Selasa, 03 Mei 2011

53. TAK AKAN BERHENTI MENULIS

Oleh : Hasbullah Said.-

SIANG ITU, gerah udara mendera-dera sepertinya tak kuasa menghalau kucuran keringat membasahi hampir sekujur tubuh lelaki itu, kendati koran minggu di tangannya tak henti-hentinya bergoyang di kibaskan ke arah tubuhnya. Tak ada mesin alat pendingin udara di rumahnya yang sangat bersahaja, karena harganya mahal tak terjangkau olehnya.
Ia tak lebih dari seorang mantan karyawan sebuah perusahaan swasta yang di PHK pailit tak mampu beroperasi lagi, akibat krisis ekonomi melanda perusahaan tempatnya ia bekerja.
Sesekali koran di tangannya itu ia baca, sangat senang dengan pelataran sastra-budaya. Dibacanya tuntas sekejap seolah makanan disantapnya lahap cuma dalam hitungan waktu yang sangat singkat.
Membaca baginya merupakan suatu kepuasan bathin yang sudah menyatu dengan dirinya. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju masuk ke kamar belakang yang berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter, berfungsi sebagai ruang baca dan menulis.
Kini kamar itu berubah fungsi menjadi gudang tempat menyimpan koran-koran bekas bercampur aduk dengan tumpukan lembaran-lembaran kertas hasil tulisannya yang telah dimuat di berbagai media cetak.
Kerap merasa tak sedap, napasnya sesak mencium aroma bau kecoak menyeruak bila mulai membuka pintu kamar itu. Tetapi ia tetap betah di dalamnya, karena merasa kamar itu merupakan tempat penyimpanan harta Kharun yang tak ternilai harganya. Bukan hanya kesenangannya membaca, akan tetapi Munir nama lelaki itu, gemar pula menulis. Kemampuan menulis dimilikinya sejak masih duduk di bangku SMA, Jurusan Sastra-Budaya.
Darah seni menulis mengalir di tubuhnya adalah titisan dari ayahnya juga penulis senior yang telah dikenal banyak di kalangan pers.
Menulis cerpen dan puisi ibarat ia kerap memainkan biola yang digeseknya sendiri dengan perasaan halus melahirkan sebuah irama yang merdu sekali di pendengarannya.
Soal tema ia tak pernah menempuh kesulitan di dalam menulis cerpen. Imajinasi hayalnya sering mengambil tema romantisme remaja diadopsi ke dalam tema sosial yang melahirkan sebuah kontrol meledak-ledak begitu emosional walau hanya dalam bentuk fiksi dengan batas-batas kewajaran.
Kendati demikian keras sorotannya, koran tetap memuatnya karena visi dan misi yang diemban senada dengannya, sekalipun ia bukan reporter atau wartawan senior. Ironisnya, cerita pendek yang ia ramu sedemikian rupa takkan membuat risih bagi para pelaku Koruptor yang tak punya naluri kepekaan terhadap rakyat miskin.
Munir memang punya kemampuan menulis khusus untuk itu. Bahkan hampir setiap minggunya cerpen yang ia tulis sering menghiasi pelataran budaya di berbagai koran lokal maupun nasional, walau kerap ia disoroti sebagai monopoli oleh penulis lainnya. Tak peduli dengannya, tetap ia akan menulis dan menulis lagi……
Munir tak hentinya membaca, karena membaca baginya merupakan guru tempatnya menimbah ilmu memperoleh banyak pengetahuan. Malas membaca berarti kurang pengetahuan, identik dengan kebodohan, sedang kebodohan mendekati kemiskinan.
“Tapi apakah itu benar?” begitu tanya Munir selalu dalam benaknya.
Dia rajin membaca, lagi pula rajin menulis, tapi dia tak pernah merasa memiliki sesuatu yang berkelebihan ataupun merasa kekurangan. Itu mungkin karena jiwa kepenulisannya sudah mendarah daging menyatu dalam dirinya sangat sulit untuk dipisahkan dengannya. Ada benarnya kata istrinya.
“Apa yang engkau dapatkan dari menulis itu?”
Pertanyaan seperti itu kerap dilontarkan padanya membuat pedas terasa dipendengarannya. Suatu pukulan telak yang sangat menyiksa bathinnya.
Waktu demi waktu dilaluinya dengan mengernyitkan kening. Ia benar-benar bingung, dan sangat terpukul olehnya. Tak mengerti. Tentu ada yang tidak beres begitu muncul selalu dibenak Munir. Lalu pertanyaan seperti itu ia tidak tanggapi serius. Ia cukup mengerti, sebagai ibu rumah tangga dengan ekonomi yang carut marut akibat suaminya di PHK, di perusahaan tempatnya ia bekerja, maka wajar saja bila selalu muncul pikiran yang aneh-aneh. Yah sudahlah, sekali lagi Munir berpikir logis. Tapi hatinya di dalam tidak mau menerimanya begitu saja.
Haruskah dia mengalah? Berhenti untuk membaca dan menulis, hanya karena menjaga keutuhan rumah tangganya.
Argumen yang dilontarkan istrinya itu diakui ada benarnya, sebuah analisa yang sangat tepat. Dalam usia menuju paruh baya, sebaiknya Munir mengurangi kegiatan membaca dan menulis bahkan berhenti sama sekali, karena banyak menyerap tenaga dan pikiran bahkan di usia seperti dia rentan terserang penyakit, begitu pinta istrinya di suatu petang ketika mereka duduk santai diteras rumahnya.
“Ah tidak, bantah Munir dengan hati yang keras, sekeras batu cadas.” Hobi atau kesenangan merupakan kepuasan bathin tersendiri yang tak dapat diukur atau dinilai uang sekalipun.
Tak akan berhenti menulis, begitu tekat di hatinya. Hanya satu harapan dia tetap akan menunggu kapan saja hati istrinya itu luluh, sampai ia mengerti keberadaannya sebagai seorang penulis. Semoga ia sadar, begitu harapnya selalu.
***
Senja sepi merayap perlahan hendak menggapai malam yang kian kelam. Di luar langit lagi mendung. Sebentar lagi hujan lebat mendera bumi. Suatu isyarat bahwa rahmat Tuhan segera akan tiba, kalau bukan bencana alam akan melanda bumi seperti banjir besar yang menyengsarakan rakyat kecil akibat ulah tangan jahil yang membalak hutan seenaknya.
Sejuknya malam menggusur gerah udara menggerayangi tubuhnya, tak akan mengubah sikap atau pendiriannya. Di balik kegemarannya menulis, ada fatamorgana membayanginya selalu kemudian berlindung di baliknya. Idealisme, begitu ia sering dengung-dengungkan.
Apakah karena idealisme lalu dikorbankan segalanya? Perjalanan hidup masih panjang, butuh perjuangan dan pengorbanan lahir bathin. Keluh istrinya sambil menghela nafas dalam-dalam.
“Bukankah menulis itu juga suatu perjuangan?” begitu Munir memberi pengertian pada istrinya.
“Lalu hasilnya apa?” balas istrinya bertanya sinis, lalu ia menatapnya tajam.
“Kamu tahu apa itu idealisme?” tanya Munir suaminya.
“Memang aku tak tahu, yang aku tahu kita butuh hidup, butuh makan, butuh pakaian dan biaya pendidikan anak-anak kita, tak lebih dari itu, dan sangon yang kita terima dari perusahaan kini tinggal tak seberapa lagi.” lanjutnya dengan nada lirih.
Ada butiran-butiran air bening mengalir perlahan di wajahnya yang cekung. Ia menerawang lalu menatap langit-langit rumahnya yang telah kusam warnanya lama tak terawat karena ketiadaan biaya. Sejenak berdua diam. Tak ada suara diantara mereka, kecuali bunyi petir di kejauhan terdengar tipis di balik cakrawala yang kelam. Keduanya masing-masing hanyut dalam belenggu hayal.
“Tapi kamu harus sadar, bahwa kemiskinan itu kerap terjadi akibat pengawasan tidak berjalan dengan semestinya terhadap para penguasa yang pada akhirnya terjadi kebocoran yang semakin meresahkan. Pemilikan harta kekayaan secara ilegal bertumpuk pada segelintir orang-orang tertentu, sedang kita rakyat kecil tinggal mengais sisa, jurang pemisah antara sikaya dan simiskin semakin menganga lebar adilkah itu?”
“Kalau idealisme yang kamu punyai itu tidak disalah artikan orang?”
“Maksudmu?” tanya Munir sambil mengernyitkan keningnya.
“Ya boleh jadi, hanya karena fitnah, kecemburuan sosial, dengki, iri hati, pasti ada tudingan seperti itu.” jawab istrinya sinis.
“Tapi di hatiku sedikitpun tak ada pikiran demikian, hanya kerena terpanggil oleh gerakan moral.” bantah Munir geram sambil beranjak menuju kamar belakang tempatnya ia biasa menulis dan membaca.
Di luar malam semakin kelam dan hujanpun turun dengan derasnya menimpa atap rumah melahirkan suara gemuruh memecah keheningan malam.
Sesaat pikirannya tiba-tiba berubah, sepertinya dia terhipnotis dengan kata-kata istrinya. Kembali ia menemui istrinya yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya.
“Ma, aku janji akan kukurangi waktuku menulis namun tidak berarti bahwa -
aku akan berhenti sama sekali.” kata Munir sambil duduk santai di samping istrinya.
“Maksudku kan sedari dulu memang demikian.” balas istrinya dengan nada lembut.
“Aku akan menulis yang ringan-ringan saja.”
“Seperti apa?”
“Tetap fiksi dengan tema romantisme remaja atau fenomena sosial masa kini.”
“Itu sangat bagus Pak.” puji istrinya dengan mengulum senyum.
“Di lain kesempatan akan kutulis lagi sebuah cerpen dengan judul Bidukpun Tiba Sebelum Hampir Karam.” ujarnya dengan wajah sumringah.
“Asal jangan kamu tulis tentang kita, sebuah rumah tangga yang terpuruk ekonominya serba susah, akibat kena PHK dari sebuah perusahaan swasta yang jatuh pailit.” ujar istrinya bergurau sambil melempar senyum pada Munir suaminya. Ia pun membalasnya senyum lalu bergeser mendekap istrinya, sebuah kecupan mendarat di keningnya.
“Besok aku akan ke kantor redaksi surat kabar, menerima honor menulis yang lumayan besarnya karena sudah sekian lama aku tidak menerimanya, itu hadiah untukmu sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan kita membangun kesepahaman yang telah lama kita dambakan.” begitu bisik Munir pada istrinya sembari beranjak masuk ke kamar tidurnya karena malam perlahan merangkak ke titik larutnya menanti hari esok yang lebih cerah.(*)


Makassar, 05 November 2007

Harian Radar Bulukumba, 06 Pebruari 2009
Mingguan Inti Berita, 03 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar