Selasa, 03 Mei 2011

50. IZINKAN AKU PERGI KE SERAWAK

Oleh : Hasbullah Said.-

ANGIN sore berhembus perlahan. Dingin mengelus tubuhnya yang jangkung dibalik jaket blue jeans yang ia kenakan. Kendati tak mampu mengusik dari duduknya diatas tanggul dermaga itu. Menatap gerombolan camar laut sedang terbang aktobatik menyambar-nyambar dengan lincahnya di atas permukaan laut.
Pemuda itu bernama Rizal duduk diam termangu tak bergerak kayak arca terbuat dari batu pualam. Matanya redup, kuyu, sama seperti mata pengemis gepeng di setiap prapatan jalan memandangi kesibukan orang-orang yang lalu lalang disitu, sambil menengadahkan tangannya meminta ala kadarnya bagi setiap pengguna jalan.
Rizal mengenakan baju kaos warna merah darah dibalut dengan jaket blue jeans di luarnya. Sinar matanya memancarkan kelesuan seperti ada kepedihan terpendam, membedakan dengan pemuda tanggung seusianya nampak energik. Lewat sikapnya, telah ditebak dihatinya kini bermukim kepedihan luka hati yang teramat dalam. Luka yang tak dapat ditaksir dalamnya, kendati di disitu tak ada darah menetes.
Sebuah gerobak lewat di hadapannya, dihela oleh dua orang kuli pelabuhan, membuat dia sadar dari lamunannya. Hidup bagaikan roda pedati berputar sesudah keatas ke bawah lagi, silih berganti, bagai siang dan malam, susah senang, si kaya dan si miskin semua sama di hadapan Allah, Sang Khalik penciptanya.
Kenyataan pahit mendera bathinnya, merintih pedih, dan pedih sekali terasa. Bukan dia ingkar akan takdir yang diberikan padanya, malah hatinya abadi mewiridkan sejuta doa dan dzikir memuja kebesaran-Nya, karena dia adalah anak shaleh taat beribadah kepada-Nya.
Ketika siang tadi ia menerima pernyataan gagal dalam kuliahnya, yang menjadi tumpuan harapan bagi seluruh sanak keluarganya. Patah di tengah jalan, terhempas dan terkandas, lalu jatuh hancur berkeping-keping. Gagal berarti sirnalah segala harapan dan cita-cita bagi seluruh anggota keluarganya yang hanya padanya seorang tumpuan harapan mereka karena tinggal satu-satunya lagi anak lelaki dari sekian bersaudara.
Ketika panitia ujian semester akhir mengumumkan yudisium hasil ujiannya di kampus tempatnya ia kuliah. Ada kepedihan hati yang tersembul dari balik rongga dadanya sama seperti beberapa orang teman mahasiswa yang senasib dengannya.
Diingat-ingatnya kalimat demi kalimat isi surat yang diletakkannya diatas meja tulisnya di dalam kamar tidurnya yang ditujukan kepada ayah bundanya yang isinya seperti demikian.
Ayah, Bundaku yang anakda hormati !
Ketika anakda pergi, ayah dan bunda masih tertidur pulas dalam kelelapan, sebelum adikku Tini sempat menyajikan sarapan pagi buat kita semua. Anakda pergi tanpa setahu ayah dan bunda di saat fajar mulai menyingsing, semasih embun pagi bergelantungan lekat di ujung dedaunan yang hijau. Masih segar nyaman angin pagi berhembus perlahan dari arah perbukitan. Sayup-sayup sampai terdengar suara alunan adzan subuh di mesjid-mesjid. Begitu bertepatan anakda mengayungkan langkah meninggalkan rumah kita yang mungil ini. Namun kepergianku terasa sangat berat, seberat hati ayah dan bunda melepas burung kesayangannya dalam sangkar emas, lepas bebas ke angkasa yang tak bertepi, kendati anakda tak ingin bebas seperti itu. Kutahu betul tindakan anakda ini tak patut dilakukan oleh seorang anak terhadap kedua orang tuanya karena semua itu jelas-jelas adalah suatu perbuatan dosa. Untuk itu, melalui surat ini, anakda berharap agar ayah dan bunda sudih memaafkan anakda.
Kepergian anakda khawatir ayah dan bunda tahu tentang keadaan anakda, bahwa seorang anak tak tahu diuntung, menyia-nyiakan amanah dan kesempatan yang diberikan kepadanya, membunuh dan menghancurkan harapan dan cita-cita luhur kedua orang tuanya. Bukan itu saja, turut pula menghapus jejak abangku Prof. DR. Ryan Anta Beranta, SH. MH, yang dikenal banyak orang sebagai tokoh pendidik yang berdedikasi tinggi. Bagaimana nantinya bila hal ini diketahui oleh abangku, kutahu pasti dia akan marah besar terhadapku.
Kini harapan ayah dan bunda untuk menjadikan aku seorang anak berbakti dengan predikat sarjana beriman telah gagal. Ah, betapa dosa besar anakda tanggung terhadap ayah dan bunda,……tapi apa pula artinya ayah, jadi seorang mahasiswa karatan berlarut-larut di semester akhir tak pernah lulus-lulus, yang akhirnya anakda dinyatakan drof out (DO). Kukira kalau bukan anakda salah pilih jurusan, atau mungkin otakku telah jenuh tak mampu lagi menerima pelajaran, karena yang terpikirkan selalu olehku hanyalah bagaimana secepatnya mendapatkan pekerjaan tetap, agar dapat mandiri dan tidak lagi jadi beban buat ayah dan bunda. Walau anakda sadar bahwa untuk menjadi pegawai tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apa lagi untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, harus siap segala-galanya menyiapkan uang jutaan rupiah bahkan puluhan juta baru bisa terangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Kendati pengangguran adalah momok yang mengerikan bagi pemuda tanggung seperti anakda.
Untuk menghindari hal seperti itu maka anakda akan mencoba mengadu nasib di negeri Jiran ikut serta jadi TKI di Serawak Malaysia. Karena katanya di Malaysia pada umumnya kehidupan masyarakatnya jauh lebih sejahtera dari pada disini. Baik sebelum dan sesudah krisis ekonomi yang melanda negeri kita.
Di Serawak Malaysia sana, tak kenal krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, tak ada unjuk rasa, tak ada rusuh yang selalu mencekam, di negeri ini kita kekenyangan dengan berbagai bentuk unjuk rasa terjadi setiap detik waktu yang berdampak buruk terhadap laju pertumbuhan perekonomian bangsa. Akibatnya, banyak pencari kerja TKI/TKW lari ke Malaysia baik legal maupun ilegal dengan harapan ingin memperbaiki nasib hidupnya mengumpul ringgit sebanyak-banyaknya kemudian mudik ke Indonesia membangun kembali ekonomi rumah tangganya masing-masing yang terlanjur ambruk, akibat imbas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan tak kunjung usai.
Untuk itu, izinkanlah anakda pergi ke Serawak Malaysia, agar di sana nanti akan kuperoleh ketenteraman bathinku yang kini galau, sekali lagi izinkanlah anakda pergi.

Sembah sujud anakda,
RIZAL
***
Seruling kapal menggema ke angkasa memecah kesunyian malam pertanda sebentar lagi KM. Kerinci akan bertolak meninggalkan dermaga Sukarno-Hatta tujuan Balik Papan dan Nunukan kemudian Rizal akan melanjutkan perjalanannya menuju Serawak Malaysia.
Dengan langkah perlahan dia berjalan menaiki anak tangga kapal, kemudian setiba diatas dia bersandar di teralis pengaman kapal di kridor dek 3, memandang ke arah bawah sambil melambaikan tangannya kepada para pengantar yang memenuhi pelataran dermaga. Dan tak lama, perlahan-lahan KM. Kerinci menarik jangkar menjauhi dermaga Soekarno Hatta..
Akhirnya, Pulau Samalona perlahan-lahan hilang lenyap dipandangnnya tertelan ombak gemulung berlarian dari arah haluan menuju buritan kapal.
Selamat tinggal Makassar kota kelahiranku yang tercinta.(*)


Makassar, 14 April 1970

Mingguan Bina Baru, 30 Juni 1970
Harian Kendari Pos, 14 Juni 2008
Harian Radar Bulukumba, 01 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar