Selasa, 03 Mei 2011

38. CATATAN HARIAN PAK BASO

Oleh : Hasbullah Said.-


LELAKI yang hampir paruh baya itu, masih saja duduk diatas kursi tuanya, sambil mendengus-dengus menghitung lembaran-lembaran klipping kertas koran yang berhamburan tak teratur di atas meja tulisnya, satu,.... dua,..... tiga, sepuluh, tiga puluh, empat puluh, enam puluh……. dia berhenti menghitung. Lalu dilipatnya, disusunnya kembali dengan rapi kemudian diletakkan diatas meja tulisnya.
Dia senyum simpul melihat tumpukan klipping koran itu, sebagai hasil karyanya yang telah dimuat di beberapa media cetak lokal maupun dikota lainnya seperti Bandung, Semarang dan Surabaya. Karya tulis yang bernilai seni diurai dan diramu dalam bentuk cerita pendek.
Tak ada bahagia yang melebihi dia rasakan ketika cerpennya dimuat di koran. Dia merasa puas karena bakat seninya tersalurkan kendati usianya beranjak menuju paruh baya. Dibalik kacamatanya yang tebal, lelaki yang bernama Pak Baso itu, gemar membaca apa saja, kemudian di aktualisasikan ke dalam bentuk tulisan cerita pendek.
“Enam puluh,…..!” kembali dia mendesis menyebut angka.
“Ah, masih banyak,….berarti empat puluh lagi yang harus aku tulis.” begitu ulangnya mendesis perlahan, kemudian dia beranjak masuk kedalam kamarnya mengambil buku catatan hariannya yang terletak di atas rak bukunya. Dia nekad akan menulis lebih banyak lagi hingga mencapai 100 judul yang harus dimuat di koran sesuai yang ia targetkan, kemudian untuk sementara dia akan berhenti menulis.
Setelah tiga bulan terakhir sehabis di PHK, di perusahaan tempat di mana ia mencari nafkah, akibat bangkrut sebagai imbas dari krisis perekonomian yang berkepanjangan, maka waktunya banyak lowong. Berarti kesempatan banyak pula untuk menulis dan menulis lagi apa saja yang diinginkan, karena menulis adalah kesenangannya yang merupakan bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan dengannya.
Dia bertualang berkeliling kota dengan mengendarai sepeda motor bututnya. Dia tulis dalam buku catatan hariannya, apa saja yang ia temukan di jalan yang di anggapnya penting untuk ditulis, sekalipun dia bukan wartawan yang memiliki kartu Pers.
Beraneka ragam tulisan dalam buku catatannya. Sesosok mayat perempuan muda telah ditemukan dibalik semak-semak nyaris tak berbusana. Mayat tersebut di perkirakan sudah tiga hari lalu telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Kuat dugaan perempuan malang itu habis dibunuh karena disekujur tubuhnya terdapat luka bekas penganiayaan dan sebelum dibunuh terlebih dahulu diperkosa kemudian dibuang ke semak-semak dekat kanal itu untuk menghilangkan jejak bagi pelakunya.
Mayat itu segera dievakuasi ke rumah sakit Bhayangkara untuk dilakukan otopsi. Pihak kepolisian sedang sibuk menyelidiki siapa pelaku pembunuhan yang sangat keji itu. Begitu antara lain bunyi tulisan dalam buku catatan hariannya. Keesokan paginya koran lokal ramai menghiasi halaman depannya memuat berita tentang ditemukannya sesosok mayat perempuan muda di semak-semak dekat kanal itu.
Berita itu persis sama dengan apa yang ia tulis dalam buku catatannya. Dia senyum bahagia sehabis membaca berita itu. Semua berita yang diliput dia ramu kembali dalam bentuk cerita pendek dengan gaya bahasa yang sangat sederhana mudah dicerna dan dipahami oleh pembacanya.
“Lebih baik Pak Baso sekalian jadi wartawan saja, sambil mencari berita, juga mendapatkan imbalan atau honor sebagai wartawan.” kata Pak Syam teman kerjanya yang sama di PHK, ketika ia sedang bertamu di rumahnya.
“Ya, terima kasih, terima kasih banyak Pak Syam, itu suatu masukan yang sangat berharga buat saya.” jawabnya senyum sambil mengisap rokoknya dalam-dalam kemudian dihembuskannya ke atas melahirkan bola-bola asap tipis memenuhi hampir seluruh ruangan tamu yang tak seberapa luasnya.
“Seharusnya memang demikian Pak Syam, tetapi saya ini lain, menulis mencari berita tidak untuk di publikasikan.” lanjutnya setelah terhenti sesaat bicara.
“Jadi untuk apa, buang-buang waktu dan tenaga?”
“Sekedar hobi, pengisi buku catatanku saja.” begitu jawabnya enteng dengan nada perlahan.
“Oke, kalau begitu sudahlah.” ujar Pak Syam kemudian beranjak meninggalkannya dengan hati yang kesal. Istri Pak Baso begitupun sering memprotes kebiasaannya menulis yang menyita banyak waktu, lalu tidak mendapatkan hasil apa-apa bahkan sebaliknya tak sedikit uang yang ia keluarkan untuk biaya pengetikan komputer serta biaya pengiriman ke media cetak.
“Apa yang bapak dapatkan dari menulis itu?” sebuah pertanyaan yang tak di sangka-sangka, dilontarkan oleh istrinya, yang ia kenal selama ini sangat penyabar dan cukup pengertian terhadapnya. Mungkin karena keterpurukan ekonomi rumah tangganya yang carut-marut akibat di PHK di Perusahaan tempat ia menggantungkan nasib. Pesangon yang ia terima dari perusahaan itu tak cukup untuk menebus utang-utangnya baik sebelum maupun sesudah di PHK.
“Jawablah sejujurnya pak?” ulangnya bertanya pada suaminya dengan serius. Pertanyaan seperti itu cukup membingungkan baginya untuk segera menjawabnya.
“Mencari kepuasan lahir bathin.” jawabnya enteng.
“Hanya itu.” tanya lagi istrinya dengan nada sinis.
“Ya, tak dapat diukur atau dinilai dengan uang sekalipun.” jawab suaminya sembari bangkit berjalan meninggalkannya di ruang tamunya yang sempit. Duduk sendirian seraya menatap keluar di keremangan senja yang sebentar lagi hujan lebat akan turun mengguyur bumi.
Mendengar ucapan istrinya itu, bukannya Pak Baso akan berdiam diri apalagi berhenti sama sekali menulis, bahkan dia semakin gencar tak kenal lelah memburu berita sekalipun hanya pengisi buku catatannya, yang tidak akan pernah dipublikasikan di media cetak, karena dia bukan wartawan.
Pantangan baginya mengutip atau menyadur berita lewat media cetak atau elektronik sekalipun beritanya aktual, karena berita yang ia liput ingin disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Disaat ramainya diperbincangkan orang tentang kenaikan harga BBM, yang menjadi topik utama di berbagai media cetak dan elektronik. Pak Baso ikut serta turun ke jalan berbaur dengan pengunjuk rasa mencari informasi dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga BBM.
Disepanjang pantai selatan banyak nelayan mengeluh tak melaut karena harga BBM jenis solar tak terjangkau oleh mereka. Dalam buku catatannya ditulisnya lagi dengan judul : Ketika Nelayan Tak Lagi Melaut. Banyak nelayan menambatkan perahu motornya di dermaga dari pada melaut mencari ikan karena hasil tangkapannya tak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan. Harga BBM jenis solar melambung tinggi tak dapat dijangkau, lagi pula sulit diperoleh karena terbatasnya pasokan dari Pertamina. Sebagai alternatif, akhirnya banyak nelayan yang memilih bekerja di kota sebagai buruh bangunan sambil menunggu normalnya kembali harga BBM jenis solar.
Berjalan terus dengan mengendarai sepeda motor bututnya, menelusuri sepanjang jalan tanpa kenal lelah. Di tengah jalan dia terperangkap oleh kemacetan arus lalu lintas yang berderet panjang. Berupaya menerobos kedepan diantara sela-sela kendaraan bermotor berlapis-lapis, ditemuinya massa mahasiswa sedang membakar ban bekas tepat di tengah-tengah poros jalan membuat semua jenis kendaraan tertahan berjam-jam lamanya. Pak Baso segera menulisnya dalam catatan hariannya.
Sekelompok massa mahasiswa bersama ratusan pengendara roda dua berunjuk rasa memprotes kebijakan pemerintah tentang penggunaan lajur lambat atau lajur kiri bagi pengendara sepeda motor yang dibatasi rambu-rambu dari jenis tiang-tiang kecil terbuat dari kayu. Dihimbau pula kepada semua pengendara jenis kendaraan roda dua agar menyalakan lampu kendaraannya di siang hari.
Semua itu dianggapnya kurang efektif karena bukannya melahirkan ketertiban lalu lintas akan tetapi kenyataannya semakin semrawut tak terkendali diperparah oleh kendaraan angkutan kota jenis pete-pete*) yang satu arah dengan kendaraan roda dua sering berhenti tiba-tiba, membuat pengendara sepeda motor kelabakan menghindar dari tabrakan. Juga menyalakan lampu sepeda motor disiang hari mempercepat kerusakan accu kendaraan sepeda motor.
Setibanya di rumah, sangat gembira dia menulis berita aktual yang dapat mengisi lembaran-lembaran catatan hariannya. Masih belum puas dengan berita yang didapatkan hari ini, kemudian keesokan harinya Pak Baso berjalan lagi dengan sepeda motornya, hendak melintas di depan kantor DPRD Tk. I, kemacetan serupa terjadi pula sama dengan dihari kemarin, bahkan lebih parah lagi karena semua jalan yang menuju kantor DPRD Tk. I diblokir oleh para pengunjuk rasa dihadang dengan aksi bakar ban bekas menyisakan asap hitam pekat membubung ke atas membuat mata perih sangat mengganggu bagi setiap pengguna jalan.
Pengunjuk rasa yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa perguruan tinggi Negeri dan Swasta menolak pemberlakuan PP. No. 37 Tahun 2006, tentang Tunjangan Gaji bagi ketua dan anggota DPR, baik tingkat Pusat maupun Daerah. Mereka bergantian berorasi di halaman depan kantor DPRD Tk. I, meneriakkan yel-yel gantung koruptor, berantas korupsi apapun bentuknya, termasuk kenaikan gaji/tunjangan DPR, yang terlanjur dibayarkan harus dikembalikan kepada negara.
Semakin lama semakin ramai mahasiswa pengunjuk rasa berdatangan dari berbagai penjuru kota. Kemudian perlahan-lahan massa pengunjuk rasa memaksa masuk ke ruang sidang hendak menemui ketua DPRD, namun dihalang-halangi oleh petugas aparat Kepolisian sehingga terjadi aksi saling dorong-dorongan antara pengunjuk rasa dengan aparat Kepolisian dibantu oleh Satpol-PP. Akibatnya korban berjatuhan di kedua belah pihak tak dapat dielakkan. Kejadian serupa hampir merata di semua kota-kota besar di seluruh tanah air dengan tuntutan yang sama.
Mobil Ambulance meraung-raung di sepanjang ruas jalan menuju rumah sakit terdekat mengevakuasi korban kedua belah pihak untuk mendapatkan pertolongan medis. Akhirnya para pengunjuk rasa membubarkan diri meninggalkan tempat itu dengan tertib.
Setiba di rumah, Pak Baso menemukan sebuah surat terselip di balik pintu masuk rumahnya yang isinya mengharapkan kedatangannya di kantor Redaksi sebuah surat kabar, untuk menerima honornya menulis cerpen. Rasa bahagia tak terkirakan di hati Pak Baso ketika lembar-lembar uang seratusan diterimanya lalu dihitungnya, satu, lima, sepuluh, dua puluh lima,…..!”
“Kalau hanya menghitung sobekan kertas koran saja, mengapa harus dengan suara nyaring?” tegur istrinya menyindir dari balik dinding kamarnya yang terbuat dari kayu lapis.
Pak Baso mengulanginya lagi dengan suara yang agak lebih keras.
“Dua puluh lima, Dua juta lima ratus ribu rupiah………..!.”
Tiba-tiba istrinya muncul dari dalam kamarnya menemui suaminya yang sedang menghitung uang. Matanya terbelalak melihat uang jutaan rupiah di tangan suaminya.
“Bu, ini uang honor saya menulis cerpen, terimalah semuanya buat belanja ibu.” katanya senyum menatap wajah istrinya yang berkaca-kaca menahan haru menerima pemberiannya.
“Terima kasih pak.” sahutnya tersipu malu sembari berlarian masuk ke dalam kamarnya menaruh uang itu di bawah kasur tempat tidurnya.(*)


Makassar, 15 Pebruari 2007

Harian Fajar, 04 Maret 2007
Harian Radar Bulukumba, 21 Desember 2009


*) Pete-pete = Mikrolet, angkutan kota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar