Selasa, 03 Mei 2011

40. SETELAH DEMO BERAKHIR

Oleh : Hasbullah Said.-

SORE itu langit cerah. Tak ada awan bergelayut ataupun melintas mengotori langit biru. Hanya sesekali angin lembut berhembus perlahan dari balik perbukitan, tak jauh dari rumah tempat kediamanku. Namun tak mampu mengusikku dari atas sebuah balai-balai bambu yang kududuki.
Malah semakin terpaku enggan beranjak karena semakin asyik aku me-nikmati indahnya panorama senja yang menggodaku. Bernaung di bawah teduhnya sebuah pohon harumanis tumbuh didepan halaman rumahku yang sedang berbuah ranum.
Purnama malam perlahan lamban naik menyelinap menampakkan dirinya di balik celah pepohonan yang rindang, seolah senyum manis menatap mayapada ini yang diam termangu.
Malampun merayap perlahan menuju gelapnya yang mencekam. Sunyinya malam melahirkan bayang-bayang kecemasan datang bergelayut dibenakku.
Ketika beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di kota ini, mendatangi kantor kami di mana tempat aku bekerja, berunjuk rasa, menuntut Ujian Negara dihapuskan, bahkan menuntut pula Kopertis dibubarkan dengan alasan bahwa Kopertis tidak memberikan peluang kepada PTS untuk mandiri sejajar dengan Perguruan Tinggi Negeri dan banyak lagi tuntutannya dibuat-buat yang tidak rasional.
“Hapuskan Ujian Negara!”
“Bubarkan Kopertis!” begitu teriak mereka serentak dengan suara gaduh dan lantang.
“Kami harap agar Pak Koordinator, memberikan klarifikasi kepada kami tentang keberadaan Kopertis, jangan kerjanya hanya melaksanakan Ujian Negara saja melulu yang sangat merugikan bagi kami mahasiswa.” begitu orasi salah seorang mahasiswa yang mengenakan atribut almamater PTS-nya, melalui megaphone mengaku dirinya koordinator lapangan.
Perlahan-lahan mahasiswa pengunjuk rasa dari berbagai PTS, berdatangan memadati pelataran parkir halaman depan kantor Kopertis, mereka meneriakkan yel-yel dengan kepalan tinju.
“Hidup PTS, hidup mahasiswa!”
“Hidup Reformasi!”
“Hapuskan Ujian Negara!”
“Bubarkan Kopertis!” begitu teriak mereka berulang-ulang kali dengan nada emosi yang tak terkontrol. Untung, karena tak lama kemudian aparat Kepolisian segera datang mengantisipasi suasana kemungkinan terjadinya perbuatan anarkis yang akan dilakukan oleh mahasiswa pengunjuk rasa.
“Diminta satu orang perwakilan mahasiswa dari masing-masing PTS untuk segera bernegosiasi dengan Bapak Koordinator.” begitu teriak salah seorang staf Kopertis melalui pengeras suara.
Suasana perlahan-lahan tenang ketika masing-masing perwakilan mahasiswa memasuki ruang rapat kantor Kopertis IX.
“Selamat pagi adik-adik mahasiswa.” begitu Pak Koordinator memulai memberi salam kemudian ia lanjutkan.
“Pembubaran suatu institusi yang resmi apalagi instansi pemerintah seperti Kopertis, saya kira tak semudah apa yang adik-adik mahasiswa bayangkan. Kopertis bukanlah perkumpulan arisan yang seenaknya begitu mudah untuk dibubarkan. Ada mekanisme yang harus ditempuh dengan berbagai pertimbangan yang matang, begitu pula Ujian Negara. Silahkan adik-adik mahasiswa berhubungan dengan pusat, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi karena keberadaan Kopertis dan pelaksanaan Ujian Negara ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, jadi tuntutan adik-adik mahasiswa salah sasaran.” begitu uraian singkat Pak Koordinator. Sesudahnya, suasana dalam ruang rapat semakin panas dan tegang, mahasiswa tidak mau menerima pernyataan dari Pak Koordinator.
“Sekalipun Pak Koordinator tidak berkata demikian, kami telah siap berangkat ke Jakarta dalam waktu dekat menemui Bapak Menteri Pendidikan Nasional mengusulkan pembubaran Kopertis, dan bilamana tuntutan kami tidak direspons oleh Koordinator, maka kami akan turun lagi membawa massa mahasiswa jauh lebih besar sepuluh kali lipat dari jumlah yang ada sekarang.” ancam salah seorang perwakilan mahasiswa yang hadir dalam pertemuan itu.
“Ya, silahkan kami tidak menghalangi adik-adik mahasiswa asalkan sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan oleh pihak yang terkait.” sahut Pak Koordinator dengan nada perlahan.
“Tunggu saja, kami akan datang lagi kemari.” ancam mereka sambil beranjak meninggalkan ruang rapat Kantor Kopertis IX.
Massa mahasiswa pengunjuk rasa berangsur-angsur membubarkan diri dengan tertib sembari meneriakkan yel-yel.
“Hidup PTS, hidup mahasiswa!”
“Bubarkan Kopertis, hapuskan Ujian Negara!” begitu teriak mereka sambil meningalkan pelataran parkir halaman depan kantor Kopertis IX dengan mengendarai sepeda motornya masing-masing, melahirkan suara bising maraung-raung memekakkan telinga menyisakan asap putih menyebar membubung ke atas, memerihkan mata telanjang.

***
Beberapa bulan kemudian. Hari masih pagi, namun rombongan mahasiswa PTS telah banyak berdatangan lebih awal memenuhi hampir seluruh koridor lantai 1 bagian urusan ijazah. Kali ini mereka datang tidak lagi memakai jaket atau atribut almamater, akan tetapi mereka masing-masing membawa sebuah map berisikan foto copy Ijazah yang hendak dilegalisir untuk dipakai melamar kerja di berbagai instansi pemerintah yang akan merekrut beberapa sarjana dari berbagai kualifikasi di siplin ilmu.
Ketika mereka menyodorkan Ijazahnya lewat loket yang telah tersedia, betapa kecewanya mereka setelah mendapat penjelasan dari karyawan petugas legalisasi, bahwa Kopertis tidak punya kewenangan lagi melegalisir Ijazah PTS. Mendengar penyampaian itu, mereka saling bertatapan heran menanyakan kenapa demikian, bahkan mereka tak mau mengerti bila Ijazahnya tidak dilegalisir.
“Kami telah mengajukannya pada panitia penerimaan calon pegawai, namun petugas disana menolak keras tidak mau mengerti dengan alasan apapun, mengatakan bahwa ijazah PTS harus di legalisasi oleh pihak yang berwewenang dalam hal ini Kopertis IX.” sahut salah seorang dari mereka dengan nada kesal.
“Kembalilah ke PTS-mu masing-masing berikan Ijazahmu kepada pimpinan PTS saudara untuk dilegalisir, karena perubahan kebijakan ini telah ditetapkan dengan surat keputusan Mendiknas. Jadi saya harap agar saudara-saudara dapat menerimanya dengan lapang dada.” demikian penjelasan salah seorang petugas legalisasi ijazah.
“Kalau itu dapat dimengerti oleh panitia penerimaan calon PNS, kalau tidak, bagaimana nasib kami sebagai pemilik ijazah asal PTS?” ketus salah seorang dari mereka mencoba bertahan ngotot untuk tetap dilayani.
“Itu bukan urusan kami lagi, berilah pengertian sebaik mungkin, karena itu jauh sebelumnya telah diberi surat edaran bagi setiap instansi pemerintah maupun swasta.” sahut petugas legalisasi sambil beranjak meninggalkan mereka menuju ke salah satu ruangan.
Dan dengan perlahan, berangsur-angsur mereka meninggalkan ruangan legalisasi Ijazah dengan hati yang kesal.
Hari hampir sore. Waktu telah menunjukkan tepat pukul 15.00 siang. Disebuah bangku-bangku panjang terletak persis didepan pintu masuk ke ruangan legalisasi Ijazah, seorang perempuan muda masih saja duduk sendirian disitu sambil memegang sebuah map warna merah muda.
Dia mengenakan jilbab warna kuning telur, sangat serasih dengan kulitnya yang berwarna sawo matang. Ujung-ujung jilbabnya bergoyang tertiup pusaran angin siang. Aku berjalan menghampirinya lalu menyapanya.
“Apa perlu adik saya bantu?” begitu tegurku menawarkan jasa baikku terhadapnya, karena aku prihatin melihatnya duduk sendirin disitu tanpa ditemani oleh siapa-siapa, lalu aku duduk didekatnya diatas bangku-bangku itu. Ia tidak segera menyahuti tanyaku sementara ia merunduk kearah bawah ubin keramik, sambil memegangi sebuah map warna merah muda. Sesaat kemudian perlahan ia me- ngangkat wajahnya menatapku dengan kerut wajah yang sendu.
“Iya, terima kasih Pak.” sahutnya lirih.
“Apa barang kali.” ulangku sekali lagi bertanya sambil melempar senyum padanya.
“Sama dengan teman-temanku yang sudah pulang duluan berharap ijazahnya disahkan.”
“Ouw, sangkaanku mereka datang berunjuk rasa menuntut Kopertis di-bubarkan.” kataku menyindir. Perempuan itu sejenak diam, lalu map yang dipegangnya dikibas-kibaskan kearah tubuhnya menghalau gerah udara di siang itu.
“Jangan berprasangka buruk begitu Pak, tak sejauh itu kami berbuat de-mikian, kami datang hanya meminta agar ijazah kami disahkan, karena ditempat kami melamar kerja untuk diangkat menjadi calon PNS, ditolak karena tidak dilegalisir oleh yang berwewenang dalam hal ini Kopertis.” lanjutnya lagi sambil menatapku dengan kerut wajah sendu.
“Maaf dik, saya tak dapat berbuat banyak karena Kopertis tak punya lagi kewenangan untuk melegalisir Ijazah PTS. ”
“Kalau begitu, apa artinya ijazah ini, lebih baik saya sobek saja atau saya musnahkan, daripada saya bawa kemana-mana, namun tak dapat dihargai sebagai Ijazah sarjana yang sah.” begitu ancamnya emosi disertai tatapan mata yang berkaca-kaca menahan rasa emosi bergelayut dihatinya.
“Begini dik, temuilah pimpinan PTS-mu minta Ijazahmu dilegalisir, kemudian kembali lagi ke tempat pendaftaran di mana kamu melamar pekerjaan, berilah pengertian padanya bahwa telah terjadi perubahan berdasarkan surat keputusan Mendiknas, bahwa Ijazah sarjana PTS, cukup di legalisir oleh masing-masing pimpinan PTS yang bersangkutan.” kataku perlahan memberi pengertian padanya sembari menepuk pundaknya. Mendengar ucapku, ia mengangguk sedih lalu menghapus air matanya yang jatuh mengelinding membasahi wajahnya yang nampak memerah.
“Terima kasih Pak.” sahutnya lirih kemudian bangkit dari duduknya berlalu meninggalkanku di atas bangku-bangku itu.
Malam telah hampir larut, segera kuberanjak dari dudukku, kemudian berjalan masuk menuju kamar tidurku dengan langkah tertatih-tatih, karena rasa ngantuk telah datang menyerangku tak tertahankan.
Aku berupaya membuang jauh-jauh rasa cemas dihatiku, hingga aku terlelap dari tidurku jelang pagi hari yang cerah.(*)

Makassar, 27 Juni 2006

Tabloid Cerdas Kopertis IX, 05 Maret 2006
Harian Radar Bulukumba, 29 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar