Selasa, 03 Mei 2011

48. SUATU SIANG DI SEBUAH KOTA

Oleh : Hasbullah Said.-


GERAH udara disiang itu, tak menyurutkan niatnya bagi satuan tugas Satpol PP. untuk membongkar paksa kios-kios milik PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berderet di sepanjang bibir jalan protokol itu. Kendati tak semudah melakukannya, karena mendapat perlawanan sengit dari mereka, namun tugas itu tetap harus dilaksanakan dengan tujuan penertiban, menuju Kota Metropolitan kota bersih aman dan tertib.
Tangis dan teriakan histeris dari para pemilik kios itu terdengar membahana sebagai wujud penolakan atau protes yang berbuntut kericuhan yang tak terelakkan. Aksi saling dorong-dorongan terjadi antara petugas Satpol PP. dengan para PKL pengunjuk rasa menghalang-halangi untuk tidak dilakukan eksekusi pembongkaran paksa terhadap sejumlah kios milik mereka.
Puncak ketegangan terjadi ketika massa PKL semakin berutal melakukan perlawanan menghadang petugas dengan teriakan histeris, Allahu Akbar berkumandang menggema ke jagat raya yang semakin terik seolah membakar hangus segala apa yang ada di bumi. Namun kondisi seperti itu tidaklah menjadi ciut nyali bagi para petugas Satpol PP. karena hal serupa sering dialami sebelumnya.
“Allahu Akbar…..Allahu Akbar, hidup PKL, maju terus pantang mundur.“ begitu pekik mereka dengan nada emosi.
“Lebih baik kami mati disini, dari pada kami diusir disuruh meninggalkan tempat ini, yang tidak menentu ke mana lagi kami harus mencari nafkah.” teriak salah satu dari pengunjuk rasa dengan suara lantang.
“Ini adalah tugas kami, perintah dari atasan yang harus kami laksanakan apapun resikonya.” balas komandan Satpol PP. berpakaian seragam lengkap dengan atributnya, berjalan dengan tenangnya ke tengah-tengah kerumunan massa pengunjuk rasa, memberikan pengertian kepada mereka secara persuasif.
“Bukanlah ini suatu pembantaian massal terhadap rakyat kecil seperti kami ini.” sahut salah seorang perwakilan mereka, dengan penuh emosi.
“Tenang,….tenanglah, tolong saudara-saudara dengar baik-baik, marilah kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin, janganlah kita terpancing dengan rasa emosi sehingga kita tidak menghasilkan penyelesaian yang terbaik.”sahut komandan Satpol PP. dengan kata-kata yang bijak menenangkan emosi massa pengunjuk rasa.
“Mana mungkin pemerintah akan menyengsarakan dan menterlantarkan rakyatnya, hal ini mustahil terjadi, yakinlah saudara-saudaraku sekalian, pemerintah kota akan mencarikan solusi yang terbaik bagi saudara-saudara PKL.” lanjutya lagi.
“Tapi buktinya.” serentak mereka memotong pembicaraanya dengan suara gaduh. Komandan Satpol PP. bersama anggotanya tak menanggapi teriakan mereka, tetap melaksanakan tugasnya membongkar paksa kios-kios mereka.
Kemacetan arus lalu lintas di sepanjang jalan protokol itu tak terelakkan. Semua jenis kendaraan tertahan hingga berjam-jam lamanya membuat jalan macet total berderet panjang ke belakang hingga beratus-ratus meter jauhnya.
Suasana ditempat kejadian semakin tegang dan panas, seiring panasnya matahari menyengat kulit ari di siang itu.
Ketika Satpol PP. hendak membongkar paksa kios bengkel pres ban dalam, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya berbadan kekar, muncul dari dalam kios miliknya mengadakan perlawanan terhadap petugas dengan memegang sejata tajam ditangannya sambil mengayun-ayunkan disertai teriakan.
“Kami lebih baik mati ditempat ini, dengan tetesan darah penghabisan dari pada kami dipaksa pindah dari sini tak tentu kemana lagi kami akan cari hidup. Kami bukan penjahat diperlakukan tak manusiawi seperti ini, kami rakyat miskin hanya mencari sesuap nasi sebagai penyambung hidup.” begitu suaranya lantang sembari mengayunkan senjata tajamnya ke arah para petugas, membuat petugas urung melakukan tugasnya karena kondisi yang tak menguntungkan bagi mereka.
Tak lama kemudian aparat Kepolisian datang memberikan bantuan. Dan dengan tidak mendapatkan kesulitan yang berarti lelaki itu dapat diringkus kemudian digiring oleh aparat Kepolisian dengan menggunakan mobil patroli meraung-raung di sepanjang ruas jalan menuju Polsekta terdekat.
Akhirnya berangsur-angsur pengunjuk rasa membubarkan diri masing-masing dengan tertib meninggalkan tempat itu kendati kios mereka masih porak-poranda berantakan tak beraturan.
Diharapkan oleh banyak kalangan bahwa didalam penertiban sekian banyak PKL yang bertebaran hampir di sepanjang jalan protokol, harus ditangani dengan arif bijaksana. Pemkot sudah tepat melakukan penataan dan penertiban untuk mencegah kesemrawutan pembangunan Kota Makassar, namun harus dicarikan solusi yang terbaik terhadap PKL. Jangan hanya melakukan penertiban terus akan tetapi tidak ada solusi yang terbaik, padahal mereka juga butuh makan sama seperti kita. Solusi yang terbaik Pemkot harus melakukan penataan dengan membuat suatu lokasi khusus yang bisa ditempati berjualan bagi para PKL, sehingga mereka dapat berjualan dengan tenang dan aman, terbebas dari penertiban petugas dan juga pemkot dapat pemasukan retribusi dari mereka.
Dilema memang. Di satu sisi kita sepakat mendukung Pemkot melakukan penertiban dengan tujuan keindahan dan kebersihan kota, di sisi lain manusia PKL butuh hidup mencari sesuap nasi. Tentu kedua belah pihak mencari solusi yang terbaik agar kedua-duanya dapat berjalan dengan lancar.
Masih di tempat kejadian perkara, Ma’Basse perempuan paruh baya itu masih saja berada disitu, diatas reruntuhan kiosnya yang porak-poranda habis dibongkar, menangis sesunggukan sambil mengumpulkan barang dagangannya yang berserakan, tak sempat dikemasi ketika petugas datang membongkar paksa kios miliknya.
“Kemana lagi saya akan mencari hidup, harapan untuk berjualan kembali sudah agak sulit, karena untuk ketiga kalinya saya mengalami nasib seperti ini.“ katanya iba sembari menghapus air matanya yang mengalir membasahi wajahnya yang keriput.
“Mungkin sudah suratan takdir saya yang kurang beruntung.” lanjutnya lagi menyesali nasibnya sambil menatap miris ke arah setiap pengguna jalan yang berlalu lalang di sekitarnya.
Seorang lelaki perlente kebetulan terjebak oleh kemacetan arus lalu lintas turun dari atas mobilnya kemudian berjalan mendekati Ma’ Basse.
“Sabarlah ya, Bu!” sapa lelaki itu memberi semangat sambil menepuk pundaknya.
“Sabar itupun ada batasnya, nak.” sahut Ma’Basse sambil menatap lekat-lekat kearahnya dengan sorot mata kepedihan yang amat dalam.
“Tapi apakah ibu bersedia saya bantu?” tanya lelaki itu, menawarkan jasa baiknya kepada Ma’ Basse dengan penuh kesungguhan.
“Tentu,….. tentu saja ibu bersedia nak.” sahut Ma’ Basse dengan nada riang kendati di hatinya lahir keraguan, mana mungkin ada orang bersedia menolong di- saat krisis seperti sekarang ini” begitu pikirannya dihati.
“Bantuan apa barangkali anakku?” lanjut Ma’ Basse bertanya tak sabar.
“Begini Bu, sekarang juga kemasi barang dagangannya naikkan di mobil saya. Nanti ibu jualan di rumah saya, yang kebetulan lokasinya tepat di depan pasar tradisional. Di halaman samping rumah kami terdapat tanah kosong di situ ada dua tiga orang berjualan, ibu dapat bergabung bersama mereka tanpa dipungut bayaran apa-apa.”
“Ibu setuju tidak?” tanya lelaki itu sambil melempar senyum pada Ma’ Basse.
“Terima kasih banyak anakku, tentu ibu sangat setuju.” sahut Ma’ Basse sambil mengemasi barang dagangannya yang terdiri dari barang campuran.
“Untung ada lelaki yang berhati malaikat menolongku.” desisnya dalam hati sambil membawa barang dagangannya keatas mobil milik lelaki itu.
“Ya, sama-sama Ma’ Basse.” ujar lelaki itu sambil menyetir sendiri mobilnya menuju rumah tempat tinggalnya bersama Ma’ Basse.(*)


Makassar, 23 April 2007

Harian Radar Bandung, 13 April 2008
Harian Radar Bulukumba, 01 Pebruari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar