Rabu, 04 Mei 2011

24. BERBURU RINGGIT

Oleh : Hasbullah Said.-

HEMBUSAN angin malam pantai selat Makassar tak mampu mengusikku dari tanggul dermaga yang kududuki. Dermaga kecil tempat sandar perahu nelayan bila hendak dan habis melaut. Bila aku berada disini ada galau hati yang menancap. Teramat dalam. Bagai duri-duri merayap tersebar menyisakan benih luka membekas berwarna biru lebam. Mungkin sebentar nantinya akan tumbuh dan menjadi suatu kenangan kelabu buatku untuk selama-lamanya.
Pukul sepuluh malam. Dingin perlahan merayap mengelus ari tubuhku, dibalik jaket blue jeans yang kukenakan. Dihadapanku bentangan laut biru berselimut kabut malam yang kelam, diterangi kemerlap lampu nelayan yang tengah melaut mencari ikan. Pikiranku sibuk membuka lembaran masa laluku. Seperti jarum jam berputar terus tanpa henti, berjalan menuju masa duluku.
Hayalku mengembara terus ke alam yang entah apa namanya. Katakan saja alam hayal yang tak bertepi. Tiga tahun silam bukan waktu yang singkat. Kebosanan berlarut-larut dipenantian yang tak kunjung terwujud.
Ketika dulu bunga Boginville kutanam di halaman rumahku. Bunga yang sangat kusayangi, kini telah mulai meninggi menyembulkan dirinya merayap perlahan hendak menggapai permukaan kaca jendela kamarku. Aku amat senang dan sangat suka dengan bunga Boginville, bahkan begitu senangnya, aku sering melempar senyum padanya, bahkan sesekali menyapanya.
Ketika itu Ririn berjalan pelan santai memasuki ruang tamu, tanpa mengucap salam atau mengetuk pintu terlebih dahulu, berjalan sambil memandangi bunga Boginville berwarna ungu.
“Aku senang bunga Boginville Arie.” ujarnya sembari duduk diatas kursi tamu.
“Aku juga suka, dan senang sekali, bahkan aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi kamu.” aku bercanda sambil melempar senyum padanya.
Ririn membalas senyum masam padaku, sembari menatapku dengan isyarat tanda protes tak setuju atas pernyataanku : sayang boginville, sama seperti aku menyayangi kamu, walaupun nuraninya merasa senang mendapat sanjungan dariku.
“Ada apa Rin, kamu diam?” tanyaku.
“Aku tak suka hati yang mendua.” sahutnya spontan mengagetkan aku.
“Kamu cemburu?”
“Ya, tentu dong.”
“Selain kamu, siapa lagi diantara kita?” Ririn kembali diam, sekilas ia menoleh kearah taman memandangi bunga Boginville sedang bergoyang tertiup angin siang.
“Boginville, bunga itu!” sahutnya setelah sekian lama ia terdiam.
“Kenapa Boginville itu?” tanyaku lagi.
“Ia merebut cintaku.”
“Gila kamu kali.”
“Tidak ... !”
“Alasanmu?”
“Aku tak ingin seperti bunga boginville ketika sedang mekar, disanjung, dipuja, bahkan sangat disayangi dan dirawat dengan baik, setelah layu lalu gugur jatuh ke tanah, ia dicampakkan kemudian dibuang ke kali. Khawatir aku bernasib sial seperti itu.”
“Kamu salah pengertian dan itu hanya ilusimu terhadap bunga atau kembang, cinta kepada bunga sebatas hanya hobi atau kesukaan, sedangkan cintaku terhadapmu adalah cinta suci yang lahir dari nuraniku yang tulus ikhlas, kamu ngerti tohk Rin ...? Ririn sadar, ada rasa penyesalan lahir dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rasa haru datang menyelimutinya disertai dengan lelehan air mata menggelinding perlahan membasahi wajahnya.
“Aku ngerti dan paham Kak Arie!” sahutnya perlahan sembari menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.
Dialog itu masih segar dalam ingatanku sekalipun ditelan masa lalu yang bergulir terus tanpa henti.
Kedatangan Ririn berikutnya mohon restu padaku akan rencana keberangkatannya menuju Serawak Malaysia bersama beberapa teman wanita lainnya mencari kerja disana sebagai TKW. Barangan-angan mengumpul ringgit sebanyak-banyaknya lalu mudik ke kampung halamannya dengan membawa sejuta bahagia.
“Apa itu sudah keputusanmu Rin?” ujarku setelah sekian lama Ririn tertegun bisu menanti jawaban darinya.
“Ririn ... jawablah!” desakku sekali lagi.
“Ya ... sudah.” sahutnya dengan suara yang terbata-bata lalu ia menatapku dengan pandangan mata sayu.
“Lalu, kamu sudah pertimbangkan semasak-masaknya?” Ririn diam, ia tak kuasa menyahuti tanyaku yang menggembu dalam detik waktu yang singkat. Yang terpikirkan olehnya hanyalah tekatnya yang bulat untuk segera berangkat agar kelak kembali bisa merobah status sosialnya yang ia dambakan selalu.
Aku menoleh ke arah Boginville. Hatiku risau, sarat dengan buah pikiran yang kalut, walaupun bibirku tersungging senyum menatap bunga Boginville kesayanganku. Bukankah manusia punya hak untuk berupaya merobah nasibnya, dan itu adalah dambaan dan impian setiap manusia. Keputusan Ririn adalah hak asasinya, tak seorangpun yang dapat menghalang-halanginya ataupun merubahnya, termasuk aku.
“Selamat jalan Ririn!” begitu ujarku kupaksakan keluar dari bibirku sembari menjabat tangannya yang dingin bersentuhan dengan jemariku.
Tak habis pikir olehku, semua orang berhayal untuk merubah nasibnya yang lebih baik dari sekarang, walaupun harus dibayar mahal dengan harga diri dan martabat yang terinjak-injak, bahkan nyawa sekalipun, namun tak seorang merasa ada penyesalan dihatinya, bahkan mereka masih berkeinginan balik bekerja dengan satu tujuan mengumpul ringgit di Negeri Jiran.
Kepergian Ririn, suatu pukulan bathin yang amat menyiksa diriku. Selalu ada rasa was-was kecemasan menghantui pikiranku, mengingat banyaknya tenaga kerja Indonesia yang bermasalah diluar negeri. Ketidaksiapan tenaga kerja kita karena tidak memiliki bekal keterampilan yang dibutuhkan oleh para majikannya adalah pemicu penyebab utama terjadinya penyiksaan diluar batas pri kemanusiaan, juga ketidak jujuran sebagian PJTKI yang memanipulasi identitas diri tenaga kerja kita diluar negeri, membuat banyaknya TKI dipulangkan paksa karena tidak memiliki dokumen ke Imigrasian yang sah. Ribuan bahkan puluhan ribu dipulangkan secara paksa, dengan membawa pulang setumpuk oleh-oleh siksa lahir dan bathin. Sungguh menyedihkan. Dalam kesendirianku aku sering ngigau, bibirku ngelantur tak karuan memanggil-manggil nama Ririn ... !”
“Pulanglah ... Rin, janganlah engkau berlama-lama di Negeri Jiran, agar engkau tidak menuai banyak masalah. Menuai ringgit sebanyak-banyaknya yang engkau impikan, sebaliknya penderitaanlah yang engkau bawa pulang sebagai oleh-oleh buat keluargamu.” benarlah nyanyian lagu anak muda yang di populerkan oleh Didi Kempot. Kucoba-coba melempar manggis, manggis kulempar mangga kudapat, kucoba-coba melamar gadis, gadis kulamar janda kudapat.
“Percayalah ... Rin!”
Kupandangi foto Ririn terpajang diatas meja tulis dalam kamarku, kutatap lekat-lekat wajahnya yang sendu, seolah ia menatap kosong masa depannya yang suram. Sepertinya ada rasa penyesalan dihatinya yang ia pendam. Luka parah, tak tersembuhkan sekalipun dengan obat yang ampuh. Nasi sudah jadi bubur. Kontrak kerja selama tiga tahun terlanjur ia tanda tangani, tak mungkin ia tarik kembali atau membatalkannya, apalagi pulang ke kampung halamannya sebelum kontrak kerja berakhir, kecuali ia kabur dari majikannya, ...
***
Seruling kapal meraung-raung membelah jagat raya, pertanda sesaat lagi K.M. AGOA MAS akan sandar di dermaga pelabuhan Pare-Pare. Perlahan bergerak lamban menggapai bibir dermaga lalu berhenti dengan sempurna. Kapal sarat dengan penumpang dari Nunukan dan Balikpapan mengangkut para TKI berbaur dengan penumpang lainnya.
Dengan langkah tertatih-tatih ditopang oleh kruk penyanggah tubuhnya, Ririn berjalan menuruni anak tangga kapal dengan sangat hati-hati. Rintik hujan di bulan Nopember membasahi tubuhnya tak menghalangi langkahnya menuju pintu keluar pelabuhan. Trauma kepedihan hatinya selalu membayang-bayanginya kemana ia pergi.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ia tidak pernah menerima imbalan jasa dari majikannya sebagai pekerja pembantu rumah tangga. Panjar kerja telanjur diterima lebih awal oleh penyalur jasa yang mengirimnya dengan alasan biaya perjalanan dan pengurusan pasport. Ririn berusaha kabur dari majikannya namun selalu gagal, karena semua pintu-pintu menuju lift dan tangga turun terkunci rapat dan diawasi dengan ketat agar ia tak dapat meloloskan diri.
Suatu saat ketika rumah sedang kosong ditinggal pergi oleh majikannya Ririn berkesempatan kabur dengan satu-satunya jalan melompat dari atas lantai tiga apartemen tempat tinggalnya melalui jendela kamarnya.
Mujur baginya tubuhnya tersangkut diatas atap koridor lantai dua, hingga nyawanya masih dapat tertolong, sekalipun ia harus rela menanggung derita cacat seumur hidup, berjalan tertatih-tatih ditopang oleh kruk penyangga tubuhnya karena kakinya mengalami patah tulang.
Ririn berjalan perlahan memasuki pekarangan rumahnya disertai helaan nafas penyesalan sambil berujar, selamat tinggal Serawak yang menyiksa diriku lahir dan bathin.(*)

Makassar, 08 Desember 1994

Harian Pedoman Rakyat, 02 Januari 2005
Harian Radar Bulukumba, 15 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar