Oleh : Hasbullah Said.-
PANTAI LOSARI dengan keindahan senja yang memikat membiaskan cahaya kuning emas menerpa keatas permukaan laut. Desiran ombak berlarian menepis tepian dermaga, diiringi hembusan semilir senja mengelus tubuhnya yang jangkung, namun Syarif tak bergeming sedikitpun dari duduknya di atas dermaga pantai itu. Tatapannya kosong ketengah laut yang sedang kekuning-kuningan diterpa oleh bias-bias mentari senja yang sebentar lagi masuk ke peraduannya.
Senja semakin indah dan menawan hati, dihiasi lapat-lapat bunyi kelapak sayap burung camar berterbangan menyambar-nyambar ke atas permukaan laut. Dihati Syarif semua itu dianggapnya sebagai senandung duka lara yang tak punya arti apa-apa baginya. Helaan napas panjang mendesah berbaur suara desiran ombak berlarian menepis tepian pantai menambah kegalauan hatinya yang gunda.
"Syarif,.......!” tegur seseorang memecah keheningan senja.
"Kamu bikin apa sendirian disitu?” tanya Anwar, temannya sembari menyandarkan sepeda Federalnya disudut dermaga. Syarif tersentak dari lamunnya membuyarkan segala hayalnya. Anwar duduk bersamanya diatas dermaga itu sambil kedua-duanya menatap ke laut yang semakin kelam.
Sedari dulu laut dan hati Syarif telah punya keserasian yang tak ter- pisahkan dari hidup dan penghidupannya sebagai anak nelayan yang gagah berani mengarungi lautan luas. Namun hatinya di dalam kadang berontak ingin merobah nasibnya yang lebih baik tanpa bersusah payah kelaut lepas dengan resiko yang teramat berbahaya. Ingin menjadi pelaut nelayan gagah berani adalah harapan dari kedua orang tuanya sebagai pewaris tunggal. Tapi itu hanya dulu ketika ia belum duduk di bangku kuliah seperti sekarang ini.
Semakin lama menatap laut semakin pula hatinya didalam berontak, menjerit pedih seolah hidupnya turut dipermainkan oleh gelombang laut.
"Syarif,....jangan perturutkan emosimu bersama gelombang laut.” lanjut Anwar menyadarkan Syarif.
"Tidak, laut dan hati ini telah menyatu, dan punya ceritera tersendiri bagiku." jawab Syarif sambil melemparkan batu-batu kerikil ke bawah air laut yang membentuk lingkaran-lingkaran kecil hingga membesar kemudian hilang lenyap tanpa bekas. Anwar menatap wajah Syarif dengan penuh rasa simpatik sebagai seorang sahabat karib. Dari balik wajahnya terpencar kepedihan hati yang amat dalam. Syarif kembali menerawang jauh ke tengah laut, dan dari kejauhan dilihatnya kerlap-kerlip lampu nelayan yang tengah mengadu nasib mencari ikan.
Semilir malam semakin dingin mengelus tubuhnya yang lesu, dan ia sepertinya tak mau menerima kenyataan ini, ketika kemarin di kampusnya telah di bacakan yudisium hasil Ujian Negara periode II tahun ini dan, ..... dan, ..... ternyata ia gagal lagi lulus mata ujian Akuntansi Biaya, yang tinggal satu-satunya itu ia ulangi selalu membuat hatinya kesal.
"Sialan,..... Dosen killer..... aku gagal lagi.” desis Syarif dengan nada kecewa.
“Aku tak suka anak cengang.” kata Anwar.
“Gimana tidak cengeng kalau itu-itu saja diulangi terus, bosan,... bosan aku ikut ujian."
"Bukankah Syarif telah selesai di wisuda tahun lalu, perduli setan dengan mata ujianmu yang belum lulus-lulus itu."
"Betul, justru telah di wisudanya aku itulah yang menjadi ganjalan hatiku selama ini." katanya lirih.
Terbayang kembali olehnya ketika tahun silam sehabis di wisuda, kedua orang tuanya didesa membuat acara syukuran dengan mengundang seluruh kerabat keluarganya datang silih berganti menyalami Syarif mengucap selamat atas berhasilnya meraih gelar Sarjana Ekonomi. Hal seperti ini di desanya merupakan suatu kebanggaan tersendiri di kalangan keluarganya.
"Aku malu pulang kampung, Anwar." lanjutnya.
"Kenapa musti malu, orang-orang desa kan tidak tahu bahwa kamu masih status peserta Ujian Negara, dan,....dan,.... merekapun tidak tahu pula apa yang dimaksud dengan sarjana lokal."
"Ya,.....tapi bukan aku malu dengan orang-orang di desaku, hanya terhadap kedua orang tuaku yang telah bersusah payah membiayaiku lalu aku gagal lagi. Sudah berapa banyak dosa kuperbuat padanya dan apa pula alasanku yang tepat bilamana tiba waktu pembayaran ujian negara pada periode berikutnya, sandiwara dan lakon apalagi yang kulakukan hingga tidak ketahuan olehnya bahwa aku masih peserta Ujian Negara, dan ia tahu pasti bahwa aku telah di wisuda sekalipun keduanya tak pandai baca tulis namun ia mengerti bahwa wisuda itu adalah akhir mekanisme proses belajar mengajar pada perguruan tinggi. Sedih hati ini bila kuingat pada Ujian Negara periode tahun silam, sapi betina piaraan orang tuaku yang satu-satunya itu terpaksa kami jual untuk menebus biaya SPP-ku serta biaya-biaya lainnya yang masih tertunggak. Aku telah bosan bersandiwara di depan kedua orang tuaku. Dan,.....dan,..... aku ingin mengakhiri sandiwara ini sampai disini, Anwar."
"Kuncinya sama Syarif juga, lanjut atau berhenti lakon sandiwaramu tergantung dari kamu, dengan catatan kamu harus bersungguh-sungguh belajar."
"Belajar,.....ya belajar sih, tapi mau apa kalau nasib belum mau lulus." ujar Syarif lirih, kemudian keduanya kembali diam membisu, sedang malam semakin larut. Keduanya belum juga beranjak dari duduknya diatas dermaga itu masih terlihat aktif dalam pembicaraan yang serius.
“Sebaiknya begini Syarif.”kata Anwar meyakinkan sambil menatap wajahnya dengan tatapan penuh harap, kemudian ia lanjutkan bicaranya.
“Kembalilah kedesamu dan dengan jujur kamu katakan kepada kedua orang tuamu serta semua kerabat keluargamu, bahwa aku belum berhak memakai gelar Sarjana Ekonomi karena masih ada satu mata Ujian Negara yang belum aku lulusi, itu mungkin jalan terbaik yang sejujurnya kamu katakan.” Syarif tertunduk sejenak lalu ia melempar pandangannya ke bawah air laut yang sedang menjilat-jilat kaki-kaki dermaga. Ia berusaha menyembunyikan kepedihan hatinya yang mengganjal namun ia tak kuasa dan dengan perlahan diraihnya batu-batu kerikil disekitarnya kemudian dilemparkannya ke arah bawah laut menimbulkan suara gemercik memecah keheningan malam.
"Aku tak mau menyakiti hati kedua orang tuaku untuk kesekian kalinya, aku tak mampu melakukan hal itu, malu,.....malu, aku Anwar. Kecuali aku bertekat belajar lebih tekun agar aku dapat berhasil lulus dalam Ujian Negara pada periode yang akan datang. Dan,....dan,.... kelak bila aku lulus sebagai sarjana negara dengan segala ketulusan hatiku aku akan kembali membangun desaku yang jauh tertinggal sebatas kemampuanku sebagai konpensasi kegagalanku selama ini,..... dan ini adalah pernyataanku yang lahir dari lubuk hatiku yang paling dalam." begitu tekat Syarif dengan nada penuh harapan.
"Semoga sobat, itulah yang kita harapkan bersama dan kukira sandiwara yang kamu lakoni pasti berakhir disini, dan,.... aku dukung tekatmu itu sebagai seorang patriot pemuda pelopor pembangunan di pedesaan. Di kota ini bukan satu-satunya tempat untuk memperoleh sukses ataupun prestasi, di pedesaan sekalipun dikaki bukit yang terjal jauh dipelosok sukses senantiasa menunggu kehadiran kita disana. Dan nantinya disana engkau tak akan menemukan lagi kegerahan udara kota yang membosankan dengan segala macam problem hidup yang kompleks disertai dengan polusi kota yang dapat mengancam kelestarian hidup kita. “ ujar Anwar memberi semangat.
“Sebaliknya kau akan temukan nanti keindahan alam lingkungan yang bebas polusi sebagai suatu karunia kebesaran Ilahi disertai keramahan anak-anak desa yang lugu lagi polos namun ia jujur. Tapi tidak berarti anak-anak kota berandal dan tidak jujur. Tidak Syarif,.....tidak, ini hanya realita yang aku temukan di pedesaaan ketika aku KKN dulu. Kegalauan hatimu yang gunda akan hilang pupus ditelan oleh keindahan alam pedesaan diiringi alunan seruling bambu anak gembala ketika mentari hendak beranjak naik kepermukaan bumi atau sepulang dari sawah ladangnya.” lanjutnya lagi.
“Ini pasti akan memberikan kesan yang paling dalam untuk berbakti serta cinta tanah airmu dan juga tanah airku. Dan pula bila kelak nanti kuliahku usai sebagai penyandang Sarjana Pertanian aku,..... aku akan menyusulmu ke desa sebagai panggilan darma baktiku sebagai seorang anak desa yang dibesarkan di kota, dan ini pasti akan kubuktikan,.....!" begitu pula tekat Anwar dengan nada bersemangat.
"Tapi janji ini,..... yee......!" kata Syarif mengingatkan.
"Semogalah,..... kita berdoa."
"Malam telah jauh larut, mari kita pulang nanti kamu sakit." pinta Anwar, sambil membimbing Syarif naik keatas boncengan sepeda Federalnya menelusuri jalan Penghubur pulang kerumahnya di keheningan malam yang dingin nan beku.(*)
Makassar, 05 Pebruari 1997
Tabloid Cerdas Kopertis IX, 05 Juni 2007
Harian Radar Bulukumba, 09 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar