Selasa, 03 Mei 2011

59. DI ATAS SEBUAH MIKROLET

Oleh : Hasbullah Said.-

ANGIN dari arah barat bertiup kencang, menyelinap diantara bangunan padat penduduk kota Makassar. Tapi aku masih saja terus berdiri mematung diatas kedua belahan kakiku didepan halaman rumah kostku di Jalan, Mappala. Aku berharap, agar sore ini hujan mengurungkan niatnya untuk tidak mengguyur kota Makassar.
Beberapa jam yang lalu, dilangit terlihat banyak awan hitam bergelayut. Akan tetapi tak lama kemudian, anginpun bertiup lebih kencang dari semula membuat gumpalan-gumpalan benda hitam itu terusir lalu lari menjauh berhamburan terpencar kepusaran langit biru.
Aku menatap langit sambil berdoa, mudah-mudahan Tuhan tidak turunkan air lebatnya dari langit, agar aku tidak basah dan kedingian dalam perjalananku menuju terminal Reoginal Daya, kendati aku memakai jaket tebal pelindung tubuhku. Rupanya Tuhan mengabulkan doaku. Hujan lebat tak jadi turun, walau gerimis tipis kini telah jatuh dari atas langit sana.
Sepeda motor Supra Fit-ku kularikan dengan kecepatan tinggi dibalik tirai gerimis berhiaskan pelangi indah warna-warni dikaki langit. Sepeda motorku begitu laju kularikan lebih cepat dari biasanya, agar aku lebih cepat pula tiba diterminal Daya sebelum Sunarti berangkat keluar kota.
Setelah aku tiba, aku tak menemukan lagi Sunarti disana, karena baru 15 menit yang lalu Bus malam antar provinsi tujuan kota Kendari yang ia tumpangi sudah berangkat meninggalkan terminal itu. Akhirnya aku pulang kerumah dengan hati yang kecewa. Hujanpun turun dengan sangat derasnya membasahi segala apa yang ada dibumi. Aku beranjak masuk kekamar tidurku yang pengap, kemudian berbaring lalu mengenangnya.
Kukenal Sunarti ketika dulu sepulang kuliah di UNM Makassar, diatas kendaraan angkutan kota yaitu sebuah mobil pete-pete*) tujuan Sentral, seorang pria yang tidak aku kenal duduk bersamaku di samping Sunarti.
Disaat mobil itu berhenti hendak menurunkan penumpangnya, tiba-tiba pria itu merampas Hand-Phone milik Sunarti ketika ia tengah gunakan menelepon seseorang teman kuliahnya, kemudian pria itu lari menuju kesebuah lorong.
Aku jadi pahlawan ketika itu dengan mempertaruhkan segalanya. Dengan gerak refleksi aku meloncat turun dari atas mobil pete-pete itu, kemudian mengejarnya hingga kemulut lorong sambil berterik maling.
Akhirnya penjambret itu gagal melakukan aksinya, karena berhasil tertangkap dengan sekujur tubuhnya babak belur habis dihajar massa. Untung baginya, karena tak lama sesudahnya petugas kepolisian cepat datang mengamankannya sehingga nyawanya dapat tertolong.
Aku merasa lega dan bersyukur, karena telah berhasil menolong insan lemah yaitu seseorang perempuan kendati aku tak mengenal dia jauh sebelumnya.
Dengan perasaan haru perempuan itu mendekatiku lalu berujar berulang kali mengucap terima kasih kepadaku.
“Terima kasih, terima kasih banyak atas pertolongannya.” begitu ujarnya dengan nada gegagapan sedikit gemetaran sambil melempar senyum padaku. Senyum malu-malu, senyum biasa, namun bukan senyum dipaksakan, maklum karena baru pertama kalinya itu kami bertemu.
“Sama-sama.” balasku sambil senyum menatap padanya.
“Kalau boleh aku tahu, kamu dari mana dan tujuanmu hendak kemana?” tanyaku ingin tahu sambil kembali menatapnya.
“Hendak pulang kerumah seusai kuliah di UNM Makassar.“
“Hati-hati ya, jangan aktifkan HP-nya lagi bila sedang berada diatas kendaraan angkutan kota, karena penjahat nekad melakukan aksinya kendati ditempat-tempat umum tak terkecuali diatas mobil pete-pete.” kataku memperingati dia.
“Eh, sudah lama kita ngobrol namun kita belum saling kenal, bagaimana kalau kita kenalan dulu. “ pintaku sambil kuulurkan tanganku menyalaminya.
“Dinar, Dinar Zulfikar.” ucapku kukenalkan namaku sambil kupegang tangannya.
“Sunarti, biasa disapa Narti oleh teman-teman kuliahku di kampus.” balasnya
dengan menatapku senyum malu-malu, maklum, baru pertama kalinya ketemu langsung kenalan.
Kami ngobrol lama dibawah teduhnya sebuah pohon rimbun ditepi jalan, bercerita banyak tentang berbagai hal. Laiknya seorang teman karib lama yang baru bertemu.
Tiba-tiba ada rasa kagum lahir bergelayut dihatiku terhadapnya tanpa dapat aku cegah, melihat penampilannya begitu sederhana namun sangat anggun.
Dengan kostum islami yang membalut tubuhnya berserta rambutnya tertutup rapat oleh jilbab sangat serasi warna baju yang ia kenakan dengan kulitnya yang kuning langsat membuat aku sangat tertarik padanya. Pancaran sinar matanya mengingatkan padaku keteduhan disuatu senja seusai gerimis.
Akhirnya, pertemuan kami berakhir disini dengan harapan kelak disuatu waktu dapat bertemu kembali, dan sebelum berpisah sempat kami saling memberi alamat tempat tinggal serta nomor Hand-Phone masing-masimg agar kami tetap dapat berhubungan. Sesudah itu, kami saling mengunjungi baik dipondokan tempat kost Narti maupun dirumah kosku di Jln.Mappala.
Beberapa tahun sesudahnya itu, aku tak pernah lagi ketemu dengannya karena mungkin disebabkan oleh kesibukan masing-masing. Walau berulang-ulang kali kuhubungi lewat HP-nya namun selalu gagal karena jawaban dari operator mengatakan tak dapat dihubungi, nomor tujuan anda sementara tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Padahal sudah punya komitmen sebelumnya, bahwa kita akan tetap membangun kebersamaan serta menjaga hubungan baik diantara kita berdua. Tapi Tuhan rupanya berkehendak lain, karena hingga kini aku belum juga bertemu dengannya. Entah, kemana rimbanya. Jejak langkahnya tak terbaca olehku. Dimana kakinya kini berpijak?
Disuatu minggu pagi, sebuah koran yang terbit dikota ini lewat Jendela Budaya tanpa sengaja retinaku membentur pada sebuah cerpen yang berjudul “Diatas Sebuah Mikrolet” sebuah judul cerpen yang sangat sederhana namun menyita banyak perhatianku.
Seusai kubaca, mendadak ada lirih bergetar dijantungku karena tema serta alur ceritanya persis sama apa yang pernah aku alami, ketika dulu aku pernah menolong seorang perempuan yang hendak dijamret oleh seorang pria tak dikenal diatas sebuah mobil angkutan kota jenis pete-pete tujuan Sentral.
Inti dari cerita itu mengatakan bahwa hidup ini penuh liku-liku, cobaan dan tantangan, jika kita tidak jeli dan hati-hati dalam neniti hidup, maka kita akan terjebak terbawa oleh arus keadaan yang semakin tak menentu lagi membingungkan. Rasa egois semakin merajai hati sebahagian orang, berpaling dari rasa kepekaan yang semakin menjauh. Ingin memiliki sesuatu sebanyak mungkin namun tak ada upaya atau ikhtiar.
Diakhir cerita itu disebelah kanan bawah tertulis, (Sepercik renungan buat, Dinar Zulfikar). Walau dia memakai nama samaran, tapi aku yakin bahwa penulisnya itu adalah Sunarti perempuan yang telah pernah aku tolong dulu beberapa waktu silam ketika dia hendak dijamret diatas sebuah mobil pete-pete.
Baru aku sadar bahwa dia Sunarti adalah seorang cerpenis mampu berbuat mentransfer imajinasinya lewat sebuah tulisan yang sangat memikat hatiku. Membuat aku semakin kagum terhadapnya.
Sesudah kubaca, koran itu kulipat kembali seperti semula lalu kusimpan dibawah bantal tempat tidurku, dengan harapan agar sebentar malam nanti setelah aku tertidur lelap dia akan menjelma dalam mimpiku yang indah.
Akan kukatakan padanya, Betapa Aku Merindukanmu. Adakah kau juga mengingatku bila aku mengingatmu, juga rinduku adakah juga rindumu? Entah, mungkin aku saja yang berperasaan demikian. Sebuah tanya yang takkan pernah terjawab olehku hingga kini.
Untuk sedetik aku mampu melupakanmu, akan tetapi detik berikutnya aku tak mampu lagi. Sungguh sangat sulit untuk melupakanmu. Rencana semula aku akan membuat sebuah tulisan seperti apa yang kau tulis sebagai memori buatku, kejadian yang sama pernah aku dan kau alami.
Akan tetapi setelah kubaca tulisanmu dikoran, aku urung menulisnya karena bahasa yang kau gunakan adalah bahasa sastra sangat halus jauh lebih bagus dan indah, kemunikatif, mudah dicerna dan dimengerti, sehingga semua orang merasa senang membacanya. Demikian bayangan itu terlukis dibenakku.
Tahun demi tahun silih berganti sesudahnya itu, tiba-tiba dering pesan singkat terdengar riuh dari dalam HP-ku dibalik saku celana yang aku kenakan. Segera kubuka lalu kubaca.
Kalau kamu ingin ketemu denganku susul aku diterminal Daya, karena kini aku sedang siap-siap berangkat menuju Kota Kendari, ayahku meninggal dunia disana, dan selanjutnya aku akan balik ke Jawa bersama Bundaku untuk menetap tinggal selamanya dan tak akan pernah pulang-pulang lagi ke Makassar sini.
Sunarti Sugiono
Sesudahnya, aku segera meluncur menuju terminal Daya, akan tetapi aku tak menemukannya lagi Sunarti disana, karena 15 menit yang lalu mobil Bus malam yang ia tumpangi sudah berangkat menuju kota Kendari.
Aku coba menghubungi lewat HP-nya, akan tetapi sedang tidak aktif atau sementara berada diluar jangkauan begitu jawaban dari operator seluler. Aku terlambat sudah. Aku ketinggalan kereta,…………..!”
Hanya doaku menyertainya, semoga dia Sunarti tiba dengan selamat ditempat tujuannya dan berharap agar suatu saat, aku dapat bertemu kembali dengannya. Tak lupa pula aku doakan, semoga arwah alamarhum ayahandanya diterima disisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan tetap tabah menerima cobaan ini.(*)

Makassar, 15 April 2008


Harian Radar Bulukumba, 14 Pebruari 2009
Harian Radar Sulbar, 23 April 2011



*) pete-pete = Mikrolet, angkutan kota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar