Kamis, 05 Mei 2011

18. MEMORI BUKIT KARANG

Oleh : Hasbullah Said.-


HARI masih pagi, dan titik-titik embun masih nampak bergelantungan di ujung dedaunan yang hijau, bak mutiara hendak berguguran jatuh membasahi permukaan bumi. Dan dengan perlahan Lina tertatih-tatih melangkah ditopang oleh kruk penyanggah tubuhnya sambil kubimbing ia menapaki jalan arah timur menuju bukit karang, agar disana mata kami bebas memandang ke arah bawah laut lepas yang mempesona membentang luas.
Suasana pagi itu masih sepi, dan sekelompok burung camar laut berterbangan riuh menggelepak di atas kepala kami menuju laut, seolah berpesta ria menyambut kedatangan kami berdua.
Marlina dihadapanku kini duduk beralaskan tongkat penyanggah tubuhnya dibaringkan di atas rumput gajah, di bawah teduhnya ketapang rindang. Rambutnya diurai panjang di biarkan acak-acakan dipermainkan oleh angin laut. Tatapannya kosong jauh menerawang ke tengah laut lepas keperakan tertimpa teriknya mentari siang, diiringi alunan dendang ria ombak menepis tepian karang.
Kami berada kembali di tempat ini setelah beberapa tahun silam peristiwa itu berlalu, peristiwa tragis yang sangat memilukan dan menyayat hati kami berdua.
Cukup lama untuk melupakan segala peristiwa yang amat mengerikan yang hampir saja merenggut jiwa Lina.
Peristiwa itu berlalu sudah, akan tetapi kadang bias-bias kelabu sesekali datang mendera bathinnya, membuat ia hampir saja berputus asa.
Tongkat penyanggah tubuhnya yang ia bawa selalu kemana ia pergi menambah bathinnya semakin tersiksa, dan segala upaya kulakukan untuknya agar hatinya terhibur dan terlupakan olehnya akan peristiwa itu.
“Kamu ngelamun, ya.” kataku mengusik membuyarkan lamunannya sambil bergeser mendekatinya duduk disampingnya di atas rumput hijau.
“Tidak ... aku, ... aku melihat gelombang laut itu datang dan pergi silih berganti kemudian berlari ke tepian menepis karang, betapa indahnya menawan hati.” sahutnya.
“Kamu suka laut toch, makanya aku bawa kau kemari.”
“Ya, ... aku suka, karena aku anak laut.” jawabnya menyindir.
Kembali ia mengingatkan padaku akan percakapan kami berdua ketika kami pertama kali datang di tempat ini.
“Kamu menyesal bersamaku Lina?” tanyaku masygul sembari mengusap rambutnya yang ia urai hingga bahunya.
“Sedikitpun tidak, malah aku berterima kasih kepadamu karena kau masih bersedia bersamaku sekalipun aku dalam kondisi seperti ini.” jawabnya lirih, lalu ia diam merunduk, seolah ia mengingat-ingat peristiwa lalu. Tak terasa butiran-butiran air bening menggelinding perlahan membasahi wajahnya.
“Kamu menangis Lina?“ tanyaku lagi. Ia menggeleng, kemudian ia berusaha untuk melupakan segala peristiwa silam, namun ia tak kuasa dan terus teringat seolah-olah peristiwa itu menari-nari di pelupuk matanya.
***
Laut kembali berdendang ria seolah menyanyikan lagu-lagu syahdu menyentuh ke lubuk hati dua insan yang tengah asyik menjalin tali kasih. Marlina gadis cantik kelahiran campuran Melayu-Sunda kini bersandar di dadaku menghadap ke laut mengagumi keindahan panorama laut.
“Kak Mul senang laut ya?” katanya memulai bicara.
“Aku anak nelayan Lina, jadi aku senang dan cinta laut sayang.” kataku sembari meraba dagunya yang lancip.
“Lina juga senang laut ya?” tanyaku.
“Senang juga, tapi aku lebih senang panorama gunung.”
“Kamu anak gunung tinggalnya didesa.” kataku bercanda.
“Kamu anak nelayan tinggalnya dilaut.” balasnya pula bercanda.
“Kalau begitu, sama-sama kampungan.”
Lina gadisku terdiam lalu menatapku sedih, aku menghela nafas panjang, dan menyesal bercanda demikian.
Angin laut berhembus perlahan menerpa tubuhnya yang mungil membuat ia menggigil kedinginan. Ia kian merapatkan tubuhnya dan merangkulku erat-erat, sepertinya ia dalam ketakutan.
Kami diam berdua, hanya suara deburan ombak kedengaran menepis-nepis tepian karang. Kutatap wajahnya dalam-dalam dan tepat berbenturan matanya yang. kutahu pasti hatinya sedih dan gunda.
“Kamu marah Lina?”
“Oh, tidak.” jawabnya menepis tanyaku.
“Tapi mengapa kulihat kamu begitu bersedih sayang?”
Lina diam membisu tak menyahuti tanyaku. Sepertinya ia tengah diliputi oleh rasa cemas yang tiba-tiba datang bergelayut dihatinya. Lama ia menatapku dan tak menyahut sedikitpun seolah ada sesuatu yang mendera bathinnya.
“Ada apa Lina?” desakku sekali lagi.
“Hatiku cemas dan perasaanku tak enak.” jawabnya lirih.
“Akh, itu hanya persaanmu saja.” kataku menyabarkan dia sambil menarik tangannya lalu berjalan menuju bibir laut yang berpasir putih
“Yuk, kita jalan.” .
Dibiarkannya air laut menjilat-jilat ujung-ujung kakinya yang halus membasahi hingga lututnya.
Kami berjalan terus menapaki pasir putih yang lembut hingga tapal batas ujung utara yang berbukit karang terjal. Kami berjalan sambil ia merapatkan kepalanya tepat bersandar di dadaku.
Burung camar semakin riuh bersahutan terbang bebas kemana ia suka. Kutatap sekali lagi wajahnya yang sendu, lalu ia tersentak ketika kami tiba di kaki bukit karang itu.
“Indah nian di atas bukit situ, Kak Mul, mari kita istirahat diatas.” pintanya sambil menunjuk kearah atas.
“Buat apa kita kesitu, tak ada apa-apa diatas, malah berbahaya.” kataku menghalanginya.
“Akh, kamu penakut.” bantahnya sambil mendesak terus agar aku dan dia segera menuju keatas. Semilir pantai terus berhembus tanpa henti, dan matahari telah meninggi membakar punggung bukit.
“Lebih baik kita pulang saja Lina.” bujukku sekali lagi.
“Tapi aku ingin ke atas sana, agar mata bebas memandang ke segala arah.” pintanya lagi.
“Oke,” kataku mengiyakan sambil membimbing tangannya yang mulus.
Di hatiku timbul keraguan akan kekerasan hatinya sekeras batu karang, dan dengan perlahan hati-hati kami berjalan menapaki tanjakan bukit karang yang berlumut licin. Lina berjalan dihadapanku, kemudian aku menyusul dibelakangnya mengawasi dengan sangat hati-hati. Namun belum sempat kami tiba diatas, batu tempatnya berpijak bergeser perlahan, membuat keseimbangan tubuhnya tak dapat ia kuasai, dan ............. Ya, Tuhan, Lina terjatuh dari atas ketinggian berbenturan badannya dengan karang-karang lancip di bawahnya. Ia berteriak histeris minta tolong, namun tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menolongnya. Segera kularikan kerumah sakit terdekat dan dibantu oleh orang-orang yang berada disekitarku. Berdasarkan keterangan dokter yang merawatnya, Lina patah tulang pada salah satu pangkal pahanya mengakibatkan ia lumpuh pada kaki sebelah kirinya. Hanya itu yang sempat kuingat, aku berdoa semoga ia tabah menghadapi cobaan yang di berikan oleh Yang Maha Kuasa.(*)

Makassar, 15 November 1997

Harian Pedoman Rakyat, 05 Januari 1998
Harian Radar Bulukumba, 20 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar