Rabu, 04 Mei 2011

31. DESEMBER KENANGAN

Oleh : Hasbullah Said.-


HUJAN lebat dibulan Desember tak menghalangi jalan hayalku yang mengembara. Bahkan semakin jelas bagaikan tayangan sinetron dilayar kaca mempertontonkan episode yang mengharukan bagi para pemirsanya.
Suasana seperti ini, persis sama dengan bulan kejadian yang pernah kualami pada lima tahun silam. Sudah cukup lama. Bahkan mungkin lebih lama dari itu. Aku tak ingat lagi hari dan tanggal kejadiannya. Yang kuingat hanya bulan Desember.
Ketika musim hujan tiba, seolah mengajakku selalu bernostalgia lewat hayalku. Entah. Aku tak mengerti mengapa demikian. Mungkin karena kisah sedih pernah terjadi pada diriku, dibulan Desember. Atau mungkin lebih tepat kalau aku katakan Desember kelabu.
Musim hujan seperti ini memori hayalku kembali cair mengingatkan padaku. Kisah sedih haru biru memilukan hati, sekalipun kuupayakan untuk melupakan semua peristiwa lalu, namun selalu saja membayang-bayangiku seolah menari-nari dihadapan mataku.
***
Hujan lebat disore itu, memaksa perempuan itu singgah berteduh dikios buku milikku. Kios buku sangat sederhana menjual dan mempersewakan berbagai jenis buku bacaan bagi remaja dan umum, namun cukup lengkap koleksi buku bacaan yang kusediakan maka tak heran jika dari hari kehari kian bertambah banyak pengunjungnya.
Perempuan itu singgah bukan untuk meminjam atau membeli buku, akan tetapi hanya sekedar berteduh menghindar dari guyuran hujan deras, khawatir basah sebelum tiba ditempat tujuannya. Dia nampak gelisah, sepertinya takut terlambat menghadiri suatu acara penting yang akan diadakan sore itu. Sesekali dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sambil mengeluh terdengar tipis dicelah bibirnya yang mungil.
“Ah sialan, hujan rupanya tak akan segera berhenti, bahkan semakin deras.” begitu keluhnya dengan nada kesal. Ada rasa iba lahir dihatiku melihatnya. Bibirnya mulai membiru menahan dingin yang menderanya. Baju yang dia kenakan nyaris basah kuyub habis diguyur hujan. Entah, kenapa sore itu dia tidak naik mikrolet saja, agar cepat tiba di tempat tujuannya, dan pula tidak kehujanan.
“Lebih baik masuk saja disini duduk, diluar percikan hujan agak deras nanti kamu kian bertambah basah.“ pintaku sembari menyodorkan kepadanya sebuah kursi plastik putih yang telah kusam warnanya lalu aku mempersilahkannya duduk.
“Terima kasih, terima kasih banyak.” sahutnya lembut sama seperti bisikan halus, sembari duduk diatas kursi plastik yang kusodorkan padanya. Sempat aku grogi berhadapan dengan gadis secantik dia. Tak tahu apa pembuka bicara sebagai awal perkenalanku dengannya. Lalu sebuah pertanyaan kuajukan padanya.
“Kalau tidak keberatan, boleh tidak aku tahu, sore ini tujuanmu hendak kemana?“ tanya aku dengan nada perlahan.
“Ke kampus!” sahutnya singkat sembari mengusap rambutnya yang basah.
“Kuliahmu di Kampus Biru kan?” ujarku sekenanya.
“Kok, tahu?” jawabnya heran.
Kampus Biru adalah sebuah julukan nama dari sebuah perguruan tinggi swasta terletak di Jalan Veteran Selatan. Entah, kenapa kampus itu orang me-nyebutnya kampus biru. Mungkin karena cat gedungnya yang berlantai lima itu, didominasi warna biru sehingga orang menyebutnya kampus biru. Selebihnya aku tak tahu persis.
“Itu kebetulan mungkin, kenapa aku dapat menebaknya dengan benar.” kataku merendah agar dia tertarik dan mau lebih lama bicara denganku. Perempuan itu diam sejenak, lalu sepasang matanya luruh menatap ujung-ujung sepatunya yang basah sepertinya dia berpikir, siapa sebenarnya lelaki dihadapanku yang aku temani bicara ?” Cukup menarik perhatianku, karena cara bicaranya sopan, ramah, dan cepat akrab.
“Ah, sudah lama kita berbincang namun kita belum saling kenal,gimana kalau
kita kenalan saja dulu!” pintaku sembari kuulurkan tanganku padanya. Nampak dia kikuk dan malu-malu padaku, maklum baru kali ini ketemu langsung kenalan.
“Imran, Imran Firdaus.” ujarku sambil menjabat tangannya.
“Anggia Putri Pratama.” balasnya menyambut uluran tanganku dengan nada lembut seperti bisikan halus.
“Wah, cantik betul namanya, sama seperti orangnya.” canda aku memuji sambil menatapnya perlahan. Gia tersipu malu lalu dia membalas tatapanku dengan senyum. Lama kami berbincang sambil menunggu redanya hujan, bercerita tentang berbagai hal, akhirnya dia hampir lupa bahwa sore ini, ada pertemuan di kampus tempatnya ia kuliah membahas tentang rencana pemilihan ketua Senat Mahasiswa Fakultasnya.
Diluar hujan mulai reda, tinggal gerimis tipis membasahi ranggas dahan harumanis. Kemilau diterpa mentari senja yang sebentar lagi menyelinap masuk perlahan di balik celah pepohonan. Anggia bangkit dari duduknya lalu pamit padaku.
“Aku mohon pamit, hujan sudah reda, terima kasih atas segala bantuannya.”
“Diluar masih gerimis, nanti Gia basah, lagi pula cuaca seperti ini sering membawa penyakit, lebih baik aku pinjami kamu payung.“ cegat aku sambil berjalan masuk mengambil payung hitam yang tergantung disamping rak buku, lalu kuserahkan padanya.
“Terima kasih banyak.” sahutnya sambil meraih payung itu dari tanganku.
Gerimis hujan dikeremangan senja mengantar kepergian Anggia, dengan memegang payung sambil melangkah hendak menyeberangi jalan. Namun sial baginya, belum sempat dia tiba diseberang jalan, tiba-tiba sebuah mini bus menabraknya dari belakang. Gia terpental lalu jatuh terkapar di atas aspal basah. Lama dia tidak sadarkan diri, darah segar mengucur dari dalam mulut dan hidungnya. Dari seberang jalan aku berteriak histeris memanggilnya, Gia ……….. Anggia …………. Aku tak pikir panjang lagi, segera kupanggilkan taxi lalu kularikan kerumah sakit terdekat. Dari dalam tas punggungnya yang dia bawa selalu, kutemukan kartu mahasiswa yang memuat identitas diri dan alamat tempat tinggalnya. Melalui ponselku segera kuhubungi kedua orang tuanya mengabarkan bahwa Gia kini sedang dirawat di rumah sakit, akibat kecelakaan lalu lintas.
Dari keterangan dokter yang merawatnya, Gia cedera patah tulang pada pangkal paha kaki kanannya. Kemungkinannya Gia akan dioperasi dalam waktu yang dekat. Malam telah jauh larut, aku masih setia menunggui Gia, namun aku tak tinggal lama khawatir ada tanggapan lain dari pihak keluarganya, apalagi baru tadi sore kami saling kenal. Aku segera pamit pada kedua orang tuanya sembari berujar.
“Semoga Gia cepat sembuh.” begitu harapku dengan nada lirih.
Berulang kali kedua orang tuanya menyampaikan rasa terima kasihnya padaku atas kebaikan hatiku menolong Gia, dan tak lupa pula menanyakan nama dan alamat tempat tinggalku.
“Imran Firdaus Pak, tinggal di Jalan DR.Ratulangi tak jauh dari sini.” sahutku kemudian beranjak berlalu meninggalkan rumah sakit itu.
Tiga hari kemudian, aku berkunjung kerumah sakit dimana Aggia dirawat, setelah aku tiba, betapa kecewanya aku karena tak menemukannya lagi dalam kamar tempat dia dirawat. Kuperoleh informasi dari suster jaga, mengatakan bahwa baru kemarin dirujuk ke salah satu rumah sakit di Surabaya atas permintaan kedua orang tuanya, dengan pertimbangan ada keluarga dekatnya seorang dokter ahli bedah tulang bertugas disana. Dengan rasa penyesalan aku pulang kerumah membawa setumpuk hati yang luka merintih pedih.
***
Hampir enam bulan berlalu. Berita tentang Anggia nyaris terlupakan olehku. Sekiranya dibulan Desember tak turun hujan lebat, ingatanku padanya mungkin telah lama berakhir. Kesulitannya karena disaat berangkat ke Surabaya tak satupun keluarganya memberikan padaku alamat jelas tempat tinggalnya disana.
Melalui telepon selulerku, kucoba menghubungi alamatnya yang dulu, kuperoleh jawaban dari seseorang mengatakan bahwa dia tidak tinggal disini lagi. Rumah yang dia tinggali dulu sementara dalam proses pengurusan surat-suratnya untuk segera dijual. Aku tambah bingung dibuatnya, tak tahu kemana aku harus mencarinya.
Ketika aku baru pulang dari luar kota, Indah adik perempuanku memberiku surat dari Anggia. Dengan tak sabar aku buka sampulnya lalu segera membacanya.
Imran Firdaus yang baik hati!
Siang tadi aku datang kesini, dirumahmu, aku mengetuk lama pintu kios buku milikmu, namun tak ada jawaban dari siapa-siapa, kecuali seorang bocah perempuan yang menemuiku, bernama Indah Permatasari, begitu dia mengenalkan namanya padaku, katanya dia adik perempuanmu yang bungsu. Menyampaikan padaku bahwa kamu sedang keluar kota, nanti esok malam katanya baru kamu tiba. Aku sangat kecewa tidak bertemu denganmu. Kugunakan waktu yang singkat ini, karena esok pagi-pagi betul aku segera ke Bandara untuk selanjutnya terbang kembali ke Surabaya dengan pesawat pertama. Aku ikut ayahku kemari sehubungan dengan pengurusan surat-surat penjualan rumahku yang ada di Makassar sini, dan seterusnya kami sekeluarga akan menetap tinggal di Surabaya. Awalnya ayahku melarang keras aku ikut dengannya, karena aku belum sembuh betul dari sakitku, dokter yang merawatku menganjurkan padaku untuk istirahat banyak. Namun aku ngotot bersikeras untuk berangkat kemari hanya untuk ketemu denganmu. Permohonan maafku padamu, karena aku masuk di kiosmu ditemani Indah adikmu, tanpa seizinmu, aku duduk sebentar lalu menulis surat ini. Aku datang kemari hanya untuk mengembalikan payung yang kamu pinjamkan dulu padaku, ketika aku buru-buru hendak pamit, kau khawatir aku basah kuyub yang nantinya akan jatuh sakit. Sungguh kamu seorang lelaki yang paling baik hati. Sekalipun payungmu dulu telah kuganti dengan payung baru, karena payung yang kamu pinjamkan dulu padaku ketika terjadi musibah kecelakaan sudah hilang, entah siapa yang mengambilnya, karena waktu itu aku tak sadarkan diri. Aku tak tega berlama-lama dirumahmu, masih trauma aku melihat tempat kejadian kecelakaan yang menimpaku dulu, karena letaknya tak jauh dari sini. Kuperoleh penuturan dari orang-orang yang menyaksikan kejadian kecelakaan itu, memuji kebaikan hati seorang lelaki yang membopongku keatas mobil taxi, melarikan aku kerumah sakit terdekat, tak peduli pakaiannya berlepotan penuh darah segar yang keluar dari mulut dan hidungku. Lelaki itu tak lain adalah kamu, Imran Firdaus, yang berbaik hati menolongku menyelamatkan nyawaku dari cengkraman maut. Tak tahu apa yang harus kubalaskan akan kebaikan hatimu yang tulus ikhlas. Hanya kepada Allah aku bermohon, semoga kita senantiasa diberi kekuatan, dan tabah menerima cobaan ini, sekalipun aku harus menanggung derita cacat seumur hidup, karena kaki kananku tak dapat berfungsi lagi secara normal seperti semula, tanpa ditopang oleh sebuah kruk penyanggah tubuhku, agar tidak terjatuh bila aku melangkah. Terpaksa untuk sementara waktu aku berhenti kuliah, karena semua kegiatan proses belajar-mengajar fakultasku dilakukan di lantai lima, tentunya aku tak mampu berjalan menaiki tangga yang berliku-liku, sekalipun aku dibantu dengan kruk penyanggah tubuhku dan di kampus biru tempatku kuliah belum tersedia fasilitas tangga jalan atau semacamnya. Cukup disini saja dulu, semoga kali lain kita dapat berjumpa kembali. Doamu kutunggu selalu
Salam dariku,
Anggia Putri Pratama
Setelah selesai kubaca surat itu kulipat kembali seperti semula, lalu kusimpan dalam dompet saku celanaku. Surat itu akan kujadikan sebagai kenangan abadi buatku untuk selama-lamanya.
Dalam hati aku mendesah, menyesalkan kejadian musibah itu. Sekiranya tak ada hujan, dan musim kemarau saja terus-menerus sepanjang masa, tentunya Anggia tak akan mengalami nasib malang seperti itu, membuat ia tersiksa menanggung derita cacat seumur hidup.Tapi hal itu tak akan mungkin terjadi demikian, karena hujan adalah suatu rahmat dari Allah untuk semua mahluk-Nya yang ada di atas muka bumi ini. Hanya doaku selalu, semoga Anggia tetap tabah menerima cobaan ini, amin,...................!(*)
Makassar, 09 Juni 2005

Harian Pedoman Rakyat, 21 Agutus 2005
Harian Radar Bulukumba, 21 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar