Selasa, 03 Mei 2011

54. SENJA DI PULAU PENANG

Oleh : Hasbullah Said.-

ANGAN-ANGAN untuk bertemu kembali dengannya kini telah sirna. Karena disaat kami pisah, aku lupa menanyakan alamat tempat tinggalnya yang jelas. Untuk mencarinya dikota besar seperti dipulau Penang sana, tak semudah mem-balikkan telapak tangan. Sangat tak mungkin untuk menemukannya lagi, hilang bagai ditelan bumi. Entah, dimana kakinya kini berpijak. Jejaknya tak terbaca olehku.
Kali pertama aku mengenalnya dipantai itu. Tepatnya di pantai Batu Feringhi pulau Penang. Suatu kawasan wisata bahari yang sangat menakjubkan.
Pulau Penang sebuah pulau kecil berada dibagian sebelah barat semenanjung Malaysia. Nyaris tenggelam sepertinya tak mampu menahan beban pijakan oleh padatnya bangunan gedung-gedung bertingkat, pusat perbelanjaan dan hotel-hotel berbintang. Berbadan jangkung menjulang tinggi hendak menggapai langit biru, tersebar dimana-mana.
Diatas onggokan pasir putih beralaskan koran bekas, dia duduk sendirian tanpa ditemani oleh siapa-siapa. Tatapannya kosong ketengah laut keperakan tertimpa oleh teriknya mentari siang jelang senja sambil merangkul lututnya.
Sudah berapa lama aku memperhatikannya. Karena tingkahnya tak seperti dengan orang-orang yang sedang ber-rekreasi lainnya. Tentunya dengan wajah riang melepas penat membuang jauh-jauh perasaan stres yang mengganjal dihati mereka, mestinya perempuan itu memiliki perasaan seperti itu. Tapi perempuan pakai jilbab itu kelihatannya lain dari pengunjumg lainnya.
Entah, bagaimana perasaannya kalau melihat seorang pria yang ia belum kenal tiba-tiba menyapanya. Tentu ia kaget, atau acuh begitu saja, dan mungkin juga ia akan marah.
Aku sangat sulit menebak perasaannya. Wajahnya begitu sendu, kupandang dari jauh. Sepertinya ia menyimpan sesuatu perasaan yang sangat pribadi. Sama halnya diketahui orang lain yang berada disekitarnya. Tapi mereka tak peduli dengannya. Kecuali aku. Dorongan niatku sangat kuat mendesak-desak ingin kenal sosok pribadi perempuan itu.
“Akh, siapakah sebenarnya dia? Kenapa peribadinya begitu misterius?” begitu gumamku terlontar keluar dari mulutku.
Terbayang kembali wajahnya dalam ingatanku. Nampak garis-garis kesedihan diwajahnya yang murung. Namun tersimpan wajah gadis Melayu terkesan lembut nan ayu, dibalut dengan baju kurung bermotif bola-bola kecil dasar warna pink. Pandangan matanya memancarkan cahaya bening mengingatkan aku pada keteduhan disuatu senja seusai gerimis.
Aku sangat terpana memandangnya, kendati dia dirundung sendu. Namun aku cepat menguasai diriku. Aku terperagap. Aku memberanikan diri untuk mengenalnya lebih dekat. Sekalipun aku dihardik, bahkan diusir aku akan menerimanya dengan lapang dada.
“Maaf, sedikit aku mengganggumu.” tegurku sopan memecah kesunyian hatinya. Jantungku bergetar, berdenyut tak keruan. Tapi Annisa nama perempuan itu tak bergeming sedikitpun. Hampir aku kecewa dengan sikapnya yang begitu angkuh. Lalu sejenak kemudian ia berujar menyahuti tanyaku.
“Ada perlu apa Bang?” ia bertanya sambil menoleh kerahku. Ia tersenyum malu menatapku berusaha menyembunyikan rasa sedih yang tengah bergelayut dihatinya. Maklum, karena baru pertama kalinya aku jumpa dengannya. Sangkaanku semula jauh meleset dari apa yang aku bayangkan sebelumnya. Dalam hati aku berujar, mujur aku kali ini, karena dia bersedia menyahuti tanyaku.
Akhirnya kamipun berkenalan dengannya. Aku berupaya bersikap sebaik mungkin dengan memperlihatkan tata krama sopan santun terhadapnya, laiknya seorang sahabat lama, agar tidak menimbulkan kesan mencurigakan.
“Hasyim Bugis.” ujarku sambil menyalami tangannya.
“Annisa Shazwani.” balasnya.
“Abang orang Bugis ya?” ujarnya lagi ramah sambil melempar senyum padaku. Senyum khas orang Melayu. Senyum manis menawan hati. Kesedihan yang terlukis diwajahnya kini perlahan-lahan menghilang tergusur oleh suasana yang akrab. Aku mengangguk mengiyakan tanyanya.
“Tak payah kita bercakap dalam bahasa Melayu karena Malaysia banyak kesamaan dengan Indonesia, kita saudara serumpun.” lanjutnya lagi dengan wajah sumringah. Kini lahir tiba-tiba kesejukan bergelayut dihatinya menggusur perasaanya yang gunda. Kami saling meyakinkan, bahwa Malaysia dan Indonesia adalah serumpun.
“Malaysia dan Indonesia adalah dua Negara tetangga yang bersahabat. Sama seperti kita, bersahabat walau untuk pertama kalinya kita bertemu.” kataku memancing agar dia terhibur. Entah. Apa lagi yang harus kuucapkan agar ia yakin bahwa aku tidak bermaksud apa-apa terhadapnya.
“Memang, orang Bugis selain peramah, juga ulet dan tekun pantang menyerah. Dalam sejarah bahari menyatakan bahwa orang Bugis-Makassar terkenal pelaut ulung yang tangguh berani mengarungi samudera luas.” lanjutnya lagi dengan mata berbinar. Mendengar ucapnya aku terperangah. Aku benar-benar kagum mendengar ucapnya. Tak menyangka bahwa iapun tahu tentang kehebatan orang-orang Bugis-Makassar dalam berkelautan.
“Dari mana Nisa tahu?”
“Oh, semua orang tahu Bang, bahkan hampir seluruh dunia tahu tentang kehebatan orang Bugis-Makassar mengarungi lautan luas dengan perahu Phinisi-nya.”*)
“ Oke, terima kasih, terima kasih Nisa.” kataku bangga mengucap terima kasih berulang kali.
“ Nisa!” panggilku perlahan sambil menatapnya lekat.
“Ada apa Bang?” sahutnya dengan nada lembut.
“Bolekah kita bicara tentang yang lain?”
“Tentang apa Bang?” lagi ia bertanya serius.
“Tentangmu.”
“Ada apa denganku?” tanyanya lagi heran.
“Tentang kehadiranmu disini, dipantai Batu Feringhi. Kulihat kostum yang Nisa kenakan, tidak sepertinya orang yang sedang piknik. Pakain seperti itu, selaiknya dipakai saat pesta atau kenduri.” sahutku dengan sangat hati-hati agar ia tidak tersinggung.
“Ya, benar sekali Bang.” ujarnya perlahan sambil melempar pandangannya kearah laut yang tengah keperakan tertimpa mentari senja, kemudian kembali ia berujar.
“Sedang menghadiri ulang tahun ke-4.” begitu ujarnya lirih.
“Dimana dan siapa orangnya?” tanyaku serius ingin tahu. Aku diam. Lalu sejenak berpikir. Tentu ulang tahun anak balita, begitu gumamku perlahan terlontar keluar dari mulutku.
“Pasca bencana, setiap tanggal 26 Desember rutin aku datang ketempat ini hanya untuk memperingatinya dengan caraku sendiri, walau cukup dengan mengirimkan surah Al-Ikhlas dan Al-Fatihah kepadanya agar dia tenang dialam sana, dan tentunya di Indonesiapun tepatnya di Aceh juga memperingatinya sama seperti disini, karena korbannya jauh lebih besar dibanding Malaysia atau Negara lainnya.”
Dari penuturannya, aku telah mengerti bahwa ulang tahun dimaksud adalah bencana alam gelombang Tsunami yang terjadi beberapa tahun silam menelan banyak korban jiwa dan harta. Seseorang diantaranya sangat dekat dengannya juga korbannya, terseret oleh arus gelombang tsunami ketika sedang mandi dilaut pantai Batu Feringhi mengakibatkan ia tewas menggenaskan dalam musibah itu……….
“Boleh tidak, aku tahu siapa namanya?” tanyaku lagi ingin tahu setelah sekian lama kami terdiam. Lama sekali. Tak ada suara diantara kami berdua, kecuali deru ombak terdengar bersenandung lara, melantunkan nyanyian serak pilu. Sumpah serapah pada laut. Hanya kepada laut. Lalu ia menatapku perlahan. Berat nian hatinya menyebut namanya. Tapi aku terus mendesaknya. Dan akhirnya diapun memberi tahukanku.
“Hisyam Bulkis.” jawabnya dengan suara serak disertai mata yang berkaca-kaca.
“Namaku hampir mirip.” kataku seolah kaget mendengarnya. Nisa berupaya tegar mengusir jauh rasa perih dihatinya.
Kami sepertinya benar-benar sudah lama saling kenal. Berbagi rasa suka dan duka.
“Bukannya hanya nama yang mirip Bang, tapi hampir semuanya sama, mulai wajah, kulit sawo matang, rambut ikal, kumis tipis bertengger diatas bibir nan mungil, terakhir sepasang mata bola yang bersinar-binar persis mata Abang punyai.” Nisa menatapku lekat. Sepertinya tak mau melepas tatapannya terhadapku. Aku kikuk dibuatnya. Kulihat ada butiran-butiran air bening mengelinding perlahan membasahi wajahnya yang sendu. Segera di usapnya dengan ujung –ujung jilbabnya berwarna merah muda, yang ia kenakan.
“Maafkan aku Nisa.”
Gantian aku menatapnya. Kami bersitatapan lama. Lama sekali. Hatiku terenyuh. Bathinku didalam hampir goyah. Tapi aku berupaya untuk tegar, tidak terbawa oleh arus kepedihan hatinya yang tersayat pilu. Aku sedikit menyesal, menyingkap tabir peristiwa terpendam membuat bathinnya didalam tersiksa.
“Sekali lagi maafkan aku, Nisa.” ujarku lagi dengan nada memelas.
Aku benar-benar sangat menyesal, mengapa aku mengungkap masa lalunya, pikirku dihati. Kemudian aku memegang tangan Nisa dengan erat. Sangat erat. Mungkin ini sebuah ungkapan rasa simpatiku terhadapnya. Aku sangat terharu, karena Nisa seolah tak mau melepas genggaman tanganku.
“Mari kita berdoa, semoga arwahnya diterima oleh Yang Maha Kuasa disisi-Nya …..amin !” begitu pintaku, lalu sesudahnya kuusap wajahku dengan kedua belahan tanganku, juga Nisa melakukan hal yang serupa.
Kulihat mata Nisa kembali berkaca-kaca. Tak kubiarkan dia larut dalam kepedihannya yang tak berkesudahan. Segera aku beranjak meninggalkan dia dalam kesendiriannya.
Ini mungkin pertemuan kami yang pertama dan terakhir, karena keesokan harinya segera aku balik ke tanah air Indonesia, dan selanjutnya menuju tanah Ugi, Bumi Panrita Lopi*) dimana tempat kediamanku. Walau aku berharap, semoga ini bukanlah pertemuan kami yang terakhir kalinya. Tapi rupanya Tuhan tidak mau mempertemukan kami lagi.
“Selamat tinggal Nisa, sampai jumpa lagi.”
“Selamat jalan, semoga Abang tiba dengan selamat ditempat tujuannya.” balasnya dengan suara serak parau tertahan ditenggorokannya, sambil melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaiannya.
Hujan lebat disenja hari, menyadarkan aku dari lamunanku yang panjang. Kulempar pandanganku keluar lewat jendela kamarku. Kulihat diluar hujan masih saja terus mengguyur bumi, membuyarkan segala kenanganku hingga menghilang lenyap bersama hilangnya bayang-bayang merah di cakrawala barat menjemput malam yang kian kelam.(*)

Makassar, 01 Desember 2007

Harian Radar Bulukumba, 24 Desember 2008
Mingguan Inti Berita, 02 Januari 2011


*) Pantai Batu Feringhi = Sebuah kawasan wisata pantai di Pulau Penang
Malaysia
*) Tanah UGI, Bumi Panrita Lopi = Daerah Bugis, nama julukan Bulukumba
sebagai pengrajin perahu layar
*) Phinisi = Perahu layar suku Bugis Makassar


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar