Selasa, 03 Mei 2011

45. KAPANKAH SAATNYA TIBA

Oleh : Hasbullah Said.-


PERLAHAN-LAHAN aku mengayunkan langkah berjalan memasuki pekarangan rumahnya yang tak seberapa luasnya. Berjalan diatas rumput hijau yang telah mulai basah tertimpa oleh embun malam. Ketukan sepatuku melangkolik terdengar memecah kebekuan malam, memaksakan aku segera hadir diantara lambaian bunga bogenvile yang tumbuh tepat didepan jendela kamarnya.
Semilir malam berhembus lembut mengelus ari kulit tubuhku dibalik jaket blue jeans yang kukenakan. Selembut wajah Yanti dulu sebelum aku dipenjara. Enam bulan aku meringkuk didalamnya. Dipenjarakan aku bukan karena penggelapan uang negara, ataupun aku terlibat dalam kelompok teroris yang telah banyak menelan korban jiwa dan harta manusia. Melainkan kecorobohan tanganku mempermainkan sebuah pistol FN milikku, mengakibatkan korbannya seorang bocah sedang bermain didepan rumah terkapar bersimbah darah
Sebagai Komandan SATPAM, aku dibekali sebuah pistol FN oleh kepala kantorku dimana tempat aku bekerja sebagai pengamanan bila sewaktu-waktu aku diberi tugas mengawal karyawan ke Bank untuk menyetor atau menarik uang dalam jumlah yang cukup banyak.
Andaikan sakratil maut yang kejam datang menjemputnya, maka tak tahulah apa yang harus aku lakukan pada saat itu. Kiranya Allah Yang Maha Kuasa masih melindungi nyawa hamba-Nya yang daif menghendaki umurnya panjang. Untung ketika itu keluarga korban mau berdamai dengan berharap semua biaya-biaya rumah sakit serta biaya-biaya lainnya aku yang tanggung, sehingga hukuman yang di jatuhkan padaku tidak terlalu berat.
Selama dalam penjara, aku selalu kebingungan memikirkan nasib diriku serta nasib keluargaku. Kukira ini suatu cobaan berat, dan juga sebuah pelajaran yang sangat berharga bagiku.
Didalam penjara yang sempit lagi pengap itu, aku selalu merenung-renung mengenang nasibku yang malang. Banyak persoalan yang muncul dibenakku membuat pikiranku kalut, tiba-tiba ada kerinduan bergelayut dihatiku, rindu ingin ketemu dengan keluargaku dan juga ada kerinduan pada seseorang yang menjadi idolaku dalam perkumpulan Orkes Melayu Gita Malam yang aku pimpin.
Aku rindu dan sangat rindu terhadap Yanti demikian nama biduanitaku yang cantik Seminggu sehabis aku dibebaskan dari penjara, aku berupaya menemuinya. Akhirnya kuputuskan ini malam juga aku harus ketemu dengannya.
Terus kumelangkah berjalan diatas rumput hijau, dan tak lama kemudian, pintu rumahnya kuketuk dari luar, lalu aku berujar.
“Selamat malam Yanti.” kataku lembut mengucap salam padanya.
“Selamat malam.“ balasnya sambil mempersilahkanku duduk diatas kursi tamu.
“Selamat.” ujarnya sekali lagi sambil melempar senyum padaku kemudian ia menjabat tanganku.
“Terima kasihYanti.” balasku.
“Maaf Jaya, kemarin aku tidak muncul di penjara menjemputmu ketika masa tahananmu berakhir, karena,……. Kak Jaya tentu telah mengerti semuanya.”
“Benar Yanti, aku mengerti dan sangat mengerti akan tetapi dia Ros tak juga muncul-muncul sekalipun dia tahu bahwa hari itu adalah hari berakhir masa tahananku. Betapa kecewanya hatiku karena tak satupun keluargaku termasuk istri dan kedua anakku yang datang menjemputku.”
“Entah, aku tak tahu mengapa begitu, tega hati nian berbuat demikian, padahal seharusnya dia berbahagia menjemput kepulanganku dihari pembebsanku. Makanya hari itu aku sangat kecewa terhadapnya. Kalau kuhitung sejak aku dalam penjara boleh dikata hanya dua kali saja dia Ros istriku, datang menjengukku. Engkau lebih banyak memperhatikanku dari pada dia.Itulah aku datang menemuimu malam ini untuk menyampaikan terima kasihku atas segala rasa simpatimu padaku.”
“Ya, mungkin dia takut terjadi peperangan didalam penjara.” kataku lagi bergurau sambil senyum padanya.
“Kan begitu Yanti?”
“Ya, begitulah Kak Jaya.“ ujar Yanti sambil mempersilahkanku meneguk secangkir kopi hangat yang tersaji diatas meja.
Malam perlahan-lahan merangkak ketitik larutnya yang kian mendekat. Kulempar pandanganku keluar lewat jendela ruang tamu, kulihat bulan purnama dilangit nampak bersinar terang berayun-ayun diatas ranting pohon, tak ada awan bergelayut disitu. Segera aku mohon pamit padanya.
“Aku mohon pamit, kali lain aku akan datang lagi kemari.“ ujarku sambil beranjak pergi meninggalkannya.
“Selamat malam Yanti.“
”Selamat malam.” balasnya sambil berjalan mengantarku keluar hingga depan pintu pekarangan rumahnya.
Setiba aku dirumah, kudapati semua pintu-pintunya terkunci rapat, sekalipun aku mengedor-gedornya dari luar, namun tak ada jawaban dari Ros istriku. Dia tak membukakanku pintu. Aku tahu pasti bahwa dia marah besar terhadapku karena mungkin dia tahu bahwa aku baru pulang dari rumah Yanti.
Akhirnya malam itu terpaksa aku tidur diluar, diatas kursi teras rumahku hingga keesokan paginya. Disinilah awal keretakan rumah tanggaku, karena aku tak menerimanya diperlakukan seperti itu. Pada siang harinya terjadilah suatu pertengkaran hebat antara aku dengan Ros istriku.
Dalam rumah tanggaku yang bahagia kini telah berubah menjadi neraka yang menyiksaku sepanjang hari, tiada hari tanpa perang mulut. Akhirnya pada keesokan harinya sepulang aku dari kerja kudapati istriku Ros sudah tak ada lagi dirumah beserta kedua anakku. Semua pakaian serta perlengkapan lainnya yang ada dalam lemari dibawanya pergi. Biasanya kalau dia marah-marah padaku pelariannya satu-satunya adalah kerumah orang tuanya.
Kini sudah seminggu kepergiannya namun belum juga pulang-pulang kerumah. Sebenarnya aku masih mencari jalan terbaik untuknya dengan menunggu sampai kapan hatinya sadar kemudian dia kembali kerumah berkumpul bersamaku. Namun berminggu-minggu aku menunggu dan menunggu lagi kepulangannya akan tetapi sia- sia adanya.
Disuatu malam disebuah pesta pernikahan, Orkes Melayu Gita Malam yang aku pimpin dipercayakan untuk menghibur para undangan.Yanti biduaninaku malam itu melantunkan lagu-lagu kenangan sangat memukau para hadirin memuji kebolehannya berlenggang lenggok diatas panggung membawakan lagu andalannya dengan sangat sempurna. Terakhir, lebih meriah lagi ketika aku berpasangan dengannya melantunkan lagu dangdut kenangan lama. Ironisnya, pada malam itu istriku Ros juga hadir dalam pesta itu menyaksikan penampilan kami diatas panggung. Aku tahu pasti hatinya didalam hancur melihat penampilanku diatas panggung bersama Yanti.
Beberapa minggu kemudian, Ros istriku mengajukan gugatan cerai di-pengadilan agama. Aku hanya pasrah saja ketika gugatannya dimenangkan olehnya.
Aku menemui Yanti lagi dirumahnya dan semua peristiwa yang kualami kuceritakan padanya. Mendengar ceritaku, ada rasa iba lahir dihatinya lalu ia memberi semangat kepadaku.
“Tentu tidak akan selamanya demikian, hidup ini silih berganti Kak Jaya, susah senang itulah romantikanya hidup, dan badai pasti akan berlalu.” katanya iba sembari menatapku dengan mata berkaca-kaca menyesalkan peristiwa itu terjadi.
“Dik Yanti.“ panggilku setelah sekian lama ia berdiam diri.
“Ya, Kak.“
“Bersediakah kamu menerima kehadiranku?” tanyaku padanya setelah beberapa saat kami terdiam.Lama sekali, kecuali kesiur angin malam diluar terdengar menerpa pucuk-pucuk pepohanan rindang.
“Maksud Kak Jaya?”
“Ya,…..Janda dan Duda mohon di persatukan.” kataku sambil menatapnya lekat-lekat. Yanti diam, diam bersama kebisuaan malam yang semakin mencekam. Mendengar ucapku sepertinya ia tak dapat menahan rasa haru dihatinya. Kulihat ada butiran-butiran air bening mengalir perlahan membasahi wajahnya yang cantik.
“Kalau saja Kak Jaya tidak merasa gensi memperistrikan seorang janda.” katanya lirih.
“Kan akupun seorang duda.“ sahutku sambil menatapnya senyum.
“Janda dan Duda yang menyatu itu melambangkan sebuah cinta yang sejati kekal dan abadi.“ kataku lagi sambil memeluknya dengan erat. Sementara jam dinding berdentang dua belas kali menandakan bahwa waktu telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam seolah berujar, Kapankah saatnya tiba.(*)


Makassar, 30 Juni 19970

Mingguan Pogresif, 05 Juli 1970
Harian Radar Bulukumba, 30 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar