Rabu, 04 Mei 2011

27. REPORTASE PERJALANAN

Oleh : Hasbullah Said.-


KIJANG Extra meluncur diatas aspal licin, menerobos kabut dingin pagi itu. Kaki-kaki langit berselimut kelam. Hitam sekali. Pertanda hujan sebentar lagi akan turun membasahi segala apa yang ada dibumi.
Angin berkesiur lewat jendela kaca mobil yang terbuka separuh. Dingin mengelus kulit ari tembus masuk ke tulang sum-sum, menghalau segala kehangatan para penumpangnya.
Mobil plat merah itu melaju terus tanpa henti, dan perlahan-lahan kota Anging Mamiri menghilang lenyap dari pandangan kami.
Kota Majene tempat tujuan masih sangat jauh yang akan ditempuh dalam tempoh kira-kira separuh hari. Perjalanan Dinas mewakili Koordinator dalam acara Wisuda Perdana STIE Majene sebentar malam nanti berlangsung. Tourne Perjalanan dinas seperti ini cukup melelahkan. Tapi asyik. Rekreasi melihat daerahnya orang, juga menghalau segala beban pikiran kalut yang mengganjal dihati atau menghapus seribu macam problem kerja hari-hari di kantor.
Pak Sekpel duduk paling depan di samping sopir. Hanis dan Ukie duduk di samping kiri kananku pada jok belakang. Kepala Ukie terpepet-pepet menyentuh bahuku terserang kantuk yang mendera-deranya. Menyusup disela-sela deru mesin mobil Kijang berbaur suara kucuran air langit lebat menerpa kap mobil. Laju mobil sedikit dikurangi, karena curahan air langit membasahi aspal sangat licin. Takut terjadi kecelakaan menimpa kami.
Hujan diluar semakin menggila. Seperti gilanya anak mahasiswa ketika beberapa waktu lalu mendemo kantor kami, menuntut Kopertis dibubarkan. Katanya ini Reformasi. Kelewat gila. Mereka tak terpikirkan berapa banyak anak manusia yang akan berhenti mengunyah, termasuk aku dan Ukie di sampingku, pegawai biasa yang hidup pas-pasan. Lebih dari itu, tidak. Tak sepertinya sebahagian pegawai instansi lainnya tukar-ganti kendaraan roda empat dalam waktu yang relatif singkat. Namun tak terlintas dihati dan tak akan pernah merasa iri atau kecewa. Kemampuanku hanya terbatas memiliki sebuah sepeda motor Suzuki bebek warna hijau daun, bikinan tahun 70-an, itupun sudah terpeot-peot dimakan usia.
Orang berduit bilang, naik sepeda motor menyiksa diri dari sengatan terik matahari, terpaan angin mengoyak dada, basah kuyup guyuran air hujan, kujawab dengan suara lirih, bila panas terik ada helem pelindung, terpaan angin dingin pakai jaket, guyuran air hujan pakai mantel. Seninya hidup, semua dapat diatur.
Tentunya naik sepeda motor jauh lebih baik ketimbang jalan kaki. Namun, semua itu kita syukuri apa adanya. Dunia ini ibarat panggung sandiwara, para pelakunya adalah manusia kini, menyuguhkan lakon yang penuh dengan kebohongan dan kepura-puraan kepada para penontonnya, ironisnya penontonnya ikut pula berpura-pura. Sungguh gila.
Dunia ini memang penuh kebohongan. Mereka tak sadar bahwa sesungguhnya masih ada panggung sandiwara yang lebih hebat di dunia lain, merekam segala apa yang pernah kita lakonkan dan penontonnya kita sendiri yang menyaksikannya tak ada orang lain. Lucu, seperti kayaknya bayangan kaca yang abstrak. Akh, perduli setan dengan lakon gila itu.
Rintik hujan menyelinap masuk lewat jendela kaca mobil yang sedikit terbuka, menyadarkan kami dari lelap tidur sedari tadi. Diatas mobil Ukie bersandar lurus duduk pada jok karet busa yang empuk, tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya. Entah mengapa. Tak tahu. Hanya dia sendiri yang tahu. Dugaan sementara terlintas mungkin dalam kelopak matanya bagaikan layar TV menyodorkan gambar-gambar yang nampak jelas terpampang di hadapannya. Peristiwa beberapa waktu lalu, dalam rangka peringatan Hardiknas, Pak Gubernur sempat menyematkan di dadanya, Lencana Setya Pengabdian 25 tahun sebagai PNS disertai sebuah map berisikan piagam penghargaan dari pemerintah Orde Baru. Suatu penghargaan tertinggi yang ia peroleh sejak ia menjadi PNS.
Ukie berjalan memasuki pekarangan rumahnya sepulang dari upacara dengan wajah yang berseri-seri sembari mengepit sebuah map yang bergambar burung GARUDA. Di depan pintu masuk ia berteriak “ Dapat piagam Ma ” Istri Ukie tak bergeming mendengar teriakannya. Baginya, piagam itu tak lebih dari selembar kertas biasa dari sekian banyak tumpukan kertas yang akan menjadi sarang laba-laba.
Harapannya, pegawai tauladan akan menjanjikan kehidupan yang lebih layak atau paling tidak ia membawa pulang segepok uang kenaikan gaji yang berlipat ganda sebagai penghargaan, agar tergusur dari kehidupannya yang begini-begini terus.
“Akh, penghargaan yang tak berharga?” begitu keluhnya sinis keluar terlontar dari mulut istri Ukie. Sialan,… kata Ukie sambil menghela nafas panjang sambil berlarian masuk ke kamar tidurnya. Semuanya adalah garis tangan yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, bukan tangan digaris, karena itu biasanya tidak akan kekal abadi. Kata Pak Sekpel bergurau. Segenggam harapan baru, angin segar bagi kami menatap masa depan yang lebih cerah, ketika pergantian Sekpel baru-baru ini sangat mengagetkan semua karyawan dan Dosen, karena untuk pertama kalinya orang dalam menduduki kursi nomor dua. Tentunya suka duka, senang susah telah dilaluinya bersama kami sejak bertahun-tahun lamanya sebagai karyawan di kantor kami.
Di sisi kiri jalan terdengar pohon kayu rubuh, diterjang angin badai. Air di kali mengalir mendesir sehabis hujan lebat, meninggalkan kesan menggumpal di dada, betapa berat tugas diemban sebagai Sekpel. Di kantor, segudang pekerjaan menanti, legalisasi ijazah menggunung setiap harinya harus ditandatangani yang tak dapat ditunda-tunda, ujian negara yang diserahkan ke PTS penyelenggaraannya masih sangat rumit, belum pertikaian antara pimpinan PTS dengan Yayasan yang harus di selesaikan dengan arif bijaksana oleh Koordinator bersama Sekpel. Akh, memang berat. Begitu keluhnya sambil menghela nafas panjang. Sementara kijang Extra melaju terus di atas aspal basah.
Hujan sedikit reda. Pinrang kota KOSPIN*) sudah dekat di hadapan kami. Sebuah lubang kecil menganga di badan jalan tak terelakkan oleh sang sopir membuat mobil oleng ke kiri. Hanis dan Ukie disampingku terjaga dari lelapnya. Ukie menggerutu sembari menggosok-gosok matanya.
“Kita sudah sampai dimana?” ia bertanya sambil menoleh kiri kanan, dilihatnya banyak pohon habis ditebang melintang disisi kiri kanan jalan. Perintang sebagai protes massa menghalangi kendaraan lewat menuju kota Pinrang. Kota mencekam mati. Seperti kota terlelap dari tidur panjang. Ini kerjanya pengunjuk rasa menuntut Kospin membayar kepada nasabahnya.
“Pelan-pelan pak Sopir.” teriak Hanis kru TVRI di sampingku, membidikkan kameranya merekam segala puing-puing kantor yang musnah habis terbakar diamuk massa. Akh, sungguh mengerikan. Ketus, Hanis Kru TVRI ikut serta bersama kami yang akan meliput segala kegiatan acara Wisuda STIE-Majene. Kijang menari-nari terus di atas aspal tanpa lelah, dengan perasaan legah kota Pinrang kami lewati.
Hari mendekati ambang senja. Dan dengan perlahan-lahan mobil kami memasuki kota Polmas yang tengah disibuki segala aktifitas kerja warganya. Kami singgah di Polmas menghadiri Acara Pelantikan Ketua STKIP dan STIP DDI Polmas. Hanya sebentar saja. Selepas Sholat Magrib, kami lanjutkan perjalanan menuju Majene. Dan pukul 19.00 lebih kami tiba di Majene dengan selamat. Majene kota damai, walaupun masyarakatnya ada yang terlibat Kospin namun tak separah kota Pinrang.
Acara Wisuda malam itu berjalan mulus. Di awal acara para undangan disuguhi tarian tradisional oleh gadis-gadis Mandar yang cantik-cantik. Dalam sambutan Pak Sekpel menekankan Kurikulum Nasional hendaknya dijabarkan dengan kurikulum lokal agar luaran anak didik kita dapat diserap oleh pasaran kerja. Diakhir sambutannya, gemuruh tepuk tangan aplous dari para undangan dan wisudawan yang hadir.
Acara wisuda malam itu berakhir sudah. Pada pagi harinya kami gunakan waktu jalan-jalan mengitari kota Majene yang tak seberapa luasnya. Dermaga pantai-
Majene membujur dari arah timur ke barat menambah indahnya kota.
Bentangan laut selat Makassar nampak bebas sepuas mata memandang ke tengah laut yang sedang dihiasi perahu nelayan sehabis menangkap ikan berlomba menuju ke pantai sepertinya takut tertangkap siang. Nelayan suku Mandar terkenal memang gagah berani mengarungi lautan luas.
Di atas tanggul dermaga kami duduk berhadap-hadapan diiringi hembusan angin pagi sepoi-sepoi basah. Deburan ombak menghempas kaki-kaki dermaga membuat suasana dipagi itu indah dan mengasyikkan. Terasa sangat indah ketika perahu nelayan hendak sandar berlabuh di kaki dermaga. Kamera Hanis kembali lagi beraksi merekam segala kegiatan rutin nelayan di pagi hari yang cerah.
“Dokumentasi TVRI dalam siaran pedesaan.” kata Hanis.
Setelah puas menikmati Panorama laut yang indah, kami tinggalkan kota Majene yang damai menuju kota Ujung Pandang.
Dalam perjalan pulang, dekat kecamatan Tinambung kami terhalang lewat oleh pesta adat yang sedang melintas di jalan. Begitu ramai sehingga banyak kendaraan terhenti berderet panjang kebelakang. Khatanan Al-Qur’an oleh dua gadis remaja berpakaian adat Mandar duduk di atas punggung kuda diiringi pukulan rebana yang bertalu-talu. Lama kami terhenti disitu menyaksikan acara pertunjukan rakyat gratis. Tak luput dari jepretan kamera Hanis untuk mengisi acara Lintas budaya di TVRI Stasiun Ujung Pandang. Ketiban rejeki,. tanpa bayar kita dapat disaksikan banyak orang dalam layar kaca bening. Kata gadis remaja mengulum senyum di atas punggung kuda, yang sedang menari-nari mencakar-cakarkan kakinya ke tanah, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya memakai jambul kembang berwarna-warni. Sungguh lucu dan mengasyikkan. Seumur hidupku baru kali ini aku menyaksikan kuda menari-nari. Pak Sekpel dan Ukie di sampingku tertawa geli melihatnya.
Mobil yang kami tumpangi kembali melaju di atas aspal hitam. Tak terasa kota Maros telah kami lewati. Lampu-lampu kota. nampak kerlap-kerlip dibelai gerimis malam. Tepat pukul 18.00 malam kami tiba dengan selamat di kota Ujung Pandang dimana tempat kami tinggal dan bekerja.
“Selamat malam, sampai jumpa besok.” kata pak Sekpel sambil berjalan masuk ke pekarangan rumah tempat kediamannya.

“Selamat malam pak.” balas kami serempak bersamaan.(*)


Makassar, 15 Maret 1999

Majalah Prospek Kopertis IX, 07 Mei 1999
Harian Radar Bulukumba, 05 April 2010


*) Kospin = Koperasi Simpan Pinjam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar