Selasa, 03 Mei 2011

46. CINCIN PERMATA BIRU

Oleh : Hasbullah Said.-

DITERMINAL tua itu. Mobil dinas yang aku tumpangi bersama Tim Medis Kabupaten dan Kota singgah di terminal itu, istirahat sejenak melepas lelah, setelah habis menempuh perjalanan jauh. Hendak melanjutkan perjalanan menuju suatu desa yang jaraknya kurang lebih 25 km lagi dari terminal kota Kabupaten ini.
Sebuah desa yang jauh terpencil kepedalaman, namun desa itu selama ini dikenal aman dan tenteram. Berada dibawah kaki gunung, berselimut kabut putih, menutupi hampir seluruh puncak gunung yang nampak kebiru-biruan, cantik kelihatannya dipandang dari jauh.
Lama aku tinggalkan desa tempat kelahiranku. Bertahun-tahun lamanya aku berada dikota, menuntut ilmu lanjut ke Perguruan Tinggi setelah aku tamat SD dan SMP, kemudian lanjut ke SMA di ibu kota Kabupaten ini, karena waktu itu didesaku belum ada sekolah menengah lanjutan tingkat atas.
Kupandangi desaku dari jauh, gunung kebiruan diterpa mentari siang sangat indah menawan hati. Kerinduan tiba-tiba datang mendesakku untuk segera tiba disana. Desa yang berada disebuah lembah di bawah kaki gunung ditumbuhi banyak pepohonan rindang kehijauan memayungi desaku yang sejuk.
Kedatanganku kemari bukan secara kebetulan, akan tetapi atas perintah kepala kantorku dimana aku bekerja, menugaskan kepada kami yang tergabung dalam Tim Medis Kabupaten dan Kota dalam rangka penanggulangan bencana endemi demam berdarah yang tengah melanda desaku yang jauh terpencil itu.
Hal tersebut atas laporan Kepala Desa bersama Camat setempat mengharapkan secepatnya bantuan medis agar tidak begitu cepat menyebar, kendatipun telah menelan banyak korban bahkan sudah ada yang meninggal.
Masih di terminal itu, lewat tape radio mobil angkutan umum, terdengar olehku alunan lagu Melayu lama, Termenung, yang dipopulerkan oleh artis Titiek Shandora. Lagu itu mengingatkan padaku beberapa tahun silam ketika aku masih sekolah di bangku SMA dulu.
Terkuak perlahan dalam benakku kenangan lama masa duluku, masa-masa remajaku. Lagu itu sangat disenangi oleh Marlina, gadis desa teman sekolahku SMA dulu. Melalui tembang kenangan itu dia pernah menjuarai lomba nyanyi lagu dangdut antar sekolah lanjutan tingkat atas se-Kabupaten tempatku sekolah. Hobi dan bakat nyanyi ia miliki sejak sekolah di SD hingga tamat SMA. Marlina sering tampil di atas pentas bila ada acara-acara resmi di sekolah kami, seperti malam perpisahan atau acara-acara lainnya.
Sembilan tahun silam, memang waktu yang cukup lama, dan selama itu pula baru kali ini aku mudik ke desa tempat kelahiranku. Kulihat di ibu kota Kabupaten ini belum begitu banyak perubahan yang berarti.
Di tengah-tengah terminal itu, masih tetap tumbuh pohon kemuning berdaun rimbun. angkuh menantang langit. Sering digunakan orang berteduh dibawahnya, ketika musin panas tiba. Kemuning ini banyak menyimpan rahasia kenangan lama bagiku. Memoriku cair perlahan mengingat-ingat kembali masa dahuluku sepertinya terkuak muncul dari dalam sebuah gudang misteri. Aku membatin.
Dibawah pohon kemuning itu, disini aku bersama Marlina gadis cantik kelahiran Padang campuran Sunda. Orang tuanya dulu transmigran dari seberang menetap tinggal di desa, telah enggan balik ke kampung halamannya, karena hasil panennya setiap tahunnya terlihat ada peningkatan.
Dia Lina datang dari desa ketika itu naik dokar bersamaku, karena saat itu kendaraan umum belum begitu banyak di desaku. Datang ke terminal ini hanya bermaksud khusus mengantarku pergi ke kota untuk lanjut kuliah disana. Sedangkan dia ketika itu tidak diperkenankan oleh kedua orang tuanya untuk lanjut kuliah dengan alasan yang kurang jelas.
Kupandangi cincin permata biru yang melingkar di jari manisku, pemberian Lina dulu, disaat kami berpisah dibawah pohon kemuning itu. Semakin kuat ingatanku, seolah membuka-buka lembaran masa laluku. Disaat detik-detik keberangkatanku, Marlina tak tahu apa yang harus dia lakukan terhadapku. Kulihat dia seperti dalam kebingungan, begitu berat hatinya untuk melepasku pergi. Dan sesaat kemudian dari dalam jari manisnya ditariknya keluar cincin emas permata biru pemberian bundanya dulu sebagai hadiah dihari ulang tahunnya, lalu dengan perlahan-lahan dimasukkannya ke jari manisku. Aku heran melihatnya, kemudian kutanyakan padanya.
“Apa-apaan kamu ini Lina, kenapa ada cincin segala kamu berikan padaku.”
Dia tak menyahut, lama ia diam, kemudian menatapku dengan sorot mata sayu. Dari balik kelopak matanya kulihat ada butiran air bening jatuh menggelinding perlahan membasahi wajahnya. Aku menolak keras pemberiannya itu, lalu kuserahkan kembali padanya. Tetapi dia bersikeras pula menolaknya tidak mau menerimanya kembali.
“Ikhlas, aku ikhlas memberimu sebagai pertanda cintaku yang tulus suci padamu.” begitu ucapnya dengan nada iba.
“Bagaimana nantinya kalau bundamu tahu, menanyakan dimana cincinmu itu?”
Marlina tertunduk diam, sesaat berpikir untuk memberikan jawaban tepat padaku.
“Akan kukatakan hilang, jatuh kedalam air terbawa arus gelombang laut ketika aku mandi-mandi bersama teman-temanku saat usai diadakan perpisahan sekolahku.”
“Ah, itu bohong, tak baik kita berkata bohong, dosa besar.” ujarku memperingati dia.
“Sekali-sekali tidak apa-apa, demi cintaku padamu.” aku diam sesaat kemudian menatap wajahnya yang sendu.
“Aku harap, agar kamu terima kembali cincin ini, mungkin ada yang lain, sekalipun tidak dalam bentuk materi, tetapi lama untuk dikenang, bahkan kenangan yang tak akan pernah terlupakan olehku.”
“Maksudmu?”
Kembali aku diam, lama aku tak menjawab pertanyaannya. Kupandangi pucuk-pucuk kemuning itu yang sedang bergoyang tertiup angin siang, satu dua daunnya yang telah kering jatuh berguguran disekitar kami. Aku bergeser perlahan, merapatkan tubuhku duduk disampingnya. Kubisikkan ketelinganya dengan nada perlahan memelas tipis hampir tak terdengar olehnya. Aku mencoba menggodanya, memancing dia sejauh mana mempertahankan kesucian cintanya padaku.
“Kuminta kecupan terakhir padamu, sebagai kenangan perpisahan kita berdua.” kataku berpura-pura serius dengan nada penuh harap. Marlina kaget mendengar ucapku yang dia tidak duga sebelumnya, kemudian dia berujar.
“Ah, jangan kamu lakukan itu, dosa........ dan kata terakhir berarti kita telah pernah melakukan sebelumnya, itu tak baik, sekali lagi dosa, hukumnya haram.”
“Ehem, skor satu sama, dosa sama dosa.” kataku bergurau sembari melempar senyum padanya.
“Bagaimana kalau aku ganti.” ujarku lagi.
“Gantinya apa?” tanya Lina serius.
“Kata terakhir aku ganti dengan kecupan pertama, karena kali pertama kita lakukan dan itu pertanda bukti cinta kita kekal abadi, bagaimana, setuju tidak?”
“Tidak…., tidak Rusdi, aku tak mau, sekali lagi aku harap jangan kamu lakukan itu, pertama dan terakhir sama saja, pertama berarti ada kedua, ketiga dan seterusnya, alangkah bobroknya moral kita apabila hal itu terjadi.” katanya kesal dan jengkel sambil meronta menolak permintaanku.
“Itu khan hanya dugaanmu saja, buktinya khan belum pernah kita lakukan sama sekali.” kataku lagi menjelaskan padanya.
Kami kembali diam bersama, tidak ada suara terdengar keluar dari bibir kami berdua. Hanya kesiur angin siang terdengar menerpa pucuk-pucuk kemuning itu bergoyang dihempas angin lalu.
“Maafkan aku Lina, aku khilaf.” kataku dengan nada memelas setelah sekian lama diam. Aku pura-pura menyesali perkataanku sembari kuulurkan tanganku menyalaminya.
“Akupun mohon dimaafkan, syukurlah kita telah terhindar dari perbuatan dosa.” balasnya sambil memegang erat tanganku. Terasa dingin begitu menyentuh jemariku.
“Terima kasih, terima kasih Lina, kamu seorang perempuan jujur lagi suci, suci lahir bathin.” kataku memuji sambil beranjak pergi meninggalkannya sendirian dibawah pohon kemuning itu, karena mobil yang akan mengantarku pergi ke kota sudah lama menunggu dan segera akan berangkat meninggalkan terminal itu.
“Selamat jalan Rusdi, sampai jumpa lagi.” katanya iba sambil melambaikan tangannya padaku
***
Klakson mobil dinas yang kami tumpangi dari kota meraung-raung, membuyarkan segala khayalku. Pak Majid sopir kantorku berteriak memanggil-manggil namaku.
“Dokter Rusdi, mari Pak kita segera berangkat!”
“Ya, Oke,” sahutku sambil berlari-lari menuju mobil yang sudah siap berangkat menuju desa yang tengah dilanda bencana demam berdarah.
Mobil berplat merah itu kembali melaju di atas aspal menuju keluar kota. Jalan menuju desa itu medannya sangat berat, laju kendaraan roda empat hanya dapat ditempuh 40 km per jam. Disamping jalannya berkelok-kelok, diperparah dengan banyaknya lubang-lubang menganga lebar dibahu jalan bagai kubangan tersebar hampir disepanjang jalan desa.
Mendekati batas desa, jalanan lebih mengerikan lagi karena terdapat banyak tanjakan tajam dan disisi kiri kanan jalan terdapat pula jurang yang amat dalam. Maut sewaktu-waktu datang menjemput kami bila sang sopir kurang cermat ekstra hati-hati mengemudikan kendaraannya.
“Hati-hati Pak, pelan-pelan saja.” tegur dr. Agus, ketua Tim yang duduk didepan samping sopir memperingati dia.
“Ya, dok,” sahut Pak Majid disertai anggukan kepala.
Hati kami baru lega ketika telah memasuki pintu gerbang desa yang bertuliskan, Selamat datang didesa kami yang “BERIMAN”. Hatiku sangat bahagia melihat desaku yang begitu cantik.
Kulihat desa itu sedikit lebih bersih dan tertata rapi, dibanding dulu ketika aku masih berada disini. Pagar pekarangan rumah-rumah penduduk bercat seragam sepertinya sedang ikut lomba desa tingkat Kabupaten.
Desa itu dibelah oleh sebuah sungai yang membentang dari arah timur ke barat. Sungai itu berfungsi sebagai irigasi yang mengairi sawah ladang penduduk, juga dipakai mandi dan cuci, bahkan airnya dipakai pula untuk masak dan minum. Ironisnya, sungai itu dipakai pula sebagai jamban buang hajat besar oleh sebagian penduduknya. Mereka kurang paham akan pentingnya sanitasi lingkungan mengakibatkan tersebarnya berbagai macam penyakit menular, seperti diare, penyakit kulit dan sebagainya.
“Pak Majid, kita langsung saja ke Puskesmas, tak usah singgah di Balai Desa!” perintah dr. Agus kepada sopir.
Sebuah Puskesmas yang kondisi bangunannya sudah sangat memprihatinkan, membutuhkan bantuan uluran tangan oleh pihak terkait.
Di Puskesmas itu kami temui beberapa anak balita usia rata-rata dibawah 10 tahun tengah dirawat, dimana kondisinya membutuhkan penanganan yang serius, bahkan ada diantaranya sudah sangat kritis. Hampir semua ruangan di Puskesmas itu penuh sesak oleh pasien anak balita yang sedang dirawat, bahkan ruang kantorpun difungsikan sebagai ruang rawat inap.
Setelah selesai pemeriksaan dokter terhadap pasien yang menempati kamar depan, selanjutnya kami pindah ke kamar lainnya. Dikamar ini, jauh lebih banyak pasien dirawat dibanding dengan kamar depan.
Setelah aku memasuki kamar itu, tiba-tiba…….., jantungku berdetak kencang, ketika kulihat seorang perempuan muda duduk di sudut kamar paling ujung sedang menunggui anaknya yang sakit demam berdarah terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
Aku tertegun sesaat, mengatur desah nafasku yang berdetak tak karuan. Kutahu persis perempuan itu adalah Marlina teman sekolahku dulu di SMA. Aku berjalan mendekatinya, lalu aku bertanya.
“Sejak kapan anak ibu dirawat di sini?” tanyaku sangat berhati-hati, agar dia tidak begitu cepat mengenaliku.
“Sudah dua hari dokter.”
“Dimana ibu tahu, kalau anaknya terserang demam berdarah?” tanyaku lagi.
“Awalnya dok, anak saya ini tiba-tiba mengalami panas tinggi, kemudian disusul dingin menggigil, dan tak lama kemudian timbul bintik-bintik kecil merah disekujur tubuhnya. Akhirnya segera kularikan ke Puskesmas sini dengan harapan segera mendapatkan pertolongan secepatnya, karena aku telah kebingungan tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menolongnya. Dari keterangan dokter Puskesmas mengatakan anak saya terserang demam berdarah, begitu dokter.” demikian tuturnya padaku.
“Baik,” kataku sembari mengecek suhu badan anaknya dengan alat yang kubawa serta.
Perempuan itu tanpa sadar melihat cincin permata biru yang melingkar di jari manisku. Perempuan itu penasaran melihatnya, seperti ada sesuatu yang aneh terjadi pada diriku, ditatapnya terus jemariku. Tiba-tiba dari luar kamar dr. Agus memanggil namaku untuk membicarakan sesuatu yang serius.
Begitu dia dengar namaku disebut oleh dr. Agus, perempuan itu segera beranjak dari duduknya mendekati aku kemudian menyalamiku memegang tanganku dengan erat sambil terisak menangis sesunggukan. Semua perhatian tertuju pada kami, mereka heran bertanya dalam hati apa gerangan yang terjadi. Dari dalam kamar pasien bagian depan terdengar seorang ibu berteriak sambil beristiqfar.
“Astaqfirullah….. Innalillah, anak siapa lagi yang kena giliran dipanggil menghadap-Nya.” begitu teriaknya cemas, lalu aku jawab.
“Tidak apa-apa ibu, tidak ada pasien yang meninggal.” ujarku lagi menenangkan dia.
“Ibu ini, Marlina, teman sekolahku dulu di SMA, baru ketemu kembali setelah kurang lebih sembilan tahun lamanya kami berpisah.” sambungku lagi menjelaskan padanya.
Marlina masih memegang tanganku dengan erat. Matanya sembab menahan tangisnya yang ia pendam, sulit dia menyembunyikan kepedihan hati yang menderanya.
“Sudahlah…… mari kita lupakan semua peristiwa lalu!” bujukku sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Tolong anakku dokter.” pintanya padaku dengan nada iba.
“Begini Lina, kami akan rujuk ke R.S. Kabupaten bersama pasien lainnya yang memang membutuhkan perawatan yang lebih intensif oleh dokter yang bertugas disana. Paling lambat besok pagi, pasien akan dijemput dengan ambulance dari kota Kabupaten.”
“Terima kasih dokter.”
“Sama-sama.” balasku sembari kuulurkan tanganku menyalaminya, kemudian segera aku berlalu meninggalkannya dalam kamar pasien itu, dengan hati yang ter-sayat pilu.(*)

Makassar, 05 Pebruari 2007

Harian Radar Bandung, 23 Maret 2008
Mingguan Inti Berita, 05 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar