Rabu, 04 Mei 2011

29. HADIAH ULANG TAHUN ANAKKU

Oleh : Hasbullah Said.-

SENJA nan damai dengan cuaca yang cerah, dihiasi langit kuning kemerah-merahan diufuk barat diterpa oleh mentari senja yang sebentar lagi bergulir jatuh masuk keperaduannya. Semilir senja berhembus manja, perlahan sekali tapi lembut. Mungkin karena hujan tak lama lagi akan jatuh membasahi seluruh permukaan bumi ini.
Dari kejauhan terdengar suara adzan maghrib dari menara masjid memanggil orang-orang ingat kepada-Nya. Dari balik celah pepohonan rembulan malam mengintip seolah senyum manis menatap alam ini. Purnama malam memancarkan cahayanya terasa sangat indah oleh anak itu yang sedang duduk diatas balai-balai bernaung di bawah pohon ketapang rindang tumbuh dihalaman rumahnya.
“Duh, betapa indahnya malam ini." desis anak itu sendirian seperti orang yang sedang mengigau. Tatapannya kosong, menerawang jauh ke alam khayal yang tak bertepi.
Tak seperi orang-orang yang berada di sekitarnya, mereka berkecukupan malah berkelebihan penuh bahagia, gelak tawa serta canda anak-anak sebayanya bermain dengan girang tanpa beban dalam belaian kasih sayang kedua orang tuanya. Sedikitpun dihatinya tak terlintas dan tak akan pernah merasa iri ataupun dengki terhadap mereka yang bernasib untung. Ia bersumpah, Demi Tuhan .........! hanya satu tanya dalam hatinya yang sulit ia jawab selama ini.
"Kenapa aku tak berayah, dan kemana perginya." gumam anak itu dalam hatinya. Ia merindukan belaian kasih sayang ayahnya tempat ia mengadu dan bermanja-manja seperti anak-anak sebayanya.
"Riza,.....!” tiba-tiba terdengar olehnya suara mamanya memanggil dari dalam rumah. Anak itu tersentak dari lamunannya membuyarkan segala khayalnya.
"Masuklah anakku, hari sudah malam nanti kamu sakit kena angin malam." sekali lagi perempuan itu memanggil Riza masuk ke dalam rumah.
"Ya, Ma." jawab Riza sembari beranjak berdiri dari duduknya berjalan perlahan masuk ke rumahnya yang sangat sederhana. Malam itu Riza tengah diliputi perasaan galau, mencari-cari kenapa hatinya di dalam tiba-tiba kalut, kepalanya pening matanya nanar kesana-kemari, sehingga PR yang diberikan oleh gurunya tadi siang di sekolah sedianya dikerjakan malam ini terpaksa ia tunda.
"Riza, kulihat malam ini engkau tidak belajar anakku?" tanya perempuan itu kepada anaknya dengan suara datar memecah keheningan malam.
"Belajarlah dengan baik anakku, agar engkau menjadi anak yang berbakti pada Nusa dan Bangsa seperti ayahmu.” kata perempuan itu dengan suara serak sambil memasukkan sayur-sayurannya ke dalam keranjang yang akan dijualnya ke pasar nanti esok harinya.
Riza anak tunggal semata wayang belaian kasih sayang tumpuan harapannya seorang di masa mendatang. Ia sangat mengharapkan agar kelak nanti menjadi anak yang berguna terhadap Nusa dan Bangsa. Riza tertunduk diam, lama tak menyahut, ia berpikir keberadaannya sebagai anak tunggal penerus cita-cita orang tuanya hidup berdua dalam gubuknya yang sangat sederhana bersama mamanya tanpa siapa-siapa. Sepulang dari sekolah sehabis mengaji di surau, anak itu rajin membantu mamaknya mengemasi jualannya yang hendak di bawa ke pasar pada pagi harinya. Tiba-tiba anak itu teringat akan ulang tahunnya pada bulan. Nopember.
"Ma, besok ulang tahun Riza." anak itu setengah berteriak mengingatkan mamanya memecah keheningan malam.
"Oh, ya betul anakku." jawab perempuan itu, kemudian melanjutkan bicaranya.
"10 Nopember Ulang Tahunmu bertepatan hari pahlawan, itulah sebab namamu saya tambahkan Pahlawan yang lengkapnya RIZA PAHLAWAN ABADI sebagai peringatan kepada mendiang almarhum ayahmu, sayang tak ada hadiah buatmu di ulang tahunmu kali ini, anakku."
"Tak apalah Ma, tapi kan mama pernah janji mau cerita tentang pahlawan, di hari ulang tahunku." kata anak itu mengingatkan mamanya. Sejenak perempuan itu tertunduk diam. Ditatapnya wajah anaknya dalam-dalam dengan pandangan mata sayu. Binar mata perempuan itu berkaca-kaca. Benturan matanya sekilas dialihkan keluar jendela pada kegelapan malam yang dingin.
"Baiklah anakku, saya akan bercerita tetapi engkau lebih dahulu berjanji akan belajar bersungguh-sungguh." pinta perempuan itu kepada anaknya dengan suara penuh harap.
"Riza janji Ma." jawab anak itu dengan penuh kesungguhan sambil bergeser mendekati mamaknya duduk diatas tikar pandan yang ia gelar selalu setiap malam sehabis shalat maghrib.
"Begini." kata perempuan itu memulai bicaranya.
“Pahlawan adalah orang yang berjasa membela tanah air hingga tetesan darah penghabisan dari tangan penjajah termasuk ayahmu pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan membela tanah air kita yang tercinta dari belenggu tangan penjajah kolonial Belanda.”
"Ayahku gugur Ma?" sela anak itu bertanya setelah ayahnya disebut gugur.
"Ya, ia gugur sebagai pahlawan Kusuma Bangsa."
"Apa itu gugur Ma?" kembali anak itu bertanya ingin tahu.
"Mati terbunuh dalam perjuangan membela tanah air kita." jawab perempuan itu sembari menyeka air matanya yang meleleh diwajahnya. Ia berusaha untuk menyembunyikan segala kepedihan hatinya agar anak itu tidak ikut terbawa oleh arus emosi yang memilukan.
Perempuan itu sejenak tertunduk diam, dipusatkan ingatannya pada beberapa tahun silam, yang sangat mengoyak-ngoyak relung hatinya. Ditatapnya sekali lagi wajah anaknya yang tengah asyik mendengar ceritanya. Tak kuasa ia menatap lebih lama wajah anaknya yang belum mengerti apa-apa.
“Teruskan, Ma!” desak Riza kepada perempuan itu. Perlahan ia menyeka air matanya yang tak terbendung dengan ujung-ujung sarung plekatnya yamg ia pakai.
kemudian ia melanjutkan bicaranya.
"Ketika itu, anakku belum lahir di muka bumi ini di saat peristiwa itu terjadi, engkau masih berada dalam kandungan, lima bulan, jadi semua peristiwa itu tak sempat anakku saksikan. Perempuan itu tertegun sejenak, ia menahan air ludah di tenggorokannya sambil menengadahkan wajahnya ke atas langit-langit rumahnya. Dimalam itu, kampung halaman kita diporak-porandakan oleh sepasukan serdadu Belanda kemudian rumah-rumah penduduk Desa yang tak berdosa dibakar dibumi hanguskan hingga rata-tanah. Alasannya bahwa desa kita ini terdapat beberapa orang gerilyawan penentang penjajah Belanda yang sering keluar masuk desa mengadakan pertemuan gelap mempengaruhi semua penduduk desa untuk mengadakan pemberontakan melawan pemerintah Belanda. Organisasi gerilyawan itu dikenal dengan Lasykar Pemberontak Turatea, ..... disingkat LAPTUR. Termasuk nama ayahmu salah seorang penggeraknya yang sangat disegani dengan tugas sebagai Koordinator Logistik keluar masuk hutan mensuplai bahan makanan kepada gerilyawan. Suatu malam anggota Lasykar mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh Ketua LAPTUR "B" sektor selatan pada tempat yang sangat dirahasiakan oleh mereka, dan diputuskan dalam pertemuan itu akan mengadakan sabotase besar-besaran terhadap tempat-tempat Vital umum bagi serdadu Belanda seperti hubungan komunikasi antara kota-kota besar di Sulawesi Selatan. Jembatan bagian utara dan selatan yang menghubungkan Makassar sebagai kota pusat pemerintahan Belanda pada waktu itu, akan dihancurkan sebagai perioritas utama. Biar, serdadu Belanda kelabakan tidak akan berhubungan lagi dengan orang-orang yang berada di daerah lainnya. Akan tetapi celakanya, belum sempat rencana itu terwujud keburu serdadu Belanda tahu rencana mereka, sehingga dari pihak Belanda secepatnya mengadakan Operasi dari Desa ke Desa yang diberi sandi Operasi Bumi Hangus.”
“Malam itu anakku,......” suara perempuan itu sejenak terputus, tak dapat ia teruskan. Lama ia tertunduk diam. Tak mampu ia lanjutkan ceritanya. Tetes-tetes air mata bening perlahan jatuh mengucur membasahi wajahnya yang nampak keriput di makan usia yang semakin tua.
"Lanjutkan, kenapa Mama menangis?" desak anak itu tak sabar. Perempuan itu melanjutkan lagi bicaranya.
“Sepasukan Serdadu Belanda setingkat Kompi mendatangi desa kita memanggil-manggil semua penduduknya turun dari atas rumah panggung, kemudian satu-persatu dimintai keterangan apa kenal baik atau mengetahui tempatnya nama-nama orang yang ia sebut dari daftar nama yang mereka bawa. Dari sekian banyak penduduk desa, tak satupun yang menyahut atau memberi keterangan, semua menjawab, "Tak tahu Tuan." Serdadu Belanda itu nampak garang dan bengis.
"Semua akan saya tembak kamu." demikian ancamnya dengan suara lantang menggema dimalam itu. Sialnya, malam itu kebetulan ayahmu bermalam dirumah yang sebelumnya ia sering berpidah-pindah tempat membawa bahan makanan untuk kebutuhan para gerilyawan LAPTUR yang tersebar dibeberapa tempat.
Serentetan suara tembakan terdengar gemuruh memecah keheningan malam, bertepatan suara pekikan dari seseorang lelaki mengucapkan,” Merdeka..... Merdeka!”
Lelaki itu adalah ayahmu anakku, betapa tidak tentunya serdadu Belanda akan bertambah marah. "Perdomest,.....estrimist itu!" kata seorang lelaki serdadu Belanda yang berbadan kekar tinggi lagi putih memakai seragam hijau loreng -loreng.
“Tangkap dia, bawa kemari!" begitu suaranya lantang yang sempat saya dengar, dan dari balik celah dinding kulihat ayahmu diseret, ditendang, dipopor, dengan tangan terikat tanpa perikemanusiaan, ia dilempar naik ke atas mobil truk lalu ia dibawa ke suatu tempat yang tak tahu kemana arahnya bersama beberapa orang lelaki penduduk lainnya. Ayahmu ketika ia pamit denganku, sempat ia memelukku sembari membisikkan ketelingaku.” Perjuangan tak akan pernah habis,........ teruskan perjuangan ini, Merdeka,.......!" begitu pekiknya terakhir mengepalkan tinjunya ke atas. Kusambut dengan suara berbisik "Merdeka........!” “Selamat berjuang" kataku pasrah melepasnya ia pergi dan pergi untuk selama-lamanya...............
Sesaat kemudian dari kejauhan terdengar lagi serentetan suara tembakan beruntun, serta merta diiringi kobaran api yang menyala-nyala melalap semua apa yang ada, termasuk rumah-rumah penduduk desa yang tak berdosa membuat kami panik berhamburan menyelamatkan diri masing-masing mencari perlindungan ke dalam semak belukar di bawah pohon rindang.
Pada keesokan harinya kulihat rumah-rumah kami telah habis musnah terbakar rata tanah tinggal puing-puing berserakan. Betapa hati ini didalam menjerit pedih, anakku.
"Jahat Belanda ya, Ma." tukas anak itu memotong pembicaraan perempuan itu.
"Ya, jahat lagi kejam anakku." sahut mamanya dengan nada haru.
“Ketika rumah tempat tinggal penduduk desa telah habis musnah dibakar kami tinggal bernaung di bawah pepohonan di antara semak belukar agar terlindung dari intaian Serdadu Belanda, tidur beralaskan ilalang kering, beratapkan langit biru, disinari kerlap-kerlip bintang di alam bebas terbuka. Betapa pedih penderitaan yang kami alami pada saat itu anakku. Sayang engkau tak sempat saksikan semua peristiwa itu.
Sesudahnya, pada hari berikutnya terdengar berita bahwa ayahmu mati tertembak oleh keganasan Serdadu Belanda beserta beberapa orang gerilyawan seperjuangannya yang tergabung dalam organisasi LAPTUR, gugur bersamanya.”
"Sungguh, kejam...... dan keji Serdadu Belanda." umpat perempuan itu mengakhiri ceritanya.
“Hanya itulah yang sempat saya ingat anakku, dan inilah pula hadiah untukmu di hari ulang tahunmu, karena tak ada sesuatu yang dapat saya berikan kepadamu sebagai hadiah.”
"Terima kasih Ma." jawab Riza dengan nada sedih sambil berbaring di atas tikar daun pandan. Diluar angin malam terdengar berkesiur menerpa pucuk-pucuk ketapang rindang membuat daunnya yang kering gugur berhamburan berserakan. Malam perlahan menggamit ke ambang larut, dan anak itu mulai terkantuk-kantuk sehabis dibuai kisah sedih."
Malam telah jauh larut anakku, tidurlah buyungku, tidurlah sayangku." pinta perempuan itu sembari menelungkup mencium kening anaknya yang telah mulai ter-

lelap dari tidurnya jelang pagi hari yang cerah.(*)


Makassar, 12 Oktober 1965

Tabloid Lontara Kodam XIV/HN, 05 Nopember 1965
Harian Radar Bulukumba, 24 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar