya.”
“Oke …, aku setuju, dan setuju sekali.”
“Lalu, seandainya kamu jadi bulan Mer.” lanjutnya. Mer tak menyahut, ia menerawang lalu membathin. Khayalnya kembali mengembara ke alam lepas tak bertepi sembari bersandar kedinding tembok bercat kuning gading. Angin malam dari arah perbukitan berhembus sejuk mengelus tubuhnya yang ramping.
“Andaikan aku bulan purnama, akan kusinari seluruh jagat raya ini, termasuk penghuninya yang tak pernah ada rasa kepekaannya terhadap sesamanya yang tengah dilanda kerusuhan, agar ia sadar bahwa sesungguhnya di dunia lain, masih ada saudara kita kesusahan, kesulitan hidup karena tengah dilanda berbagai macam krisis, krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis kepemimpinan yang tengah hangat diperbincangkan oleh elite politik luar dan dalam negeri banyak menghiasi di- berbagai media cetak dan elektronik.”
“Oh …, bulanku yang cantik …!” sela Is, memuji. Sinarilah daku dengan cahayamu yang abadi agar tidak daku kegelapan dan kesunyian dalam kesendirianku dan dapat pula melihat dengan jelas pada belahan dunia lain seperti tetanggaku Indonesia, Indonesiamu yang tengah dilanda oleh berbagai macam problem, membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak.
Bulan nampak tersenyum, sekalipun ada awan tipis melintas di situ, namun ia tetap memancarkan cahayanya yang abadi. Dengan mesra tangan Is, merangkul Mer, disambut dengan senyum manis. Bulan berkabut dirangkul awan, pertanda kerja sama yang baik menuju cita-cita perdamaian dunia yang kekal abadi.
“Terima kasih Bang.” sahut Mer, sambil bangkit berdiri berbimbingan tangan
meninggalkan koridor masuk ke kamar tidurnya karena malam sudah jauh ke titik larutnya.(*)

Harian Pedoman Rakyat, 07 Oktober 1999
Harian Radar Bulukumba, 30 Oktober 2009 Makassar, 05 Oktober 1999
Majalah Prospek Kopertis IX, 05 Januari 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar