Selasa, 03 Mei 2011

58. ADA CINTA DI HATI NAN LARA

Oleh : Hasbullah Said.-


IJA,……Aku mohon agar kamu dapat membacanya tulisanku ini. Begitu harapmu diawal cerpen yang kamu rangkai dengan kata-kata sangat indah, dimuat di sebuah koran terbitan minggu dikota ini.
Maka terkabullah sudah harapanmu, karena aku telah membacanya. Seperti yang kamu tulis selanjutnya, bahwa segala sesuatunya itu tentu ada penyebabnya. Walaupun sebab-sebab itu, tak pernah terduga ataupun tak terimpikan jauh sebelumnya. Karena semua itu Tuhanlah yang mengaturnya.
Sama halnya koran itu, secara kebetulan aku dapat membacanya hanya lewat milik teman kuliahku bernama Hasni, karena koran tempat tulisanmu itu dimuat aku tak melangganinya.
Sama sekali diluar jangkaun pikiranku, bahwa pertemuan kita dulu dirumah Sakit Haji itu, kamu masih mengingatnya, kendati telah terlewati oleh waktu lampau yang cukup lama.
Sekiranya kamu tidak tulis namaku yang jelas dalam cerita itu, Nurtija Samiun, mahasiswa Semester akhir pada Univ.Satria Makassar, maka tentu teman-teman kuliahku mengiranya nama itu hanya secara kebetulan sama, sebuah nama comotan yang biasa dipakai oleh penulisnya dalam sebuah cerita fiktif. Akan tetapi cerita pendek yang kamu tulis itu bukanlah sebuah cerita khayalan. Sebuah kisah nyata yang benar-benar terjadi antara aku dan kamu.
Dan setelah jelas bahwa tokoh utamanya dalam cerita itu adalah aku, maka teman-teman kampusku saling berlomba ingin membacanya, merampas dari tanganku, membuat koran itu berubah bentuk menjadi beberapa bagian kecil berserakan berhamburan tertiup angin lalu. Untung saja karena aku telah usai membacanya dari awal hingga akhir cerita itu.
Imajinasimu kuakui memang kuat dan tajam, masih mampu merekam semua peristiwa lalu, kendati telah lewat beberapa tahun silam. Semuanya berlalu hanya karena dibatasi oleh ruang dan waktu, karena disaat pisah dulu diantara kita tidak ada yang ingat untuk saling memberi alamat tempat tinggal kita masing-masing.
Akhirnya aku kehilangan jejak. Tak tahu kemana kuayunkan langkahku untuk mencarimu.Bayangkan, kota besar seperti Metro Makassar sini begitu sangat luas. Namamu Syamsuddin, H. sangat sulit untuk menemukanmu lagi, karena mungkin lebih dari seribu nama yang sama kamu punyai, bahkan lebih dari itu.
Awal pertemuan kita dulu dirumah Sakit Haji itu memang sangat sederhana, karena setiap aku jenguk Om-ku, kita pasti bertemu. Kamu berbaring lemah disamping tempat tidur Om-ku dalam ruang kamar yang sama tepatnya kamar 5 dirumah sakit itu.
Aku tak tahu persis penyakit apa yang kamu derita kala itu. Belakangan baru aku tahu setelah kurekam pembicaraan dari keluarga pembesukmu, bahwa kamu terserang penyakit bronchitis, akibat nikotin asap rokok bertumpuk banyak menyelubungi hampir disemua rongga paru-parumu. Karena kamu adalah pecandu rokok berat.
Setiap aku melangkah muncul diambang pintu masuk ruangan, engkau selalu memperhatikanku, menatapku dengan pandangan yang sangat berarti. Hampir aku tak percaya bahwa setiap kehadiranku engkau selalu melempar senyum padaku yang kumaknai itu hanyalah senyum biasa saja.
Untuk tidak mengecewakanmu maka senyummu itu aku balas. Tapi disaat matamu membentur retinaku mendadak saja ada rasa iba terhadapmu. Melihat kondisimu yang terbaring lemah menantang penyakit bronchitis yang menyerangmu tanpa ampun. Rasa belas kasih timbul dihatiku berharap agar kamu lekas sembuh. Sama halnya harapku pada Om-ku yang tengah bergelut dengan sakitnya. Dari tatapan matamu mengertilah sudah bahwa engkau, menaruh perhatian khusus padaku.
Hari-hari berikutnya setiap perjumpaan kita tak pernah bertegur sapa, yang bicara hanyalah tatapan mata dan senyum. Tak lebih dari itu.
Itu sangat kumengerti dan untuk menghindari jangan sampai penyakitmu akan bertambah parah. Entalah. Sepertinya kita telah punya komitmen bahwa cukup hanya bahasa isyarat yaitu senyum dan tatapan mata saja.
Hingga disuatu hari aku datang lagi namun tidak dengan sendiriku. Aku datang bersama seorang pria yaitu saudaraku, kakakku yang kebetulan baru saja tiba dari Jakarta.
Kamu kembali menatapku, lalu senyum padaku. Akan tetapi tatapan mata dan senyummu kali ini terasa lain dari biasanya. Senyum terkesan hanya dipaksakan. Akhirnya mengertilah sudah bahwa kamu salah paham tentang lelaki yang menemaniku, kamu melihatku seperti sepasang kekasih. Lewat sikapmu kutahu ada ragu resah bergelayut dihatimu. Namun aku tetap diam tak memberi reaksi terhadapmu. Khawatir penyakitmu akan bertambah parah.
Sebenarnya, aku berkeinginan keras untuk menjelaskan kepadamu, bahwa pria yang menemaniku itu adalah kakak laki-lakiku yang baru saja tiba dari Jakarta.
Akan tetapi situasi dan kondisi disore itu sangat tak memungkinkan karena banyaknya penjenguk yang berkunjung. Maka urunglah niatku. Namun dalam hati aku janji, suatu saat kelak bila kamu sembuh dari sakitmu, semuanya akan kujelaskan padamu bila kita bertemu.
Sementara Om-ku di sampingmu semakin parah dari sakitnya. Sesak nafas tersengal-sengal tiba-tiba datang menyerangnya. Dokter yang merawatnya menyarankan untuk segera dipindahkan keruang khusus. Sampai akhirnya takdirlah yang bicara, Om-ku lebih awal dipanggil menghadap oleh Yang Maha Kuasa.
Kutahu ada rasa iba dihatimu, ketika engkau melihatku menangis sesunggukan disamping jasad Om-ku yang terbujur kaku. Aku merasa terpukul atas kepergiannya, karena harapanku tempat menggantung nasib hanyalah padanya seorang. Tiada kusangka bahwa hari itu adalah hari pertemuan kita yang terakhir kalinya.
Sebelum kita pisah, kamu sempat menitipkan secarik kertas untukku melalui Nursiah adik sepupuku yang setia menunggui Om-ku berhari-hari dirumah sakit itu. Sepenggal puisi kamu tulis sangat indah, yang intinya antara lain menyatakan bahwa, hidup ini penuh liku-liku dan cobaan, cinta tidaklah selamanya harus memiliki. Keimanan serta ketabahanlah obatnya yang paling ampuh. Suatu hari nanti kita pasti akan ketemu lagi, entah kapan, besok atau lusa,……….Begitu antara lain bunyi isi suratmu.
Terakhir kamu tulis, ucapan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas berpulangnya Om-ku ke Rakhmat Allah, sebagai ungkapan rasa simpatimu padaku.
Baru aku sadar bahwa kamu adalah penyair, penulis yang mampu membuat hatiku tenang mengingatkan aku keteduhan disuatu senja seusai gerimis. Rasa kagumku lahir menyelimuti hatiku tanpa bisa kucegah.
Akupun berharap sama sepertimu agar tulisanku ini dapat pula kamu membacanya. Aku dalam kebingungan tak tahu bagaimana caranya agar kamu dapat membacanya. Akan kukirim ke redaksi koran dimana tempatnya tulisannmu selalu dimuat. Namun timbul keraguan dihatiku dapat dimuat atau tidak, karena aku bukanlah penulis sama sepertimu.
Akhirnya, kuputuskan akan kutulis dalam buku catatan harianku saja, agar menjadi sebuah kenangan abadi buatku. Sepenggal sobekan koran tersisa ditanganku ketika teman-temanku berebutan ingin membacanya. Hanya judulnya yang tertinggal.
Sebuah cerita pendek yang sangat menarik perhatian banyak dikalangan teman-teman kampusku. “Cinta tidak selamanya harus memiliki.” Begitu judul cerpen yang kamu tulis itu sangat menggugah hati bagi siapa saja yang membacanya.
Sobekan koran itu masih tetap utuh tersimpan rapi terselip dibalik catatan harianku.
Dimanakah kamu sekarang berada? Begitu tanyaku selalu dihati hingga kini.(*)

Makassar, 22 Maret 2008

Harian Radar Bulukumba, 25 Pebruari 2009
Harian Palopo Pos, 30 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar