Kamis, 05 Mei 2011

20. SEPEDA MOTOR H.D

Oleh : Hasbullah Said.-


TERMENUNG membathin menatap laut diiringi nyanyian ombak melagu syahdu menepis tepian pantai. Sungguh indah terasa di dua hati yang tengah asyik memadu kasih.
Diatas batu hitam besar artistik gadis itu duduk sembari menjulurkan kedua belahan kakinya ke arah bawah menyentuh permukaan air laut, sedang gemulung datang berlarian silih berganti. Namun Ratna gadis itu tidak terusik sedikitpun dari lamunan yang mendera bathinnya. Ia tetap menatap jauh ketengah laut dihiasi oleh riak-riak kecil keperakan diterpa mentari siang. Pantai Bira masih tetap seperti dulu, tidak ada perobahan yang berarti kecuali sekitar pantai yang berpasir putih itu ditumbuhi banyak pepohonan pelindung membuat suasananya sejuk lagi romantis.
Tiga tahun silam bukan waktu yang singkat untuk mrlupakan semua peristiwa ilalu. Peristiwa tragis sedih meluluhkan hati, yang hampir saja merenggut jiwa kami berdua ketika awal mula kami datang ke sini bersama Ratna gadis yang tengah duduk termenung di atas batu itu.
Kali ini kami datang dari kota Makassar berdua dengan mengendarai mobil Suzuki Jimny milikku bercat warna merah saga. Tak seperti dulu kami datang ke sini berboncengan dengan mengendarai sepeda motor H.D*) yang dijuluki oleh teman-teman kuliahku kereta api Biru Malam, karena catnya berwarna biru juga suaranya menderu-deru karena knalpotnya sering kubuka mengeluarkan asap hitam kayak kereta api tempo dulu.
Kata orang, dengan mengendarai sepeda motor HD aku sangat serasi karena postur tubuhku kekar tinggi nampak berwibawa kayak petugas LLAJ. Motor kuno tapi antik karena terawat dengan baik sehingga saat ini masih kelihatan awet dalam kondisi layak pakai bahkan larinya masih mampu mencapai di atas 100 Km perjam karena berkekuatan 3500 CC. Harta satu-satunya peninggalan ayahku almarhum pensiunan Kepala Lambaouw dan ketika masih hidup sering ia gunakan dinas tourne keluar daerah karena mesinnya kuat mendaki segala medan tanjakan yang berkelok-kelok.
Suatu kebanggaan tersendiri di lingkungan keluarga kami saat itu karena satu-satunya di daerah kami yang memiliki kendaraan bermotor roda dua.
“Aku tahu kamu pasti kecewa, Rat?” kataku mengusik setelah sekian lama kami terdiam. Perempuan itu menatap bisu, sorot matanya redup pilu. Sepertinya ia tengah di bebani perasaan yang menghujam bathinnya.
“Ya toh Rat?” ujarku lirih mendesak tapi ia tetap juga diam membisu, sepertinya ia mengingat-ingat peristiwa tiga tahun silam bagaikan tengah asyik nonton tayangan sinetron lewat TV tersusun rapi dalam benaknya.
***
“Ke mana kita pagi ini Kak, Syam?” tanya Ratna di belakangku sambil berpegang erat dipinggangku setengah lingkar.
“Ke luar kota.” jawabku singkat sambil kularikan sepeda motor HD-ku dengan kecepatan tinggi di atas aspal licin.
Angin berkesiur menerpa wajah kami membuat rambut Ratna acak-acakan tak beraturan di permainkan oleh angin kencang, dan suara knalpot motorku kedengaran bising menderu-deru memekakkan telinga dengan asap tebal hitam menutupi hampir sepanjang marka jalan yang kami lalui.
Minggu itu hari masih pagi, suasana jalan ke luar kota masih sepi-sepi hanya satu dua mobil penumpang umum lewat berpapasan dengan kami.
Matahari pagi perlahan beranjak naik membakar ubun-ubun, dan suasana pantai Bira mulai di padati oleh pengunjungnya berdatangan dari berbagai penjuru kota, kami pilih tempat paling ujung pantai barat, bernaung dibawah pohon ketapang rindang agar tidak terusik oleh pengunjung yang berlalu lalang di sekitar kami.
“Kamu senang datang ke sini toh, Ratna?” kataku memulai bicara sembari meremas jemarinya yang halus Ratna mengangguk senyum, pertanda ia senang.
“Di sini indah pemandangannya dan damai, tenang, tak ada kerusuhan, tak ada macet, seperti di kota kita jumpai ketika hendak ke kantor bekerja atau kuliah sangat membosankan dan tersiksa hari-hari terperangkap dijalan berjam-jam lamanya, terpanggang teriknya matahari dengan mata perih oleh polusi asap kendaraan bermotor, sungguh suatu pemandangan yang sangat menyiksa membuat kita nyaris stres. Belum lagi jalan ditutup oleh mahasiswa pengunjuk rasa dari berbagai Perguruan Tinggi berbondong-bondong menuju kantor DPR membawa spanduk dengan berbagai tuntutan disertai yel-yel perjuangan reformasi.
Paling celaka lagi ulah para penjambret nekat sering terjadi di traffic lights beraksi dengan penuh kekerasan ketika kita hendak belanja di pusat-pusat pertokoan. Semua itu fenomena dan dinamika hidup bagi warga kota metropolitan yang sedang berkembang pesat.
“Apa artinya kedamaian dan ketenangan sesaat, setelah pulang ke kota kembali lagi berhadapan dengan seperti itu.” potong Ratna.
“Sulit kita menghindar karena itu memang ciri khas sebagai kota Metropolitan.” kataku lagi.
“Kuinginkan kedamaian dan ketenangan abadi bagi warga kota sebagai jaminan dari petugas keamanan dan penegak hukum.” pinta Ratna penuh harap.
“Tentu ada jalan keluarnya atau alternatif pemecahan masalah, dan dapat terselesaikan dengan kerja sama dan saling pengertian dari semua pihak yang terkait.”
“Contoh, misalnya untuk menghindari kemacetan lalu lintas, akan kubuat jalan layang bersusun tiga dengan ditopang oleh kekuatan pondasi cakar ayam, agar kita terhindar dari kemacetan yang membelenggu.” lanjutku lagi.
“Dasar sarjana arsitek yang handal.” puji Ratna.
“Lalu dananya?” lanjut Ratna bertanya.
“Pengembalian Kredit macet oleh bank-bank swasta dan pemerintah sebesar sekian ratus trilium dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, tentu semuanya dapat diatasi bahkan dengan dana sebesar itu semua pembangunan di segala sektor dapat terlaksana dengan baik.”
“Ehem, …. Arsitekturku yang hebat, sepantasnya Pemerintah Kota memberikan perhargaan khusus kepadamu karena ada kepedulian terhadap pengembangan kota.” katanya memuji aku.
“Kalau kamu apa sih sumbangsihmu terhadap pengembangan kota.” balik aku bertanya.
“Akan kudesain begitu rupa semua jenis kendaraan beroda empat yang berbadan lebar seperti truk, mobil raksasa, termasuk kereta api Biru Malam dalam bentuk mini agar semua kendaraan yang lewat di jembatan layang desain Ir.Syamsul tidak cepat rubuh, karena di sinyalir menyimpang dan menyalahi bestek.”
“Dasar sarjana elektro yang edan.” kataku mencibir.
“Yang penting kita berdua telah memperoleh penghargaan dari Walikota sebagai pelopor pembangunan di bidang pengembangan kota.”
“Terima kasih desainerku.” kataku memuji.
“Terima kasih pula arsitekturku.” kelakar Ratna sambil menatap laut yang semakin kelam diterpa mentari senja yang sebentar lagi akan menceburkan dirinya ke dasar laut biru. Angin selatan daya berhembus dingin mengelus tubuh kami mengingatkan bahwa sebentar lagi malam akan tiba.
“Yuk, kita pulang.” kataku sambil beranjak membimbing Ratna menuju motor HD-ku, dan tak lama kemudian kami telah berada di jalan raya beraspal licin menuju Makassar Kota Metropolitan.
Dari balik celah pepohonan yang rindang rembulan malam mulai menampakkan dirinya, sementara sepeda motorku tetap kularikan dengan kecepatan tinggi, walaupun sesungguhnya aku sadar bahwa maut senantiasa membuntuti kami.
“Pelan-pelan aja Kak Syam?” bisik Ratna dibelakangku mengingatkan padaku. Namun peringatan itu sedikitpun aku tak menghiraukannya malah gas motorku kutambah dan kutambah lagi hingga tak terasa jarum pada spidometeran menunjukkan di atas angka 100.
Dari balik kaca spion motorku kulihat nampak samar-samar dari belakang menyusulku sekelompok anak muda dengan kendaraan sepeda motor dari berbagai merek dan type dilarikan dengan kecepatan tinggi disertai suara bising memekakkan telinga karena mereka buka saringan knalpot. Dunia seolah akan runtuh dibuatnya, mereka saling salip menyalip mendahului antara satu dengan lainnya menikung miring pada tanjakan yang berkelok-kelok, sungguh suatu akrobat maut yang menegangkan sepertinya pertarungan recing sesungguhnya yang amat seru. Kulihat sekali lagi lewat kaca spion, mereka kian mendekat dan dekat sekali denganku.
“Hati-hati Kak Syam?” sekali lagi Ratna memperingatiku dengan suara nyaris tak terdengar olehku karena bertepatan dengan rombongan itu melambungku secara tiba-tiba diiringi sorak sorai yang riuh.
“Hore, … ! Kereta BIMA*) ikut recing Bandung-Surabaya.” begitu teriaknya kepadaku. Dengan teriakan itu aku panas penasaran membuat gas motorku tak sadar kutambah dan kutambah terus membuntuti mereka dari belakang dengan kecepatan maksimal.
Tiba ditikungan jalan yang sedikit tajam aku tak dapat menguasai diriku lagi terseret ke arah pinggir jalan terpental menghantam sisi tebing karang yang curam, dan sesudah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi atas diri kami berdua,............!
Keesokan harinya setelah kubuka mataku baru sadar bahwa aku tengah berada dalam kamar sebuah rumah sakit dengan kepala yang dibalut kain serba putih. Sementara Ratna masih terbaring lemah diruang ICCU dengan kaki sebelah digantung diatas, karena patah tulang pada pangkal pahanya bekas tindihan motor HD-ku mengakibatkan ia cacat seumur hidup. Amat menyedihkan bagi siapa saja yang melihatnya.
Hanya aku mampu menghela napas panjang sembari beristigfar memohon pertolongan dari yang Maha Kuasa agar kami diberi kekuatan dan ketabahan hati menerima cobaan ini.
***
Mentari senja perlahan hendak bergulir jatuh ke dasar laut meninggalkan bias-bias cahaya kuning emas menerpa rata di atas permukaan laut. Angin berhembus perlahan dari arah selat Selayar mengelus tubuh Ratna terasa sejuk membuat ia sadar dari lamunnya.
“Sudahlah dik Ratna, maafkan aku dan lupakanlah semua itu.” bujukku sembari menyeka air matanya yang berlelehan membasahi wajahnya.
“Yuk, kita pulang.” pintaku sekali lagi sambil membimbing ia berjalan di atas pasir putih nan lembut, berjalan tertatih-tatih ditopang kruk penyanggah tubuhnya.
Dan dengan perlahan hati-hati kubopong ia menaiki tangga mobil untuk-

segera pulang menuju Makassar Metropolitan.(*)

Makassar, 08 Juni 2000

Harian Fajar, Agustus 2000
Harian Radar Bulukumba, 24 Pebruari 2010



*) H.D = Harley Davidson
*) BIMA = Biru Malam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar