Selasa, 03 Mei 2011

55. AKU DAN IMAJINASIKU

Oleh : Hasbullah Said.-


ENTAH, sudah berapa lama aku berada dalam kamarku yang sempit lagi hangat. Kamar yang berukuran tak lebih dari 3x3 meter. Aku selalu mengurung diri di dalamnya dan berupaya untuk membetahkan diri. Aku merenung-renung sambil mencoret-coretkan pulpenku diatas kertas kosong.
Aku tak pernah kehilangan imajinasiku untuk menulis apa saja yang ku- inginkan, angan-angan atau mimpi-mimpi yang kupunyai walaupun semuanya tak akan pernah terwujud. Aku bukan seorang penulis atau pengarang yang kenamaan. Pandai merangkai kata yang begitu indah. Kendati menulis adalah duniaku yang telah sulit kurubah.
Imajinasiku melayang tinggi terbang jauh keangkasa yang tak bertepi tapi hinggapnya selalu disitu-situ saja terus, bencana alam, penggusuran pedagang kaki lima, unjuk rasa, korupsi, sembako, bencana alam, lalu penderitaan. Itu selalu timbul menghiasi imajinasiku.
Aku tak pernah lagi menulis tentang laut. Disaat mentari hendak bergulir jatuh kedasar laut biru, dihiasi oleh bunyi kelapak sayap burung camar menyambar-nyambar diatas riak ombak melantunkan balada cinta. Lalu beberapa pasang remaja duduk santai diatas dermaga menikmati indahnya panorama senja yang memikat tengah dimabuk asmara dengan desah nafas birahi.
Aku berupaya menulis tentang yang lain. Sama yang dimuat dikoran atau tayangan di Teve. Tapi aku tak pernah menciplak atau merampok karya orang lain. Hanya yang realistis saja seperti fonemena sosial masa kini, yang sedang aktual.
Pulpen ditanganku masih menari-nari diatas kertas putih. Seputih hatiku bercerita tentang orang-orang. Hanya orang-orang. Tak lebih dari itu.
Sudah beberapa jam berlalu, namun coretanku diatas kertas putih tak kunjung juga usai. Yang ada dibenakku selalu terbayang hanyalah jeritan tangis pilu orang- orang-
yang bernasib kurang beruntung. Sama sepertiku.
Bosan dengan pemberitaan di Teve dan koran, beritanya berkisar itu-itu saja terus. Bencana alam, tanah longsor, banjir, berita pesawat jatuh, unjuk rasa, pilkada terakhir korupsi oleh pejabat tinggi, dan banyak lagi berita yang membuat hati ini miris. Tak satupun berita gembira yang dapat mengobati hati yang luka.
Aku berharap, dan juga orang-orang pasti berharap sama seperti aku. Berdasarkan hasil survei telah ditemukan ladang minyak dibeberapa titik dilepas pantai perairan Indonesia dan tambang emas dipegunungan sana. Konon, yang terbesar di Asia Tenggara, bahkan didunia. Akan menyerap banyak tenaga kerja, ribuan bahkan puluhan ribu orang.
Berita demikian jarang ada, bahkan sama sekali tidak pernah ada.Yang ada dan selalu ada, hanyalah berita kerusuhan, unjuk rasa terjadi dimana-mana. Sengketa Pilkada dan semacamnya sering menjadi topik utama dalam berita. Hanya karena ambisi mengejar kekuasaan dan kedudukan pada gilirannya rakyat kecil yang menjadi korbannya. Ini adalah sebuah pembelajaran didalam berdemokrasi. Sungguh membosankan dan melelahkan.
Lagi-lagi orang-orang berteriak disepanjang jalan, mendambakan sebuah keadilan, perlindungan hukum, kesejahteraan rakyat miskin, orang-orang antri berjam-jam lamanya berebutan sembako yang hanya untuk mengenyangkan sesaat, orang-orang berjam-jam antri hanya untuk mendapatkan 5 liter minyak tanah, sudah menjadi pemandangan umum hari-hari yang membosankan.
Belum lagi, banjir besar selalu datang bertandang setiap tahunnya, tanah longsor dan angin puting beliung setiap saat terjadi dimana-mana, memporak-perandakan bangunan rumah penduduk, membuat rakyat kecil semakin melarat. Ini memang adalah bencana tapi juga sebuah peringatan bagi kita semua umat manusia.
Akhirnya, orang-orang pada ramai menagih janji, setelah seratus hari usai Pilkada. Mana janjimu. Janji tinggal janji, yang realisasinya masih dalam tanda tanya.
Semua itu bukan lagi suatu peristiwa serius, akan tetapi sebuah ponomena yang dianggapnya biasa-biasa saja lumrah terjadi.
Hati ini merasa hampa dan hambar, melahirkan sebuah kebencian yang amat dalam, terhadap budaya yang telah berobah drastis, keberpihakan pada rakyat kecil lagi miskin seolah telah terpinggirkan hilang pupus ditelan olah rasa egois yang ingin menang sendiri.
Kekayaan kini bertumpuk dan dimiliki hanya bagi orang-orang tertentu saja. Akhirnya rakyat kecil tinggal mengais sisa. Telah terjadi kesenjangan. Jurang pemisah antara sikaya dan si miskin semakin hari semakin menganga lebar.
Akhir-akhir ini, aku lebih banyak menulis tentang korupsi, sama halnya pemberitaan dimedia cetak dan elektronik telah menjadi topik utama tentang korupsi seorang pejabat tinggi. Sebuah tulisan yang menarik untuk kita simak, karena sedang ramainya diperbincangkan orang tentang korupsi. Tapi tentu tidak semua orang menyenangi tulisanku. Pasti ada juga orang-orang yang membenciku, bahkan marah besar terhadapku.
“Siapa yang marah dan membenciku?” tanyaku membathin
”Ya, siapa lagi kalau bukan Koruptor itu sendiri karena merasa tak senang diusik-usik kejahatannya.” begitu kedengaran bagai bisikan halus menyahuti tanyaku.
“Apakah kamu tak getir, karena Koruptor itu berasal dari orang-orang atau kalangan pejabat tinggi yang memiliki banyak duit?”
“Oh, lebih-lebih KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tentu sangat dibenci karena dia yang bongkar dari dalam gudang kejahatan lalu mereka usut.”
”Sedangkan aku, hanyalah seorang penulis biasa, senang memperturutkan imajinasi fiksi kata hatiku, sekadar untuk mengisi kokosongan jiwaku, juga sebagai panggilan moral bagiku, karena begitu maraknya diperbincangkan orang-orang tentang korupsi.”
Akhir-akhir ini tulisanku kini sudah jarang dimuat dikoran, bahkan redak-turnya menolak untuk memuatnya, karena tak lagi menarik untuk dipublikasikan. Buat apa, tokh semua orang sudah pada ramai membicarakannya tentang korupsi, begitu mungkin alasannya sehingga tulisanku tak lagi dimuat.
Entah, sudah berapa banyak naskah yang kukirim, namun tak satupun yang di
muat, kendati lumayan bagus menurut penilaianku. Tapi aku tetap saja menunggu terbitan selanjutnya.
Lima minggu berturut-turut aku menunggunya. Lagi-lagi tak kunjung jua muncul dipelataran Budaya. Satu persatu karyaku mulai berguguran, bagai daun-daun kering tertiup angin lalu berserakan dimana-mana, seolah melantunkan nyanyian serak pilu dipendengaranku.
Kini telah menjadi tumpukan kertas-kertas yang tak punya nilai apa-apa, berhamburan berserakan didalam kamarku jadi santapan lezat bagi rayap dan kecoak berhiaskan dekorasi sarang laba-laba yang setia bermukim bersamanya.
Masih aku berada dalam kamarku yang sempit lagi pengap. Merenung-renung nasib naskah yang telah kukirim keredaksi surat kabar, hingga kini belum juga dimuat. Kemana lagi aspirasi suara orang-orang kecil akan kubawa. ke-legeslatif tak mungkin dengan suara perorangan tanpa ronrongan unjuk rasa secara besar-besaran.
Namun, aku tak akan berputus asa, karena masih ada naskah lain yang telah pernah kukirim keredaksi koran lain, kini sementara kutunggu terbitnya.
Benar, dua minggu kemudian kuterima dua exp.koran yang memuat tulisanku disalah satu koran yang terbit di kota lain diiringi ucapan terima kasih dari redakturnya atas segala partisipasiku mengirimkan naskah, karena visi dan misi yang diemban senada denganku walau hanya dalam bentuk cerita pendek.
Hampir aku berputus asa didalam penantian lama. Tapi akhirnya, semangatku kembali bangkit, setelah kulihat tulisanku lagi dimuat dikoran, judulnya sangat sederhana: “Ketika Ayah Tak Lagi Melaut “ bercerita banyak tentang orang-orang nelayan tak lagi melaut akibat ketidak mampuannya memperoleh BBM jenis solar karena harganya tak terjangkau, lagi pula kadang cuaca buruk di bulan Desember sering tidak bersahabat, akhirnya mereka lebih memilih menambatkan kapalnya didermaga karena hasil tangkapannya tak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan.
Sebenarnya, aku tak perlu pusing tentang tulisanku dimuat atau tidak, karena kupikir masih banyak hal lain yang lebih penting dari itu.
Baru aku sadar, bahwa selama ini aku terlena dalam egoisku semata, sehingga
hampir terlupakan tentang hidupku, bukan hidup orang-orang lain, semisal tentang -
hidup dan penghidupan ini karena hingga kini pekerjaan tetap belum juga kupunyai.
Sementara bundaku, selalu berharap agar asap dapur tetap mengepul, kendati harga minyak tanah sangat mahal lagi pula sulit diperoleh. Karena sudah dikonversi dengan gas elpiji. Padahal, kalangan rakyat miskin lebih senang memakai minyak tanah karena khawatir terjadi kebakaran akibat meledaknya tabung gas.
Terima kasih imajinasiku, yang mampu berbuat banyak apa saja dalam hal hidup ini, berbagai peristiwa penting terekam dalam bentuk tulisan, sebagai penyambung lidah bagi orang-orang melarat, menyampaikan keluhannya dengan rintihan hati yang serak pilu. Berharap agar orang-orang yang senang merampas hak orang lain tidak lagi menjadi suatu budaya baginya akan tetapi, keberpihakan kepada orang-orang kecil lagi miskin menjadi perhatian sebagai wujud kepekaan yang lahir dari hati nuraninya yang paling tulus dan ikhlas. Semogalah……….!”(*)


Makassar, 15 Pebruari 2008

Harian Radar Bulukumba, 02 Pebruari 2009
Harian Palopo Pos, 22 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar