Rabu, 04 Mei 2011

28. BERAKHIRNYA SEBUAH LAKON

Oleh : Hasbullah Said.-


PANTAI LOSARI dengan keindahan senja yang memikat membiaskan cahaya kuning emas menerpa keatas permukaan laut. Desiran ombak berlarian menepis tepian dermaga, diiringi hembusan semilir  senja mengelus tubuhnya yang jangkung, namun Syarif tak bergeming  sedikitpun  dari duduknya di atas dermaga  pantai  itu. Tatapannya kosong ketengah laut yang sedang kekuning-kuningan diterpa oleh bias-bias mentari senja yang sebentar lagi masuk  ke peraduannya.
Senja  semakin indah dan menawan hati, dihiasi lapat-lapat  bunyi kelapak sayap burung camar berterbangan menyambar-nyambar ke atas permukaan  laut.  Dihati  Syarif  semua itu dianggapnya sebagai senandung duka lara yang tak punya arti apa-apa baginya. Helaan napas  panjang  mendesah berbaur suara  desiran  ombak  berlarian menepis tepian pantai menambah kegalauan hatinya yang gunda.
"Syarif,.......!” tegur seseorang memecah keheningan senja.
"Kamu  bikin apa sendirian disitu?” tanya Anwar,  temannya  sembari menyandarkan  sepeda Federalnya disudut dermaga. Syarif tersentak dari  lamunnya membuyarkan segala hayalnya. Anwar duduk  bersamanya diatas  dermaga itu sambil kedua-duanya menatap  ke laut  yang semakin  kelam.
 Sedari  dulu laut dan  hati  Syarif  telah  punya keserasian yang  tak ter- pisahkan dari hidup dan  penghidupannya sebagai  anak nelayan yang gagah berani mengarungi lautan luas. Namun hatinya di dalam kadang berontak ingin  merobah nasibnya yang lebih baik tanpa bersusah payah kelaut lepas dengan  resiko yang teramat berbahaya. Ingin menjadi pelaut nelayan gagah berani adalah  harapan dari kedua orang tuanya sebagai pewaris tunggal. Tapi  itu  hanya dulu ketika ia belum duduk di bangku kuliah seperti  sekarang  ini.
Semakin lama menatap  laut  semakin  pula hatinya  didalam berontak, menjerit pedih seolah hidupnya  turut dipermainkan oleh gelombang laut.
"Syarif,....jangan perturutkan emosimu bersama gelombang  laut.” lanjut Anwar menyadarkan Syarif.
"Tidak, laut dan hati ini telah menyatu, dan  punya  ceritera tersendiri  bagiku." jawab Syarif sambil melemparkan batu-batu kerikil ke bawah air laut yang membentuk lingkaran-lingkaran kecil hingga membesar kemudian hilang lenyap tanpa bekas. Anwar menatap wajah Syarif dengan penuh rasa simpatik sebagai seorang  sahabat karib. Dari balik wajahnya  terpencar  kepedihan hati  yang  amat dalam. Syarif kembali menerawang jauh ke tengah laut, dan dari kejauhan dilihatnya kerlap-kerlip lampu nelayan yang tengah mengadu nasib mencari ikan.
Semilir malam semakin dingin mengelus tubuhnya yang lesu, dan ia sepertinya tak mau menerima kenyataan ini, ketika  kemarin di kampusnya telah di bacakan yudisium hasil Ujian  Negara periode II tahun ini dan, ..... dan, ..... ternyata ia gagal lagi lulus  mata ujian Akuntansi Biaya, yang tinggal satu-satunya  itu ia ulangi selalu membuat hatinya kesal.
"Sialan,..... Dosen killer..... aku gagal lagi.” desis  Syarif dengan nada kecewa.
“Aku tak suka anak cengang.” kata Anwar.
“Gimana tidak cengeng kalau itu-itu saja diulangi terus, bosan,... bosan aku ikut ujian."
"Bukankah Syarif telah selesai di wisuda tahun lalu, perduli setan dengan mata ujianmu yang belum lulus-lulus itu."
"Betul, justru telah di wisudanya aku itulah yang menjadi ganjalan hatiku selama ini." katanya lirih.
Terbayang kembali olehnya ketika tahun silam sehabis di wisuda, kedua orang tuanya didesa membuat acara syukuran dengan mengundang seluruh kerabat keluarganya datang silih berganti menyalami  Syarif mengucap selamat atas berhasilnya meraih gelar Sarjana Ekonomi. Hal seperti ini di desanya merupakan suatu kebanggaan tersendiri di kalangan keluarganya.
"Aku malu pulang kampung, Anwar." lanjutnya.
"Kenapa  musti  malu, orang-orang desa kan tidak tahu  bahwa  kamu masih  status  peserta Ujian Negara, dan,....dan,.... merekapun tidak tahu pula apa yang dimaksud dengan sarjana lokal."
"Ya,.....tapi bukan aku malu dengan orang-orang di desaku,  hanya terhadap kedua orang tuaku yang telah bersusah payah membiayaiku lalu aku gagal lagi. Sudah berapa banyak dosa kuperbuat padanya dan  apa pula alasanku yang tepat  bilamana tiba waktu pembayaran ujian negara pada periode berikutnya, sandiwara dan lakon apalagi yang kulakukan hingga tidak ketahuan olehnya  bahwa aku masih peserta Ujian Negara, dan ia tahu pasti bahwa aku telah di  wisuda  sekalipun  keduanya tak pandai baca  tulis  namun ia mengerti bahwa wisuda itu adalah akhir mekanisme proses belajar mengajar pada perguruan tinggi. Sedih hati ini bila kuingat  pada Ujian Negara periode tahun silam, sapi betina piaraan orang tuaku yang satu-satunya itu terpaksa kami jual untuk menebus biaya SPP-ku serta biaya-biaya lainnya yang masih tertunggak. Aku telah bosan bersandiwara di depan kedua orang tuaku. Dan,.....dan,..... aku ingin mengakhiri sandiwara ini sampai disini, Anwar."
"Kuncinya sama Syarif juga, lanjut atau berhenti lakon sandiwaramu tergantung  dari kamu, dengan catatan kamu harus  bersungguh-­sungguh belajar."
"Belajar,.....ya belajar sih, tapi mau apa kalau nasib belum mau lulus." ujar  Syarif lirih, kemudian keduanya kembali diam membisu,  sedang  malam semakin larut.  Keduanya belum juga beranjak dari duduknya diatas dermaga itu masih terlihat aktif dalam pembicaraan yang serius.
“Sebaiknya begini Syarif.”kata Anwar meyakinkan sambil menatap wajahnya dengan tatapan penuh harap, kemudian ia lanjutkan bicaranya.
“Kembalilah  kedesamu dan dengan jujur kamu katakan kepada kedua orang tuamu serta semua kerabat keluargamu, bahwa aku belum berhak  memakai gelar Sarjana Ekonomi karena masih ada satu mata Ujian Negara yang belum aku lulusi, itu mungkin jalan terbaik yang  sejujurnya kamu katakan.” Syarif tertunduk sejenak lalu ia melempar pandangannya ke bawah air laut  yang sedang menjilat-jilat kaki-kaki dermaga.  Ia berusaha menyembunyikan  kepedihan  hatinya yang mengganjal namun ia tak kuasa dan dengan perlahan  diraihnya batu-batu  kerikil disekitarnya  kemudian dilemparkannya ke arah bawah laut  menimbulkan suara gemercik memecah keheningan malam.
"Aku  tak mau menyakiti hati kedua orang tuaku untuk kesekian kalinya, aku tak mampu melakukan hal itu, malu,.....malu, aku Anwar. Kecuali aku  bertekat belajar lebih tekun agar aku dapat berhasil  lulus dalam  Ujian  Negara pada periode yang akan  datang. Dan,....dan,.... kelak  bila  aku  lulus  sebagai  sarjana negara  dengan  segala ketulusan  hatiku  aku akan kembali membangun desaku yang  jauh tertinggal sebatas kemampuanku sebagai konpensasi  kegagalanku selama  ini,..... dan ini adalah pernyataanku  yang  lahir  dari lubuk hatiku yang paling dalam." begitu tekat Syarif dengan nada penuh harapan.
"Semoga  sobat,  itulah  yang kita harapkan  bersama  dan kukira sandiwara  yang  kamu lakoni pasti berakhir disini,  dan,.... aku dukung  tekatmu  itu  sebagai  seorang  patriot pemuda pelopor pembangunan  di pedesaan. Di kota ini bukan  satu-satunya tempat untuk memperoleh sukses ataupun prestasi, di pedesaan sekalipun dikaki  bukit  yang  terjal jauh  dipelosok  sukses senantiasa menunggu  kehadiran kita disana. Dan nantinya disana engkau  tak akan  menemukan lagi kegerahan udara kota yang membosankan dengan segala  macam problem hidup yang kompleks disertai dengan  polusi kota yang dapat mengancam kelestarian hidup kita. “ ujar Anwar memberi semangat.
“Sebaliknya  kau akan  temukan nanti keindahan alam lingkungan yang  bebas  polusi sebagai  suatu karunia kebesaran Ilahi disertai keramahan anak-­anak desa yang lugu lagi polos namun ia jujur. Tapi tidak berarti anak-anak kota berandal dan tidak jujur. Tidak  Syarif,.....tidak, ini  hanya realita yang aku temukan di pedesaaan ketika  aku KKN dulu. Kegalauan hatimu yang gunda akan hilang pupus ditelan oleh keindahan  alam  pedesaan diiringi alunan  seruling  bambu anak gembala ketika mentari hendak beranjak naik kepermukaan bumi atau sepulang  dari sawah ladangnya.” lanjutnya lagi.
“Ini pasti akan memberikan  kesan yang paling dalam untuk berbakti serta cinta tanah airmu dan  juga tanah  airku.  Dan pula bila kelak nanti kuliahku  usai  sebagai penyandang Sarjana Pertanian aku,..... aku akan menyusulmu ke desa sebagai panggilan darma baktiku sebagai seorang anak desa yang dibesarkan di kota, dan ini pasti akan kubuktikan,.....!" begitu pula tekat Anwar dengan nada bersemangat.
"Tapi janji ini,..... yee......!" kata Syarif mengingatkan.
"Semogalah,..... kita berdoa."
"Malam telah jauh larut, mari kita pulang nanti kamu sakit." pinta Anwar, sambil membimbing Syarif naik keatas boncengan sepeda Federalnya menelusuri jalan Penghubur pulang kerumahnya di keheningan malam yang dingin nan beku.(*)


Makassar, 05 Pebruari 1997

Tabloid Cerdas Kopertis IX, 05 Juni 2007
Harian Radar Bulukumba, 09 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar