Kamis, 05 Mei 2011

19. AKU BERSEDIH HATI MELIHAT INDONESIAMU MENANGIS

Oleh : Hasbullah Said.-


SEMINGGU setelah usai resepsi pernikahan, aku janji. Kita berbulan madu di pulau Langkawi, suatu pulau wisata yang sangat cantik mempesona di negeri ini, Malaysia, tentu untuk pertama kalinya kamu ke sana, kita akan menghirup udara segar nyaman dalam desah nafas birahi asmara, oleh indahnya panorama alam hembusan angin laut yang mempesona bagi siapa saja pengunjungnya.
Kini kubuktikan janjiku itu, karena aku telah berhasil sukses memboyong Putri Anging Mammiri Kota Daeng ke Kerajaan Selangor jauh dari negerimu yang kamu tangisi selalu, karena pisah segalanya termasuk kedua orang tuamu yang kamu cintai, kamu sayangi, bahkan kamu sanjung dan sangat kamu hormati. Wajar-wajar saja karena wujud dari pengabdian dan bakti seorang anak sholeh adalah patuh dan hormat serta selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Tapi kamu harus sadar dik, bahwa semua ini tak lepas dari apa yang disebut jodoh. Dan sesungguhnya jodoh pernikahan itu adalah sakral merupakan anugrah suci dari Yang Maha Kuasa patut kita jaga kelangsungannya. Walaupun kita sadar atau tidak, jodoh, pernikahan itu tidak selalu membawa suka cita bahkan sebaliknya duka yang paling dalam bisa terjadi, namun kita tidak berharap demikian.
Tapi manusia tentunya punya usaha atau ikhtiar. Semuanya itu telah kupikirkan masak-masak jauh hari sebelum kita nikah, termasuk bagaimana nantinya menjalani hari-hari kita selanjutnya, mengasuh anak-anak kita, sepakat di pesantrenkan sebelum menginjak usia dewasa, agar pengetahuan agama dan keimanan yang kokoh kita tanamkan sejak dini biar kelak ia jadi anak sholeh taat dan patuh mengabdi kepada Sang Penciptanya dan juga terhadap kedua orang tuanya.
Setelah kamu tiba di negeriku Malaysia dengan membawa setumpuk duka yang disertai deraian air mata karena sedih kamu pisah dengan kedua orang tuamu yang sementara dalam perjalanan menuju usia senja. Tentunya aku merasa bingung di buatnya yang seperti itu tak perlu terjadi. Sekali lagi dik, ini karena jodoh dengan kata lain mungkin lebih tepat menggunakan kata takdir. Takdirlah yang menentukan segala-galanya.
Ketegaran hatimu patut aku hargai memang hebat karena sebelumnya kita tidak pernah saling kenal apalagi saling cinta dan mencintai, kita ketemu pertama kalinya di saat kita mengucapkan ijab kabul didepan penghulu di saksikan oleh kedua orang tuamu beserta seluruh kerabat keluargamu.
Sangat tidak mungkin bila kita pikir dalam-dalam, kamu putri kesayangan orang tuamu asal suku Makassar di persunting oleh perjaka dari kerajaan Selangor Malaysia. Bak pepatah mengatakan, asam di gunung garam dilaut ketemu dalam belanga, namun tidaklah kita harapkan seperti apa yang diceritakan oleh Marah Rusli dalam novelnya Siti Nurbaya hanya karena keterpaksaan penebus utang-utang orang tua Siti Nurbaya kepada Datuk Maringgi yang serakah lagi bengis.
Kamu anak berbakti kepada orang tuamu, termasuk aku anak yang patuh dan taat kepada orang tuaku, sama-sama mengiya menganggukkan kepala saat dijodohkan kamu dan aku hingga terwujud dalam ijab kabul didepan penghulu. Bukan karena keterpaksaan mengikuti kemauan orang tua, akan tetapi lahir masing-masing dari lubuk hati yang paling tulus dan ikhlas.
Orang tuaku dulu yaitu ayahku Dato’ H Shaharudin bin Abd.Rahman kenal baik dengan ayahmu H.Hasbullah Said Daeng Manaba hanya gara-gara sahabat pena sejak bertahun-tahun lamanya. Saling berkirim-kirim surat, tukar-menukar informasi dan pengalaman menceritakan keadaan dua negara sahabat bertetangga lahir dari budaya dan bahasa yang hampir sama. Tak lupa pula saling menceritakan dalam suratnya latar belakang dari keluarga masing-masing.
Terakhir baru-baru ini orang tuaku diundang oleh keluargamu berkunjung ke negeri Makassar kota tempat kelahiranmu dimana kedatanganya disambut hangat oleh pihak keluargamu. Itu cerita ayahku ketika ia baru tiba dari Makassar.
Aku sangat kagum dengan budaya adat istiadat suku Bugis Makassar yang ulet pemberani pantang menyerah, begitu cerita ayahmu ketika ia datang ke Selangor dalam kunjungan balasannya atas undangan ayahku.
Disaat kita ijab kabul dengan pakaian adat baju bodo warna merah jambu yang kamu pakai sangat serasi dipadukan dengan sarung sutra tenunan Sengkang Curak Lakbak warna ungu sangat cocok dengan warna kulitmu kuning langsat, seiring gemericing pinang goyang tertancap di atas sanggulmu yang ditata apik, aku sangat kagum terpesona melihatmu, kamu sangat cantik saat itu, sungguh Riri!”
“Gombal, Abang pintar mendongeng agar aku tertidur pulas dalam mimpi indah bak putri raja di belai oleh dayang inang pengasuh di dalam istana bahagia kerajaan Selangor Malaysia.”
“Tentu dik Riri, karena aku amat sangat menyayangimu, agar kamu tidak bersedih hati selalu.”
“Adikpun demikian, sangat kagum dan merasa bangga melihat Abang mengenakan baju potongan teluk belanga warna biru muda di padukan dengan pantalon berlilitkan sarung songket asli dari Negeri Sembilan, bak Putra Mahkota hendak menuju Singgasana Kebesarannya.”
“Terima kasih dik, sama-sama anak berbakti kepada kedua orang tuanya, memperoleh hidayah dari Yang Maha Kuasa sebagai anak bangsa dari dua rumpun yaitu Melayu dan Makassar dimana kultur dan budaya hampir mirip.”
Riri terdiam sejenak dalam angannya yang mengembara. Perlahan ia melemparkan pandangannya ke atas puncak gedung pencakar langit yang berderet panjang.
Angin laut Pulau Langkawi berhembus perlahan mengelus tubuhnya yang semampai, ujung-ujung kerudung jilbabnya melambai-lambai menepis wajahnya oleh terpaan angin laut. Matanya sembab, dan air mata bening meleleh perlahan membasahi pelipisnya.
“Kamu menangis Riri?”
“Tidak Bang.“ jawabnya mengelak sembari menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Jangan kamu bohongi aku.”
Kembali Riri diam, ia menghela nafas panjang menatap laut yang keperakan diterpa mentari siang.
“Jangan kamu sedih dik Riri, kan ada aku abangmu di sini.” pintaku membujuk ia, sembari memeluknya lalu mengelus kepalanya yang terbungkus jilbab kerudung putih.
“Sekali lagi tidak Bang, tidak aku bersedih hati dan bukan karena pisah dengan kedua orang tuaku.” bantah Riri dengan nada pasti.
“Buktinya?”
“Yah, aku bersedih hanya terhadap Indonesiaku.”
“Indonesiamu, karena kamu pisah dengannya, ya toh Riri?”
“Indonesiaku kini meratap sedih karena ia sakit keras.”
“Sakit apa?” tanyaku heran.
Ketika aku berangkat kemari, Indonesiaku diserang oleh suatu penyakit keras yang sangat sulit untuk disembuhkan, berbagai krisis melandanya ketika rezim Orde Baru tumbang yang berkuasa selama kurang lebih 32 tahun lamanya timbul berbagai ragam masalah besar yang hingga kini masih belum terpecahkan.
Kemelut elit politik tingkat pusat dan daerah selalu membuat pernyataan politiknya sangat membingungkan, yang pada gilirannya menyengsarakan rakyat kecil. Timbul kekhawatiran dari berbagai kalangan akan terjadi disintegrasi bangsa yang sangat membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia bila tidak dengan secepatnya diatasi dengan arif bijaksana.
Kerusuhan dengan pertikaian kelompok saling membantai sesama saudaranya telah terjadi dibeberapa tempat seperti Ambon, Ternate Maluku Utara dan terakhir di Poso Sulawesi Tengah, ini tentu tak lepas dari permainan elit politik tingkat atas dengan maksud dan tujuan tertentu yaitu perebutan kekuasaan sekalipun harus mengorbankan rakyat kecil.
Terakhir abang sendiri saksikan berita utama dalam TV3 Malaysia tadi malam ditayangkan peristiwa pemboman rumah kediaman Kedutaan Besar Fhilipina di Jakarta yang menewaskan dan menciderai beberapa puluh orang yang tak berdosa.
Berikutnya kini Kota Makassar telah di rambah oleh maraknya teror Bom terhadap rumah kediaman Konsulat Jepang beserta Kantor-kantor Vital lainnya membuat seluruh penduduknya was-was kecemasan. Aku sangat sedih, dan menangis melihat kenyataan seperti itu.
“Itulah yang menyebabkan aku bersedih Bang.” sambungnya lagi.
“Sudahlah dik!” kataku menyabarkan ia sembari menepuk pundaknya.
“Yang aku pikirkan sekarang tentang keselamatan jiwa kedua orang tuamu di Makassar, mungkin ada baiknya sekiranya kita ungsikan kemari agar ia tenang di sini terhindar dari rasa cemas yang selalu menghantui jiwanya takut terjadi kerusuhan yang lebih besar seperti di Ambon dan Poso, di sini aku yakin lebih aman dari Indonesia” lanjutku.
“Tapi bukan hanya kedua Orang tuaku saja Bang.”
“Eh, hal yang tidak mungkin Riri, seluruh penduduk Kota Makassar kita ungsikan ke Malaysia sini.”
“Tidak, bukan maksudku begitu Bang, hanya aku prihatin akan nasib bangsaku, Indonesiaku yang aku cintai.”
“Kamu Srikandi cerdas memiliki rasa kecintaan kebangsaan yang sangat tinggi patut aku memberimu penghargaan yang setinggi-tingginya dan aku turut bersedih hati melihat Indonesiamu sakit, memikirkan nasib keberlangsungan hidup bangsamu.”
Riri merunduk sedih, lalu dengan perlahan ia menghapus air matanya dengan tissue.
Angin laut pulau Langkawi berhembus perlahan menebarkan hawa sejuk, sementara mentari tinggal sepenggal di atas permukaan laut yang sebentar lagi hendak menceburkan dirinya ke dalam dasar laut menyisakan cahaya kuning jingga di atas bentangan laut biru.
“Riri,!” panggilku perlahan serius.
Ia menoleh padaku dengan sorot mata sayu.
“Ya , Bang?” sahut Riri kaget.
“Minggu depan kita ke Makassar, jemput kedua orang tuamu dan kita ungsikan kemari.” kataku dengan penuh kesungguhan.
“Terserah Bang.”
“Aku serius, dan kamu setuju toh Riri?”
Riri mengangguk tanda setuju, lalu bergeser kedepan merangkulku erat, ia merasa haru mendengar keputusanku.
“Terima kasih Bang!”
Deru ombak menepis tepian pantai seolah mendendangkan balada cinta mengantar kepergian kami meninggalkan dermaga itu menuju Century Hotel tempat kami nginap berbulan madu.(*)

Makassar, 05 Agustus 2000

Harian Pedoman Rakyat, 05 Juli 2001
Harian Radar Bulukumba, 18 Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar