Rabu, 04 Mei 2011

30. KETIKA AYAH TAK LAGI MELAUT

Oleh : Hasbullah Said.-

KUPU-KUPU cantik bersayap warna-warni itu, dulu, selalu hinggap bertengger berayun-ayun di atas ujung rumput ilalang, tepat depan jendela kamarku. Kala pagi menyapa disaat embun masih nampak bergelantungan di ujung pucuk dedaunan hijau.
Matahari lamban bangkit menyapu embun yang belum juga kering. Jendela rumah barulah terkuak perlahan mengembang lebar. Menjemput siang temaram menyapa bunga-bunga membuka kelopaknya. Aroma harum tanah perlahan hilang tersapu mentari yang kian meninggi.
Matahari tak ubahnya seperti pagi kemarin. Saat itu aku memandangi desaku yang aman tenteram. Aku sangat mencintainya. Desa berpantai landai, pasir putih kemilau diterpa mentari perlahan naik. Gemuruh ombak menepis tepian, berpagar sejuta nyiur melambai, menyimpan pesona alam menggoda hati. Alangkah indahnya, berpayung hijau dedaunan rimbun.
Langit biru terang, hamparan laut berdebur ombak berjuta jenis ikan. Desah angin lembut tenang, membelai daun nyiur meliuk-liuk kayak penari klassik dikagumi orang. Kian aku mendekati tepian jendela kamarku, agar lebih bebas mataku menatap keindahan desaku dari semua arah. Dan kupu-kupu cantik indah bersayap warna-warni itu, membuat aku kian gemas, aku ingin meraihnya.
Aku mendesah karena tak mampu menyentuhnya, apalagi meraihnya, sekalipun jinak namun tak pernah tertangkap olehku. Lalu dia lari kedalam semak belukar bersembunyi karena takut diusik-usik selalu tangan jahil.
Aku tercenung sejenak, memandangi pohon nyiur melambai tumbuh berderet panjang diseputar pantai desaku, mengibas-ngibaskan daunnya tertiup angin laut. Entah, siapa gerangan berbaik hati menanamnya. Begitu banyak tak terhitung jumlahnya. Aku merajut ingin tahu, menemui bundaku yang sedang duduk diberanda rumah panggung menyirat jaring penangkap ikan milik ayahku, terkoyak tersangkut di batu karang. Kutanyakan :
“Siapa yang menanam pohon kelapa begitu banyak bunda?” ucapku sambil menunjuk kearah pantai tempat gerombolan nyiur berdiri kokoh.
“Itu tumbuhan liar anakku.“ sahut bundaku apa adanya.
“Ah mana mungkin bunda!“ kataku kurang yakin.
“Entahlah ….. dan memang sudah begitu anakku, karena sejak bunda lahir, pohon kelapa sebanyak itu sudah lama ada, dan pertanyaan serupa pernah pula bunda ajukan pada ayahku, yaitu kakekmu dulu, dan jawabannya persis sama dengan ucapan bunda, tumbuhan liar, …..”
“Tapi, bunda, aku ingin tahu siapa gerangan pemilik sebenarnya?” tanyaku lagi tersekat sambil menatap wajahnya.
“Milik bersama.“
“Kenapa demikian, bunda?” desakku lagi. Kupandangi wajahnya yang menyimpan sejuta tanya. Lalu aku menunduk diam. Lama baru aku mengangkat tatapanku. Dia tersenyum menatapku, lalu bicara padaku dengan suara tertahan ditenggorokannya.
“Konon, dahulu kala anakku, seorang saudagar Bugis hendak berlayar berniaga buah kelapa ke Semenanjung Melaka melalui selat ini, dengan perahu phinisi yang ditumpanginya karam ditenggelamkan oleh serdadu Belanda yang sedang berpatroli mengawasi perairan laut selatan. Buah kelapa berhamburan dihempas ombak terbawa air pasang naik ke bibir pantai, akhirnya tumbuh begitu saja disepanjang pantai jazirah selatan pulau ini. Itu penuturan kuperoleh dari ayahku dulu, katanya iapun diceritakan oleh ayahnya yaitu kakek bunda.“
“Ah, serdadu keparat, jahanam menyengsarakan rakyat.“ begitu umpatku menggerutu. bundaku diam lagi. Lalu menatap laut dibalik kelopak matanya yang mulai rabun. Angin berhembus dari arah timur melahirkan riak-riak kecil keperakan tertimpa matahari siang.
“Kalau cuaca bagus ayah melaut lagi, biar banyak tangkapannya lalu kita jual.“ ucap bundaku mengalihkan pembicaraannya, kemudian ia lanjutkan.
“ Kita butuh persiapan biaya banyak bila musim hujan tiba.”
Musim hujan sering disebut musim barat, nelayan lebih banyak istirahat tidak melaut, karena takut dihantam badai gelombang yang sewaktu-waktu mengancam keselamatan jiwa para nelayan. Dan kalaupun persiapan bahan bakar solar cukup untuk melaut.
Akhir-akhir ini bahan bakar minyak sangat langka dan sulit diperoleh. Kelangkaan itu terjadi akibat lambatnya dan berkurangnya pasokan dari agen Pertamina. Nelayan lebih banyak memilih istirahat menambatkan kapalnya di dermaga dari pada melaut, karena hasil tangkapan yang diperoleh tak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan. Terpaksa mereka banyak mencari pekerjaan alternatif, sambil menunggu normalnya kembali harga bahan bakar minyak jenis solar dari Pertamina.
Senja hampir berlalu, menyisakan bayang-bayang merah di atas bentangan laut lepas. Gelap mulai perlahan menjemput malam yang kian mendekat. Langitpun berkerajap bagai sebuah hamparan hampa. Tak ada cahaya. Sesaat lagi mentari hilang digantikan oleh puluhan bahkan ratusan lampu-lampu perahu nelayan yang sedang sibuk menangkap ikan di laut.
Dikejauhan kerlap-kerlip timbul tenggelam dibuai ombak, bagai kunang-kunang di semak belukar bertebaran tertelan oleh gelapnya malam.
“Sudah pasti ayah tak melaut ini malam.“ kata ayah ketika kami sedang istirahat melepas lelah diberanda rumah sehabis sholat Mahgrib.
“Kenapa ayah?“
“Persediaan solar hanya mampu untuk separuh perjalanan saja.“
“Lalu apa anakda, perlu bantu.“
Ayah tersenyum menatapku. Merasa bangga mendapat anak yang mau berbagi rasa dalam kesulitan.
“Terima kasih anakku, bantu saja bundamu memperbaiki jaring ayah yang koyak sambil menunggu pasokan bahan bakar solar dari pengkalan minyak.” kata ayah masygul sembari menatapku lekat.
Kelangkaan bahan bakar minyak hampir merata diseluruh kota-kota besar di tanah air, tak terkecuali di pelosok pedesaan seperti di sini, sangat sulit memperoleh bahan bakar minyak jenis solar dan minyak tanah. Untuk mendapatkan lima sampai sepuluh liter, harus rela antri berjam-jam lamanya di pangkalan minyak, bahkan sama sekali tak kebagian karena terbatasnya pasokan dari agen.
Malam perlahan lamban menuju titik larutnya. Hening. Sunyi senyap desaku dimalam hari. Tak terdengar lagi nyanyian hewan malam yang telah bungkam dibalik rongga bebatuan. Ini malam tak seperti malam-malam biasanya. Suara lolongan anjing riuh bersahutan disekitar perkampungan menggidik bulu roma. Suasana seperti itu jarang terjadi, dan menurut penuturan orang-orang tua bila hal demikian itu suatu firasat buruk bakal terjadi di desa ini. Pagi harinya, dengan perasaan cemas kutemui Bundaku lalu kutanyakan :
“Lolongan anjing sepanjang malam bukankah itu suatu alamat buruk bakal terjadi di desa kita ini bunda?”
“Jangan terlalu percaya tahyul seperti itu, anakku.” sahut bunda mempe- ringatkanku.
“Bukankah bunda sendiri pernah bilang padaku bahwa bila terdengar lolongan anjing bersahut-sahutan ditengah malam buta, itu suatu pertanda alamat buruk atau malapetaka akan terjadi di desa kita. “
“Itu cerita dulu, dan dulu sekali.“
“Apa bedanya dulu dan sekarang bunda?”
“Tak baik percaya tahyul, sirik, itu dosa besar.“ sahut bunda dengan menatapku tajam. Aku diam. Lalu bangkit menuju kamarku yang sempit lagi pengap. Aku merenung dalam kamarku, disebuah rumah panggung , desa terletak tak jauh dari bibir pantai, dengan hempasan ombak menggemuruh. Disini memang rumah-rumah penduduk kebanyakan terbuat dari kayu, rumah panggung dengan kolong luas dibagian bawahnya, untuk dapat difungsikan memelihara ternak ayam, bebek dan kambing.
Di sini tidak ada kebisingan, apalagi polusi duniawi yang selama ini sangat dikeluhkan orang, terjadi disetiap ruang kota yang kotor dan semakin sumpek. Di sini masih asri dan asli. Termasuk manusianya yang masih santun dan lugu, setia perpegang teguh pada adat tradisi dan agama yang dianut oleh mereka.
Masyarakat kota sering mengatakan itu kuno dan ketinggalan zaman. Sungguh, sangat keliru anggapan seperti itu. Didesa, kerjasama atau gotong royong, saling menghormati satu dengan yang lainnya tetap dipelihara dan dijunjung tinggi hingga kini. Tak mengenal rusuh, kekerasan, unjuk rasa, kendati saat ini diliputi rasa kecemasan bila kelangkaan bahan bakar minyak akan berlarut lama, karena turut berdampak mempengaruhi sendi-sendi hidup dan penghidupan, seperti tidak melaut menangkap ikan.
Sebagai penyambung hidup, banyak nelayan terpaksa untuk sementara waktu beralih profesi mencari pekerjaan alternatif, termasuk ayah harus rela meninggalkan desa menuju kota bekerja sebagai buruh bangunan. Balik ke desa setiap sabtu petang jelang malam dengan membawa hasil jerih payahnya sekadar untuk penyambung hidup keluarga kami.
***
Hari berganti dengan cepatnya, seiring berpacu dengan perubahan-perubahan yang tak terduga jauh sebelumnya. Entah, awalnya dari mana datangnya ide itu, kawasan pantai yang asri dan asli itu disulap menjadi kawasan wisata bahari yang menarik banyak pengunjungnya. Suara bising kini memekakkan telinga. Peralatan berat menderu-deru melumat semua pepohonan yang ada, menggusur meratakan gundukan-gundukan tanah hingga rata.
Dalam waktu sekejap berubah menjadi lapangan yang amat luas. Asap hitam kelam itu terus mengepul-ngepul membubung keatas mengotori langit biru. Bau asap peralatan berat memerihkan mata. Sekelompok burung balam dan camar laut terbang jauh kebingungan mencari perlindungan karena terusik oleh deru mesin-mesin berat. Dunia memang telah rusak sekarang. Bahkan telah rusak parah. Tangan-tangan manusia telah membabat begitu banyak pohon-pohon teduh untuk kemudian ditanami beton-beton bertingkat dan kaca-kaca yang menyilaukan membuat gerah udara, semakin panas.
Laut biru tenang telah tercemar lalu berubah warna kecoklatan yang memuakkan. Ikan-ikan di laut semua berimigrasi jauh ke tempat lain karena habitatnya tercemar. Langitpun tadinya cerah kini buram gelap oleh asap-asap yang keluar dari knalpot kendaraan yang berlapis-lapis. Kicauan burung-burung dari atas ranting kayu tak terdengar lagi berganti dengan dentuman dan hentakan musik – house jelang pagi. “Kemanakah perginya burung-burung itu?” Dan kupu-kupu cantik bersayap warna-warni itu, dulu, selalu bertengger diujung rumput ilalang, kini tak hinggap lagi di depan kamarku, bahkan burung balam dan camarpun jarang dijumpai hinggap di atas ranggas dahan pepohonan.
Entah, kemana mereka perginya sekarang. Mungkin lari ke hutan belantara bersembunyi menghindar dari tangan-tangan jahil yang senantiasa mengobrak-abrik habitatnya.
Kupu-kupu cantik itu, kini berganti dengan kupu-kupu plastik berkeliaran dimalam hari. Sayap dan warnanya sangat jauh berbeda dengan kupu-kupu yang sering hinggap diujung ilalang depan jendela kamarku. Kupu-kupu plastik itu warnanya norak dan menjijikkan tak ada gairah untuk menatapnya, apalagi menangkapnya, sekalipun dia sangat jinak. Kupu-kupu plastik itu tak terhitung jumlahnya. Terbang lalu hinggap dari satu jendela kamar penginapan ke penginapan lainnya, yang ada begitu banyak di kawasan pantai wisata ini. Kata orang, kupu-kupu plastik itu imigran gelap pelarian dari kota-kota besar menuju wisata pantai ini, terpencil jauh dari kebisingan kota, padatnya penduduk yang semakin sumpek sulit untuk bernafas lega, akibat polusi udara yang semakin menjadi-jadi.
Aku tetap mencari kupu-kupu itu, yang pernah hinggap di jendela kamarku, kutanyakan pada bundaku, kemanakah perginya kupu-kupu dan burung-burung itu. Tak terdengar lagi kicauannya yang merdu, dari atas ranting kayu, kala pagi jelang siang terbawa oleh hembusan angin laut. Kemanakah bunda? Tentunya ke habitatnya, semak belukar bersembunyi, anakku, mencari makan yang tak begitu susah ia peroleh, disana tak terusik lagi oleh tangan-tangan jahil manusia, seperti di sini. Mereka hijrah ke hutan-hutan mencari kedamaian abadi baginya. Tak usah hiraukan kupu-kupu yang hilang itu.
Memang keadaan sudah berubah, anakku. Hilang, timbul, tenggelam, adalah hal yang biasa-biasa saja disaat seperti sekarang ini. Begitu bujuk bundaku, sembari mengusap rambutku. Aku bangkit lalu berjalan menuju kamarku yang sempit.
Dari dalam aku menangis sesunggukan menanti kepulangan kupu-kupu cantik bersayap warna-warni itu. Tak ubahnya sama seperti dalam penantian yang tak pasti, menunggu terwujudnya sejahtera dambaan bagi sekian banyak orang-orang miskin sama seperti daku, akibat krisis yang berkepanjangan disegala bidang.
Menunggu dan menunggu lagi, kupu-kupu cantik bersayap warna-warni itu, entah kapan, besok atau lusa, entahlah ………!”(*)


Makassar, 05 September 2005

Tabloid Cerdas Kopertis IX, 05 Januari 2006
Harian Radar Bulukumba, 15 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar