Selasa, 03 Mei 2011

41.TUTUR BUNGA PADA DINAR

Oleh : Hasbullah Said.-


DINAR SULKIFLI, melarikan sepeda motor Supra Fit-nya dengan ke-cepatan tinggi diatas aspal mulus. Melaju keutara kemudian belok ke arah timur kota. Terus tancap gas tanpa peduli Bunga di boncengannya meringis ketakutan berpegang erat di pinggangnya setengah lingkar.
Ujung-ujung jilbab Bunga dibalik helem pengaman yang ia kenakan melambai-lambai tertiup oleh derasnya angin kencang, bukti nyata kecepatan sepeda motor yang dikemudikan Dinar berada diatas ambang batas.
Cubitan bertubi-tubi mendarat dipunggung Dinar pertanda suatu isyarat tidak setuju dengan kecepatan tinggi berharap agar laju sepeda motornya di-perlambat.
Suara rintihan Bunga nyaris tak terdengar olehnya tertelan kesiur angin yang menerpa kencang.
“Berhenti, turunkan aku disini!” begitu teriaknya dengan suara samar-samar hampir tak terdengar oleh Dinar.
“Sebentar, nanti setelah kita tiba di Pos Kamling depan situ.” sahutnya dengan nada tipis dipendengaran Bunga. Gas sepeda motornya segera diundur perlahan lalu berhenti tepat di depan Pos Kamling dibibir jalan protokol.
“Kita istirahat disini.” kata Dinar sambil duduk bersamanya diatas balai Pos Kamling itu.
“Sejak kapan kamu jadi pembalap?” tanya Bunga lirih setelah sejenak mengatur detak nafasnya yang tak beraturan didera oleh rasa cemas.
“Sejak aku kenal Bunga yang cantik lagi anggun.” sahut Dinar bercanda sambil menatap wajahnya yang nampak kelelahan sedikit pucat karena ketakutan.
“Jangan bercanda, ingin rekreasi atau cari mati.” bentak Bunga gemetaran.
“Kamu sendiri minta ditemani pergi rekreasi ke Bantimurung setelah usai di-
wisuda sebagai ungkapan rasa syukurmu kepada yang Maha Kuasa.” jawab Dinar.
“Benar, tapi tidak dengan cara seperti ini, bagai setan jalanan yang kesurupan haus darah.” lanjutnya lagi dengan nada tinggi. Dinar diam sejenak, membiarkan emosi Bunga terlampiaskan. Kendati dihatinya kini lahir penyesalan yang amat dalam.
“Maaf sayang, aku lakukan itu hanya berharap kita lebih awal tiba, agar tidak terperangkap kemacetan serta teriknya matahari yang akan menyiksamu, namun aku janji,….laju sepeda motorku akan kukurangi, pelan, bahkan perlahan sekali hingga kita tiba di permandian alam Bantimurung dengan selamat.” ujar Dinar dengan nada memelas sembari menyalami tangan Bunga dengan erat.
Hari masih pagi, namun suasana diseputar permandian alam Bantimurung telah dipadati oleh pengunjungnya berdatangan dari berbagai penjuru kota. Berdua memilih tempat tak jauh dari air terjun mengalir deras dari atas bukit sana tak pernah henti sepanjang masa. Bernaung di bawah rindangnya pepohonan yang berhawa sejuk. Tumpahan air dari atas perbukitan terdengar gemuruh menyisakan busa putih keperakan, membuat Bunga merasa betah berlamaan disitu enggan bangkit, kendati matahari perlahan beranjak naik menerpa punggung bukit.
“Aku merasa senang dan senang sekali berada disini Dinar, dengan suasana alamnya yang begitu asri.” ujarnya setelah sekian lama terdiam, sembari me- nyodorkan kepada Dinar bekal makanan ringan yang ia bawa serta dari rumahnya.
“Yuk, silahkan!”
“Terima kasih.” balas Dinar sembari meraih sekerat roti berisi kayak beraroma strowbery.
“Akupun demikian karena suasananya sama seperti sedang berada di kampung halaman sendiri.” ujarnya lagi sambil memperbaiki letak duduknya bersandar dibalik pohon cempaka bersama Bunga.
“Oh, hampir aku lupa, “Selamat” lanjutnya lagi menyalami Bunga dengan senyum menatapnya.
“Terima kasih.” balasnya pula dengan tatapan senyum tersungging dibibirnya.
“Kamu melamar kerja nantinya dimana.” tanya Dinar.
“Dimana lagi kalau bukan dihabitatnya sendiri. Oemar Bakrie. Pahlawan tanpa tanda jasa “
gurau Bunga disertai senyum sumringah. Kedua-duanya senyum bahagia didua insan yang sedang dimabuk asmara.
Matahari perlahan beranjak naik disela-sela rimbunnya pepohonan. Pengunjung permandian alam Bantimurung semakin ramai berdatangan dari semua arah. Hampir tak ada lagi tempat yang lowong disesaki oleh turis lokal bergerombol disetiap sudut ruang.
“Eh, Bunga, boleh tidak kamu cerita sedikit tentang pengalamanmu semasa kamu kuliah hingga selesai.”
“Kenapa tidak, asalkan kamu mau mendengarnya.” sahut Bunga sembari memperbaiki duduknya santai bersandar dipohon cempaka.
“Ya, Oke aku siap menjadi pendengar setia dari penuturanmu.”
“Begini,…..........!” ia mulai bicara, lalu sejenak berhenti mengatur nafasnya mendehem menelan ludah yang tersendat ditenggorokannya.
Aku dilahirkan dan di besarkan disebuah desa terpencil. Sejak kecil aku bercita-cita ingin jadi guru sekolah. Di desaku ketika itu guru masih sangat kurang, sehingga seorang guru dimata masyarakat pedesaan sangat disanjung dan dihormati karena profesi guru dianggap sangat mulia dibanding dengan profesi atau pekerjaan lainnya.
Sayangnya, ketika aku tamat di SMP, Sekolah Guru atau SPG (Sekolah Pendidikan Guru) keburu ditutup dengan alasan kurang kumengerti. Akhirnya dengan terpaksa aku lanjut sekolah di SMA di ibu kota Kabupaten.
Setamat aku nganggur lama, tidak lanjut kuliah di Perguruan Tinggi karena ketiadaan biaya. Setelah sekian lama menganggur, didesaku, sebuah Perguruan Tinggi Swasta buka kelas jauh dari salah satu PTS*) yang berkedudukan di ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Tentunya seluruh masyarakat pedesaan menyambutnya dengan rasa gembira karena tak susah lagi pergi kekota lanjut kuliah membuang banyak biaya.
Bagai jamur di musim hujan, begitu PTS berkembang dengan pesat tersebar dimana-mana membuka kelas jauh dengan istilah filial. Program studi yang ditawarkan Pendidikan Sosial, yang dianggap sangat cocok bagi masyarakat pedesaan.
Aku mencoba mendaftar sebagai mahasiswa walau harus rela mengorbankan segalanya dengan menjual sebahagian harta warisan dari kedua orang tuaku yaitu sebidang tanah persawahan untuk biaya-biaya kuliahku yang begitu mahal.
Kuliah dilaksanakan sekali dalam seminggu, yaitu hari Sabtu jelang tengah malam. Dilanjutkan pada pagi harinya hingga tengah hari. Minggu sorenya, Dosen pengajar baru balik ke ibukota Provinsi. Kuliah dipadatkan secara maraton setara dengan pertemuan 37½ jam perminggu, itu berdasarkan penyampaian dari petugas PTS bersangkutan ketika kuliah perdana diadakan.
Awalnya, perkuliahan berjalan lancar tanpa ada hambatan yang berarti, sehingga mahasiswa mengikutinya dengan tekun dan tertib. Namun lama kelamaan kuliah mulai berjalan tersendat-sendat, dalam satu bulannya pertemuan hanya tinggal satu kali, bahkan kadang sama sekali tak ada kuliah.
Karena terlanjur basah, lagi pula biaya yang aku keluarkan sudah tak terhitung jumlahnya, maka aku tetap bertahan aktif mengikuti segala aktifitas perkuliahan dan akhirnya akupun sempat berhasil menyelesaikan studiku dengan meraih predikat Sarjana Pendidikan.
***
Beberapa tahun kemudian. Ditempat terpisah Bunga kembali bertutur pada Dinar. Seusai aku menyelesaikan studiku pada jenjang program S1, pemerintah Kabupaten melalui BKD (Badan Kepegawaian Daerah) mengumumkan akan merekrut dari berbagai kwalifikasi pendidikan untuk diangkat menjadi calon Pegawai Negeri Sipil, termasuk pengangkatan tenaga guru dan perawat yang di perioritaskan karena sangat di butuhkan.
Mendengar berita itu, aku sangat gembira karena kesempatan terbaik bagiku untuk melamar menjadi guru. Segera aku berangkat ke ibu kota Kabupaten mendaftarkan diri untuk ikut dalam seleksi calon PNS dengan membawa serta perlengkapan seadanya.
Jejalan para pelamar terlihat berdesak-desakan di depan loket pendaftaran menyodorkan berkas lamarannya kepada panitia seleksi. Lama aku menunggu giliran untuk dipanggil bersama para pendaftar lainnya. Dan tak lama kemudian suara setengah berteriak dibalik loket terdengar menyebut namaku dipanggil.
“Bunga,……!”
“Saya Pak.” sahutku sembari berlarian menerobos masuk kerumunan para pendaftar lainnya didepan loket.
“Maaf, berkas saudara untuk ikut seleksi calon PNS terpaksa kami kembalikan.” ujar salah seorang petugas dibalik loket yang mengenakan seragam kain kheky.
“Alasannya Pak?” tanyaku bingung penasaran.
“Karena tidak memenuhi syarat untuk ikut seleksi berdasarkan hasil keputusan yang telah ditetapkan oleh Panitia.”
“Maksudnya?” tanyaku ulang dengan nada kesal sambil menerima kembali berkas yang di serahkan padaku.
“Ijazahnya ilegal, karena dikeluarkan oleh lembaga PTS yang tidak terakreditasi oleh yang berwenang berdasarkan Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.(BAN PT)” sahut petugas itu dari balik loket pendaftaran.
Mendengar jawabnya aku semakin bingung dibuatnya, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Lalu kembali aku berteriak dari balik loket pendaftaran memprotes penolakannya.
“Saya ini Pak, bukan lulusan dari PTS liar, akan tetapi filial kelas jauh dari PTS ternama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi.” begitu teriakku emosi.
“Sudah,….sudahlah…., lihat ini kalau kamu tak percaya” sahut petugas seleksi sembari memperlihatkan padaku sebuah Tabloid Pendidikan dari balik kaca jendela memuat daftar PTS yang tidak terakreditasi.
“Melihat itu, aku urung kebelakang dengan cucuran keringat dingin yang mengalir membasahi hampir sekujur tubuhku, badanku lunglai bagaikan hancur tak bertenaga. Baru aku sadar bahwa PTS tempatku kuliah tidak terakreditasi alias ilegal.
Nasib serupa juga dialami oleh beberapa pendaftar lainnya. Mereka kecewa dan sepakat akan menuntut pertanggung jawaban dari pimpinan PTS-nya yang dianggap sebagai pembohongan publik dengan tendensi penipuan intelektual.
Aku segera bergegas pulang ke rumah dengan rintihan hati yang perih, menangis sesunggukan dalam kamarku yang pengap. Impian untuk menjadi seorang Patriot tanpa tanda jasa kini telah sirna, hancur luluh berkeping-keping. Kini tinggal impian bagiku yang tak akan pernah terwujud, entah kapan.”
Begitu Bunga mengakhiri ceritanya sambil mengusap air matanya jatuh mengelinding membasai wajahnya yang kuning langsat.
“Sudahlah dik, semoga hal tersebut telah menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga buat kita semua.” bujuk Dinar sambil memeluk Bunga dengan erat sembari mengusap rambutnya sebagai ungkapan rasa simpati padanya.(*)


Makassar, 22 Juli 2007

*) PTS = Perguruan Tinggi Swasta

Harian Radar Bandung, 30 Maret 2008
Mingguan Inti Berita, 21 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar