Kamis, 05 Mei 2011

22. NUANSA CINTA KITA

Oleh : Hasbullah Said.-


ANGIN laut berkesiur, dan pagi itu pantai Bira masih sepi-sepi dari pengunjungnya. Camar laut beterbangan menyambar-nyambar keatas permukaan laut dengan bebasnya. Saya bersama Zahra berjalan menelusuri pantai itu berjalan terus sambil ia bersandar lekat depan bahuku.
Kaki-kaki kami terbenam di atas pasir putih nan lembut. Mata saya tertuju ke laut lepas pada perahu nelayan yang tengah asyik menangkap ikan. Sangat indah dan indah sekali menawan hati, sedang ombak berlarian berkejaran ketepian menghempaskan dirimya kekaki bukit karang kemudian pecah berhamburan.
Kami berjalan terus, dan Zahra di sampingku tengah mengamati bukit karang yang berdiri tegak disisi kanan kami. Dibiarkannya air laut menjilat-jilat kaki Zahra membasahi ujung-ujung kaki celana jeansnya, dengan rambut yang tergerai kebawah acak-acakan dipermainkan oleh semilir laut. Berjalan dan berjalan lagi hingga tak terasa oleh kami telah hampir tiba di penghujung barat pantai itu. Sebuah batu karang besar melintang tepat di hadapan kami.
“Yuk, kita istirahat di sini, dik!” kataku sambil berhenti di depan batu karang itu. Pantai Bira jauh dari keramaian kota, dan sedari dulu Zahra selalu kuajak kemari berekreasi menikmati panorama indahnya Pantai Bira, namun ia menolak katanya takut ia dimarahi oleh Papanya. Kini Zahra duduk disampingku di atas batu karang sambil mengalihkan pandangannya ke tengah laut lepas.
“Zah, tak usah takut, tak ada siapa-siapa disini yang mengawasi kita.” lanjutku memulai bicara padanya.
“Tapi Papaku marah, kalau ia tahu kita ada di sini.” kata Zahra datar.
“Papamu tak bakalan tahu, dia jauh dikota dan disini kita bebas sesuka hati,
namun tidak berarti bahwa kita bebas berbuat segalanya, dan percayalah dik.” kataku meyakinkan dia, sembari memegang pundaknya. Saya terdiam sambil menghela nafas panjang.
Memang, saya terlalu berani membawa anak gadisnya orang ke tempat jauh terpencil ini, tentu orang-orang yang melihat kami akan curiga apa yang kami lakukan di sini.
“Zahra, saya sangat senang dengan panorama alam bebas seperti ini, agar kita bebas pula bercanda sepuas hati, namun dalam batas-batas kewajaran.” ujarku sambil menatap wajahnya yang begitu manis dihiasi lesung pipi dikedua belahan pipinya.
Kami datang dari kota berboncengan dengan mengendarai sepeda motor Astrea-ku. Saya belum pernah dan tak akan pernah merasa kecewa dengan kendaraanku yang sederhana ataupun iri terhadap teman-teman sekantorku yang memiliki kendaraan roda empat yang sering tukar-ganti dalam waktu yang relatif singkat. Karena itu adalah sebatas kemampuanku sebagai pegawai yang hidup pas-pasan. Hal ini telah pernah kuutarakan sama Zahra.
“Kamu tak kecewa, dengan sepeda motor Astrea-ku khan?” tanyaku suatu ketika diawal mula kubeli sepeda motorku melalui koperasi kantorku secara menyicil.
“Kenapa mesti kecewa Kak Din.” jawab Zahra di belakangku berpegang erat dipinggangku setengah lingkar.
“Karena kamu kepanasan, dan kedinginan di belakangku.” kataku sambil kularikan sepeda motorku diatas aspal licin.
“Khan, aku pakai jaket, dan merangkulmu dengan erat dari belakang, agar aku tidak kedinginan.” begitu guyonan Zahra dengan senyum dikulum. Terasa hangat tubuhnya merangkulku dari belakang. Semilir pantai berhembus sejuk mengelus tubuh kami berdua dan Zahra di sampingku tertunduk diam.
“Seandainya Papamu tahu bahwa kita ada disini?” tanyaku sambil menatap Zahra. Mata kami berbenturan, lama berpandang-pandangan, binar matanya sayu, dan sekilas dialihkan pandangannya ke bentangan laut datar jatuh ke burung camar beterbangan lincah menyambar-nyambar kepermukaan laut, sangat indah dan indah sekali membuat kami selalu ingin datang ke sini. Namun Zahra bukan seekor burung camar yang lepas dari sangkar emasnya, akan tetapi ia sangat disayangi oleh kedua orang tuanya karena ia di takdirkan terlahir sebagai anak tunggal semata wayang terlebih papanya sangat sayang dan dekat sekali sama Zahra.
“Ya, paling tidak ia menasehati aku.” lanjutnya setelah sekian lama ia terdiam.
“Kalau begitu kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita.”
“Oh,.... tidak Din.”
“Buktinya kamu akan di adili nanti setiba di rumahmu.” lanjutku lagi.
“Tak membiarkanku pergi jauh-jauh tanpa sepengetahuannya, karena takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada diriku.” kata Zahra dengan suara serak parau. Lalu kembali ia diam. Kami diam sama-sama. Gelombang laut berirama syahdu teramat indah kedengaran ditelinga kami, dan mentari pagi beranjak naik perlahan menerpa ubun-ubun.
Perlahan-lahan pengunjung Pantai Bira mulai berdatangan dari segala penjuru, dan sebentar lagi akan ramai di seputar pantai ini.
“Yuk, kita jalan lagi Zah.” pintaku sambil memegang tangannya yang mulus menapaki pantai yang berpasir putih. Pengunjung telah ramai berpapasan di sisi kiri kanan kami, berjalan terus tanpa kami menghiraukan tatapan mereka.
“Kapan kuliahmu selesai Zah?” tanyaku setelah sekian lama kami terdiam.
“Bulan depan baru ikut KKN.”
“Rencanamu melamar kemana nanti setelah kamu selesai.”
“Belum ada rencana, dan aku tak akan melamar kerja ke mana-mana, ingin bebas tanpa ikatan.”
“Maksudmu?” tanyaku ingin tahu.
“Jadi penulis, sesuai dengan bidang ilmu yang kutekuni sekarang.” jawab Zahra, meyakinkan aku.
“Ehem,....... Wartawati.” kataku mendehem berkelakar. Zahra melanjutkan bicaranya sambil berjalan di sampingku merebahkan kepalanya bersandar di bahuku.
“Biar, akan kuliput semua pesan-pesan moral kepada khalayak ramai bahkan kedunia luarpun agar mereka tahu sesungguhnya apa yang tengah terjadi dan melanda negara kita akhir-akhir ini.”
“Akan kutulis semua peristiwa yang terjadi, kerusuhan, pembakaran, pemerkosaan, penjarahan, pembunuhan dukun santet, demonstrasi setiap detik waktu di tengah-tengah kota bahkan sampai ke pelosok pedesaan menuntut reformasi di segala bidang, termasuk penghapusan KKN. Agar dunia luar tahu bahwa betapa bobroknya moral sebagian orang mengakibatkan lahirnya krisis ekonomi berkepanjangan yang sangat menyengsarakan rakyat kecil, krisis moral, krisis kepercayaan terhadap pimpinan dan segala macam krisis, ............................. dan krisis lagi,..................”.
“Eh,...... terlalu berani kamu menulis Zah, apa kamu tidak takut dibredel.” kataku memperingatkan memotong pembicaraannya yang begitu menggebu-gebu bersemangat.
“Tidak ada lagi bredel-bredelan Din, di era reformasi seperti sekarang ini adalah era keterbukaan dan transparansi. Kebebasan pers, bebas bersuara dan mengeluarkan pendapat.” katanya dengan nada sedikit tinggi diiringi sorot mata tajam
Aku kenal betul Zahra aktivis vokal dan agresif di kampus tempat ia kuliah. Semua orang tahu ia Reformis yang paling berani dan nekat.
“Sudahlah dik, Zah!” ucapku perlahan sambil kami berjalan terus. Kesiur angin pantai mengelus lembut kulit ari tubuhku dibalik baju kaos yang kukenakan. Kami singgah sebentar di warung membeli minuman berjalan sambil menengguknya sekali-sekali.
“Zahra, kamu srikandi pers.” kataku memuji sambil mengacungkan jempol.
“Kamu berlebihan.” kata Zahra manja sembari memukul punggungku.
“Sekarang kini giliranku untuk diberi kebebasan untuk berbicara.” kataku dengan mimik sungguhan.
“Bicara tentang apa, reformasi?” potongnya.
“Fakta sejarah.” jawabku singkat.
“Silahkan Din!”
“Maukah kamu dengan ceritaku tentang sejarah Romawi kuno?”
“Hebat kamu Din, pintar mendongeng.”
“Tidak Zahra, ini cerita betul-betulan terjadi.” kataku lagi meyakinkan.
“Kamu bersedia mendengarkannya toch, Zah?”
“Oke, teruskan Din aku bersedia menjadi pendengar setiamu!”
“Begini, dahulu kala ada seekor anak burung bertengger diatas dahan kayu yang rapuh, ia cerdik dan pandai menyanyi apa saja, dengan suaranya yang begitu merdu, setiap kali ia pulang kesarangnya menemui induknya ia menuturkan dan melaporkan segala kejadian yang dialaminya. Termasuk Si Raja hutan yang sangat bengis dan lalim, ia sangat sedih dan prihatin melihat perilakunya. Induknya sangat sayang kepadanya. Sehingga pada suatu ketika ia diangkat menjadi kepala suku untuk mewakili dari sekian banyak burung-burung sejenisnya karena ia pandai membawakan aspirasi kelompoknya yang sering tertindas dan teraniaya oleh binatang buas lainnya, sebagai tanda terima kasih mereka, di buatkannya sebuah sarang tempat bernaung yang sangat indah dan empuk terbuat dari campuran kapas dan jerami. Pada suatu ketika Si Raja hutan tadi mengamuk mengobrak-abrik seisi hutan beserta para penghuninya, sehingga mereka lari ketakutan. Sialnya, Si burung tadi tidak mengetahui peristiwa apa yang terjadi di sekelilingnya, karena tertidur pulas dalam sarangnya yang empuk, sehingga tak sempat ia saksikan kejadian tersebut.”
“Eh, ........ Din, hentikan ceritamu itu, tak usah kamu lanjutkan.” potong Zahra dengan nada tinggi. “
“Aku tak ingin seperti burung keparat itu, yang tak tahu diri sudah dibuatkan sarang untuknya masih juga tidak tahu apa yang terjadi disekelilingnya. Cih,..... burung pengecut.” umpat Zahra kesal.
“Sudahlah, Zah.” bujukku menyabarkan. Suasana Pantai Bira semakin ramai dikunjungi orang. Semilir laut berhembus perlahan dari arah Selat Makassar.
Mentari siang telah meninggi dan panasnya kini terasa menyengat tubuh kami. Sekolompok anak muda datang berpapasan dengan kami sambil bernyanyi riang sambil memetik gitar, terdengar oleh kami beberapa lagu-lagu perjuangan yang mereka lantunkan. Kulihat beberapa diantaranya memakai jaket almamater warna merah darah yang di dadanya bagian atas kanan terdapat lencana bergambar ayam jantan berkokok. Selintas mereka berteriak serentak mengacungkan kepalan tinju kepada kami,
“Hidup Reformasi, hapuskan KKN!”
Serta merta spontan kami sambut dengan pekikan yang sama :
“Hidup Reformasi, Hapuskan KKN!”
“Yuk, kita pulang Zah, hari hampir malam nanti kamu dimarahi Papamu.” kataku sambil membimbing tangan Zahra naik di boncengan sepeda motor Honda Astrea-ku melaju di atas aspal yang licin, menuju kota Makassar Metropolitan.(*)


Makassar, 10 April 1999

Harian Fajar, 16 Mei 1999
Harian RadarBulukumba, 04 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar