Kamis, 05 Mei 2011

23. ANTARA SEMARANG DAN SURABAYA

Oleh : Hasbullah Said.-


BUS malam Ramayana tiba di Surabaya ketika kota itu masih sepi diam, namun ia tidak tidur seperti tidurnya para penumpang bus malam Ramayana sejak malam tadi.
Tepat jam 05.00 subuh Bus dari berbagai penjuru kota kini pada berdatangan merayap perlahan masuk ke Terminal Purabaya Surabaya.
Rini gadis cantik terjaga dari tidurnya ketika kondektur Bus itu berteriak, memanggil penumpangnya turun dari atas bus karena telah tiba dengan selamat dikota Surabaya. Rini memperbaiki letak duduknya kemudian mengusap-ngusap matanya sambil meraih tas jinjingannya menuruni anak tangga Bus Malam Ramayana.
"Mampir ke rumah mas." pintanya lembut padaku sambil berlalu.
"Monggo," kataku pakai logat Jawa, lalu akupun berkemas turun dari atas Bus itu, meninggalkan Terminal Purabaya Surabaya. Dari terminal sepanjang Jalan Perak Timur menuju tempat aku nginap, masih juga terbayang percakapan kami berdua diatas bus malam ketika dalam perjalanan pulang antara Semarang dan Surabaya. Aku dan Rini duduk berdampingan di jok paling belakang..
"Mbak, turunnya dimana nanti?" tegurku mengajak bicara.
"Di Surabaya." jawabnya singkat. Aku terdiam kemudian mencoba mencuri pandang menatap wajahnya yang lumayan cantik. Gadis itu memakai gaun terusan warna merah muda pakai bola-bola hitam, sangat serasih dengan warna kulitnya yang kuning langsat.
"Kalau boleh aku tahu di Surabaya tinggalnya dimana?" kucoba memancing dia agar dia mau bicara padaku.
"Jalan Pemuda." jawabnya acuh kemudian ia melemparkan pandangannya keluar di kegelapan malam melalui kaca jendela bus malam.
Kota Semarang perlahan-lahan kami tinggalkan dan yang nampak hanya kerlap-kerlip lampu kota dilihat dari atas tanjakan yang tak ubahnya seperti pesawat terbang yang baru saja tex-up dari landasannya. Semarang memang kotanya cantik dan menawan bagi setiap pengunjungnya sehingga tidak membosankan bagi kami, walau seharian penuh disarati acara- acara kedinasan dalam rangka studi banding ke berbagai PTS yang berada dalam wilayah Kopertis VI Semarang. Cukup banyak pengalaman yang kami peroleh dari hasil kunjungan itu, penat juga badan terasa karena tak ada istirahat dari pagi hingga sore dan malamnya kami melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya.
"Kalau Mas turunnya di mana nanti?" ia balik bertanya dengan melempar senyum padaku. Tersentak aku dari lamunku ketika mendengar suaranya yang halus kayak bulu perindu.
”Kita kenalan dulu Mbak, baru aku jawab." kataku bercanda.
"Rini Sosilowaty." sahutnya memperkenalkan namanya sembari menyalami aku dengan tangannya yang halus.
"Ilham, aku transit di Surabaya kemudian besoknya nanti rencana balik menuju Ujung Pandang." kataku sembari memegang tangannya.
Rini tertegun sejenak mendengar kota Ujung Pandang aku sebut, lalu kembali ia melemparkan pandangannya keluar di keheningan malam lewat jendela kaca mobil. Jam menunjukkan tepat pukul 11.00 malam sementara Bus Ramayana tetap melaju tak henti-hentinya dengan kecepatan tinggi di atas aspal hitam.
"Ujung Pandang, tempatnya Kampus UNHAS ya Mas." sahutnya kemudian.
"Ya betul, nilai A buat Mbak Rini." kataku bercanda.
Menyebut kota Ujung Pandang, gadis itu tertunduk diam lalu ia bergeser meraih
jaketnya dari dalam tas sandangnya. Dari atas langit­ langit Bus itu ada air menetes dari pembuangan AC sentral membasahi gaunnya pertanda dinginnya telah mencapai titik maksimal, dan diusapnya perlahan dengan sapu tangan birunya dari dalam saku bajunya . . Malam perlahan lamban merangkak jauh ketitik larutnya membuat penumpang disamping kiri-kanan kami telah banyak yang tertidur pulas karena kecapaian dalam perjalanan sejak sore tadi.
Lapat­-lapat keheningan sangat terasa di malam itu kecuali bunyi mesin mobil kedengaran menderu-deru diselingi sekali-sekali batuk penumpang dari jok bagian depan, namun kami berdua belum juga tertidur karena masing-masing dicekam oleh perasaan sendiri-sendiri.
“Dingin ya, Mbak.” kataku lagi memulai, sambil melirik kepadanya menatap -
wajahnya, kulihat ia sangat letih, lesu, dan dari balik wajahnya ia menyimpan suatu perasaan yang amat dalam, sepertinya perasaan yang amat perih. Kutahu pasti dalam lubuk hatinya tersimpan suatu rahasia pribadi yang sangat tertutup rapat. Namun kucoba untuk menyingkapnya perlahan-lahan dengan berbagai upaya dan sangat hati-hati, agar tidak tersinggung.
"Apa Mbak, telah pernah ke Ujung Pandang?" lanjutku bertanya memancing suasana.
"Belum, tapi Ujung Pandang kotanya ramai Mas, dan anak mudanya cakep-cakep ya?" katanya bergurau.
"Tentu dong.....!" sahutku membenarkan.
"Namun,..... ia,... kejam,.... kejam." katanya terputus terbata­-bata.
"Maksudnya Mbak?" tanyaku penasaran lalu kami terdiam bersama. Rini tak dapat berbicara lebih lanjut kecuali tertunduk diam.
Seolah ia mengingat-ingat sesuatu di benaknya terpusat pada peristiwa lalu. Lama ia terdiam, dan lama sekali. Dan dari remang lampu langit-langit Bus itu kulihat wajahnya begitu lusuh namun tetap anggun lagi ayu.
***
Terbayang olehnya ketika beberapa tahun silam, hatinya terpaut oleh lelaki asal kota Ujung Pandang, dua hati berbaur menjadi satu berbagi rasa suka dan duka, janji setia sehidup semati menjadi dambaan mereka. Tiga tahun bersama Apong ketika kuliah di Program Pasca Sarjana UNDIP Semarang, dengan menekuni bidang ilmu yang sama, masa itu dilaluinya bersama Apong dengan penuh ceria tawa canda, kasih sayang curahan hati terpatri dalam lubuk hati dua insan yang tengah di mabuk asmara.
Peristiwa yang tak terlupakan olehnya ketika semua tempat- tempat wisata yang indah dan romantis telah dikunjunginya, mulai dari ujung timur Pulau Jawa hingga ujung barat, dan terakhir Pulau Bali ketika liburan akhir semester. Suatu peristiwa yang sangat berkesan di hatinya yang tak akan pernah terlupakan olehnya kembali menari-­nari di benaknya yang tersusun rapi.
Semilir Pantai Kuta ketika itu berhembus menepis-nepis tubuhnya membuat rambutnya yang ia urai panjang sebatas bahu acak­-acakan dipermainkan angin pantai. Bergandengan tangan berjalan berdampingan menelusuri pantai itu, duh,.... indahnya panorama laut hatinya di dalam berkata memuji kebesaran Illahi.
Ditepian pantai itu, sedikit ketinggian berbukit mereka singgah berteduh di bawah pohon yang rindang agar mata mereka bebas lepas melihat keindahan panorama laut.
"Kita istirahat disini Rini." pinta Apong sambil membimbing tangan Rini yang halus menapaki tanah perbukitan dengan sentuhan pasir putih nan lembut kemilau tertimpa oleh teriknya matagari siang.
"Tepat sekali pilihanmu Apong." kata Rini.
“Aku senang ditempat ini, romantis dan tak ada gangguan dari kebisingan kota, kecuali suara ombak yang mendesir serta suara burung camar menggelepak-gelepakkan sayapnya menggapai air laut menambah indahnya panorama." lanjutnya.
Senja telah mulai turun, semilir Pantai Kuta semakin sejuk menerpa tubuh Rini, dan dari kejauhan tampak olehnya kapal yang sedang berlayar, ombak semakin deras menepis tepian membentuk gumpalan-gumpalan busa putih. Rini tertegun sejenak memandangi kapal itu sangat kagum ia melihatnya.
"Kamu lihat kapal itu Rini, betapa indahnya melaju membelah laut?" kata Apong sambil menunjuk kearah tengah laut lepas.
"Apa nama kapal itu?" tanya Rini.
"Van Der Wijck."
"Lucu, kok kapal itu sudah lama karam di dasar laut muncul kembali. Aku tak ingin seperti Hayati dan Zainuddin dalam novelnya HAMKA. Mereka gagal bercinta lalu Hayati karam bersama kapalnya ketika hendak balik ke Padang. Betapa sedih dan hancurnya hati ini bila kita bernasib sial seperti itu." kata Rini sambil melemparkan pandangannya jauh ketengah laut lepas. Kejam,.... kejam,... kejam laut itu, tega ia pisahkan Hayati dengan Zainuddin. umpatnya kepada laut. Ada kecemasan yang tersembul dari dalam lubuk hatinya, dan tak terasa olehnya butiran-butiran air bening menetes dari balik kelopak matanya membasahi pipinya yang halus.
"Sudahlah Rini." bujuk Apong menyadarkan sambil mengusap air mata Rini dengan sapu tangan yang ia kantongi selalu.
"Itu hanya ilusimu belaka tak boleh kamu apriori terhadap masa datang, mudah-mudahan kita tidak bernasib sial seperti itu."
"Dan, ......dan,......bila tak ada halangan selesai studiku nanti dan juga kamu, aku akan segera melamarmu." bisik Apong ketelinga Rini sembari membelai rambutnya yang terurai panjang.
Perlahan-lahan kesedihan hati Rini menghilang seperti hilangnya kapal tadi dari pandangan mereka.
"Kamu setuju...... Rini?" tanya Apong. Dan dengan perlahan Rini mem- baringkan tubuhnya diatas pangkuan Apong sambil berucap.
"Semoga,.... Mas!"
"Hari sudah malam, mari kita pulang dik." ajaknya sambil meraih tangan Rini menuruni perbukitan itu, berjalan bergandengan tangan menelusuri Pantai Kuta. Gemuruh ombak semakin riuh, berlarian menggulung ketepian kemudian pecah berhamburan. Percikkan air laut menjilat-jilat membasahi ujung-ujung kaki Rini dan terasa sangat dingin sambil berjalan ditelan oleh kegelapan malam menuju tempat penginapannya.
***
"Selesai studinya dimana Mas." tiba-tiba ia bertanya perlahan lembut padaku dengan nada suara yang hampir tak terdengar olehku setelah sekian lama kami terdiam.
"Fisipol UNHAS." jawabku.
"Apa Mas kenal Apong?"
"Apong,.....?" tanyaku..
"Ya, katanya ia lepasan Fisipol UNHAS." lanjut Rini bertanya.
"Oh,.... telah Almarhum, teman kuliah dulu di Fisipol dan setelah selesai ia melamar menjadi Dosen dan diterima kemudian ia melanjutkan studinya ke Pasca Sarjana katanya di UNDIP Semarang sini, dan ketika ia pulang ke Ujung Pandang dalam rangka penelitian untuk penyusunan tesisnya, Apong mendapat kecelakaan lalu lintas, disana ia menemui ajalnya di tempat kejadian, itulah yang sempat kuingat peristiwanya." kataku haru sambil memandangi Rini yang sedang terisak menahan kepedihan hatinya, ia mencoba menyembunyikan kesedihannya itu namun ia tak mampu. Butiran-butiran air bening terus mengalir menggelinding membasahi pipinya, ia berusaha menguasai dirinya dengan mengusap air matanya dengan sapu tangan birunya yang ia kantongi selalu.
"Sudahlah Mbak, itu sudah suratan takdir dari Yang Maha Kuasa." bujukku menyabarkannya. Sementara Bus Malam Ramayana tak terasa oleh kami telah tiba di Terminal Purabaya Surabaya.
"Ini Perak Timur 154, Mas." teriak sopir angguna yang mengantarku pulang, menyadarkan dari lamunanku, sembari aku menyodorkan uang lembaran lima ribuan kepadanya.
"Terima kasih, Mas!" kataku sambil berlari masuk kepekarangan rumah tempat aku nginap.(*)

Makassar, 15 April 1994

Harian Fajar, 19 Mei 1994
Harian Radar Bulukumba, 10 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar