Selasa, 03 Mei 2011

56. PENANTIAN DI MALAM LEBARAN

Oleh : Hasbullah Said.-


BEDUK dimesjid dan disurau terdengar bertalu-talu diudara. Lantang, namun penuh kesyahduan. Lelaki yang berseragam biru itu tengah bersimpuh lalu merunduk diatas seonggok tanah yang masih merah. Ia berdoa. Lama baru ia sadar dari lamunannya. Sesudahnya, ia memandang berkeliling kesemua arah, kemudian ia menghapus air matanya yang meleleh dengan punggung tangannya.
Suasana mulai sunyi. Alam disekelilingnya berangsur dipagut sepi. Serbuk menyan dalam pedupaan diubun pusara ibunya mulai padam nyalanya. Ditaburinya sekali lagi dengan serbukan menyan itu, melahirkan bau yang menyengat.
Lelaki itu kembali lagi berdoa dalam keheningan malam yang semakin kelam. Doanya khusyuk dan diakhiri dengan isakan nafas resah. Ia bangkit. Kemudian dengan gerak langkah lesu ia tinggalkan pusara ibunya.
Dari balik menara mesjid dan surau terdengar suara orang-orang takbiran, tahlil dan tahmid memecah keheningan malam, mengagung-agungkan kebesaran-Nya menyambut hari Raya Lebaran pagi esok.
Pada sebuah belokan jalan dimulut kuburan itu. Ia berhenti. Seperti ia terpaku diatas kedua belahan kakinya, lalu ia menyahuti takbiran itu.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilham.” suaranya agak parau tertekan ditonggorokannya. Kembali air matanya meleleh, lalu disekanya dengan punggung tangannya.
Tapi tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya. Seorang perempuan keluar dari sebuah surau sehabis shalat mahgrib. Mukena yang ia kenakan masih nampak menyelimuti tubuhnya putih bersih mengkilap tertimpa oleh cahaya lampu surau. Perempuan itu menyapanya.
“Bado, engkau?” tanya perempuan itu. Lalu ia menyalami memegang tangan lelaki itu dengan sangat erat.
Lelaki itu menatapnya. Tajam tanpa mengedip. Matanya merah membayang- kan sesuatu yang sulit dimaknai.
“Akh, Bado.” kata perempuan itu lagi, dengan wajah sumringah
“Syukurlah karena kamu telah kembali, kapan kamu bebas?”
“Aku belum bebas, aku masih seorang nara pidana, pelarian dari Lapas.” jawab lelaki itu dengan suara parau tersendat di tenggorokannya. Keriangan perempuan itu tiba-tiba hilang, berubah menjadi cemas.
“Bado, lupakanlah semua itu. Jangan kamu mendendam. Tuhan tidak mengingini hamba-Nya yang suka mendendam.” Lelaki itu diam sejenak mendengar ucap perempuan itu. Didadanya besetumpuk antara kasih dan dendam harus di tunaikannya.
“Sia-sia aku menorobos jeruji besi dan kawat duri lari dari Lapas, kalau sampai dendamku ini tidak terlampiaskan.” ujarnya perlahan, dengan suara bergetar sambil mengelatukkan giginya. Kedengarannya bergeretak. Perempuan itu lagi cemas penuh kehawatiran pada keadaan yang akan terjadi.
“Hukumanmu akan bertambah berat kalau kamu berbuat lagi.” tukas perempuan itu dengan nada beriba, agar pembunuhan itu tidak dilakukanya. Dia dipenjara karena melakukan penganiayaan berat terhadap seorang lelaki gara-gara hanya persoalan sepele, yang mengakibatkan korbannya mengalami luka serius sehingga ia dijatuhi hukuman kurungan badan selama beberapa bulan.
“Jangan kita bicara disini sudah gelap, nanti orang menaruh prasangka yang tidak-tidak.”
Lelaki itu melangkah, kemudian disusul oleh perempuan itu. Mereka berjalan beriringan menembus remangan-remang cahaya lampu surau yang semakin menjauh.
Mereka tiba disebuah rumah kecil tapi mungil, bentuknya terkesan indah dan romantis. Bersih, segar dan nyaman. Sangat menarik pemandangannya untuk dipandang. Halamannya tak seberapa luasnya namun dua buah pohon harumanis tumbuh didalamnya sedang berbuah ranum.
“Tak ada perubahan, cuma harumanis itu sudah berbuah ranum menggoda hati untuk memetiknya.” gumam lelaki itu dan sesaat memperhatikannya dengan mata nanar -
berkeliling.
“Seperti orangnya padamu Bado, ia semakin bertambah dewasa.” kata perempuan itu berseloroh.
Lelaki itu teringat pada masa-masa lalunya. Dibawah teduhnya pohon harumanis itu ia pernah berjanji untuk menjadi sepasang suami istri yang bahagia rukun dan damai. Peristiwa itu kini menari-nari dibenaknya.
“Dimana ibumu Suci?” tanya lelaki itu. Perempuan itu tidak secepatnya menyahut. Ia menatapkan wajahnya kedada lelaki itu. Degup jantung lelaki itu terlihat berdenyut keras.
Ada butiran-butiran air bening menggelingding diwajahnya. Perempuan itu menangis. Hati lelaki itu goyah, sepertinya ia tak kuat menahan rasa iba. Namun lelaki itu tak pernah mau menangis.
“Semua telah tiada, aku tinggal sebatang kara.” jawab perempuan itu lirih.
“Sabarlah, semua itu kehendak Tuhan.”
“Tapi betul-betul kamu belum bebas?” tanya perempuan itu lagi.
“Dua bulan lagi.“ jawab lelaki itu dengan suara bergetar.
“Dan kamu akan berbuat lagi, akan membunuh?”
“Ya, seperti janjiku dulu waktu awal aku masuk bui.”
“Kamu masih cinta padaku Bado?”
“Suci, cinta adalah cinta, namun itu tidak kuasa menghapus dendamku, dendam itu adalah nafas seorang lelaki.” lelaki itu diam lagi, lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Terasa amat berat nafasnya ia tarik. Keduanya diam membisu. Tak ada suara kedengaran menghiasi kebekuan malam, kecuali suara takbir dan tahmid mengema keangkasa dengan penuh kesyahduan.
“Kalau begitu kamu membiarkan aku jadi perawan tua.” balas perempuan itu setelah sekian lama diam.
“Kawinlah kamu bila ada orang melamarmu, aku rela kalau kamu mau kawin.”
“Aku masih tetap setia menunggumu Bado, sampai kapanpun.”
“Kamu akan sengsara nanti.”
“Kenapa?”
“Sesudah membunuh, akan kuserahkan diriku kembali, berarti hukumanku akan bertambah lagi kurang lebih sepuluh tahun. Coba bayangkan lamanya waktu itu.
“Kamu tidak kasihan padaku.”
“Lebih dari itu Suci, tapi apa boleh buat.”
“Bado, batalkan niatmu itu.” pinta perempuan itu, dengan nada sangat beriba.
“Tidak Suci, laki-laki seperti dia harus mati karena kerjanya hanya menyiksa ibuku mengakibatkan kematiannya lalu semua perhiasan emas miliknya dijualnya dan ia gunakan hanya untuk berfoya-foya dan mabuk-mabukan.”
”Tapi itu kan dosa besar, ajaran agama yang sama kita anut mengharamkan pembunuhan.”
“Apalagi lelaki itu ayah tirimu sendiri.” kata perempuan itu mem-peringatinya.
“Semuanya akan kutanggung sendiri, demi cintaku pada ibuku.”
“Pasti ibumu sendiri takkan menyetujui perbuatanmu sekiranya dia masih hidup.”
”Ini malam adalah malam kemenangan setelah sebulan lamanya kita berjuang melawan hawa nafsu.”
“Kenapa kamu mau nodai kemenangn itu?” ujar perempuan itu memperingatinya.
Kumandang takbiran tahmid dan tahlil semakin mendayu-dayu terdengar dari balik menara mesjid membuat hati lelaki itu terenyuh. Goyah. Bathinnya didalam berperang. Hatinya gamang. Lagi ia diam mengamati dari mana datangnya suara itu. Seolah ia berada disuatu tempat yang amat indah dan nyaman.
“Aku berada dimana Suci?” tanya lelaki itu tiba-tiba, sepertinya orang linglung.
“Dimana lagi kalau bukan dipondok damai sama seperti dulu.”
“Dulu kapan?” tanyanya lagi.
“Sebelum kamu masuk bui.”
“Jadi aku nara pidana?” tanya lelaki itu tanpa sadar.
“Ya, lihat seragam yang kamu kenakan.” lelaki itu memandangi kesekujur tubuhnya.
Kostum yang ia kenakan ditarik-tariknya lalu ia remas-remas, barulah ia sadar dan yakin bahwa ia nara pidana.
“Benar Suci.” sahut lelaki itu disertai anggukan kepala.
“Kamu kabur dari Lapas hanya untuk mensiarahi kuburan ibumu, begitu besar rasa cinta kamu padanya, wujud bakti seorang anak shaleh yang taat dan selalu mendo’akan kedua orang tuanya.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Bergegaslah engkau balik ke Lapas sebelum polisi datang menangkapmu, agar hukumanmu tidak bertambah lagi.” Lelaki itu kembali diam, lalu menerawang jauh. Lapat-lapat kesunyian perlahan datang bertandang menandakan bahwa malam telah hampir larut.
“Kalau begitu Suci, aku segera balik ke Lapas agar hukumanku tidak akan bertambah berat.” sahut lelaki itu masygul.
“Ya, bergegaslah sebelum matahari terbit ditimur, karena esok pagi sebelum shalat Ied.engkau akan dibebaskan.”
“Besok di bebaskan?” tanya lelaki itu sambil mengernyitkan keningnya.
“Ya, karena remisi biasanya diberikan kepada Napi setiap hari Raya Lebaran sebelum shalat Ied.”
“Tentunya kamu akan bebas murni tanpa syarat karena masa tahananmu sisa dua bulan lagi.”
“Terima kasih Suci.”
“Kalau begitu segara aku balik ke Lapas.” ujar lelaki itu sambil bergegas mengayunkan langkahnya menerobos kabut malam meninggalkan Suci didalam pondoknya menanti esok, hari Raya Lebaran hari pembebasannya.
“Sampai jumpa besok dirumah ini, pondok cinta kita yang aman damai.” sahut Suci sambil melambaikan tangannya kepada Bado lelaki itu.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillah Ilham!” suara takbiran sayup-sayup terdengar mengumandang diangkasa mengiringi langkahnya menuju Lapas -

membawa kemenangan yang ia raih karena tidak lagi menjadi seorang pembunuh.(*)


Makassar, 14 Maret 2008

Harian Radar Bulukumba, 19 Pebruari 2009
Mingguan Inti Berita, 07 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar