Selasa, 03 Mei 2011

37. KISAH SEDIH DI UJUNG MALAM

Oleh : Hasbullah Said.-


AKU telah lama kehilangan seorang ayah. Bagai ditelan bumi, entah kemana perginya. Tak ada jejak atau petunjuk bagiku dimana rimbanya, walaupun kutanyakan kepada siapa-siapa termasuk bundaku, namun jawabnya selalu nihil
. Akhirnya kuputuskan untuk sementara tidak menanyakannya lagi. Buat apa, aku selalu mencarinya. Suatu saat nanti, kepergian ayahku akan terungkap juga cepat atau lambat, karena sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, akhirnya akan tercium juga.
Cukup kini kupunyai seorang ibu, katanya ia memiliki sorga berada dibawah telapak kakinya. Tentunya bila aku hendak bermukim di Sorga-Nya yang abadi maka setiap saat aku akan menciumi telapak kakinya karena disitu kuperoleh harum bau melati yang melenakanku.
Sementara aku masih duduk diatas dego-dego*) rumahku yang hampir rubuh, sekalipun udara petang berhembus dingin seiring merahnya matahari diufuk barat berlari hendak bersembunyi dibalik pepohonan rindang, namun tak mampu mengusikku dari tempat dudukku diatas sebuah bangku-bangku tua.
“Masuklah anakku, hari sudah hampir malam diluar tak ada lagi kehidupan yang dapat kita harapkan.” begitu suara bundaku memanggil dari balik dinding gamacca *) yang telah hampir lapuk.
“Ya, bunda.” sahutku sambil beranjak berjalan masuk untuk melaksanakan sholat mahgrib, yang waktunya masih tersisa sedikit. Sunyinya malam selalu hadir bergelayut ditengah keluargaku yang sangat bersahaja, karena rumah panggung yang terbuat dari kayu itu, penghuninya hanya kami berdua. Aku di takdirkan terlahir didunia ini anak tunggal semata wayang.
Bila malam tiba, terdengar hanyalah lengkingan nyanyian hewan malam dibalik rongga bebatuan, diselingi suara katak bersahut-sahutan dibalik rawa kangkung disekitar rumah kami. Lahan rawa seluas kurang lebih 10000 m2 adalah milik H. Syafaruddin yang diberi kuasa kepada keluarga kami mulai dari kakekku hingga kedua orang tuaku, diberi kepercayaan untuk menggarapnya sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Lahan yang kami tempati itu hanya satu-satunya lahan kosong yang belum ada bangunan diatasnya, sehingga banyak pengembang yang melirik untuk dijadikan kompleks perumahan elite, karena lokasinya sangat strategis persis berada ditengah-tengah kota, namun Pak Syafar begitu akrab disapa orang, masih bertahan untuk tidak terburu-buru menjualnya karena belum ada kecocokan harga dari calon pembeli. Pak Syafar dikenal sebagai tuan tanah yang kaya raya namun dermawan, memiliki berpuluh-puluh hektar tanah berada dalam wilayah kota metropolitan ini
Aktivitas keseharianku, membantu bundaku memetik sayur kangkung sejak pagi hingga petang hari sebelum aku berangkat ke surau belajar ngaji. Dari hasil penjualan kangkung itu aku mampu di sekolahkan oleh bundaku hingga tamat di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sesudahnya aku tak dapat lagi lanjut ke tingkat lebih tinggi karena ketiadaan biaya. Namun aku merasa bersyukur karena telah terbebas dari apa yang dikatakan buta aksara.
Sekiranya Pak Syafar tidak berbelas kasih memberi kita tempat tinggal dilahannya ini, maka kemana lagi kita akan bernaung serta mencari hidup anakku, ujar bundaku dengan suara lirih padaku disuatu malam.
“Anakda yakin bunda, Allah akan menunjukkan jalan terbaik bagi kita untuk mendapatkan rezeki lain yang sifatnya halal karena Allah itu Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ya khan, bunda?” sahutku dengan nada optimis meyakinkan bundaku.
“Ya, tentu anakku, kesemuanya itu tak lepas dari kehendak-Nya jua.”
“Makanya tak usah kita terlalu risau tentang kehidupan ini bunda, kendati kehidupan dan penghidupan adalah suatu perjuangan berat yang tak pernah usai, dan kita terus berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, semua itu adalah suatu ikhtiar, Tuhanlah yang menentukan segalanya.” kataku lagi sambil beranjak menuju tempat pembaringanku, karena aku telah didera rasa ngantuk yang tak tertahankan.
Malam bergulir perlahan menuju titik larutnya yang mencekam. Aku terjaga dipembaringanku diatas sebuah balai-balai bambu yang telah reot. Aku tak tahu, malam telah menunjukkan pukul berapa, karena kami tak memiliki jam penunjuk waktu. Hanya kokok ayam sesekali terdengar dibalik popohonan, disusul suara lolongan anjing dikejauhan bersahut-sahutan makin lama semakin ramai mengitari rumah kami, membuat bulu romaku bergidik mendengar suara itu. Dan tak lama kemudian disusul pula dengan suara burung hantu beterbangan riuh, sambil mengepak-ngepakkan sayapnya hinggap diatas bubungan atap rumah kami, lalu mengeluarkan suara aneh kedengarannya.
Hampir semalaman aku tak dapat tertidur, memikirkan alamat atau bakal apa yang akan terjadi menimpa kampung ini. Memang lokasi tanah milik Pak Syafar yang kami tempati ini dahulu letaknya jauh terpencil dipinggiran sebelah timur kota ini, sebelum jalan poros yang membelah kota membentang dari arah selatan menuju utara, membuat orang enggan dan merasa takut lewat atau berkunjung ke wilayah ini karena dikenal orang sangat angker yang disebut daerah Texas.
Setelah jalan itu rampung, lokasi tanah milik Pak Syafar berubah menjadi tempat yang sangat strategis karena kini telah berada ditengah-tengah kota. Dan dalam tempo yang singkat bagaikan jamur dimusim hujan, rumah-rumah penduduk begitu cepatnya berdiri dikawasan timur kota ini. Bagai disulap lahan persawahan yang sangat luas itu, berubah menjadi kawasan permukiman penduduk yang ideal lengkap dengan segala fasilitasnya.
Sebagai konsekwensi logis, dampak dari sebuah pembangunan pemukiman baru, maka tak sedikit jumlahnya kita jumpai kasus tanah yang bermasalah muncul satu persatu kepermukaan yang berakibat sebuah sengketa berlarut lama tak kunjung usai.
Sudah menjadi pekerjaan rumah bagi Badan Pertanahan atau instansi terkait yang ujung-ujungnya bermuara pada putusan Pengadilan Negeri. Semua itu adalah fenomena yang sangat riskan membutuhkan penanganan serius, jujur dan adil bagi aparat penegak hukum.
“Lolongan Anjing bersahut-sahutan ditengah malam buta bukankah itu suatu alamat buruk yang akan terjadi diperkampungan kita ini bunda?” tanyaku dengan cemas pada bundaku setelah kuterbangun dari tidurku pada pagi harinya.
“Siapa bilang?” sahut bundaku dengan nada sinis, sambil menatapku lekat-lekat.
“Penuturan orang tua-tua dulu.”
“Dulu kapan, aku ini orang tua, namun bunda tak pernah berkata demikian.” Mendengar ucapnya, aku hanya diam termangu, tak berani aku menatap wajahnya, lama aku tertunduk diam, diam bersama kebekuan pagi hari yang cerah.
“Nak Dollah, begitu panggilnya perlahan padaku, tak baik kita apriori terhadap masa datang, meramal-ramal bakal kejadian besok atau lusa, itu namanya musyrik. Semua peristiwa yang akan datang itu adalah rahasia Allah.”
“Tapi kedengarannya sangat aneh bunda.”
“Aneh,” sahut bundaku sambil mengerutkan keningnya.
“Dengar baik-baik Dollah, anjing dan burung itu adalah hewan, juga makhluk Allah, mereka berinteraksi langsung terhadap alam, punya instink namun tak punya akal atau pikiran, dia butuh hidup sama seperti kita manusia.” kata bundaku dengan nada sinis sambil menatapku tajam.
“Mohon maaf bunda, nakda tidak akan mengulanginya lagi.” kataku sambil bangkit berjalan keluar menuju dego-dego rumahku mengemasi sayur kangkung yang akan dijual dipasar.
“Baiklah anakku.”
***
Beberapa tahun silam. Saat itu, anakku belum lahir didunia ini, kamu masih didalam kandungan 8 bulan diperut bunda. Tentu semua peristiwa lalu terlewatkan begitu saja tanpa engkau rasakan pahit getirnya hidup karena anakku ketika itu belum lahir. Begitu mengawali cerita bundaku kemudian berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam seolah mengingat-ingat masa lalunya.
Dulu ketika awal mula dibuka pemukiman baru disekitar wilayah timur kota ini, harga tanah tiba-tiba melonjat naik, berlipat-lipat ganda. Tak terkecuali tanah milik Pak Syafar yang kita tempati ini, entah sudah berapa banyak orang calon pembeli datang menanyakan pada ayah bundamu, namun kami jawab bahwa tanah ini milik Pak Syafar, bila berminat untuk membelinya silahkan hubungi pemiliknya, karena kami hanya penggarap diberi kepercayaan untuk numpang sementara disini.
Selang beberapa hari kemudian, mobil-mobil raksasa datang menimbun lahan ini, katanya atas persetujuan Pak Syafar karena telah dijual kepada pihak pengusaha pengembang perumahan.
Sebagai kompensasi ganti rugi tanaman kangkung bunda waktu itu oleh Pak Syafar menyisahkan tanahnya satu kapling ukuran kecil, untuk kami tinggali secara cuma-cuma. Dua pertiga dari luas keseluruhan telah selesai ditimbun, selebihnya sisa sepertiganya lagi pada sisi bagian utara belum ditimbun karena alasan pihak pemerintah kota akan membuat jalanan yang menghubungkan dari arah barat ke timur menuju permukiman baru. Namun hingga sekarang rencana jalanan belum juga terealisir, entah bunda tak tahu apa sebabnya. Dilahan sisa yang belum ditimbun inilah kami mengais rezeki memetik sayur kangkung kemudian menjualnya sebagai sumber mata pencaharian kami hingga sekarang.
Dalam waktu yang sangat singkat rawa kangkung telah berubah menjadi sebuah lapangan yang sangat luas. Bila petang hari jelang malam ramai anak-anak bermain sepak bola serta main layangan, karena mereka tak menemukan lagi lapangan terdekat seluas itu untuk dijadikan tempat bermain.
Seminggu kemudian beberapa orang tak dikenal bergantian datang menemui ayahmu, mengatakan bahwa lahan yang habis ditimbun itu adalah miliknya, kendati tak satupun yang dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah. Spontan ayahmu menjawab bahwa itu bohong, tidak benar, tanah ini adalah milik Pak Syafar. Sebab kami telah berpuluh-puluh tahun tinggal ditempat ini mulai ayahku bernama Dg.Nassa, dan seluruh penghuni kampung ini akan memberikan kesaksian bahwa tanah ini adalah milik Pak Syafar, itu dapat dibuktikan dengan surat-surat kepemilikan yang sah yaitu akte jual beli serta sertifikat dari Badan Pertanahan.
Begitu uraian ayahmu berupaya menyakinkan mereka. Lama ayahmu bersitegang dengan orang itu. Kemudian dia mengancam bahwa kemanapun dan dimanapun bahkan sampai keliang kubur sekalipun kami akan tetap mengejarnya. Begitu ancamnya pada ayahmu, kemudian mereka beranjak pergi meninggalkannya. Itulah awal mula petaka mengancam kami anakku. Sejenak bundaku berhenti bicara, kemudian kembali menghela nafasnya dalam-dalam, lalu ia lanjutkan lagi bicaranya.
Pada malam harinya kami didatangi dua orang lelaki berbadan kekar yang tak kami kenal mengedor-gedor pintu rumah hendak bertemu dengan ayahmu, saat itu juga ayahmu segera bangkit dari duduknya membukakan pintu rumah kemudian mempersilahkannya masuk. Dalam pembicaraannya itu mereka bersitegang mempersoalkan kepemilikan tanah ini anakku, akan tetapi ayahmu tetap bertahan mengatakan bahwa tanah ini adalah milik Pak Syafar.
Jalan terakhir mereka tempuh telah disepakati bersama untuk segera diselesaikan dirumah Pak Ketua ORW pada malam itu juga. Bersama ayahmu, mereka bertiga segera berangkat menuju rumah Pak Ketua ORW yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini, meninggalkan bunda sendirian dirumah, sekalipun bunda bersikeras untuk ikut bersamanya namun ayahmu melarangku pergi dengan alasan bunda dalam keadaan hamil tua, bunda kembali berhenti sejenak bicara, lalu menghapus air matanya yang meleleh dengan ujung-ujung sarung plekatnya yang telah lusuh. Bunda tak tidur dimalam itu anakku, menunggu,...... dan menunggu lagi kepulangan ayahmu hingga larut malam, namun tak pulang-pulang juga kerumah.
. Pada pagi harinya bunda segera menemui Pak Ketua ORW menanyakan keberadaan ayahmu jawabnya, mengatakan bahwa sejak sore harinya tak ada orang-orang yang bertamu dirumahnya. Hingga kini kepergian ayahmu itu sangat misterius sekalipun bunda telah mencarinya kesetiap sudut-sudut kota namun hasilnya nihil. Hilang tak tentu dimana rimbanya, bak ditelan bumi entah hidup, entah telah-
tiada, ............
Sementara malam perlahan-lahan beranjak merangkak ketitik larutnya, menuju pagi yang cerah. Burung hantu kembali beterbangan lalu hinggap diatas bubungan atap rumah mencari perlindungan sepertinya takut tertangkap siang yang
sebentar lagi fajar diufuk timur muncul memerah merangkul bumi.(*)


Makassar, 04 Pebruari 2007


Harian Radar Bandung, 04 Maret 2007
Harian Radar Bulukumba, 16 Desember 2009



*) Dego-dego = Teras rumah panggung Suku Makassar.
*) Gamacca = Anyaman Kulit Bambu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar