Selasa, 03 Mei 2011

43.SEPEDA SIM-KING WARNA BIRU

Oleh : Hasbullah Said.-

PEREMPUAN itu turun dari atas sebuah becak. Kemudian ia berjalan sambil menyadang tasnya yang berisi buku catatan kuliahnya. Mengayunkan langkah perlahan menuju ruang kuliah khusus bagi mahasiswa baru. Pagi itu dia mengenakan blous warna biru muda di gandengkan dengan rok warna abu-abu. Sangat serasih dengan warna kulitnya yang hitam manis.
Aku bersama beberapa teman mahasiswa lainnya masih saja duduk di atas bangku-bangku di koridor lantai dua Fakultas Hukum Kampus Merah. Bercerita banyak tentang pengalaman masing-masing selama MAPRAM*) diadakan. Lama kami ngobrol sambil menunggu dosen yang akan memberikan kuliah perdana hari itu. Titin nama perempuan itu berlalu di hadapan kami, hendak menuju ruang kuliah.
“Ehem, Bu Hakim sudah datang.” kelakar Rudy teman duduk di sampingku.
“Ya, dong memangnya aku ini Bu Hakim.” sahutnya seraya menebar senyum mengajak kami masuk ke ruang kuliah.
“Yuk, mari kita masuk!” begitu pintanya sambil kami berjalan bareng masuk keruangan bersamanya. Kami pilih tempat duduk paling depan agar kuliah dapat kami terima dengan jelas. Jam pertama usai sudah. Dosen yang bersangkutan kini meninggalkan ruang kuliah.
Hari itu kami hanya mendapat satu mata kuliah saja. Mahasiswa ber-hamburan keluar ruangan kuliah untuk segera pulang ke rumahnya masing-masing.
Pulang pergi kuliah waktu itu, aku mengendarai sepeda kumbang Merk Sim-King warna biru pemberian ayahku sebagai hadiah untukku karena aku berhasil lulus test masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Di Fakultas tempatku kuliah masih kurang mahasiswa yang memilikinya. Saat itu, sepeda Sim-King sangat digemari anak-anak muda dipakai pergi sekolah atau kuliah.
“Wan, Iwan dengan siapa kamu temani pulang?“ tanya Titin.
“Sendirianku. “ jawabku.
“Boleh, tidak aku ikut denganmu?“ pinta Titin padaku.
“Maaf tidak menerima penumpang!” sahutku bercanda padanya berpura-pura menolaknya.
“Hanya daku seorang, biar di pinggir asal, tidak disambang kayu**)…….!” begitu pula candanya sambil meloncat naik diatas boncenganku. Perlahan-lahan sepedaku kukayuh dan kukayuh lagi diatas aspal panas membara melewati jalan G.Bulusaraung menuju kearah barat kota.
Dalam perjalanan pulang aku dibayang-bayangi oleh suatu perasaan aneh, entah perasaan apa itu namanya. Jantungku berpacu keras, seiring irama gesekan ban sepedaku bersentuhan dengan aspal yang mulus.
“Eh, Titin, apa tidak ada orang yang merasa cemburu melihat kita pulang berdua.” tanyaku setelah sekian lama Titin diam duduk di boncenganku.
“Maksudmu?” tanya Titin di belakangku.
“Ya, itu,……senior kita.” kataku tersendat terputus-putus.
“Maksudmu, si Hery?”
“Ya,” sahutku mengangguk.
Kembali kami diam, masing-masing dibayangi oleh perasaan sendiri-sendiri. Sementara sepedaku tetap kukayuh dan kukayuh lagi membuat keringatku mengalir membasahi hampir sekujur tubuhku.
Kukenal Hery adalah kakak senior kami yang kini telah duduk di tingkat tiga. Dia banyak memberi perhatian terhadap Titin disaat Mapram berlangsung, bahkan melindunginya bila ada kakak senior lainnya yang hendak mengerjainya.
Kemana Titin pergi di situ pasti ada Hery. Sepertinya dia tak mau lepas dari Titin. Sehingga saat itu Titin merasa risih juga dibuatnya, karena menjadi pusat perhatian dari teman-teman kami. Tapi dia tak dapat berbuat banyak karena Hery adalah kakak seniornya.
“Hery itu, khan kakak senior kita.” lanjut Titin bicara padaku setelah sekian lama terdiam.
“Cemburu ya?” goda Titin.
“Justru dia yang cemburu melihat kita berduaan pulang bersama.” jawabku,
sambil kukayuh lagi sepedaku lebih laju dari semula, sehingga tak terasa oleh kami
telah hampir tiba di persimpangan jalan Jend.Sudirman menuju lapangan Karebosi.
“Kita istirahat di sini Titin!” pintaku padanya sambil kusandarkan sepedaku di tiang listrik bernaung di bawah teduhnya pohon beringin tumbuh di pinggir lapangan Karebosi, kemudian kami duduk di atas sebuah bangku-bangku kayu. Di sekitar situ banyak dijual aneka ragam makanan dan minuman. Kupesan dua gelas es tape, sekadar penyejuk kerongkongan kami diserang oleh haus dahaga yang tak tertahankan.
“Hery itu kayaknya curiga terhadap kita berdua.”
“Curiga bagaimana?” tanya Titin di sampingku sambil meneguk es tape yang tersisa sedikit dalam gelasnya.
“Masa kamu tidak mengerti maksudku.” kataku lagi menjelaskannya.
“Ya, itu disaat Mapram kemarin, memang dia selalu menguntitku, tapi sekarang khan Mapram telah usai, maka tentunya tak ada lagi masalah.”
Udara siang berhembus sejuk mengelus tubuh kami. Perlahan-lahan menggusur gerah udara dibulan September. Pohon beringin berdaun rimbun dahannya bergoyang tertiup angin siang menggugurkan dedaunannya yang menguning berserakan di mana-mana.
“Ah, kalau begitu mari kita lupakan saja si Hery.”
“Tapi, bersediakah kamu untuk melupakannya?” tanyaku lagi seolah memancing dia.
“Ah, sudahlah!“ potong Titin.
Masih kami duduk disitu, dibawah teduhnya pohon beringin sambil berbicang tentang berbagai kegiatan di kampus, termasuk Mapram yang baru-baru ini selesai di laksanakan, lalu Titin berujar lagi setelah sekian lama ia diam.
“Apa maksud teman-teman kita di kampus memanggilku Bu, Hakim?”
“Itu berarti suatu penghormatan besar bagimu.” kataku memuji.
“Penghormatan atau penghinaan?”
“Tentu penghormatan dong.”
“Buktinya.”
“Itu khan suatu motivasi buatmu, siapa tahu selesai sarjanamu nanti kamu jadi Hakim Agung.” begitu kelakarku.
“Jangan mimpi di siang hari bolong, sekarang saja kita baru tingkat persiapan, apa lagi mau jadi Hakim Agung.” bantah Titin dengan nada sedikit emosi.
”Jangan cepat emosi, namanya saja angan-angan.” kataku lagi me-nenangkannya. Titin diam lagi. Es tape di tangannya perlahan-lahan disedot dari dalam gelasnya hingga habis. Matahari siang tak seterik lagi seperti diawal kami tiba.
Perlahan-lahan awan hitam bergelayut memayungi mentari pertanda sebentar lagi hujan lebat akan turun.
“Titin!” panggilku sembari mencolek pangkal lengannya.
“Ada apa?“ tanya Titin.
“Eh, apa program kerjamu nanti setelah kamu jadi Hakim Agung.” tanyaku lagi memancing dia.
“Gila kamu kali.” jawabnya dengan nada tinggi sambil menatapku tajam.
“Tidak apa-apa, dari jauh hari khan kita bisa programkan lebih awal.”
“Maksudmu?” tanya Titin penasaran.
“Misalnya, kelak bila aku jadi Hakim Agung, maka pertama-tama aku akan,…..”
“Kalau hanya itu, gampang.” potong Titin dengan bersemangat.
“Kelak bila aku jadi Hakim Agung, maka prioritas utama program kerjaku, aku akan jatuhi hukuman mati bagi setiap Koruptor baik kelas kakap maupum kelas teri tak pilih kasih biar ia mampus karena terlalu banyak merugikan Negara, yang berimbas pada rakyat kecil seperti aku.” lanjut Titin dengan nada tegas.
“Bagus, bagus Bu, Hakim, kita sepakat sama-sama memerangi Koruptor apapun bentuknya, itu suatu program kerja yang sangat mantap.” kataku sambil mengulurkan tanganku menyalaminya. Titin menatapku senyum akupun mem-balasnya senyum mata kami berbenturan senyum bahagia.
Hari jelang senja, langit lagi mendung, dicakrawala atas semakin tebal awan hitam bergelayut menandakan hujan lebat segera akan turun. Kami bergegas meninggalkan tempat itu, menaiki sepedaku lalu kukayuh perlahan di atas aspal mulus, sementara Titin di boncenganku berpegang erat setengah lingkar di- pinggangku berjalan menuju rumah Titin.
“Selamat sore, sampai jumpa lagi esok hari di kampus.” ujarnya sembari bergegas turun dari atas boncenganku berjalan masuk ke rumahnya di keheningan senja berpayung awan tebal yang tak lama lagi hujan lebat akan turun mengguyur bumi.
***
Keesokan harinya di kampus, ketika kuhendak pulang kerumah bersama Titin, aku berjalan perlahan menuju belakang gedung kuliah di mana tempat sepedaku di parkir. Betapa terkejutnya aku, ketika kudapati sepedaku sudah tak ada lagi di tempatnya.
Aku berusaha keras mencarinya disetiap sudut ruang, namun hasilnya nihil. Kutanyakan kepada siapa saja yang kutemui termasuk teman-teman kuliahku.
“Tak tahu” begitu jawab mereka disertai dengan gelengan kepala. Mereka anjurkan padaku agar segera lapor ke-Polisi, namun aku menolaknya karena tak ada waktuku untuk mengurusnya.
Aku hanya pasrah berserah diri kepada Yang Maha Kuasa disertai do’a semoga ada hikmah dibaliknya. Akhirnya aku yakin bahwa sepedaku raib dicuri orang. Terpaksa aku pulang ke rumah numpang sebuah becak bersama Titin.
“Aku sangat sedih hati atas kehilangan sepedamu yang telah banyak berjasa terhadap kita berdua.” kata Titin iba ketika becak yang kami tumpangi hendak berhenti tepat di depan rumahnya.
“Asal jangan kehilangan Titin yang begitu aku sangat sayangi.” balasku bercanda seraya kutepuk pundaknya. Titin melempar senyum padaku sembari bergegas turun dari atas becak yang kami rumpangi lalu berjalan perlahan masuk ke- rumahnya.(*)

Makassar, 14 Pebruari 1970

Mingguan Progresif, 05 Maret 1970
Harian Radar Bandung, 27 April 2008
*) disambang kayu = bhs daerah Makassar artinya asal tdk tersangkut dipohon kayu
*) MAPRAM = Masa Pra Mahasiswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar