Selasa, 03 Mei 2011

47. PERMATAKU YANG HILANG KUTEMUKAN KEMBALI

Oleh : Hasbullah Said.-


DIAMBANG senja. Bias mentari senja semakin redup merayap perlahan menerpa diatas pucuk-pucuk pepohonan nan rindang, menggusur gerah udara siang menuju malam yang kian mendekat.
Dengan langkah perlahan aku berjalan menuju ruang tengah rumahku, meraih pesawat telepon yang sedang terlelap tidur diatas sebuah buffet tua. Aku bergegas menghubungi teman kampusku yang berada diseberang sana. Keburu jemari tanganku salah pencet tombolnya satu digit mengakibatkan tersambung kepada seseorang yang aku tidak kenal sebelumnya.
“Halo, selamat sore.“ begitu ujarku sebagai salam pembukaan, setelah aku yakin telepon telah tersambung dengan benar.
“Selamat sore.“ dari seberang sana kudengar suara perempuan menyahut dengan nada sangat lembut.
“Apa boleh aku bicara dengan Bayu?”
“Siapa,… Bayu?” kembali dia berujar dengan nada sedikit ragu.
“Ya, benar sekali Mbak.”
“Mungkin anda salah sambung karena di sini tidak ada yang bernama Bayu.“ sahutnya kedengaran ramah lagi lembut bagaikan bisikan halus.
“Oh, maaf kalau begitu aku telah mengganggu kesibukan Mbak.” balasku dengan nada penyesalan.
“Tidak apa-apa, namun kalau boleh aku tahu ini dari siapa?”
“Diash, jawabku singkat menyebut nama samaran yang sering aku pakai bila menulis di koran. Mendengar nama itu pembicaraan kami terhenti sejenak sepertinya dia berpikir sesaat mengingat-ngingat sesuatu kemudian dia lanjutkan bicaranya.
“Ow, nama itu sepertinya tak asing lagi bagiku.“ kedengaran suaranya seperti sedang dirasuk oleh rasa penasaran.
“Kenalnya dimana Mbak?“ pembicaraan kami segera kupotong karena penasaran pula dibuatnya.
“Ehem,” kudengar dia mendehem tipis, dan sesaat kemudian ia lanjutkan bicaranya padaku dengan suara terbata-bata.
“Kalau tidak salah, nama itu sering aku temui di koran pada pelataran sastra- budaya. Dan tulisannya paling banyak menyita perhatianku, karena kegemaranku senang membaca cerpen dan tema serta alur ceritanya kadang sangat menyentuh perasaanku.“ begitu ucapnya perlahan meyakinkan aku.
“Nama itu mungkin hanya kebetulan sama Mbak.“ kataku akrab berpura-pura menepis.
“Jangan begitu dong, seorang penulis yang bijak harus bersikap jujur dan terbuka.” ujarnya lagi berfilsafat sepertinya ingin mengenalku lebih dekat.
“Tapi,… tapi nama itu kan banyak yang sama.” ujarku sekali lagi aku mencoba menghindar darinya.
“Ya, benar, tidak semua yang bernama Diash itu adalah penulis, akan tetapi penulis yang aku kenal di koran adalah Diash, benar tidak terserah dari anda.”
“Ehem,” aku mendehem perlahan, lalu senyum sendiri dibalik gagang telepon yang aku genggam. Perempuan itu pintar pula berfilsafat, begitu pikirku. Tak mampu aku menyembunyikan identitas diriku, karena dia membuntutiku terus sepertinya sudah sangat sulit untuk lepas dari jeratannya, lalu aku lanjut bicara dengannya.
“Halo, jujur aku katakan bahwa ucapan Mbak benar sekali, tapi, … tapi.”
“Tapi, …apa?” cepat dia potong bicaraku dengan nada ingin tahu.
“Tapi boleh tidak, aku tahu dengan siapa ini aku temani bicara.” pintaku dengan nada serius.
“Hanya itu, sangat mudah, Yulianti Sri Astuti.”
“Jadi aku harus panggil siapa?”
“Boleh Sri, juga Yuli karena dirumah sering aku disapa Yuli.”
Mendengar nama itu, tiba-tiba degup jantungku berdetak kencang, aku tertegun sesaat lalu aku teringat seseorang yang pernah aku kenal sangat dekat denganku. Sebelum pembicaraan kami tutup terlebih dahulu Yuli meminta padaku nomor telepon dan alamat tempat tinggalku, kemudian pembicaraan kuakhiri dengan ucapan.
“Terima kasih, selamat sore.”
“Selamat sore.” balasnya dengan perlahan lembut, terdengar dari seberang sana. Seusai pembicaraanku dengan perempuan itu, aku selalu dibuntuti oleh rasa ingin kenal sosoknya lebih dalam. Siapa sebenarnya dia, begitu lembut cara bicaranya, lagi pula cepat akrab denganku? Aku ingin bertanya, tapi kepada siapa?
Dan aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa perempuan itu selalu mengganggu pikiranku, padahal aku belum pernah mengenal dia jauh sebelumnya, apalagi ketemu dengannya. Sangat aneh dan lucu. Tapi suaranya itu, bagaikan bisikan halus yang selalu menggodaku.
“Tulisan anda dikoran paling banyak menyita perhatianku karena kegemaranku senang membaca cerpen, hingga kadang ada saja tema atau alur ceritanya sangat menyentuh perasaanku.” begitu ucapnya dengan kata-kata yang sangat halus.
Entah apa nama judul cerpen yang dia maksud, karena sudah tak terhitung jumlahnya tulisanku yang telah dimuat dikoran. Seingatku, Nostalgia di SMP. Itu judul cerpen yang paling terakhir kutulis, atau mungkin ada yang lain yang tak sempat lagi kuingat. Entahlah, kata-kata itu selalu saja menghias dibenakku. Aku berupaya untuk melupakan peristiwa itu.
Keesokan harinya aku berkunjung ke rumah Bayu teman kampusku, untuk mengembalikan diktat Antropologi Budaya yang aku pinjam beberapa hari lalu. Semua peristiwa yang aku alami kemarin kuceritakan padanya. Namun Bayu tak begitu serius menanggapi bicaraku, dia hanya senyum sinis padaku lalu berujar.
“Jangan kamu terlalu serius tanggapi omongan seperti itu, kadang ada orang iseng yang sekadar memancing rasa emosi seseorang.”
“Tapi ini benaran Bayu, tidak main-main.“ kataku serius.
“Lalu apa yang hendak kamu lakukan selanjutnya?”
“Ya, tentu paling tidak kamu dapat lagi kenalan baru khan?” lanjut Bayu bicara padaku dengan mimik seolah mencibir aku. Aku hanya diam saja, tak menghiraukan omongannya, kemudian segera aku beranjak meninggalkannya dengan hati yang kesal.
Malam harinya dalam kamarku yang hangat, aku berbaring sambil membaca-baca buku pelajaranku, karena ujian semester akhir tidak lama lagi akan berlangsung. Namun tak satupun pelajaran yang singgah diotakku, pikiranku melayang-layang diganggu terus oleh kata-kata Yuli seolah terngiang-ngiang ditelingaku. Ah, masa bodoh, peduli amat, begitu desisku sambil berupaya keras untuk melupakan kata-katanya yang sangat lembut.
Suatu sore, ketika aku sedang membersihkan sepeda motorku yang begitu kotor sehabis diguyur hujan, tiba-tiba adikku Indah berteriak memanggilku, mengatakan ada telepon untukku, dari Yuli. Aku berlari-lari kecil menuju ruang tengah rumahku, hatiku berdebar-debar tak karuan ketika hendak mengangkat gagang telepon itu.
“Hai, Diash, apa kabar?” dari seberang sana terdengar suara lembut menyambutnya setelah aku balas dengan ucapan, Halo.
“Baik-baik saja.”
“Ini dengan Diash kan?”
“Ya, benar sekali?” jawabku meyakinkan dia.
“Masih ingat, tidak?”
“Apa itu?”
“Ketika teleponnya salah sambung.”
“Ya, ingat, dan itu suatu kenangan buatku yang tak terlupakan seumur hidupku.”
“Yang benar dong.”
“Eh, Diash, aku kini sedang dalam perjalanan menuju luar kota.” sambungnya lagi.
“ Kemana?”
“Ke suatu desa yang tengah dilanda,………” Pembicaraan kami tiba-tiba terputus. Kuulangi lagi dengan ucapan, halo, halo, namun tak ada sahutan darinya. Ku tahu dia pasti pakai HP, yang mungkin tak terjangkau oleh signal karena sudah terlalu jauh kepedalaman, kalau tidak batereinya law-batt atau lemah, dan mungkin juga telah kehabisan pulsa, entahlah apa penyebabnya.
Sesudah menerima telepon itu, aku kian penasaran berat dibuatnya, tertegun sesaat lalu berpikir, tugas apa dia keluar kota? Dan apa pula profesinya?
Sayangnya pembicaraan kami terputus sehingga tak dapat kami bicara panjang lebar.Awal mula perkenalan kami hanya lewat pembicaraan di telpon di ambang sore itu, memang aku tak menduga sebelumnya kalau perkenalanku degannya akan berlanjut.
Aku telah hanyut dalam suatu lingkaran perkenalan semu, hanya gara-gara salah sambung telepon. Dan nama itu yang sangat membingungkan aku, nama boleh sama tetapi belum tentu orangnya sama. Sekiranya diawal perkenalanku kusebut nama yang sebenarnya tidak dengan nama samaran, mungkin kenangan lama sudah terbongkar dari sebuah gudang misteri. Padahal aku berupaya untuk melupakan segalanya.
Kukenal Yuli pada tujuh tahun silam teman sekolahku dulu di SMP, dia lanjut ke sekolah Perawat dan aku lanjut di SMA dan setamat di SMA aku mencoba mendaftar pendidikan AKABRI namun aku gagal dan akhirnya aku balik kuliah disalah satu Perguruan Tinggi di kota ini, dengan memilih program studi Adm. Negara.
Ketika itu disebuah terminal tua di desaku, aku pisah dengannya, karena masing-masing memilih sekolah yang berbeda kota. Dan sesudahnya itu kami tak lagi ketemu hingga kini.
Dua hari kemudian Yuli menelponku kembali mengatakan tugasnya diluar kota usai sudah, dan kini dia telah berada kembali dikota ini. Menyampaikan rasa penyesalannya padaku karena tak dapat bebicara panjang lebar diakibatkan HP-nya ketika itu tak dapat berfungsi karena pulsanya telah habis terpakai. Keluar kota bersama dengan tim medis dalam rangka penanggulangan penyakit deman berdarah yang tengah melanda sebuah desa terpencil. Dia mengakhiri percakapannya dengan harapan suatu ketika akan berkunjung kerumah untuk menemui aku.
Keesokan harinya, Indah adikku yang masih duduk dibangku kelas tiga SD, tidak masuk sekolah pagi itu, karena badannya tiba-tiba diserang mendadak oleh suhu panas yang sangat tinggi, kemudian disusul dingin menggigil dan sekujur tubuhnya muncul bercak-bercak kecil berwarna merah.
Untuk sementara kusimpulkan dia Indah adikku terserang deman berdarah. Kami seisi rumah panik dibuatnya tak tahu apa yang hendak kami lakukan untuk menolongnya. Segera kularikan ke salah satu rumah sakit yang terdekat agar secepatnya mendapat pertolongan dari dokter.
Ketika tiba dirumah sakit itu, dipintu masuk ruang UGD kutemui seorang perempuan muda dengan memakai seragam putih-putih menyambut Indah adikku, lalu memapahnya kemudian dibaringkan diatas kereta dorong dan dibawanya masuk ke ruang UGD. Aku disuruh menunggu di luar, duduk diatas sebuah bangku panjang bercat putih bersih.
Tak lama kemudian suster itu datang menemuiku hendak menanyakan sebab awalnya penyakit yang menimpa adikku. Sebelum aku ditanya, aku menatap wajahnya lekat-lekat, dan betapa kagetnya aku setelah kutahu suster itu adalah Yulianti teman sekolahku dulu di SMP. Sesaat jangtungku berdebar kencang kemudian aku berusaha menenangkan perasaanku lalu aku bertanya padanya.
“Bukan kamu Yuli?”
“Oh benar sekali, kenapa?”
“Bukankah kamu yang terima teleponku beberapa hari lalu ketika salah sambung?” tanyaku ragu.
“Ya benar, ada apa?”
“Apa oleh-oleh untukku dari luar kota?” kelakarku sebagai pembuka bicara dengannya.
“Di mana kamu tahu?” tanyanya heran.
“Dari Diash.”
“Diash itu siapa?” balik dia bertanya padaku.
“Diash alias Budi.” kaget dia mendengar jawabku, lalu dia beranjak duduk disampingku diatas bangku panjang itu, sembari mencolek pangkal lenganku begitu senangnya bertemu denganku.”
“Kamu Budi khan?”
“Kamu pengecut, berlindung dibalik ketenaranmu dengan menggunakan nama samaran membuat aku bingung dan penasaran.” katanya bercanda.
“Eh, Budi, maaf ya, aku masuk dulu ke UGD, aku sedang ditunggu oleh dokter jaga, kali lain kita akan berbincang lebih lama, dan Insya Allah adikmu akan kami rawat dengan baik hingga dia sembuh betul dari sakitnya.” katanya sambil bangkit berlalu menuju ke ruang UGD meninggalkan aku sendirian duduk dibangku bercat putih itu.
Hatiku didalam berbunga-bunga setelah kutahu bahwa dia adalah Yuli yang meneleponku beberapa hari lalu, dan dia tak lain adalah teman sekolahku dulu di SMP. Seribu nama Yulianti, hanya satu Yulianti milikku, yang sempat menghilang beberapa tahun lamanya, kini permataku yang hilang telah kutemukan

kembali.(*)

Makassar, 05 Desember 2005

Harian Radar Bulukumba, 31 Desember 2008
Mingguan Inti Berita, 19 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar