Rabu, 04 Mei 2011

25. BERHENTILAH MENULIS

Oleh : Hasbullah Said.-


DIAMBANG sore. Merah rona pucuk-pucuk pepohonan taman kota diterpa oleh mentari senja, perlahan lenyap dilumat oleh gelapnya malam. Dikeremangan seperti itu, tak mampu mengusikku dari atas bangku beton yang kududuki, karena kutahu pasti sebentar lagi lampu taman akan menyala terang.
Sebenarnya taman itu tidak seberapa luasnya. Namun nampak asri dan elok di pandang karena tertata apik ditumbuhi banyak pohon dengan aneka ragam kembang warna-warni. Ditempat ini mengundang banyak inspirasi buatku untuk menulis, dan menulis terus apa saja yang kuinginkan, karena didalam menulis kutemukan kepuasan bathinku tersendiri.
Banyak hal yang kutulis, kemerosotan moral bangsa ini, adalah prioritas utama dalam tulisanku karena sesuai bidang yang ditugaskan oleh media cetak kepadaku meliput tentang hukum dan kriminalitas serta segala bentuk penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh segelintir elit.
“Ah kamu terlalu berani menulis Udy!” tegur Ima disampingku memperingati aku.
“Siapa takut, realitanya kan memang demikian dan harus di publikasikan.” balasku sinis sambil menatap tajam wajahnya. Ada rasa khawatir tertangkup di hati Ima. Itu dapat kubaca lewat wajahnya yang muram.
Ia banyak pengalaman di peroleh ketika masih kuliah dulu. Ima adalah Aktivis mahasiswa di perguruan tinggi tempatnya kuliah, dikenal banyak oleh teman-teman seangkatannya karena ia vokal dan berani memprotes kebijakan Rektornya menaikkan biaya SPP yang dianggap tidak realistis, sehingga ia hampir saja dipecat sebagai mahasiswa. Pengalaman seperti itu tidak membuat ia jera atau menyesal, akan tetapi nyalinya terasa ciut juga dibuatnya.
“Udy, aku pinta kamu berhenti menulis.” ucapnya lagi dengan suara setengah berbisik.
“Eh, maumu apa Ima?” bentak aku sambil menatap kembali wajahnya lekat-lekat. Sesaat Ima melempar pandangannya ke atas menatap pucuk-pucuk flamboyan yang tengah berbunga warna merah saga, kemudian kembali berujar padaku.
“Sebenarnya engkau lebih pantas jadi TNI masuk AKABRI karena didukung oleh postur tubuhmu yang atletis.” begitu komentarnya sembari menatapku senyum.
“Lalu apa lagi alasanmu?”
“Dengan wajahmu yang tampan kamu akan lebih gagah memakai seragam tentara.” Ima berhenti sejenak berujar, lalu kembali menatap pucuk pepohonan yang kemilau diterpa cahaya lampu taman, kemudian ia lanjutkan kembali bicaranya padaku.
“Rugi kamu jadi wartawan.” demikian ujarnya dengan nada serius penuh harap. Jantungku berdetak keras, sesaat rona wajahku memerah bagaikan habis ditampar. Sebaliknya hatiku menghangat berbunga-bunga. Aku tak tahan mendapat pujian seperti itu. Wajahmu tampan bertubuh kekar tambah gagah bila kamu pakai seragam tentara, tidak pantas jadi wartawan.
Ah picik, suatu pandangan yang sangat keliru, wartawan atau jurnalis tidak harus berwajah tampan atau jelek, begitu bantahku dihati. Rupanya kami memang berbeda, kukenal Ima ia terlahir dan di besarkan dari lingkungan keluarga yang serba kecukupan jadi apa yang dikatakan penderitaan tidak pernah dilaluinya apalagi benturan-benturan yang susah nyaris tak pernah ia rasakan.
“Kukira kamu keliru menilai aku Ima.” ucapku lagi dengan nada kesal.
“Oh maaf, maafkan aku Udy, bila terlanjur kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu.” pintanya serius sembari mengulurkan tangannya padaku. Kusambut tangannya yang kurasakan sangat dingin bersentuhan dengan jari jemariku.
“Ima!” panggilku perlahan setengah berbisik padanya berusaha meluluhkan hatinya agar ia sadar.
Tapi Ima diam termangu, bisu bersama bisunya malam yang bergulir perlahan mendekati ambang larut.
Seminggu kemudian aku berkunjung kerumah Ima, dengan maksud akan kujelaskan kepadanya bahwa betapa pentingnya apa yang dikatakan jurnalis. Di era reformasi seperti saat sekarang ini sangat dibutuhkan wartawan yang mampu mentransformasikan berita akurat terpercaya dan dijamin kebenarannya. Setiba dirumahnya, kujumpai ibu Ima sedang menyiram bunga dihalaman, aku menyalaminya lalu menyapanya.
“Boleh aku ketemu Ima, Bu?”
“Eh, nak Udy, silahkan masuk!” pintanya sambil berjalan, mengantar aku kedalam ruang tamu.
“Ima baru saja tiga hari lalu ia pergi.” ujarnya sambil duduk bareng bersamaku diatas kursi tamu.
“Pergi kemana, Bu?” tanyaku lagi.
“Ke Johor Bharu Malaysia, katanya ikut bersama TKW untuk bekerja disana, dari pada tinggal dirumah tak punya kegiatan apa-apa, lebih baik berangkat mengadu nasib, agar bisa mandiri, begitu ucapnya ketika ia hendak pamit padaku.”
“Kenapa ibu tidak mencegahnya melarang ia pergi?” tanyaku gelisah sembari menatapnya. Sejenak perempuan itu diam. Seperti ada rasa penyesalan lahir tiba-tiba menyelimuti hatinya.
“Awalnya aku melarangnya pergi, tapi nak Udy kan tahu Ima itu orangnya keras. Padahal sekalipun tidak kerja apalagi pergi sejauh itu semua kebutuhan sehari-harinya sudah cukup, bahkan lebih dari cukup. Ayahnya sangat memperhatikannya, segala apa yang ia butuhkan pasti dipenuhinya, karena ia sangat dekat dengan ayahnya maklum ia anak satu-satunya perempuan dari tiga bersaudara.”
“Bu!” pangilku perlahan mohon perhatian serius darinya.
“Tahukah ibu, bahwa akhir-akhir ini Diraja Malaysia telah menurunkan puluhan ribu relawan untuk membantu Polisi Kerajaan menangkapi semua TKI baik legal lebih-lebih ilegal kemudian di penjarakan lalu dideportasi secara paksa kenegeri asalnya masing-masing.”
“Katanya hanya sekedar cari pengalaman nak Udy.” ujarnya memotong pembicaraanku.
“Pengalaman, bukannya pengalaman yang ia akan peroleh tetapi setumpuk sengsara dan penderitaan yang akan ia bawa pulang sebagai oleh-oleh untuknya.” begitu ujarku mengancam sembari bangkit berdiri mohon pamit padanya berlalu meninggalkan rumah Ima.
Hari-hari berlalu kemudian berganti. Aku jalani aktivitasku sebagai kuli tinta meliput segala peristiwa khusus hukum dan kriminalitas. Dari instansi atau kantor baik pemerintah maupun swasta semua kudatangi meminta keterangan dan meliput issu yang berkembang tentang maraknya korupsi dilakukan oleh pejabat tertentu, padahal semua pihak sudah sepakat untuk memerangi segala bentuk apa yang disebut korupsi.
Dari hasil liputanku di sebuah koran terpampang dengan tulisan huruf cetak tebal. Telah terjadi penyelewengan anggaran negara yang mengakibatkan kerugian negara sebesar ratusan juta rupiah. Pelakunya sementara diperiksa dan dimintai keterangan secara intensif oleh pihak yang berwajib.
Belakangan baru aku tahu berita yang aku tuliskan itu ternyata pelakunya adalah ayah Ima. Membaca berita tersebut, ibunya sangat terpukul atas kejadian ini, sehingga ia nyaris sters berat dibuatnya. Memilih lebih banyak tinggal diam di rumah dari pada keluar karena dia merasa malu terhadap orang-orang disekitarnya, terutama tetangganya yang terlanjur sangat hormat terhadap keluarganya.
Karena tidak tahan menerima tekanan akhirnya ia meninggalkan rumahnya dan pindah menempati rumah yang lebih sederhana di luar kota bersama kedua anak lelakinya, adik Ima.
Sungguh aku merasa bersalah telah menulis berita itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Lagi pula itu sudah menjadi tugasku di kantor.
Kata-kata Ima yang memintaku untuk berhenti menulis terngiang terus di telingaku. Aku bisa membayangkan betapa kemarahan Ima kepadaku. Ia pasti akan sangat benci dan tak mau lagi melihat wajahku. Aku juga kebingungan, aku belum tahu bagaimana jika nanti aku akan bertemu dengannya.
Beberapa bulan kemudian, Gelombang pemulangan TKI dari negeri Jiran Malaysia melalui pelabuhan Batam, Tanjung Priok dan Tanjung Perak Surabaya mulai berdatangan. Dari hari kehari jumlah deportan semakin bertambah banyak, ribuan bahkan puluhan ribu jumlahnya.
Hampir setiap kapal yang datang dari Malaysia membawa TKI/TKW sandar di pelabuhan Makassar selalu kuamati dan menunggu kedatangan Ima. Namun belum juga kutemukan. Kutanyakan pada penumpang yang turun akan tetapi tak ada yang mengenalnya.
Sampai suatu siang sebuah kapal berlabuh lagi di Makassar. Kulihat Ima berjalan tertatih-tatih menuruni anak tangga kapal bersama dengan deportan lainnya menuju tempat Posko sementara.
Karena kondisinya yang amat lemah akhirnya Ima jatuh pingsan, aku segera menghampirinya dan minta bantuan kepada petugas pelabuhan. Ima akhirnya dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan intensif.
Berhari-hari ia dirawat dirumah sakit itu menunggu kesembuhannya, sementara ayahnya mendekam dalam penjara merenungi nasibnya yang malang menunggu hari pembebasannya.
Ima tak mau menerima kehadiranku lagi, namun aku tetap menunggu meleburnya gunung es di dadanya dan padamnya amarah terhadapku. Yah, aku tetap sabar menunggu.(*)

Makassar, 13 November 2006

Harian Pedoman Rakyat, 14 Januari 2007
Harian Radar Bulukumba, 20 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar