Selasa, 03 Mei 2011

52. RINGGIT CEMAS

Oleh : Hasbullah Said.-

HARI hampir malam. Sementara Burhan melarikan sepeda motornya dengan sangat perlahan. Bergerak lamban diatas ruas Jalan Penghibur menuju utara kota. Kemudian berhenti di bibir jalan, persis depan Anjungan Pantai Losari, lalu dia parkir sepeda motornya berdiri tegak dengan standar tengah.
Tidak seperti dulu, ketika dia bersama Irma menuju ke luar kota hendak rekreasi di Permandian Alam Bantimurung, Burhan melarikan sepeda motornya di- atas aspal mulus dengan kecepatan tinggi tak perduli Irma di boncengannya meringis ketakutan. Kini dia duduk sendirian di atas sadel motornya tanpa Irma menemaninya.
Dia duduk santai menanti Sun-Set bergulir jatuh ke dasar laut biru. Sesekali dia melempar pandangannya ke arah laut utara mengamati kapal Pelni yang hendak berlabuh di dermaga Soekarno-Hatta. Setiap sore jelang malam dia selalu berada disini, sepertinya tengah menunggu kedatangan seseorang.
Hari ini langit mendung, angin pun tiba-tiba bertiup kencang dari arah pulau Khayangan. Dan tak lama hujan pun turun dengan derasnya membasahi segala apa yang ada di bumi.
Dia berlari meninggalkan sepeda motornya yang sedang terparkir, menuju emperan toko tak jauh dari situ, kendati telah dipadati banyak orang bernaung di bawahnya menunggu redanya hujan.
Diemperan itu, di dekatnya berdiri seorang perempuan seperti juga tengah menanti seseorang. Sesaat mata Burhan berbenturan, membuat perempuan itu tersipu malu.
“Apa kamu juga menunggu seseorang?” tanya Burhan dengan menatapnya senyum.
“Ya,” sahutnya mengangguk lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. Mungkin karena merasa malu disapa oleh seseorang yang ia belum kenal. Perempuan itu memakai jilbab warna hitam menutupi rambutnya hingga hampir seluruh tubuhnya. Persis sama jilbab Irma kekasihnya, bedanya milik Irma tidak terlalu lebar seperti yang dikenakan perempuan itu.
“Dia menunggu pacarnya pasti?” begitu pikir di hati Burhan.
“Kalau kamu?” balik perempuan itu bertanya mengagetkan Burhan.
“Ya, sama menunggu seseorang, tapi saya sedang menunggu penumpang kapal dari seberang yang hendak berlabuh di dermaga Sukarno-Hatta disitu.” balasnya sembari menunjuk ke arah pelabuhan.
Menunggu adalah suatu pekerjaan yang sangat membosankan. Hanya karena kekerasan hati Irma membuat ia nekat berangkat menuju Kuala-Lumpur Malaysia. Angan-angan untuk menjadi guru sirnalah sudah karena ijazah D3 yang dia raih tak memberi peluang untuk dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, Pahlawan tanpa tanda jasa.
Dianggap ilegal oleh panitia penerimaan calon PNS dimana ia pernah melamar kerja, karena ijazahnya berasal dari Perguruan Tinggi Swasta yang tidak terdaftar/akreditasi dari (BAN) PT di Departemen Pendidikan Nasional. Burhan berupaya keras untuk melarangnya berangkat dengan berbagai pertimbangan rasional.
“Buat apa kamu ke Malaysia?” ujar Burhan ketika mereka sedang rekreasi di Permandian Alam Bantimurung.
“Daripada nganggur tinggal di rumah tak punya kegiatan, mungkin lebih baik jadi TKW cari pengalaman di negerinya orang, sekalipun pekerjaan apa saja yang penting halal. Untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil kukira sangat sulit, karena ijazah D3 yang aku miliki ilegal.” balasnya lirih sembari menatap Burhan lekat-lekat.
“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu silahkan, aku tak dapat menghalangi-halangimu apalagi melarangmu pergi.” kata Burhan dengan nada sinis.

***

Dua tahun telah berlalu, selama itu pula dia tak pernah berkomunikasi dengannya apalagi menerima surat dari Irma. Hilang bak ditelan bumi, tak ada kabar berita darinya. Gelisah, was-was, cemas dihati Burhan, memikirkan selalu akan nasib Irma di Negeri Jiran Malaysia. Rasa cemas itu selalu memburunya kemana ia pergi,..
Di media cetak dan elektronik, ramai diberitakan tentang pemulangan TKI/TKW yang bermasalah. Puluhan ribu bahkan lebih dari itu. Setiap kapal yang berlabuh di pelabuhan Sukarno - Hatta, tak luput dari pantauan Burhan, dia berharap Irma segera pulang dari Kuala-Lumpur Malaysia dan tiba di Makassar sini dengan selamat tidak terjadi sesuatu atas dirinya.
Tak ingin sama seperti kasus Ceriyati dan Parsiti pulang dengan terpaksa karena tidak tahan dengan perlakuan kekerasan dan penyiksaan dari majikannya. Kabur dari lantai 15 apartemen majikannya melalui jendela kamarnya meluncur melalui potongan kain dan sarung yang disambung-sambung membentuk seutas tali. Untung tenaga kerja yang malang itu, sempat terlihat oleh teman se-profesinya sebagai pembantu rumah tangga di lantai 7, kemudian segera melaporkannya kepada pihak Kepolisian setempat sehingga ia dapat tertolong.
Kasus serupa kerap terjadi bahkan semakin meningkat terutama mereka yang bekerja di Malaysia dan Arab Saudi. Kabur dari rumah majikannya karena tak tahan disiksa, dipaksa bekerja hingga larut malam, kemudian gajinya tidak dibayarkan selama beberapa tahun.
Semua pihak mendesak kepada pemerintah agar memberikan perlindungan keselamatan kerja yang maksimal kepada semua TKI selama penempatannya hingga pemulangannya ke tanah air. Ironi memang. Disatu sisi TKI adalah pahlawan devisa, di sisi lain mereka sering diperlakukan tidak manusiawi, bahkan pulang ke tanah air dengan cacat jasmani seumur hidup akibat penyiksaan yang amat keji dari majikannya.
Burhan tercenung sesaat memikirkan nasib pahlawan devisa yang menyayat hati. Dia sadar, bahwa apalah artinya seorang TKI disanjung sebagai pahlawan devisa lalu harga diri dan martabat bangsa terinjak-injak, sungguh terlalu. Begitu bisik hati Burhan kemudian berlalu meninggalkan Anjungan Pantai Losari.
Di suatu petang, sebuah kapal Pelni dari Surabaya sedang sandar di pelabuhan Sukarn-Hatta, mata Burhan perlahan-lahan mengamati penumpang yang sedang turun berdesak-desakan dari atas kapal. Dia berdiri di depan pintu kedatangan bersama para penjemput lainnya. Didapatinya beberapa orang penumpang TKW dari negeri Jiran Malaysia, dengan dialek Melayu terdengar jelas dari percakapannya. Mereka berangkulan sambil terisak setelah bertemu dengan keluarganya, larut dalam keharuan setelah beberapa lama berpisah.
Akhirnya penumpang kapal yang tiba berangsur-angsur berkurang menuruni anak tangga kapal. Burhan semakin gelisah karena Irma yang ia tunggu-tunggu belum juga nampak di penglihatannya.
“Apa boleh saya diizinkan masuk Pak?” tanya Burhan dengan hormatnya kepada petugas jaga yang berdiri depan pintu masuk pelabuhan.
“Untuk apa?” balik petugas itu bertanya.
“Menjemput seseorang.”
“Dari mana?” tanyanya lagi.
“Seorang tenaga kerja yang pulang dari Malaysia.” jawab Burhan sembari menatap wajah petugas itu dengan penuh harap.
“Maaf, demi keamanan, para penjemput tak diizinkan masuk.”
“Kalau boleh biar untuk kali ini saja Pak!” pinta Burhan sekali lagi dengan nada beriba.
“Sekali lagi, tidak boleh.” sahut petugas itu dengan garangnya.
Mendengar jawaban yang tidak bersahabat dari petugas itu, Burhan bergeser ke tempat lain yang agak lowong dari jejalan para penjemput. Kepalanya di-dongakkan ke atas tertuju pada anak tangga kapal.
Hatinya di dalam merintih pedih ketika ia melihat seorang perempuan muda sedang menuruni anak tangga kapal dengan langkah tertatih-tatih dipapah oleh dua orang petugas pelabuhan. Perempuan itu adalah Irma, yang telah lama ia tunggu-tunggu.
Setelah yakin, Burhan hampir saja berteriak sekeras-kerasnya memanggil Irma, dan tak lama kemudian setiba di pelataran dermaga Irma jatuh pingsan tak sadarkan diri, tak kuasa menahan rasa sakit yang ia derita. Di sekujur tubuhnya terdapat luka lebam melepuh bekas penyiksaan dari majikannya. Ia segera dilarikan dengan mobil Ambulance meraung-raung di sepanjang ruas jalan menuju rumah sakit terdekat.
Kini dia terbaring lemah di rumah sakit itu dengan perawatan intensif dari para medis. Sangat sulit dimintai keterangan karena masih trauma atas kejadian yang menimpa dirinya. Burhan merasa iba dan sangat terpukul melihat kondisi Irma, akhirnya, ia segera beranjak meninggalkan pelabuhan Soekarno-Hatta menuju rumah sakit dimana Irma dirawat sambil berdoa semoga ia lekas sembuh.(*)


Makassar, 03 Agustus 2007

Harian Radar Bulukumba, 20 Mei 2009
Mingguan Inti Berita, 26 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar